السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Al Imām Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya, dimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ
“Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat ditimbangan kebaikan seorang mu’min pada hari kiamat seperti akhlaq yang mulia, dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allāh benci dengan orang yang lisānnya kotor dan kasar.”
(Hadīts Riwayat At Tirmidzi nomor 2002, hadīts ini hasan shahīh, lafazh ini milik At Tirmidzi, lihat Silsilatul Ahādīts Ash Shahīhah no 876)
⇒ Dalam hadīts ini kita perhatikan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengkaitkan antara akhlaq yang mulia dengan lisān yang kotor. Seakan-akan bahwasanya kalau anda ingin menjadi orang yang berakhlaq yang mulia jangan memiliki lisān yang kotor.
Oleh karenanya diantara barometer yang paling kuat untuk menilai seorang itu akhlaqnya mulia atau tidak adalah dengan melihat lisānnya, karena lisān itu ungkapan hati.
Sehingga bisa diketahui bagaimana hatinya, kesombongannya atau tawadhu’nya,
Husnuzhān atau su’uzhān semua bisa terlihat dari lisān, terlihat dari ungkapan-ungkapan lisānnya yaitu bisa mengambarkan dari isi hatinya.
Maka benar jika demikian, standard atau barometer untuk menilai akhlaq seorang buruk dengan kita lihat lisānnya.
Karenanya dalam hadīts yang lain dalam Shahīh Muslim, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya pada hari kiamat disisi Allāh adalah orang yang ditinggalkan oleh masyarakat.”
(Hadīts Riwayat Muslim nomor 2591)
⇒ Ditinggalkan oleh manusia (teman-temanya), kenapa?
Karena اتِّقَاءَ فُحْشِهِ, takut dengan lisānnya yang buruk.
Hadīts ini memberi peringatan kepada kita agar kita menjaga lisān kita.
Bahkan tatkala kita menyampaikan kebenaran, menyuarakan yang hak (misalnya):
√ Ingin menyampaikan sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
√ Ingin menyampaikan tauhīd.
Kita harus menjaga lisān kita.
Jangan sampai kita berkata-kata yang kasar (kotor) sehingga membuat orang lain lari, orang tidak bisa menerima.
Kenapa? Karena kotornya lisān kita.
Perhatikan!
Dalam satu hadīts tatkala datang sekelompok orang-orang Yahūdi datang menemui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, kemudian mereka mengejek Nabi, mereka mendo’akan keburukan kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kata mereka:
السَّامُ عَلَيك
”Asāmu’alaik, Yā Abū Qassim.”
(Kebinasaan atasmu Wahai Abū Qassim)
⇒ Kalau orang mendengar sepintas, seakan-akan mereka berkata, “Assalāmu’alaik (keselamatan bagi engkau),” tetapi huruf “lam” nya mereka hilangkan. Sehingga artinya menjadi semoga engkau cepat mati.
Maka Nabi menjawab, “Wa’alaikum (kalian juga).”
Cukup Nabi menjawab do’a keburukan mereka juga.
Ternyata ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā tidak kuat (tidak sabar) tatkala mendengar suaminya (Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam) dicerca oleh orang-orang Yahūdi.
Maka ‘Āisyahpun marah (membalas), ‘Āisyah berkata:
وعليكم السام، لعنة الله عليكم وغضب الله عليكم إخوة القراد والخنازير
“Wa’alaikumussam laknatullāhi alaikum, wa ghadhabullāhi’alaikum, Ikhwātalqirādatul walkhanāzīr”
(Semoga kalian yang cepat mati, laknat Allāh bagi kalian, Allāh murka bagi kalian, wahai saudara-saudara babi-babi dan monyet-monyet).
Maka ‘Āisyah ditegur oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
يَا عَائِشَةَ لَا تَكُوْنِيْ فَاحِشَةَ
“Wahai ‘Āisyah jangan engkau menjadi orang yang mulutnya kotor.”
(Hadits Riwayat Muslim nomor 2165)
Dalam riwayat lain kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
ما كان الرفق في شيء إلا زانه، ولا نُزع الرفق من شيء إلا شانه
“Tidaklah kelembutan diletakkan pada suatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah diangkat kelembutan tersebut kecuali akan merusaknya.”
(Hadīts ini diriwayatkan oleh imam Muslim nomor 2594 dengan lafazh yang berbeda.)
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kasih sayang (kelembutan) itu tidak akna berada pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya. Sebaliknya, jika kasih sayang (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi buruk.”
‘Āisyah, dikatakan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
لا تكون فاحسه
“Janganlah engkau menjadi orang yang berkata-kata kotor.”
Dalam riwayat lain Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ الله عزّ وجلّ لاَ يُحِبُ الفُحْشَ وَلَا التَفَحُش
“Sesungguhnya Allāh ‘azza wa jalla tidak suka dengan perbuatan keji dan kata-kata yang kotor (kasar).”
(Hadits Riwayat Ahmad nomor 24735)
Padahal kalau kita perhatikan, bagaimana sikap ‘Āisyah?
Perkataanya benar, tidak ada yang salah semua perkataannya (dalīlnya) ada dalam Al Qurān.
⑴ Kata ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā (ummul mu’minin), “Laknatullāh alaih,” benar bahwasanya, “Laknatullāh alaikum,” bahwasanya orang Yahūdi terlaknat.
Allāh yang berfirman:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
“Telah terlaknat orang-orang kāfir dari Bani Isrāil (Yahūdi) dengan lisān Daud dan ‘Īsā putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
(QS Al Māidah: 78)
كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”
(QS Al Māidah: 79)
Mereka juga di murkai, kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
Bukan dari jalan orang-orang yang di murkai.
Kita minta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang di murkai yang setiap hari kita membaca dalam shalāt kita.
⑵ Mereka dilaknat, mereka dimurkai oleh Allāh, sekarang mereka juga kata ‘Āisyah saudaranya babi-babi dan monyet-monyet, dan benar.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman tentang nenek moyang orang-orang Yahūdi:
كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Jadilah kalian kera-kera yang hina.”
(QS Al Baqarah: 65)
Dalam ayat yang lain Allāh berfirman:
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِير
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang kedudukannya lebih buruk disisi Allāh?
Mereka adalah orang yang dilaknat oleh Allāh dan di murkai oleh Allāh, dan diantara mereka ada yang dirubah menjadi babi-babi dan monyet-monyet.”
(QS Al Māidah: 60)
⇒ Ternyata perkataan ‘Āisyah benar, tidak ada salahnya tatkala ‘Āisyah mencela orang-orang Yahūdi.
Bahkan ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā mencela karena membela Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, membela sumber sunnah, bukan hanya sunnah tetapi membela orangnya.
Siapa sumber sunnah?
Sumber sunnah adalah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
‘Āisyah membela Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tapi ternyata salah dan ‘Āisyah ditegur oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Oleh karenanya tatkala kita menyeru kepada tauhīd, kepada sunnah, kita membantah orang-orang yang bersalah sampaikan dengan kata-kata yang lembut apalagi kepada orang-orang kāfir.
Kepada orang-orang Yahūdi saja kita diminta memilih kata-kata yang baik apalagi kepada sesama muslim.
Kalau kita mendebat, kita mendebat dengan cara yang baik.
Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Janganlah kalian mendebat ahlul kitāb, kecuali dengan cara yang terbaik.”
(QS Al ‘Ankabut: 46)
Boleh berdebat dengan ahluk kitāb tapi dengan cara yang baik. Bila dengan ahlul kitāb saja kita disuruh berdebat dengan cara yang baik,
√ Apalagi dengan berdebat sesama muslim,
√ Apalagi dengan orang yang sama-sama mengucapkan “Lā ilāha illallāh”.
√ Apalagi dengan yang sama-sama menginginkan kebaikan.
Maka jaga lisān kita.
⇒ Kalau kita tidak menjaga lisān kita, ingat! dosanya (akibatnya) bahaya, kita akan di murkai oleh Allāh (dibenci oleh Allāh).
Ingat dalam hadīts tadi dalam sunan Tirmidzi, kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ
Dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allāh sangat benci kepada orang yang berkata-kata kasar dan kotor.
Di sini Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mendatangkan ” انّ ” taukid untuk penekanan dan lam taukid, kalau kita artikan dalam bahasa Indonesia “dan”.
Meskipun benar isinya tetapi bila kotor dan kasar maka Allāh tidak suka. Apalagi bila kata-katanya tidak benar, apalagi apabila tuduhannya tidak benar.
Yang perkataannya benar saja jika disampaikan dengan cara yang kasar dibenci oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Maka kalau anda terbiasa dengan perkataan kasar (perkataan kotor),
√ Suka menyindir orang,
√ Suka menjatuhkan hati orang lain,
√ Suka mengejek orang lain
Yā Akhi, jangan-jangan anda kemudian menjadi orang yang sangat dibenci oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kenapa? Karena Allāh benci orang yang seperti ini, orang yang berakhlaq buruk, kalau anda sudah dibenci oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, apa yang bisa anda harapkan?
Dibenci oleh pencipta alam semesta, gara-gara lisān anda yang kotor.
Maka jagalah lisān. Berusahalah berkata-kata yang baik tidak menyinggung perasaan orang lain. Bukan hanya dalam berdakwah, bahkan dalam skala kecil (misalnya) terhadap istri kita, terhadap suami, terhadap anak-anak, jangan terbiasa kata-kata kotor.
Supaya kita bisa berakhlaq mulia, supaya lebih dekat dengan Al habieb Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dihari kiamat kelak.
وبالله التوفيق
Sumber: https://ilmiyyah.com/archives/5833
LARANGAN BERKATA KASAR DAN KOTOR
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الفَاحِشَ البَذِيءَ
Dari Abu Ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” ([1])
Makna Hadits
Hadits ini adalah potongan dari sebuah hadits, selengkapnya dapat dijumpai pada Sunan Tirmizi dengan redaksi,
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الفَاحِشَ البَذِيءَ
“Sesungguhnya tidak ada sesuatu apa pun yang paling berat di timbangan kebaikan seorang mukmin pada hari kiamat seperti akhlak yang mulia, dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” ([2])
Hadits di atas diawali dengan penekanan bahwasanya timbangan yang paling berat di akhirat kelak adalah akhlak mulia, kemudian diakhiri dengan peringatan bahwasanya Allah benci terhadap orang yang memiliki kata-kata yang kotor.
Mengukur akhlak seseorang bisa ditempuh dengan banyak cara, di antaranya dengan melihat bagaimana cara dia bermuamalah, atau dari raut wajahnya apakah murah senyum atau tidak, atau cara-cara lainnya. Namun salah satu cara yang paling tepat untuk mengukur akhlak seseorang adalah dengan memperhatikan lisannya karena lisan itu adalah ungkapan hati. Dari ucapannya kita akan mengetahui seseorang itu sombong atau tidak, menghormati orang lain atau tidak, merendahkan orang lain atau tidak, mengganggu orang lain atau tidak. Semua perkara-perkara tersebut akan tergambar di lisannya.
Para ulama membedakan antara الفَاحِشَ dan البَذِيءَ. الفَاحِشَ diambil dari kata الفُحْشُ (al-fuhsy) yang secara bahasa bermakna melampaui batas([3]). Sehingga maknanya dalam hadits ini adalah melampaui batas dalam cacian dan makian dengan menggunakan kata-kata yang tidak enak didengar, termasuk pula kata-kata yang jorok, semuanya masuk dalam kalimat fuhsy.
Adapun البَذِيءَ diambil dari kata البَذَاءَةُ (al-badza’ah) yang khusus untuk kalimat yang kotor yang tidak enak didengar di mana naluri manusia tidak enak mendengar kata-kata tersebut([4]). Dengan demikian maka al-fuhsy berkaitan dengan kadar pembicaraan yang berlebihan sementara al-badzaáh berkaitan dengan sifat pembicaraan yang kotor. Dalam sebagian riwayat Nabi berkata:
فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَلَا التَّفَحُّشَ
“Sesungguhnya Allah taáta tidak menyukai al-fushy dan at-tafahhuys (yaitu yang memaksa-maksakan diri untuk berkata-kata kotor yang berlebihan) ([5])”([6])
Nabi ﷺ memberi peringatan kepada orang yang lisannya kotor seakan-akan Nabi berkata, “Beberharapati-hatilah, jangan sampai Anda menjadi orang yang berakhlak buruk dengan menjadikan lisan Anda kotor dan jorok”. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadits,
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya pada hari kiamat di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia akibat takut akan keburukannya.” ([7])
Menyampaikan Kebenaran pun dengan Lembut
Hadits di atas memberi peringatan kepada kita agar kita menjaga lisan-lisan kita. Bahkan tatkala kita menyampaikan kebenaran, ingin menyampaikan sunah Nabi ﷺ, ingin menyampaikan perkara-perkara tauhid, hendaknya kita tetap menjaga lisan kita. Jangan sampai kita berkata-kata kasar atau kotor yang menyebabkan orang lain lari dan tidak mau menerima.
Dalam sebuah hadits, ‘Aisyah i menceritakan tatkala sekelompok Yahudi datang menemui Rasulullah ﷺ,
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنَاسٌ مِنَ الْيَهُودِ فَقَالُوا: السَّامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا الْقَاسِمِ قَالَ: «وَعَلَيْكُمْ» قَالَتْ عَائِشَةُ: قُلْتُ بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَالذَّامُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ «لَا تَكُونِي فَاحِشَةً» فَقَالَتْ: مَا سَمِعْتَ مَا قَالُوا؟ فَقَالَ: ” أَوَلَيْسَ قَدْ رَدَدْتُ عَلَيْهِمِ الَّذِي قَالُوا، قُلْتُ: وَعَلَيْكُمْ
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata, “Sekelompok orang Yahudi datang menemui Nabi ﷺ dan berkata, ‘Assaamu’alaika, Ya Abal Qasim’ (kebinasaan atasmu Wahai Abul Qasim). Kemudian Nabi menjawab, ‘Wa’alaikum’ (dan kalian juga). Akupun membalas perkataan mereka dengan berkata, ‘Bal ‘alaikumussaam wadzdzaam’ (bahkan atas kamulah kebinasaan dan celaan). (Mendengar kata-kata ‘Aisyah itu) lalu Rasulullah ﷺ menegur, ‘Wahai ‘Aisyah janganlah engkau menjadi orang yang mulutnya kotor.’ Aku pun berkata: ‘Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan?’ Rasulullah ﷺ menjawab, “Bukankah aku telah menjawab apa yang mereka ucapkan, aku berkata, ‘wa’alaikum’ (begitu pula kamu).” ([8])
Rasulullah ﷺ menegur ‘Aisyah karena perkataannya yang kasar. Dalam riwayat lain Rasulullah ﷺ berkata,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kasih sayang (kelembutan) itu tidak akan berada pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya. Sebaliknya, jika kasih sayang (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi buruk.” ([9])
Dalam riwayat lain Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ الله عَزَّ وَجَلَّ لاَ يُحِبُّ الفُحْشَ وَلَا التَفَحُشّ
“Sesungguhnya Allah ﷻ tidak suka dengan perbuatan keji dan kata-kata yang kotor (kasar).” ([10])
Padahal apabila kita perhatikan, seluruh perkataan ‘Aisyah i benar adanya. Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah membalas perkataan sekelompok Yahudi tersebut dengan mengatakan,
عَلَيْكُمُ السَّامُ وَغَضَبُ اللَّهِ وَلَعْنَتُهُ يَا إِخْوَةَ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ
“ ‘alaikumussam wa ghadhabullahi’ wa laknatuhu, ya ikhwatalqiradati walkhanazir. (Semoga kalian yang cepat mati, kemurkaan dan laknat Allah bagi kalian, wahai saudara-saudara monyet-monyet dan babi-babi).” ([11])
Semua kalimat yang dilontarkan ‘Aisyah kepada mereka benar adanya, bahkan semua ada dalilnya di dalam Al-Quran. ‘Aisyah mengatakan bahwa orang Yahudi terlaknat. Sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman,
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari Bani Israil (Yahudi) dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS Al Maidah: 78)
Allah ﷻ berfirman dalam ayat yang lain,
كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 79)
‘Aisyah juga mengatakan kepada mereka bahwasanya mereka dimurkai oleh Allah. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
“Bukan dari jalan orang-orang yang dimurkai.” (QS. Al-Fatihah: 7)
‘Aisyah juga benar akan perkataannya bahwa mereka adalah saudara babi-babi dan monyet-monyet, dan benar. Sebagaimana Allahﷻ berfirman kepada sebagian yahudi di masa lalu,
كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Jadilah kalian kera-kera yang hina.” (QS Al-Baqarah: 65)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِير
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang kedudukannya lebih buruk disisi Allah? Mereka adalah orang yang dilaknat oleh Allah dan dimurkai oleh Allah, dan Di antara mereka ada yang diubah menjadi babi-babi dan monyet-monyet.” (QS Al Maidah: 60)
Ternyata perkataan-perkataan ‘Aisyah i benar ketika mencela orang-orang Yahudi. Bahkan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mencela mereka dalam rangka membela Rasulullah ﷺ. Tetapi ternyata sikap yang dilakukan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tetap ditegur oleh Rasulullah ﷺ.
Oleh karena itu, tatkala kita menyeru manusia kepada tauhid, mendakwahkan mereka kepada sunah, dan membantah orang-orang yang salah, hendaknya kita menyampaikannya dengan kata-kata yang lembut. Kepada orang-orang Yahudi saja kita diperintahkan memilih kata-kata yang baik apalagi kepada sesama muslim. Bahkan kepada orang kafir sekalipun apabila kita mendebatnya, hendaknya kita mendebat dengan cara yang baik. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Janganlah kalian mendebat ahli kitab, kecuali dengan cara yang terbaik.” (QS. Al-Ankabut: 46)
Jika dengan ahli kitab saja kita diperintahkan berdebat dengan cara yang baik. Apalagi dengan sesama muslim, dengan orang yang sama-sama mengucapkan kalimat “Laa ilaha illallah”.
Oleh karena itu, hendaknya kita menjaga lisan-lisan kita. Hendaknya kita mengingat akibat apabila tidak menjaga lisan yaitu dibenci oleh Allah. Lisan kita kecil tetapi dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar. Meskipun isinya benar tetapi kotor atau disampaikan dengan cara yang kasar, misalnya dengan mengejek orang lain, menjatuhkan harga dirinya, menyindir orang lain, tetaplah dibenci oleh Allah ﷻ. Apabila seseorang sudah dibenci oleh Allah maka apa lagi yang diharapkan dari kebaikan. Padahal kita bersusah payah agar mendapatkan cinta dari-Nya, tetapi kita malah gampang melakukan perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kebencian Allah ﷻ.
Sebelum seseorang berbicara, hendaknya dia pikirkan terlebih dahulu akibatnya. Jangan asal bicara karena itu merupakan ciri yang tidak baik, bisa jadi dia tidak sadar telah menyakiti hati orang lain. Seorang penyair berkata,
الصَّمْــتُ زَيْـنٌ وَالسُّـكُوْتُ سَـلاَمَةٌ *** فَإِذَا نَطَقْتَ فَلَا تَكُـنْ مِكْثَـاراً
فـَإِذَا نَــدِمْتَ عَلَى سُــكُوْتِكَ مَـرَّةً *** فَلْتَنْدَمْ عَلَـى الْكَلَامِ مِـرَاراً
Tidak berbicara itu adalah keindahan, dan diam adalah keselamatan. Jika kau pun harus berbicara maka janganlah banyak bicara.
Kalaupun engkau menyesal karena engkau diam, sungguh engkau akan berkali-kali menyesal karena perkataanmu. ([12])
Hendaknya setiap orang menjaga lisannya. Berusaha berkata-kata yang baik yang tidak menyinggung perasaan orang lain. Bukan hanya dalam berdakwah, bahkan dalam skala kecil seperti terhadap istri, terhadap suami, terhadap anak-anak, jangan terbiasa dengan kata-kata kotor dan kasar yang dapat mendatangkan kebencian Allah ﷻ.
Penulis: Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A
Baca juga: Menjaga lisan dari ucapan kotor
____
Footnote:
([1]) HR. Tirmizi no. 2002, hadits ini hasan sahih
([2]) HR. Tirmizi no. 2002, hadits ini hasan sahih
([3]) Lihat Mu’jam Maqoyiis al-Lughoh, Ibn Faris 4/478. Dikatakan seperti ketika ada yang ditanya tentang darah kutu apakah najis?, maka dijawab إِن لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا فَلَا بأْس “Jika tidak banyak maka tidak mengapa” (Lihat Lisan al-Árob 6/326)
([4]) Lihat: Syarh Sahih Al-Bukhari Li Ibnu Baththal 9/299
([5]) Lihat Áunul Ma’bud 11/100
([6]) HR Ahmad no 6487 dan dinilai shahih oleh para penyunting Musnad al-Imam Ahmad
([7]) HR. Muslim no. 2591
([8]) HR. Muslim no. 2165
([9]) HR. Muslim no. 2594
([10]) HR. Ahmad no. 24735
([11]) HR. Ishaq bin Raahawaih no. 1685 di dalam Musnadnya
([12]) Ghurar Al-Khasais Al-Wadhihah, 1/232
Sumber: https://www.bekalislam.firanda.net/