Sebagai seorang muslim, kita sangat familiar dengan “ayat kursi” yang di dalam ayat tersebut terdapat lafaz “Kursi Allah”.
Ayat kursi terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 255:
ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺤَﻲُّ ﺍﻟْﻘَﻴُّﻮﻡُ ﻟَﺎ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻩُ ﺳِﻨَﺔٌ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﻮْﻡٌ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻣَﻦْ ﺫَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺸْﻔَﻊُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﻠْﻔَﻬُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺤِﻴﻄُﻮﻥَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣِﻦْ ﻋِﻠْﻤِﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﻤَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﻭَﺳِﻊَ ﻛُﺮْﺳِﻴُّﻪُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺌُﻮﺩُﻩُ ﺣِﻔْﻈُﻬُﻤَﺎ ﻭَﻫُﻮَ
ﺍﻟْﻌَﻠِﻲُّ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi . Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Apa itu makna dari “kursi Allah”? Perlu diketahui ada beberapa pendapat mengenai makna “kursi Allah”. Dalam Fatwa Lajnah Daimah dijelaskan beberapa pendapat:
ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ : ﻫﻮ ﻣﻮﺿﻊ ﻗﺪﻣﻲ ﺍﻟﺮﺏ – ﻋﺰ ﻭﺟﻞ – ﻭﻫﻮ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻛﺎﻟﻤﻘﺪﻣﺔ ﻟﻪ .
ﻭﻗﺪ ﻗﻴﻞ ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﻣﻨﻬﺎ
– ﻣﺎ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﺣﺒﺮ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ – ﺃﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﺃﻱ ﻋﻠﻤﻪ .
– ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ : ﻣﻨﻪ ﻗﻴﻞ ﻟﻠﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻜﺮﺍﺳﻲ، ﻭﻓﻴﻪ ﺍﻟﻜﺮﺍﺳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺠﻤﻊ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ .
– ﻭﺭﺟﺢ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ – ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ – ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ .
– ﻭﻗﻴﻞ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﻗﺪﺭﺗﻪ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﻤﺴﻚ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ .
– ﻭﻗﻴﻞ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﻋﺮﺷﻪ .
– ﻭﻗﻴﻞ ﻛُﺮْﺳِﻴّﻪُ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﻟﻌﻈﻤﺘﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
Makna kursi Allah adalah tempat diletakkannya kedua kaki Allah yang berada di hadapan ‘arsy, yaitu bagian depan (bawah) dari ‘arsy.
Baca juga: 'Arsy Allah, makhluk paling tinggi dan paling besar || Tafsir QS. Thaha ayat 5
Ada beberapa pendapat lainnya:
1. Maknanya adalah ilmu Allah
Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas
2. Maknanya adalah “karrasah” yaitu tempat berkumpul ilmu tersebut
Ini pendapat sebagian ulama dan dirajihkan (dinilai kuat) oleh Ibnu Jarir At-Thabari
3. Maknanya adalah “qudrah” kemampuan Allah memegang/menggenggam langit dan bumi
4. Maknanya adalah ‘arsy
5. Maknanya adalah penggambaran kebesaran Allah Ta’ala
ﻣﺎ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺫﻛﺮ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ – ﻣﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻓﻬﻲ ﻻ ﺗﺼﺢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻷﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺃﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﻌﻠﻢ .
“Adapun riwayat dari Ibnu Abbas bahwa kursi Allah adalah “ilmu Allah” ini adalah riwayat yang tidak shahih, karena tidak ada dalam bahasa Arab makna kursi adalah ilmu.”[1]
Pendapat terkuat –wallahu a’lam– makna kursi Allah adalah tempat diletakkan kedua kaki Allah. Sebagaimana riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas,
Terkait tafsir dari ayat.
ﻭَﺳِﻊَ ﻛُﺮْﺳِﻴُّﻪُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi”
Ibnu Abbas berkata,
ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﻘﺪﻣﻴﻦ، ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻘﺪﺭ ﻗﺪﺭﻩ،
ﻗﺎﻝ : ﻭﻫﺬﻩ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﺗﻔﻖ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺘﻬﺎ، ﻗﺎﻝ : ﻭﻣﻦ ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻘﺪ ﺃﺑﻄﻞ
“Kursi adalah tempat diletakkan kedua kaki Allah, sedangkan ‘arsy tidak bisa diperkirakan ukurannya”.
(Riwayat ini disepakati keshahihannya oleh ahli ilmu dan riwayat bahwa kursi Allah adalah ilmu-Nya ini riwayat yang tidak shahih).[2]
Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menshahihkan riwayat dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata:
ﻭﻟﻪ ﺷﺎﻫﺪ ﻋﻦ ﻣﺠﺎﻫﺪ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺑﺴﻨﺪ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻨﻪ
“Riwayat ini mempunyai syahid (penguat) dari Mujahid diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam tafsirnya dengan sanad yang shahih.”[3]
Kursi Allah berbeda dengan ‘arsy Allah sebagaimana dalam riwayat berikut.
Abu Dzarr berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕُ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲِّ ﺇِﻻَّ ﻛَﺤَﻠَﻘَﺔٍ ﻣُﻠْﻘَﺎﺓٍ ﺑِﺄَﺭْﺽِ ﻓَﻼَﺓٍ ﻭَﻓَﻀْﻞُ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲِّ ﻛَﻔَﻀْﻞِ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﻔَﻼَﺓِ ﻋَﻠَﻰ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﺤَﻠَﻘَﺔِ
“Tidaklah tujuh langit dibandingkan kursi (Allah) kecuali seperti cincin yang dilemparkan di tanah lapang dan besarnya ‘Arsy dibandingkan kursi adalah seperti tanah lapang dibandingkan dengan cincin “.[4]
Makna “wasi’a/وسع” yang diterjemahkan “meliputi” di dalam ayat tersebut adalah karena posisinya di atas dan lebih besar sehingga disebut “meliputi” sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim, beliau berkata,
ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻣﺤﻴﻄﺔ ﺑﺎﻷﺭﺽ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﺎﻟﻴﺔ ﻋﻠﻴﻬﺎ ، ﻭﻟﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻣﺤﻴﻄﺎً ﺑﺎﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻴﺎً ﻋﻠﻴﻬﺎ ، ﻭﻟﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻣﺤﻴﻄﺎً ﺑﺎﻟﻜﺮﺳﻲ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻴﺎً
“Oleh karena itu langit meliputi bumi karena berada di atasnya. Kursi meliputi langit karena berada di atasnya dan ‘Arsy meliputi kursi karena berada di atasnya.”[5]
Ada cukup banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah memiliki kaki. Sebagaimana hadits berikut yang menjelaskan tentang firman Allah,
ﻳَﻮْﻡَ ﻧَﻘُﻮﻝُ ﻟِﺠَﻬَﻨَّﻢَ ﻫَﻞِ ﺍﻣْﺘَﻸﺕِ ﻭَﺗَﻘُﻮﻝُ ﻫَﻞْ ﻣِﻦْ ﻣَﺰِﻳﺪٍ
“(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada jahannam: ‘Apakah kamu sudah penuh?’ Dia menjawab: ‘Masihkah ada tambahan?’” (QS. Qaaf: 30) .
Tatkala neraka meminta tambahan penghuni neraka, Allah meletakkan kaki ke neraka dan neraka menyempit.
Dan diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Dan setiap kalian merasa bahwa Neraka Jahanam penuh. Adapun Neraka Jahanam tidak akan penuh sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kedua kakinya hingga Neraka berkata, ‘Cukup, cukup, cukup’. Ketika itu penuhlah Neraka dan sebagian darinya menyempit dan penuhlah dia”.[6]
Syaikh Al-‘Utsaimin menjelaskan,
ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﻋﺜﻴﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﺍﻟﻮﺍﺳﻄﻴﺔ :
ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺃﻥ ﻧﺆﻣﻦ ﺑﺄﻥ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺪﻣﺎً، ﻭﺇﻥ ﺷﺌﻨﺎ ﻗﻠﻨﺎ ﺭﺟﻼً ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﻣﻊ ﻋﺪﻡ ﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ، ﻭﻻ ﺗﻜﻴﻒ ﺍﻟﺮﺟﻞ
“Kesimpulannya adalah wajib bagi kita beriman bahwa Allah mempunyai telapak kaki atau kaki sebagaimana hakikatnya (tidak ditakwil makna lainnya) tanpa menggambarkan dan menyerupakan dengan kaki siapapun”.[7]
Demikian semoga bermanfaat
Penulis: dr. Raehanul Bahraen
____
Catatan kaki:
[1] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 82/120
[2] HR. Hakim dalam mustadrak, ia berkata hadits shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Demikian juga Adz-Dzahabi berkata dalam Talkhis, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Al-‘Uluw
[3] Lihat Fathul Baari
[4] HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/166), Abu Syaikh dalam Al-‘Adzamah (2/648-649), Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa was Sifaat (2/300-301) dan lainnya, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah no. 109 dengan menggabungkan semua jalurnya.
[5] As-Shaqaiqul Mursalah 4/1308
[6] HR. Muslim
[7] Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikh Al-‘Utsaimin
Sumber: https://muslim.or.id/