Type Here to Get Search Results !

 


PANDUAN ZAKAT #4 (EMAS & PERAK) DAN #5 (ADAKAH ZAKAT PADA PERHIASAN?)


Panduan Zakat (4): Zakat Emas dan Perak

Zakat Atsman  (emas, perak dan mata uang)

Yang dimaksud atsman adalah emas, perak, dan mata uang yang berfungsi sebagai mata uang atau tolak ukur kekayaan.

Dalil wajibnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At Taubah: 34-35).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”[1]

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالاً مِنَ الذَّهَبِ شَىْءٌ وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ مِائَتَىْ دِرْهَمٍ شَىْءٌ

“Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat jika kurang dari 200 dirham.”[2]

Dalil Ketentuan Zakat Emas dan Perak

Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishob) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”[3]

Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ

“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima uqiyah “.[4]

Dan pada hadits riwayat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dinyatakan,

وَفِى الرِّقَةِ رُبْعُ الْعُشْرِ

“Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperempat puluh (2,5 %).” (HR. Bukhari no. 1454)

Nishob zakat emas

Nishob zakat emas adalah 20 mitsqol atau 20 dinar[5]. Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Sehingga nishob zakat emas adalah 85 gram emas (murni 24 karat) [6]. Jika emas mencapai nishob ini atau lebih dari itu, maka ada zakat. Jika kurang dari itu, tidak ada zakat kecuali jika seseorang ingin bersedekah sunnah.

Kadar zakat emas

Besaran zakat emas adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai nishob. Contohnya, emas telah mencapai 85 gram, maka besaran zakat adalah 85/40 = 2,125 gram. Jika timbangan emas adalah 100 gram, besaran zakat adalah 100/40 = 2,5 gram.

Nishob zakat perak

Nishob zakat perak adalah 200 dirham atau 5 uqiyah. Satu dirham setara dengan 2,975 gram perak. Sehingga nishob zakat perak adalah 595 gram perak (murni). Jika perak telah mencapai nishob ini atau lebih dari itu, maka ada zakat. Jika kurang dari itu, tidak ada zakat kecuali jika seseorang ingin bersedekah sunnah.

Kadar zakat perak

Besaran zakat perak adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai nishob. Contohnya, 200 dirham, maka zakatnya adalah 200/40 = 5 dirham. Jika timbangan perak adalah 595 gram, maka zakatnya adalah 595/40 = 14,875 gram perak.

Apakah perlu menambah emas pada perak untuk menyempurnakan nishob?

Menurut madzhab Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Syaikh Al Albani dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin tidak perlu ditambahkan untuk menyempurnakan nishob. Sedangkan jumhur –mayoritas ulama- berpendapat perlu ditambahkan, namun berselisih pendapat apakah penambahan ini dengan persenan atau dengan qimah (nilai).[7] Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang menyatakan tidak menambahkan emas dan perak untuk menyempurnakan nishob. Hal ini didukung oleh beberapa dalil berikut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالاً مِنَ الذَّهَبِ شَىْءٌ وَلاَ فِى أَقَلَّ مِنْ مِائَتَىْ دِرْهَمٍ شَىْءٌ

“Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat jika kurang dari 200 dirham.”[8] Di sini emas dan perak dibedakan dan tidak disatukan nishobnya.

Begitu pula dalam hadits disebutkan,

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ

“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima uqiyah “.[9]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika seseorang memiliki 10 dinar (1/2 dari nishob emas) dan memiliki 100 dirham (1/2 dari nishob perak), maka tidak ada zakat. Karena emas dan perak berbeda jenis.”[10]

-bersambung insya Allah-

Kaum muslimin yang ingin menitipkan harta zakatnya, untuk disalurkan kepada saudara-saudari kita yang termasuk dalam delapan golongan yang berhak menerima zakat, dapat menunaikannya melalui Layanan Penyaluran Harta Zakat Peduli Muslim.

[1] HR. Muslim no. 987

[2] HR. Ad Daruquthni 2: 93. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 815.

[3] HR. Abu Daud no. 1573. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[4] HR. Bukhari no. 1447 dan Muslim no. 979

[5] Para fuqoha menuturkan bahwa satu dinar setara dengan satu mitsqol.

[6] Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishob emas dan perak di atas adalah emas murni (24 karat) dan perak murni. Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishob emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishob, maka ia wajib membayar zakatnya. Dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 18 dan Al Wajib Al Muqorin, hal. 30.

[8] HR. Ad Daruquthni 2: 93. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 815.

[9] HR. Bukhari no. 1447 dan Muslim no. 979

[10] Syarhul Mumti’, 6: 102. Lihat juga bahasan yang sama dalam Fiqh Sunnah, 1: 39.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/


Panduan Zakat (5): Adakah Zakat pada Perhiasan?

Demi melanjutkan pembahasan zakat emas dan perak pada serial sebelumnya, saat ini kita akan melanjutkan dengan pembahasan zakat pada perhiasan yang dikenakan. Apakah ada zakat di dalamnya seperti pada perhiasan emas kalung, cincin dan gelang?

Zakat Perhiasan

Perhiasan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) perhiasan emas dan perak, (2) perhiasan selain emas dan perak.

Para ulama berselisih pendapat mengenai apakah ada zakat pada perhiasan emas dan perak. Ada dua pendapat dalam masalah ini. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat tidak ada zakat dalam perhiasan emas. Di antara dalil yang digunakan adalah,

لَيْسَ فِى الْحُلِىِّ زَكَاةٌ

“Tidak ada zakat dalam perhiasan.”[1] Namun hadits ini adalah hadits yang batil jika disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang tepat, hadits ini hanyalah hadits mauquf, yaitu perkataan sahabat Jabir. Dan Ibnu ‘Umar juga memiliki perkataan yang sama, yaitu tidak ada zakat pada perhiasan.[2]

Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa emas dan perak wajib dizakati ketika telah mencapai haul dan nishob, baik berupa perhiasan yang dikenakan, yang sekedar disimpan atau sebagai barang dagang.[3]

Dalil-dalil yang mendukung adanya zakat dalam perhiasan adalah sebagai berikut:

1. Dalil umum.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُون

 “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari di panaskan emas perak itu dalam neraka jahannam , lalu di bakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At Taubah: 34-35).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”[4]

2. Dalil khusus.

Dari Amr bin Syu’aib dari bapak dari kakeknya, ia berkata,

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

“Ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah bersama anak wanitanya yang di tangannya terdapat dua gelang besar yang terbuat dari emas. Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah mengeluarkan zakat ini ?” Dia menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah engkau senang kalau nantinya Allah akan memakaikan kepadamu pada hari kiamat dengan dua gelang dari api neraka.” Wanita itu pun melepas keduanya dan memberikannya kepada Rasulullah seraya berkata, “Keduanya untuk Allah dan Rasul Nya.”[5]

Dari Abdullah bin Syadad bin Hadi, ia berkata,

دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَى فِي يَدَيَّ فَتَخَاتٍ مِنْ وَرِقٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ فَقُلْتُ صَنَعْتُهُنَّ أَتَزَيَّنُ لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَتُؤَدِّينَ زَكَاتَهُنَّ قُلْتُ لَا أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ قَالَ هُوَ حَسْبُكِ مِنَ النَّارِ

“Kami masuk menemui Aisyah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berkata,  “Rasulullah masuk menemuiku lalu beliau melihat di tanganku beberapa cincin dari perak, lalu beliau bertanya, “Apakah ini wahai Aisyah?” Aku pun menjawab, “Saya memakainya demi berhias untukmu wahai Rasulullah.” Lalu beliau bertanya lagi, “Apakah sudah engkau keluarkan zakatnya?” “Belum”, jawabku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Cukuplah itu untuk memasukkanmu dalam api neraka.”[6]

Dari Asma’ binti Yazid, ia berkata,

دَخَلْتُ أَنَا وَخَالَتِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا أَسْوِرَةٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَنَا أَتُعْطِيَانِ زَكَاتَهُ قَالَتْ فَقُلْنَا لَا قَالَ أَمَا تَخَافَانِ أَنْ يُسَوِّرَكُمَا اللَّهُ أَسْوِرَةً مِنْ نَارٍ أَدِّيَا زَكَاتَهُ

“Saya masuk bersama bibiku menemui Rasulullah dan saat itu bibiku memakai beberapa gelang dari emas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada kami, “Apakah kalian sudah mengeluarkan zakat ini?” Kami jawab, “Tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian takut kalau nantinya Allah akan memakaikan kepada kalian gelang dari api neraka. Oleh karenanya, keluarkanlah zakatnya.”[7]

Dan beberapa atsar dari sahabat yang mendukung hal ini seperti atsar dari Ibnu Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash dan ‘Aisyah.[8]

Pendapat yang terkuat adalah tetap adanya zakat pada perhiasan. Inilah pendapat yang lebih hati-hati dan terlepas dari perselisihan yang kuat dalam hal ini. Juga ada dalil umum dan khusus yang mendukung hal ini. Adapun berbagai dalil yang dikemukakan oleh ulama yang tidak mewajibkan boleh jadi dari hadits yang lemah atau hanya perkataan sahabat. Padahal perkataan sahabat tidak bisa jadi hujjah (dalil pendukung) ketika bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits yang shahih.[9]

Sama halnya dengan zakat emas dan perak, zakat perhiasan ini dikeluarkan setiap tahunnya saat haul (mencapai 1 tahun hijriyah) dan selama masih mencapai nishob. Dan besarannya adalah 2,5% atau 1/40.

Contoh perhitungan zakat perhiasan:

Kalung emas (murni) saat mencapai haul seberat 85 gram. Harga emas (murni) yang bukan kalung = Rp.500.000,-/gram x 85 gram = Rp.42.500.000,-. Namun harga emas setelah dibentuk menjadi kalung adalah Rp.60.000.000,-. Zakat kalung emas dihitung = 1/40 x Rp.60.000.000,- = Rp.1.500.000,-.[10]

Catatan:

Adapun perhiasan selain emas dan perak seperti batu safir dan mutiara, tidak ada zakat  berdasarkan kesepakaitan para ulama karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini. Dikecualikan jika perhiasan tadi dimaksudkan untuk diperdagangkan, maka akan terkena zakat jika telah memenuhi haul dan nishob sebagaimana akan diterangkan dalam zakat barang dagangan.[11]

Jika pada cincin, emas atau perak bercampur dengan perhiasan jenis lain seperti mutiara, kalau bisa dipisah tanpa merusak cincin tersebut, maka yang kena zakat adalah perhiasan emas. Namun jika tidak bisa dipisah kecuali dengan merusak cincin tersebut, maka diperkirakan saja berapa kadarnya dan dikeluarkan zakat dari emas tersebut.[12]

Zakat dari emas dan perak yang digunakan untuk tujuan haram

Emas dan perak ada yang digunakan untuk tujuan haram seperti untuk bejana (gelas, piring atau sendok). Sebagaimana dalam hadits Hudzaifah ibnul Yaman disebutkan,

لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي الْآخِرَةِ

“Jangan kalian minum dari bejana emas dan perak, dan jangan juga makan di piring mereka. Karena sesungguhnya barang-barang itu adalah untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat kelak.”[13]

Tujuan haram lainnya adalah emas untuk perhiasan laki-laki sebagaimana dalam hadits disebutkan,

عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا

“Dari Abu Musa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Emas dan sutra dihalalkan bagi para wanita dari ummatku, namun diharamkan bagi para pria’.”[14] Sedangkan perak dan logam lainnya bagi pria dibolehkan, yang terlarang hanyalah emas.

Karena, esensi haram pada bejana emas atau perak mencakup dua hal, yaitu (1) perbuatan yang menjerumus pada berlebih – lebihan dan kesombongan, serta (2) mematahkan hati orang – orang fakir. Oleh karena itu, keduanya (laki – laki dan perempuan) sama dalam hal pengharaman. Sementara untuk perhiasan emas bagi wanita, ini dikecualikan, karena kaum wanita wanita hanya boleh memakai perhiasan karena membutuhkannya, untuk berhias diri di hadapan suami. Tetapi, hal ini (yakni untuk berhias diri) tidak ada pada bejana – bejana dan sejenisnya, maka hukumnya tetap haram (untuk dipergunakan, jika terbuat dari emas dan perak).

Namun para ulama tidak berselisih pendapat, sampai pun ulama yang berpendapat tidak adanya zakat pada perhiasan, mereke menyatakan bahwa wajib adanya zakat pada emas dan perak yang digunakan untuk tujuan haram seperti sebagai bejana (bagi pria dan wanita) atau perhiasan emas bagi pria.[15]

Dan sebagai patokan dalam pengeluaran zakat emas atau perak di sini dilihat dari qimah-nya, yaitu nilai emas atau perak ketika telah dibentuk menjadi bejana atau cincin. Contoh: Seseorang memiliki gelas dari emas seberat 85 gram. Kalau emas murni (bukan dalam bentuk gelas)  berharga Rp.42.500.000,-. Namun jika emas tersebut sudah dibentuk menjadi gelas, harganya menjadi Rp.60.000.000,-. Perhitungan zakat adalah dilihat dari qimah-nya = Rp.60.000.000,- x 2,5% = Rp.1.500.000,-. Namun kelebihan harga antara emas murni 85 gram dan emas yang telah menjadi gelas diserahkan ke baitul maal.[16]

Cara pembayaran zakat emas dan perak

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:

Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.

Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. Sehingga yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau perak per gram saat dikeluarkannya zakat. Kalau emas atau peraknya berupa perhiasan, maka ditanyakan berapa harga ketika telah menjadi perhiasan. Jika ternyata telah memenuhi nishob dan haul, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5 % (1/40) dari berat emas atau perak yang dimiliki dan disetarakan dalam mata uang di negeri tersebut.

-bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] Dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam At Tahqiq. Al Baihaqi dan ulama lainnya menghukumi batilnya hadits ini. Lihat perkataan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 817.

[2] Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq (4: 82), Ibnu Abi Syaibah (3: 154), dan Ad Daruquthni (2: 109). Dengan sanad shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 24.

[3] Sebenarnya ada pendapat lain yang menyatakan bahwa zakat perhiasan dikeluarkan hanya sekali untuk selamanya. Pendapat lainnya juga menyatakan bahwa zakat perhiasan itu ada jika meminjamkannya pada orang lain. Dua pendapat ini tidak didukung oleh dalil yang kuat. Lihat Jaami’ Ahkamin Nisa’, 2: 144

[4] HR. Muslim no. 987

[5] HR. Abu Daud no. 1563 dan An Nasa’i no. 2479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[6] HR. Abu Daud no. 1565. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] HR. Ahmad 6: 461. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

[8] Lihat Jaami’ Ahkamin Nisa’, 2: 155-156.

[9] Lihat bahasan dalam Jaami’ Ahkamin Nisa’, 2: 143-168, Shahih Fiqh Sunnah, 2: 23-26 dan Syarhul Mumti’ 6: 274-295 terdapat tulisan berjudul “Risalah fii Zakatil Hulli”.

[10] Lihat penjelasan Syarhul Mumti’, 6: 137.

[11] Shahih Fiqh Sunnah, 2: 26.

[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 26-27.

[13] HR. Bukhari no. 5633 dan Muslim no. 2067.

[14] HR. An Nasai no. 5148 dan Ahmad 4: 392. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 27.

[16] Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Untuk emas atau perak yang digunakan untuk tujuan haram, maka yang jadi perhitungan zakat adalah qimah-nya (harga emas atau perak setelah dibentuk menjadi gelas atau bejana, pen). Perhitungan ini sama dengan zakat dari emas atau perak yang digunakan untuk tujuan halal. Akan tetapi kelebihan harga antara emas murni dan emas yang telah dibentuk diserahkan kepada Baitul Maal.” Beliau berkata pula sembari memberi contoh untuk zakat pada emas yang pemanfaatannya mubah, “Jika seorang wanita memiliki emas sebagai perhiasan yang telah mencapai 20 dinar, maka ada zakat. Dua puluh dinar ini jika disetarakan sama dengan 1000 riyal. Namun harga emas perhiasan tadi berharga 3000 riyal. Zakatnya dihitung dari qimah-nya (harga emas setelah dibentuk) yaitu 3000 riyal. Inilah yang berlaku pada emas yang telah dibentuk dan dimanfaatkan untuk tujuann mubah.” (Syarhul Mumti’, 6: 137).

Perlu dipahami pula bahwa hukum perhiasan bisa dibagi menjadi tiga macam:

1. Perhiasan yang mubah pemanfaatannya, seperti perhiasan emas bagi wanita. Jika perhiasan tersebut berdasarkan timbangan telah mencapai nishob, maka ada zakat.  Namun pengeluarannya dilihat dari qimah, yaitu harga emas setelah dibentuk.

2. Perhiasan yang haram pemanfaatannya, seperti perhiasan emas bagi pria. Sama hukumnya dengan perhiasan yang mubah pemanfaatannya.

3. Perhiasan untuk tujuan didagangkan, maka nishobnya dihitung berdasarkan qimah (harga perhiasan setelah dibentuk) dan pengeluaran zakatnya juga berdasarkan qimah. (Lihat Syarhul Mumti’, 6: 136-137)

Adapun emas batangan yang belum dibentuk jadi perhiasan, maka jika timbangannya telah mencapai nishob emas, maka ada zakat. Dan pengeluarannya zakatnya adalah bisa dengan emas atau bisa dengan uang seharga emas saat haul.

Sumber: https://muslim.or.id

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.