Nikmat Allah yang Hakiki
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Nikmat itu ada dua, nikmat muthlaqoh (mutlak) dan (nikmat) muqoyyadah (nisbi). Nikmat muthlaqoh adalah nikmat yang mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Nikmat inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk memintanya dalam doa kita, agar Allah menunjukkan kepada kita jalan orang-orang yang Allah karuniakan nikmat itu padanya.” [1]
Dari keterangan singkat Ibnul Qayyim rahimahullah di atas, maka jelaslah bagi kita tentang, ”Apakah nikmat Allah yang hakiki itu?”. Nikmat Allah yang hakiki itu tidak lain dan tidak bukan adalah ketika Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita sehingga kita dapat mengenal Islam dan Sunnah serta mengamalkannya. Kita dapat mengenal tauhid, kemudian mengamalkannya dan dapat membedakan dari lawannya, yaitu syirik, untuk menjauhinya. Kita dapat mengenal dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan dapat membedakan dan menjauhi lawannya, yaitu bid’ah. Kita pun dapat mengenal dan membedakan, mana yang termasuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan manakah yang maksiat?
Nikmat ini hanya Allah Ta’ala berikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Dengan nikmat inilah kita dapat meraih surga beserta segala kemewahan di dalamnya. Oleh karena itu, ketika shalat kita selalu berdoa,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
”Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” (QS. Al Fatihah [1]: 6-7).
Bersyukur atas Nikmat Ilmu dan Amal Shalih
Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk bergembira dan berbahagia dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah Dia berikan kepada manusia, berupa ilmu dan amal shalih. Allah juga mengabarkan bahwa keduanya itu lebih baik dari apa yang telah kita kumpulkan di dunia ini. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
”Katakanlah,’Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’”. (QS. Yunus [10]: 58)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah” dalam ayat di atas adalah Al Qur’an, yang merupakan nikmat dan karunia Allah yang paling besar serta keutamaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan “rahmat-Nya” adalah agama dan keimanan. Dan keduanya itu lebih baik dari apa yang kita kumpulkan berupa perhiasan dunia dan kenikmatannya. [2]
Di dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “karunia Allah” adalah Islam, sedangkan yang dimaksud dengan “rahmat-Nya” adalah Al-Qur’an. [3]
Al-Qur’an dan iman (Islam) ini tidak lain dan tidak bukan adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Iman dan Al Qur’an, keduanya adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Keduanya adalah petunjuk dan agama yang benar serta ilmu dan amal yang paling utama.” [4]
Ilmu dan amal shalih inilah yang merupakan sumber kebahagiaan hidup kita. Karena kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa, kebahagiaan ruh dan hati. Kebahagiaan itu tidak lain adalah kebahagiaan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Itulah kebahagiaan abadi dalam seluruh keadaan kita. Kebahagiaan ilmu-lah yang akan menemani seorang hamba dalam seluruh perjalanan hidupnya di tiga negeri, yaitu negeri dunia, negeri barzakh (alam kubur), dan negeri akhirat.
Jalan Menuju Kenikmatan
Kenikmatan yang hakiki sebagaimana penjelasan di atas tidaklah mungkin kita raih kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i (ilmu agama). Hanya dengan menuntut ilmu syar’i kita dapat mengenal Islam ini dengan benar kemudian dapat mengamalkannya. Tidak mungkin kita dapat mengenal mana yang tauhid dan mana yang syirik, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah atau mana yang taat dan mana yang maksiat kecuali dengan menuntut ilmu syar’i. Karena pada asalnya, manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl [16]: 78)
Tidak ada cara lain untuk mengangkat kebodohan ini dari dalam diri kita kecuali dengan bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Karena ilmu tidak akan pernah mendatangi kita, namun kita-lah yang harus mencari dan mendatanginya. Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, ”Tidak ada suatu amal pun yang sebanding dengan ilmu bagi orang yang benar niatnya”. Orang-orang pun bertanya,”Bagaimana niat yang benar itu?”. Imam Ahmad rahimahullah menjawab,”Seseorang berniat untuk mengangkat kebodohan dari dirinya dan dari selainnya.” [5]
Ketika Allah memberikan hidayah kepada kita untuk bersemangat dan konsisten dalam menuntut ilmu syar’i dengan rajin membaca buku agama atau kitab-kitab para ulama atau rajin menghadiri majelis-majelis ilmu (pengajian) di masjid-masjid atau pun di tempat lainnya, maka ini adalah tanda bahwa Allah benar-benar menghendaki kebaikan untuk kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” [6]
Nikmat Harta = Nikmat yang Nisbi
Dan sebaliknya, perlu kita ketahui bersama bahwa nikmat harta yang Allah Ta’ala berikan kepada kita bukanlah tanda bahwa Allah Ta’ala mencintai kita. Karena nikmat berupa harta tersebut juga Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hambaNya yang musyrik dan kafir. Bahkan bisa jadi orang-orang kafir itu lebih banyak hartanya daripada kita. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebut nikmat harta ini sebagai suatu kenikmatan yang sifatnya nisbi semata, tidak mutlak. Demikian pula nikmat-nikmat lain seperti badan yang sehat, kedudukan yang tinggi di dunia, banyaknya anak dan istri yang cantik. [7]
Bahkan bisa jadi kenikmatan berupa harta ini adalah bentuk istidroj (tipuan atau hukuman) dari Allah sehingga manusia semakin tersesat dan semakin menjauh dari jalan-Nya yang lurus. Atau bisa jadi merupakan bentuk ujian dari Allah kepada manusia.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ketika nikmat yang sifatnya nisbi merupakan suatu bentuk istidroj bagi orang kafir yang dapat menjerumuskannya ke dalam hukuman dan adzab, maka nikmat itu seolah-olah bukanlah suatu kenikmatan. Nikmat itu justru merupakan ujian sebagaimana istilah yang Allah berikan di dalam kitab-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) كَلَّا
’Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata,’Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata,’Tuhanku menghinakanku’. Sekali-kali tidak!’ (QS. Al Fajr [89]: 15-17)
Maksudnya, tidaklah setiap yang dimuliakan dan diberi nikmat oleh Allah di dunia berarti Allah benar-benar memberikan nikmat kepadanya. Bisa jadi hal itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah bagi manusia. Dan tidaklah setiap yang Allah sempitkan rizkinya, dengan memberinya rizki sekadar kebutuhannya dan tidak dilebihkan, berarti Allah menghinakannya. Tetapi Allah menguji hambaNya dengan kenikmatan sebagaimana Allah juga menguji hambaNya dengan kesulitan.” [8]
Oleh karena itu, marilah kita meng-introspeksi diri kita masing-masing. Setiap hari kita banyak berbuat maksiat dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, namun sedikit sekali kita melakukan amal shalih. Akan tetapi, Allah Ta’ala justru membuka lebar-lebar pintu rizki kita sehingga kita dapat hidup berkecukupan. Saudaraku, tidakkah kita khawatir bahwa ini adalah bentuk istidroj (tipuan) dari Allah Ta’ala sehingga kita semakin durhaka kepada-Nya dengan harta yang kita miliki? Atau tidakkah kita khawatir bahwa ini adalah ujian dari Allah kepada kita, sehingga Allah mengetahui mana di antara hamba-Nya yang bersyukur dan mana yang kufur? Atau apakah kita justru akan tertipu sehingga kita merasa aman dari adzab Allah dan terus-menerus berbuat maksiat karena menyangka bahwa Allah mencintai kita dengan dilancarkan rizkinya? Wallahul musta’an.
***
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
Catatan kaki:
[1] Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal 5.
[2] Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 367.
[3] Tafsir Jalalain, 1/275.
[4] Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarfuhu, hal. 29.
[5] Kitaabul ‘Ilmi, hal. 27.
[6] HR. Bukhari dan Muslim.
[7] Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal. 6.
[8] Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal 6.
Sumber: https://muslim.or.id/