Type Here to Get Search Results !

 


TAWASSUL DENGAN ORANG MATI, SYUBHAT, DAN BANTAHANNYA


Adapun dalil-dalil yang dijadikan alasan bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati, sebagaimana yang antum nukilkan di atas, inilah jawaban kami: 

1. Dalil Pertama

إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص 

Hadits pertama itu artinya: “Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari para penghuni kubur!” Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Jani, hal:41. 

Bantahan

Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H] 

Abdullah bin Dujain As-Sahli berkata mengomentari perkataan Syeikhul Islam di atas: “Ini adalah hadits palsu, disebutkan oleh Al-‘Ajluni di dalam Kasyful Khafa’ I/85, dan dia menyandarkan kepada Ibnu Kamal Basya; Ibnul Qayyim menjelaskan kelemahannya di dalam Ighatsatul Lahfan I/333, demikian pula Muhammad Nashib Ar-Rifa’I di dalam At-Tawashul Ila Haqiqati At-Tawasul Al-Masyru’ wal Mamnu’ , hal:252, Cet:III, 1399 H, dan lainnya.” 

Di sini kami perlu mengingatkan dengan sebuah hadits mutawatir tentang bahaya menyampaikan hadits-hadits palsu dan menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu: 

وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ 

“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”. [Hadits Mutawatir]. 

2. Adapun hadits kedua 

مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي (رواه الطبْرانِي و غيره من حديث عمر 

“Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku” [HR. Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu ‘anhu]) 

Baca juga: Ajaran Tasawuf merusak Aqidah Islam

Bantahan

Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi menyatakan tentang hadits ini yang ringkasnya sebagai berikut: “Hadits ini tidak shahih, bahkan hadits ini mungkar menurut para imam hadits, tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Para imam hadits telah menjelaskan kelemahan dan kemungkarannya, dan tidaklah berpegang dengan hadits semacam ini kecuali orang-orang yang lemah dalam bidang hadits. Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil (tentang masalah tawassul), apalagi hadits ini mungkar, dha’if sanadnya, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak ada seorangpun dari para hafizh termasyhur yang menshahihkannya, dan tidak ada seorangpun di antara para imam peneliti yang berpegang dengannya. Tetapi yang meriwayatkannya hanyalah semisal (imam) Daruquthni, yang mengumpulkan di dalam kitabnya, yaitu Gharaibus Sunan. Dia mengumpulkan banyak riwayat hadits-hadits dha’if, munkar, bahkan maudhu’ (palsu), dan dia menjelaskan cacat hadits, sebab kelemahannya, dan sebab pengingkarannya pada sebagian tempat. Atau yang meriwayatkan itu semisal Abu Ja’far Al-‘Uqaili dan Abu Ahmad Ibnu ‘Adi di dalam kitab keduanya tentang para perawi yang dha’if (lemah), dan keduanya juga menjelaskan kelemahan hadits dan kemungkarannya. Atau semisal Al-Baihaqi, yang juga menjelaskan kemungkarannya.” [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 21-22] 

Di dalam pertanyaan di atas (yang penanya menukil dari kitab An-Nurul Burhani, hal:17, penerbit: Toha Putra, Semarang) disebutkan hadits itu riwayat Thabarani dan lainnya, dari hadits Umar Radhiyallahu ‘anhu . Tetapi di dalam bantahan Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tentang hadits itu disebutkan bahwa bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh: 

a). Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, di dalam kitab Syu’abul Iman, dan beliau menyatakannya sebagai hadits munkar. 

b). Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili dari Ibnu Umar, di dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (kitab tentang para perawi dha’if), dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib (yaitu hanya diriwayatkan dengan satu jalan) dan tidak shahih. 

c). Al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah bin ‘Adi di dalam kitab Al-Kamil fii Ma’rifati Dhu’afa’il Muhadits-tsin wa ‘Ilalil Ahadits (kitab tentang para perawi dha’if dan cacat-cacat hadits) 

d). Seorang hafizh besar -tetapi belum diketahi namanya- dari Ibnu Umar, dan beliau menyatakannya sebagai hadits gharib. 

e). Al-Bazzar dari Ibnu Umar. Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar. Imam Nawawi berkata mengomentari hadits di atas: “Adapun hadits Ibnu Umar, maka diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi dengan dua sanad yang sangat dha’if”. Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. Demikian juga Syeikh Al-Albani ketika menjelaskan kelemahan hadits itu di dalam takhrij beliau terhadap hadits itu di dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 1128, tidak menyebutkan adanya riwayat Thabarani dari hadits Umar. [Lihat Ash-Sharimul Munki, hal: 43; Irwa’ul Ghalil no: 1128] 

Maka inilah ringkasan di antara perkataan para ulama setelah meriwayatkan hadits “Barangsiapa menziarahi kuburku, dia wajib mendapatkan syafa’atku” : Al-Baihaqi menyatakan: “Hadits mungkar”. Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr Al-‘Uqaili berkata: “Riwayat dalam masalah ini ada kelemahan”. Al-Hafizh Abul Hasan Al-Qath-than berkata: “Hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin Hilal adalah hadits yang tidak shahih.” Kelemahan hadits di atas karena ada para perawi lemah, yang bernama: Musa bin Hilal Al-‘Abdi, seorang perawi majhul (tidak dikenal), lalu dia meriwayatkan sendirian. Juga perawi lain bernama Abdullah bin Umar Al-‘Umari, terkenal buruk hafalan dan sangat lalai. [Lihat Ash-Sharimul Munki; Dha’if Al-Jami’ush Shaghir no:5607; Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/64; dan Irwa’ul Ghalil no:1127, 1128]. 

Kemudian di sini kami nukilkan perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang hadits- hadits ziarah qubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: “Dan hadits- hadits tentang ziarah ke qubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya dha’if, sedikitpun darinya tidak dijadikan sandaran di dalam agama. Oleh karena inilah hadits- hadits itu tidak diriwayatkan oleh para penyusun kitab-kitab Shahih dan Sunan, tetapi hanyalah diriwayatkan oleh para ulama’ yang meriwayatkan hadits- hadits dha’if, seperti Ad-Daruquthni, Al-Bazzar, dan lainnya”. [Al-Qaidah Al-Jalilah, hal:57; dinukil dari Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/123, penjelasan dari hadits no:47] 

3. Adapun hadits ketiga

مَنْ جَاءَنِي زَائِرًا لاَ يَعْمَلُ إِلاَّ زِيَارَتِي كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعُا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. صححه ابن السكن واطل ثُمَّ قال: وَ أَوَّلُ مَنْ تَشَفَّعَ بِهِ آدَم q لَمَّا خَرَجَ مِنَ الْجَنَّةِ وَ قَالَ لَهُ جَلَّ جَلاَلُهُ : لَوْ تَشَفَّعْتَ إِلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ فِي أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَِ الأَرْضِ لَشَفَعْنَاكَ. قَالَ القَاضِي عِيَاض: وَحَدِيْثُ الشَّفَاعَةِ بَلَغَ التَّوَاتُرَ 

"Barangsiapa datang menziarahi-ku, dia tidak melakukan suatu kebutuhan kecuali menziarahi-ku, maka wajib atasku menjadi syafi’ (orang yang memintakan syafa’at/kebaikan untuk orang lain) pada hari kiamat.” Dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan, dia membicarakan panjang lebar, lalu berkata: “Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga, dan Allah berfirman kepadanya: “Seandainya engkau minta syafa’at kepada Kami dengan Muhammad untuk penduduk langit-langit dan bumi, niscaya Kami terima syafa’atnya untukmu”. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”. 

Bantahan

a). Hadits ini diriwayatkan oleh Thabarani dari Ibnu Umar, dan matannya (isinya) tidak ada hubungannya dengan tawassul! 

b). Demikian juga hadits ini “sanadnya lemah, matannya mungkar”. Di dalam sanadnya ada perawi bernama Maslamah bin Salim Al-Juhani, dia perawi majhul (tidak dikenal), meriwayatkan hadits munkar dan palsu, dia juga meriwayatkan hadits ini sendirian. (Lihat Ash-Sharimul Munki, hal:49-50) 

Dengan demikian, maka penshahihan hadits ini oleh Ibnus Sakan tidak dapat diterima, jika memang benar berita bahwa beliau menshahihkan hadits ini. 

c). Adapun perkataan Ibnu as-Sakan: “Dan orang yang pertama kali meminta syafa’at dengan beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah Adam Alaihissallam ketika keluar dari sorga…”, maka perkataannya itu tidak dapat diterima, karena hadits yang menyatakan tawasulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad tersebut adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 25. Karena hadits ini begitu terkenal pada sebagian kaum muslimin, maka kami akan menyebutkan artinya dan penjelasan para ulama tentang hadits ini. Hadits itu berbunyi: “Ketika Adam berbuat kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbi! Aku mohon kepadaMu –dengan hak Muhammad- agar Engkau mengampuniku”. Allah berfirman: “Bagaimana Engkau mengetahui Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya.” Adam menjawab: “Wahai Rabbi! ketika Engkau telah menciptakanku dengan tanganMu, dan Engkau telah meniupkan ruh (ciptaan) Mu kepadaku, aku mengangkat kepalaku, lalu aku melihat tulisan di kaki-kaki ‘Arsy: Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak merangkaikan kepada namaMu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai. Maka Allah berfirman: “Engkau benar wahai Adam, sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepadaKu dengan haknya, sesungguhnya Aku telah mengampunimu. Dan seandainya bukan karena Muhammad niscaya Aku tidak menciptakanmu. ‘ [Hadits Palsu, riwayat Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak II/615; Ibnu ‘Asakir dari Al-Hakim II/323/2; Al-Baihaqi di dalam Dalailun NubuwwahV/488, dari jalan Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, dari Isma’il Ibnu Maslamah, dari Abdurahman bin Zaid bin Aslam, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam] Al-Hakim berkata: “Isnadnya shahih…”, tetapi perkataannya dibantah oleh Adz-Dzahabi: “Tidak shahih, bahkan palsu. Abdurahman adalah perawi lemah, Abdullah bin Muslim Al-Fihri, aku tidak tahu siapakah dia sesungguhnya.” Tetapi di dalam kitab Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabi berkata tentang hadits ini yang terdapat Abdullah bin Muslim Al-Fihri : “Khabar (hadits) batil, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah”. Al-Baihaqi berkata: “Abdurahman bin Zaid bin Aslam sendirian meriwayatkan hadits ini, padahal dia seorang yang dha’if.” Ibnu Katsir menyetujuinya di dalam Tarikhnya II/323. Demikian juga Ibnu Hajar menyetujui pernyatan Adz-Dzahabi bahwa hadits itu batil. Hadits itu juga diriwayatkan oleh Thabarani, tetapi juga lewat perawi Abdurahman bin Zaid bin Aslam. Dalam sanad Thabarani juga terdapat perawi majhul, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawaid VIII/253. 

d). Adapun perkataan Al-Qadhi ‘Iyadh: “Hadits syafa’at mencapai (derajat) mutawatir”, ini perlu diperiksa lagi, hadits syafa’at yang mana yang beliau kehendaki. Jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at bagi kaum mukminin yang masuk neraka sehingga mereka masuk sorga, maka itu benar. Atau yang dimaksud adalah hadits syafa’at al-uzhma yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu memang hadits shahih. Tetapi jika yang dimaksud adalah hadits syafa’at Nabi Adam dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita semua telah tahu kelemahannya! 

4. Adapun hadits pertama yang antum sebutkan, itu bukanlah do’a Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sholat hajat, tetapi doa yang diajarkan Rasulullah kepada seorang buta yang mendatangi beliau. Lafazh riwayatnya sebagaimana di bawah ini: 

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ ادْعُ الهَت أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهُ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ 

“Dari Utsman bin Hunaif, bahwa seorang lelaki buta mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki tadi berkata: “Doakanlah kepadaNya”. Maka beliau memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan membaguskan wudhu’nya, (pada riwayat lain: lalu shalat dua raka’at), lalu berdoa dengan doa ini: “Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadapMu dengan NabiMu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku menghadap Rabbku denganmu (Nabi Muhammad) di dalam kebutuhanku ini, agar dipenuhi untukku. Wahai Allah, oleh karena itu terimalah permintaan beliau (Nabi Muhammad) untukku. (pada riwayat lain: maka lelaki tadi lalu melaksanakan, kemudian dia sembuh).” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi no:3578, Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no:659, Ibnu Majah, Thabarani di dalam Al-Kabir, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hal: 75-76. Perkataan di dalam doa lelaki buta tersebut: “aku menghadap-Mu dengan NabiMu”, bisa memiliki beberapa kemungkinan makna: 

  1. Aku menghadapMu dengan –dzat/jasad- NabiMu 
  2. Aku menghadapMu dengan –jah (kedudukan)- NabiMu 
  3. Aku menghadapMu dengan –doa- NabiMu

Oleh karena itu harus ditentukan makna yang dimaksudkan perkataan tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Orang-orang Sufi berdalil dengan hadits ini tentang bolehnya tawassul dengan dzat dan jah (kedudukan) Nabi, mereka tidak menyebutkan dalil kecuali kisah Utsman bin Hunaif, tambahan pada sebagian riwayat pada hadits di atas. Tetapi tambahan kisah ini dha’if sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal: 92-96. Sedangkan Salafus Shalih menjadikan hadits ini sebagai dalil tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup, dengan dalil-dalil sebagai berikut: 

  • Bahwa orang buta itu mendatangi Nabi, agar beliau mendoakannya, dengan dalil perkataannya di dalam hadits di atas: “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku”. 
  • Bahwa Nabi menjanjikan doa untuknya, namun beliau juga menasehatkan untuk bersabar, yang itu lebih utama. Yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika engkau mau aku akan berdoa, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” 
  • Orang buta itu tetap meminta Nabi untuk mendoakannya, yaitu dengan perkataannya: “Doakanlah kepadaNya”. Sedangkan beliau pasti memenuhi janjinya, beliau telah menjanjikan untuk mendoakannya. d). Bahwa para ulama menyebutkan hadits ini sebagai mu’jizat beliau dan doa beliau yang mustajab. e). Bahwa tawassul dengan doa Nabi adalah tawassul yang disyari’atkan, sesuai dengan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunah serta perbuatan para sahabat. Maka seandainya tawassul dengan dzat atau jah Nabi disyari’atkan, tentulah para sahabat tidak akan meninggalkannya. Dan lain-lain. Lihat Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, hal:391-392, tahqiq: Abdullah bin Dajin As-Sahli; At-Tawassul karya Al-Albani, hal: 76-83. 

5. Hadits kedua yang antum sebutkan, artinya adalah: “Aku mendengar shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang mencintaiku, dan aku mengenal mereka. Sedangkan shalawat selain mereka diperlihatkan kepadaku.” Itu adalah jawaban beliau, ketika ditanya: “Bagaimana pendapat anda terhadap shalawat yang dilakukan oleh orang-orang yang bershalawat yang tidak ada di hadapanmu, dan orang-orang yang akan datang setelah anda. Bagaimana keadaan keduanya di sisi anda?” 

Bantahan 

  1. Hadits itu tidak disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan bagaimana derajatnya, sehingga tidak dapat diterima sebagai hujjah! 
  2. Seandainya hadits itu shahih, maka di dalamnya tidak ada hujjah yang membolehkan tawassul dengan dzat atau jah Nabi n . 

6. Kisah Bilal yang antum sebutkan, yang disebutkan dishahihkan oleh Imam Malik, bahwa Bilal bin Harits Radhiyallahu ‘anhu ziarah ke kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di situ beliau berdo’a: 

يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فإِنّهُمْ هَلَكُوْا 

“Wahai Rasulullah, mohonlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka binasa”. Kemudian Bilal tidur dan bermimpi didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata: “Hai Bilal, Insya Allah umatku akan diberikan hujan” ketika Bilal terjaga, hujan sudah turun.

Bantahan:

Kisah di atas perlu dicek kebenarannya, benarkah Imam Malik menshahihkan nya? Kisah seperti itu disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari II/495-496 sebagai berikut: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih As-Saman dari Malik Ad-Dar –dia adalah penjaga (baitul mal) Umar- , dia berkata: “Orang-orang tertimpa paceklik di zaman Umar, kemudian datanglan seorang laki-laki ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa (terkena paceklik)”. Maka lelaki tadi bermimpi, didatangi seseorang dan dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada Umar…”Al-Hadits. Dan Saif telah meriwayatkan di dalam Al-Futuh, bahwa orang yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin Al-Harits Al-Muzni, salah seorang sahabat”. Tetapi kisah ini dibantah oleh Syeikh Al-Albani di dalam At-Tawassul, hal : 131-134, secara ringkas sebagai berikut:

  1. Tidak dapat diterima keshahihan riwayat ini, karena Malik Ad-Dar adalah perawi yang tidak dikenal (sifat) ‘adalah dan kecermatannya, sehingga riwayat ini dha’if. Sedangkan perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abi Shalih”, tidak berarti riwayat itu shahih seluruh sanadnya, tetapi artinya sanadnya shahih sampai Abi Shalih. 
  2. Hal itu bertentangan dengan apa yang telah pasti di dalam agama, yaitu bahwa disukainya shalat istisqa’ untuk mohon hujan dari langit, yang ini disebutkan d idalam banyak hadits dan dipegangi oleh banyak ulama. 
  3. Seandainya riwayatnya shahih, juga tidak dapat diterima, karena orang yang meminta itu tidak diketahui namanya. Adapun disebutnya nama Bilal pada riwayat Saif (Ibnu Umar At-Tamimi) tidak berharga sedikitpun, karena Saif ini disepakati dha’ifnya oleh para ahli hadits. 
  4. Riwayat ini tidaklah ada di dalamnya tawassul dengan dzat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hanyalah permintaan doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan kepada umatnya. Tawassul dengan ini berbeda, walaupun minta dari Nabi setelah wafatnya juga tidak boleh.” Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan: “Riwayat ini -seandainya shahih sebagaimana dikatakan oleh pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar)- bukanlah hujjah atas bolehnya minta hujan (kepada Allah) lewat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafat beliau. Karena orang yang meminta itu majhul (tidak dikenal), dan karena perbuatan para sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap agama. Tidak ada seorangpun dari mereka mendatangi kubur nabi –atau kubur lainnya- untuk minta hujan. Bahkan ketika terjadi kekeringan, Umar tidak meminta lewat Nabi (setelah wafat beliau), tetapi memohon hujan kepada Allah lewat perantaraan Abbas, dan tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari Umar, maka hal itu menunjukkan bahwa itu adalah haq. Sedangkan yang dilakukan oleh orang tak dikenal itu merupakan kemungkaran, dan sarana menuju kemusyrikan, bahkan sebagian ulama menghukuminya termasuk jenis-jenis kemusyrikan. Adapun di dalam riwayat Saif yang menyatakan bahwa nama orang yang meminta itu adalah Bilal bin Al-Harits, maka tentang keshahihannya perlu dikoreksi, dan pensyarah (Al-Hafizh Ibnu Hajar) tidak menyebutkan sanad Saif tersebut. Dan seandainya shahih-pun tidak dapat menjadi hujjah, karena perbuatan para pembesar sahabat menyelisihinya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui terhadap Rasulullah n dan agama beliau daripada selain mereka. Wallahu A’lam”. (Fote note Fathul Bari II/495)

Adapun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِي. رواه أبو هريرة 

"Barangsiapa melihatku di dalam mimpi, maka sesungguhnya dia telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku”. 

Ini memang hadits shahih, tetapi tidak berarti bahwa setiap orang yang mengaku bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia benar-benar bertemu dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa jadi dia berdusta, atau bisa jadi setan mendatanginya, bukan sebagaimana wujud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu setan mengaku bahwa dia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan orang yang bermimpi itu tidak pernah berjumpa dengan Nabi, juga tidak pernah mempelajari Sunnahnya, bagaimana dia dapat mengetahui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?! 

7. Adapun kisah pembuatan jendela di atas kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi tersebut.

Bantahan kami adalah sebagai berikut (Istighatsah, hal:402-404): 

a). Riwayat ini dha’if, karena beberapa perkara: – Di dalam sanadnya ada perawi dha’if bernama Sa’id bin Zaid Al-Azdi. – Juga ada perawi dha’if lainnya bernama Amr bin Malik An-Nukri. – Ada perawi bernama Abu Nu’man, dia berubah hafalannya karena tua, dan tidak diketahui apakah Ad-Darimi mendengar darinya sebelum berubah hafalan atau sesudahnya, sehingga riwayat ini tertolak. – Kisah itu hanyalah dari ‘Aisyah, tidak dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya shahih bukan merupakan hujjah, karena bisa jadi hanyalah ijtihad (pendapat) beliau semata.

b). Syeikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun apa yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha , yaitu pembuatan lobang (pada atap rumah) dari kubur Nabi ke langit agar supaya hujan turun, maka itu tidak shahih, sanadnya tidak sah. Termasuk yang menjelaskan kedustaannya adalah bahwa di zaman kehidupan Aisyah Radhiyallahu ‘anha, rumah itu tidaklah ada lobangnya, bahkan tetap sebagaimana di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian beratap, sebagiannya terbuka, dan sinar matahari turun padanya”. 

c). Di dalam tarikh (sejarah) Islam tidak dikenal tahun yang disebut dengan ‘amul fatqi (tahun fatqi). 

d). Seandainya riwayat ini shahih, maka di dalamnya tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan orang yang telah mati! Tetapi yang terjadi hanyalah membukakan atap untuk kubur, agar rahmat Allah turun padanya. 

8. Riwayat seorang Arab yang mendatangi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berdoa sambil berdiri, arti doanya adalah: “Wahai Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk memerdekakan budak, maka inilah habibMu (kecintaanMu/Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan saya budakMu (hambaMu), maka merdekakanlah (selamatkanlah) aku dari neraka di atas kubur habibMu. Maka ada seseorang yang berseru tanpa kelihatan orangnya: “Wahai engkau, engkau minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- hanya untukmu sendiri, kenapa engkau tidak minta kemerdekaan (keselamatan) -dari neraka- untuk seluruh kaum muslimin. Pergilah! Sesungguhnya Aku telah memerdekakanmu.”

Bantahan:

a). Riwayat itu bukan ayat Al-Qur’an, bukan hadits Nabi yang shahih, dan bukan ijma’ , maka tidak dapat diterima sebagai hujjah. Karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berhujjah dengan hikayat-hikayat! Apalagi yang tidak jelas kebenarannya! 

b). Kisah itu belum tentu shahih, bagaimana kita berhujjah dengannya?! 

c). Seandainya kisah itu shahih, maka orang yang berseru –yang tanpa kelihatan orangnya- itu tidak diketahui siapa dia, mungkin sekali dia adalah setan yang berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Kalau bukan setan, siapa dia? Apa dalilnya? Hal ini adalah masalah ghaib, yang kita tidak dapat berhujjah kecuali dengan Al-Kitab dab As-Sunnah.

d). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Hikayat-hikayat ini yang terjadi pada orang-orang yang minta tolong kepada sebagian manusia yang telah mati atau orang-orang yang tidak ada di hadapannya, dan memang mereka mendapatkan kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan oleh sebagian orang yang memiliki sebagian ilmu agama, melakukan ibadah dan zuhd, tetapi mereka tidak memiliki hadits yang diriwayatkan, dan tidak memiliki nukilan dari sahabat, tabi’i, dan tidak juga perkataan imam yang diridhai (ulama yang terpercaya-Red).

Oleh karena inilah ketika orang-orang yang memiliki keutamaan di antara mereka diingatkan, merekapun sadar dan mereka mengetahui bahwa yang mereka lakukan itu bukanlah dari agama Islam, bahkan itu adalah menyerupai para penyembah berhala”. (Al-Istighatsah, hal:375)

9. Riwayat lain:

  •  Riwayat Imam Syafi’i sering sekali mendatangi kubur Imam Abi Hanifah, lalu memberi salam lalu berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Abi Hanifah dalam usaha terkabulnya do’a.
  • Demikian juga Imam Ahmad bin Hambal berdo’a bertawassulkan Imam Syafi’i, sampai-sampai anaknya yang bernama Abdullah bin Ahmad bin Hambal menjadi heran, dan Imam berkata kepadanya: “Hai Abdullah, Imam Syafi’i bagi manusia seperti matahari, bagi badan seperti azimat yang bisa menjadi sebab keselamatan, dan seperti obat yang menjadi sebab kesembuhan”.
  • Dan Imam Syafi’i ketika diberitahu bahwa penduduk Magrib apabila mempunyai hajat, mereka berdo’a kepada Allah dengan bertawassulkan Imam Malik, beliau tidak mengingkari bahkan membenarkan”.

Bantahan:

  • Benarkah kisah-kisah tersebut dari para imam itu? Tidak cukup kisah itu tertulis di kitab-kitab, lalu diambil dan dipercayai! Walaupun seandainya kitab-kitab yang memuat kisah-kisah tersebut ditulis oleh orang yang terpercaya, namun dari siapa dia mengambil riwayat itu?
Kebenaran kisah-kisah itu harus dibuktikan dengan dua hal,
  1. Pertama: adanya sanad, dan
  2. Kedua: sanadnyapun harus shahih!
  • Seandainya kisah-kisah itu benar, maka juga tidak dapat diterima hujjah dalam masalah agama. Karena hujjah dalam agama adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’. 

10. Arti hadits Abu Hurairah itu adalah: “Abu Razin berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalanku melewati (kubur) orang-orang yang telah mati. Adakah perkataan bagiku, yang akan aku katakan jika aku melewati mereka? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Kamu bagi kami adalah orang-orang yang telah terdahulu (meninggal), sedangkan kami bagi kamu adalah orang-orang yang mengikuti (akan meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu”. Abu Razin bertanya: “Apakah mereka mendengar?” Beliau menjawab: “Mereka mendengar, tetapi tidak mampu menjawab –yaitu jawaban yang dapat didengar oleh orang yang hidup-. Wahai Abu Razin, tidakkah engkau suka para malaikat sejumlah mereka menjawab (salam)mu?

Bantahan

  1. Hadits ini munkar, sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 5225 
  2. Seandainya shahihpun, di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, tetapi bukan berarti boleh dijadikan sarana tawassul atau tempat meminta! 

11. Hadits ‘Aisyah itu diriwayatkan imam Muslim, sebagai berikut: 

قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ قُولِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ 

“Aku (‘Aisyah) berkata: “Apa yang akan aku katakan kepada mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Katakanlah: Semoga keselamatan atas kamu wahai penduduk kubur, dari kalangan kaum muslimin dan mukminin. Dan mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang telah terdahulu (meninggal) dari kami dan orang-orang yang akhir (belum meninggal), dan insya Allah, kami akan menyusul kamu” 

Bantahan:

  1. Hadits ini shahih, tetapi di dalamnya tidak ada dalil tentang tawassul dengan orang yang telah mati, paling tinggi hanyalah sebagai dalil bahwa orang yang mati itu mendengar, sebagaimana di atas.
  2. Tentang masalah orang yang mati itu mendengar atau tidak adalah perkara yang diperselisihkan para ulama, tetapi yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa pada asalnya orang mati tidak mendengar. [Lihat Majalah As-Sunnah Edisi 10/Th.IV/1421-2000, hal:30-38, rubrik:Aqidah]
  3. Kalau ada yang mengatakan: “Ketika berziarah apa gunanya memberi salam kepada orang-orang yang telah mati, jika mereka tidak mendengar?”. Maka jawabnya adalah: Bahwa hal itu merupakan doa untuk mereka, dan merupakan perkara ta’abbudiyyah, yaitu perkara ibadah yang kita harus taat, walaupun tidak memahami hikmahnya. Sebagaimana jika kita shalat menjadi makmum, maka di akhir shalat kita mengucapkan salam dengan pelan dan salam itu kita niatkan untuk para malaikat pencatat amalan, untuk imam, dan untuk seluruh makmum, walaupun mereka tidak mendengar. Dan hal itu umum di dalam bahasa Arab, tidak tersembunyi bagi orang-orang yang tahu. [Lihat Ayatul Bayinat fii Adami Sama’il Amwat, hal:95, karya Al-Alusi, tahqiq Syeikh Al-Albani]
  4. Seandainya hadits itu menunjukkan orang mati dapat mendengar, tetapi di dalamnya juga tidak ada dalil bolehnya tawassul dengan mereka. Wallahu A’lam. 

Demikianlah jawaban yang kami sampaikan mudah-mudahan dapat menghilangkan syubhat-syubhat yang ada pada penanya khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya. 

KESIMPULAN

Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:  

  1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyari’atkan dan ada yang terlarang. 
  2. Tawassul yang disyari’atkan, yaitu: bertawassul dengan: a) Nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. b) iman dan amal shalih orang yang berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang telah mati, dengan dzat atau kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya. 
  3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan: a) Dalil itu lemah. b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru. Wallahu A’lam bish Shawab. 

Sumber: https://almanhaj.or.id/