Berikut adalah bagian kedua lanjutan dari pembahasan tentang bimbingan mengurus jenazah. Semoga bermanfaat.
MENGIRINGI JENAZAH
1. Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu kifayah, karena termasuk hak seorang muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ (وَفِي رِوَايَةٍيَ جِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ) خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ (رواه البخاري ومسلم)
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, (yaitu): menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangannya dan mendo’akan orang yang bersin. [HR Bukhari dan Muslim].
2. Keutamaan mengiringi jenazah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ (رواه مسلم)
Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,”.kemudian Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab,”Seperti dua gunung yang besar.” [HR Muslim].
3. Disunnahkan untuk bersegera ketika berjalan mengangkat jenazah. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَرَّبْتُمُوهَا إِلَى الْخَيْرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ شَرًّا تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ (رواه مسلم)
Bersegaralah kalian ketika membawa jenazah. Apabila dia orang shalih, maka kalian akan segera mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila bukan orang shalih, maka kalian segera meletakkan kejelekan dari punggung-punggung kalian. [HR Muslim].
Al Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar ketika mengangkat mayit adalah berjalan sedang-sedang saja (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, Red.). Hadits-hadits yang menjelaskan akan bersegera, maksudnya tidak terlalu cepat ketika berjalan. Dan hadits-hadits yang menjelaskan untuk sederhana dalam berjalan, maksudnya bukan berjalan sangat lambat. Maka (makna) hadits-hadits tersebut digabungkan dengan mengambil tengah-tengah, antara ifrath dan tafrith. [Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyyah, Syaikh Al Albani, hlm. 1/ 454].
4. Dianjurkan untuk mengangkat jenazah dari seluruh sudut keranda dengan sifat tarbi’, yakni mengangkat dari empat sudut keranda, berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً فَلْيَحْمِلْ بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ شَاءَ فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ فَلْيَدَعْ (رواه ابن ماجه)
Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan. [HR Ibnu Majah].
Sementara itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Menurutku, yang rajih dalam masalah ini adalah adanya keluasan dalam mengangkat jenazah. Maka hendaknya dikerjakan mana yang lebih mudah dan tidak memberatkan dirinya. Terkadang sifat tarbi’ sulit untuk dikerjakan ketika banyak sekali orang yang mengiringi jenazah. Jadi akan menyulitkan orang yang mengangkat dan orang yang lain.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’, hlm. 447]
5. Mengiringi dan mengangkat jenazah adalah khusus bagi kaum lelaki. Tidak boleh bagi wanita untuk mengiringi jenazah, karena hadits Ummu Athiyah menyatakan:
نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا (رواه البخاري)
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi tidak ditekankan kepada kami. [HR Bukhari].
6. Diperbolehkan berjalan di belakang jenazah atau di depannya. Keduanya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang afdhal berjalan di belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عُوْدُوْا الْمَرِيْضَ وَاتَّبِعُوْا الْجَنَائِزَ أخرجه الهيثمي
Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah. [Dikeluarkan oleh Al Haitsami]. Dan hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali Radhiyallahu ‘anhu :
الْمَشْيُ خَلْفَهَا أَفْضَلُ مِنْ الْمَشْيِ أَمَامَهَا كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ فَذًّا )أخرجه ابن أبي شيبة)
Berjalan di belakang jenazah lebih afdhal daripada berjalan di belakangnya seperti keutamaan seorang lelaki shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah].
Sedangkan orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الرَّاكِبُ يَسِيرُ خَلْفَ الْجَنَازَةِ (رواه أبو داود)
Seorang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. [HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
Yang lebih utama adalah berjalan daripada naik kendaraan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiringi jenazah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi kendaraan, namun Beliau tidak mau mengendarainya. Ketika pulang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawari kendaraan lagi, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima dan mengendarainya. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, Beliau menjawab:
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ كَانَتْ تَمْشِي فَلَمْ أَكُنْ لِأَرْكَبَ وَهُمْ يَمْشُونَ فَلَمَّا ذَهَبُوا رَكِبْتُ (رواه أبو داود)
Sesungguhnya malaikat berjalan, maka aku tidak mau mengendarai sedangkan malaikat berjalan. Kemudian ketika mereka pergi, aku mau mengendarainya. [HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]. Lihat pembahasan ini dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 73-75.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan mayit, Beliau mengikutinya sampai kuburan, berjalan kaki di depannya. Hal ini merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Disunnahkan bagi orang yang mengiringinya untuk berjalan di belakangnya. Apabila berjalan kaki, maka hendaknya mendekat kepada jenazah, di belakangnya atau di depannya atau di sebelah kanan dan kirinya. Dahulu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersegera ketika mengangkat jenazah, sehingga mereka dahulu sungguh berjalan dengan cepat. Adapun perbuatan manusia pada zaman sekarang dengan melangkah setapak demi setapak merupakan bid’ah yang dibenci lagi menyelisihi syari’at, dan menyerupai Ahli Kitab dari Yahudi.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/498)].
7. Tidak diperbolehkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi Sunnah. Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak dianjurkan untuk mengeraskan suara ketika mengiringi jenazah, baik dengan bacaan atau dzikir atau yang lain. Hal ini merupakan madzhab imam yang empat. Dan inilah yang kami ketahui dari salaf, dari para sahabat dan tabi’in. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (24/293,294)].
8. Diharamkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang mungkar, seperti memukul kendang, alat musik yang mencerminkan kesedihan, meratap dan yang lainnya. Demikian pula apabila wanita memukul rebana ketika jenazah diberangkatkan ke kuburan.
9. Apabila pada acara mengiringi jenazah terdapat kemungkaran, sedangkan dia tidak mampu untuk menghilangkan seluruhnya, maka dia tetap mengikuti jenazah tersebut, demikian menurut pendapat yang benar. Pendapat ini merupakan satu diantara dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan dia mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuannya. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyah Minal Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hlm. 132].
10. Tidak mengapa mengiringi jenazah dengan naik mobil atau kendaraan yang lain apabila kuburan letaknya jauh. Dianjurkan bagi orang yang mengiringi jenazah untuk khusyu’ menghayati kematian dan memikirkan apa yang akan dialami oleh si mayit dan tidak membicarakan masalah duniawi.
11. Disunnahkan untuk tidak duduk hingga jenazah diletakkan di tanah. Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اتَّبَعْتُمْ جَنَازَةً فَلَا تَجْلِسُوا حَتَّى تُوضَعَ (رواه البخاري ومسلم)
Apabila kalian mengikuti jenazah, maka janganlah duduk hingga diletakkan. [HR Bukhari dan Muslim].
12. Disunnahkan bagi orang yang telah selesai mengangkat jenazah untuk wudhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ (رواه أبو داود والترمذي)
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu’. [HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya)].
H. MENGUBUR MAYAT
1. Mengangkat dan mengubur mayat merupakan suatu penghormatan kepadanya. Dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Allah berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَآءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah telah Kami jadikan tanah sebagai pelindung bagi kalian. Dalam keadaan hidup dan mati. [Al Mursalat:25, 26]
ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
Kemudian Allah mematikan dan menguburkannya. [‘Abasa:21]
2.Yang menguburkan mayat adalah kaum lelaki, meskipun mayat tersebut wanita. Hal ini karena beberapa hal: – Bahwasanya hal ini dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada zaman sekarang. – Karena kaum lelaki lebih kuat untuk mengerjakannya. – Jika hal ini dikerjakan oleh kaum wanita, maka akan menyebabkan terbukanya aurat wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya. Dalam masalah ini, wali dari mayit merupakan orang yang paling berhak menguburkannya, berdasarkan keumuman firman Allah:
وَأُوْلُوا اْلأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ
Dan orang yang memiliki hubungan kerabat sebagian diantara mereka lebih berhak daripada yang lain. [Al Anfal:75].
3. Disunnahkan untuk mengubur mayat di kuburan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengubur para sahabatnya di kuburan baqi’. Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun dari salaf bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengubur seseorang di selain kuburan, kecuali sesuatu yang telah mutawatir bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikubur di kamarnya. Karena hal ini merupakan kekhususan Beliau. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجِبُ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ فَدَفَنُوْهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ (رواه الترمذي)
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat berselisih pendapat dalam masalah tempat untuk mengubur Beliau. Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Saya mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang aku belum lupa. Beliau bersabda,’Tidaklah Allah mewafatkan seorang Nabi, kecuali di tempat tersebut wajib untuk dikubur’.” Kemudian mereka mengubur Beliau di tempat tidurnya. [HR At Tirmidzi].
Orang yang mati syahid dikubur di tempat dia meninggal dunia. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengembalikan syuhada’ Uhud supaya dikubur di tempat mereka terbunuh. Padahal sebagian syuhada’ sudah dibawa pulang ke Madinah.
4. Disunnahkan untuk memperluas dan mendalamkan kuburan.
Karena diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dikeluhkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang mati terluka pada perang Uhud. Kemudian Beliau bersabda:
احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا وَأَحْسِنُوا … (رواه الترمذي)
Galilah dan luaskanlah, dan baguskanlah kuburan mereka. [HR At Tirmidzi]. Karena yang demikian lebih tertutup bagi mayit dan lebih terjaga dari binatang buas, dan baunya tidak akan mengganggu orang yang hidup.
5. Diperbolehkan duduk di dekat kuburan ketika mayat sedang dikubur, untuk mengingatkan orang yang hadir terhadap kematian.
6. Diperbolehkan untuk mengubur mayat di setiap waktu, dan makruh hukumnya mengubur mayat pada tiga waktu yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan dalam shalat jenazah, kecuali jika karena adanya darurat. Dan diperbolehkan mengubur mayat pada malam hari. Karena hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di dalam Al Bukhari dan Muslim. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Telah mati seseorang yang dahulu Nabi menjenguknya. Mati pada malam hari, kemudian para sahabat menguburnya pada malam itu juga. Ketika pagi, Beliau bertanya, ’Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?’ Kemudian Beliau mendatangi kuburnya, dan Beliau shalat jenazah di kuburan.” Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka mengubur pada malam hari. [Lihat fatwa Lajnah Da’imah di dalam Fatawa Islamiyyah (2/34)].
7.Disunnahkan bagi orang yang memasukkan mayat untuk berdo’a. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي قُبُوْرِهِمْ فَقُوْلُوْا بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْلِ اللهِ (رواه الحاكم)
Apabila kalian meletakkan jenazah di kuburnya, maka ucapkanlah:
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْل اللهِ
(dengan nama Allah dan di atas agama Muhammad). [HR Al Hakim].
8. Diletakkan mayat di kuburnya di atas bagian tubuhnya yang kanan, sedangkan wajahnya menghadap ke arah kiblat. Hal ini yang dikerjakan oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga sekarang, dan yang dilakukan di seluruh kuburan. [Lihat Ahkamul Janaiz, 151].
9. Disunnahkan bagi orang yang ada di kuburan untuk melempar tanah tiga kali dengan kedua tangannya setelah selesai menutup lahad. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ ثُمَّ أَتَى قَبْرَ الْمَيِّتِ فَحَثَى عَلَيْهِ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ ثَلَاثًا (رواه ابن ماجه)
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menyalatkan jenazah, kemudian Beliau melemparkan tanah dari arah kepalanya tiga kali. [HR Ibnu Majah].
10. Setelah mengubur mayit, disunnahkan beberapa hal: – Untuk meninggikan kuburan sedikit dari tanah sekedar satu jengkal, dan tidak diratakan dengan tanah supaya berbeda dengan yang lain, sehingga bisa terjaga dan tidak dihinakan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
أن النبي صلى الله عليه وسلم ألحد له لحدا ونصب عليه اللبن نصبا ورفع قبره من الأرض نحوا من شبر (رواه ابن حبان والبيهقي)
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali liang lahad dan menancapkan batu bata dan meninggikan kuburan sekadar satu jengkal. [HR Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani]. – Hendaknya kuburan dijadikan membulat bagian permukaannya (seperi punuk onta). Karena di dalam hadits Sufyan At Tammar disebutkan:
رَأَيْتُ قَبْرَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَقَبْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ) مَسَنَّمًا (رواه البخاري)
Aku melihat kubur Nabi (dan kubur Abu Bakar dan Umar) membulat. [HR Bukhari]. – Agar diberi suatu tanda dengan batu atau yang lainnya, supaya dikuburkan di dekatnya orang yang mati dari keluarganya. Karena ketika Utsman bin Madh’un meninggal dunia, beliau meminta untuk diambilkan sebuah batu, kemudian beliau meletakkannya di dekat kepalanya. Dan beliau bersabda:
أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي (رواه أبو داود)
Supaya aku mengetahui kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di dekatnya orang yang mati dari keluargaku. [HR Abu Dawud]. – Tidak diperbolehkan mentalqin mayit setelah dikubur, sebagaimana talqin yang dikenal pada zaman sekarang, yaitu dengan menuntun syahadat la ilah illallah. Akan tetapi, hendaklah berdiri di dekat kubur kemudian berdo’a. Dan orang yang hadir agar memintakan ampunan bagi mayit. Di dalam hadits Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ (رواه أبو داود)
Dahulu, apabila Nabi selesai dari mengubur mayit, Beliau berdiri di dekatnya dan bersabda: “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakan supaya dia diberikan keteguhan, karena sekarang ini dia sedang ditanya”. [HR Abu Dawud]. Setiap orang berdo’a sendiri-sendiri tanpa adanya komando (berjamaah). [Lihat Ahkamul Janaiz (153-156), Ash Shalat, Dr. Abdullah Ath Thayyar, hlm. 289].
11. Diperbolehkan untuk mengeluarkan (membongkar kembali) mayat dari dalam kuburnya untuk tujuan yang benar, seperti kalau dia dikubur sebelum dimandikan dan dikafani.
12. Bagi seseorang tidak disunnahkan untuk menggali kuburnya sebelum dia mati. Karena Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengerjakan perbuatan seperti ini. Dan seseorang tidak mengetahui kapan dan dimana dia akan mati. Apabila maksudnya untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kematian, maka hal ini dengan mengamalkan amal shalih. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, hlm. 134].
13. Tidak diperbolehkan menulis sesuatu di atas kuburan. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهَا وَأَنْ تُوطَأَ(رواه الترمذي)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang di atas kuburan diberi warna dan ditulis sesuatu. Dan Beliau melarang di atasnya dibangun dan diinjak. [HR At Tirmidzi].
14. Tidak boleh mengubur orang kafir di kuburan kaum muslimin dan sebaliknya.
15. Tidak boleh menambahkan sesuatu di atas kuburan, baik dengan tanah atau bangunan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang marfu’, beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ… (رواه النسائي)
Rasulullah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan atau ditambahkan kepadanya tanah. [HR An Nasa-i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
16. Dibenci berjalan di atas kuburan dengan mengenakan alas kaki tanpa ada udzur. Namun apabila ada udzur, seperti tempatnya sangat panas atau terdapat banyak duri, maka tidak mengapa berjalan dengan mengenakan sandal. Didalam hadits Basyir bin Nahik (bekas budak Rasulullah), ia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي الْقُبُورِ عَلَيْهِ نَعْلَانِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا (رواه أبو داود)
Ketika aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di kuburan dengan mengenakan sandal. Kemudian Beliau bersabda: “Wahai, orang yang mengenakan sandal! Celakalah engkau! Lepaskanlah dua sandalmu!” Kemudian lelaki tersebut melihat sandalnya. ketika dia melihat Rasulullah melepas sandalnya, maka dia melepas dan melempar kedua sandalnya. [HR Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
17. Diharamkan memasang lampu di kuburan. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ (رواه أبو داود و الترمذي)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang ziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan orang yang memasang lampu padanya. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
18. Tidak diperbolehkan buang hajat di kuburan.
19. Diharamkan mengubur satu mayat di atas kuburan orang lain, kecuali diperkirakan kuburan yang pertama sudah menjadi tanah.
Dalilnya, ialah apa yang dikerjakan kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga zaman sekarang, bahwa seseorang di kuburnya sendirian. Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata: “Tidak ada bedanya ketika mengubur dalam satu waktu, yaitu dimasukkan dua kuburan secara bersamaan atau hari ini dikubur seseorang kemudian besok dikubur orang lain,” kemudian beliau berkata: “Kecuali dalam keadaan darurat, seperti banyaknya orang yang mati, kemudian orang yang menguburnya sedikit. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa apabila dimasukkan dua atau tiga orang dalam satu kuburan.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/461)].
20. Disunnahkan untuk mengumpulkan kerabat yang mati di satu pekuburan, dan haram hukumnya mengumpulkan beberapa mayat dalam satu liang lahad, kecuali ada hal darurat.
21. Diharamkan menyembelih dan makan dari sembelihan tersebut di kuburan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Haram hukumnya menyembelih dan berqurban di kuburan, meskipun si mayat telah bernadzar, atau dia telah memberikan syarat; maka syaratnya batil dan dianggap tidak sah. Karena hadits Anas, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah:
لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ (رواه أبو داود)
Tidak ada sembelihan untuk si mayat dalam agama Islam. [HR Abu Dawud]. Dan beliau berkata: “Mengeluarkan shadaqah ketika mengiringi jenazah merupakan perbuatan yang dibenci, karena menyerupai menyembelih di kuburan.” [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, 135].
22. Tidak boleh membaca Al Qur’an di kuburan. Karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah.
23. Tidak boleh meletakkan pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Karena hal ini termasuk bid’ah dan berprasangka yang jelek kepada mayit. Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan pelepah kurma di atas dua kuburan ketika Beliau mengetahui bahwa keduanya sedang disiksa. Adapun kita tidak mengetahui hal tersebut.
24. Tidak boleh meletakkan kain hijau di atas keranda yang tertuliskan ayat kursi. Karena hal ini termasuk meremehkan terhadap ayat-ayat Allah. Hal ini tidak pernah ada di dalam Sunnah dan tidak pernah dikerjakan oleh seorang pun di antara para sahabat dan tabi’in. Seandainya perbuatan seperti ini baik, pasti mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Terlebih lagi apabila terdapat keyakinan yang salah bahwa perbuatan ini akan bermanfaat bagi si mayit. Padahal yang benar, tidak akan bermanfaat sama sekali bagi si mayit. [Lihat Ash Shalat, hlm. 293].
I. TAKZIYAH KEPADA KELUARGA MAYIT
Harus kita ketahui, kematian adalah taqdir dan ketentuan dari Allah. Dia berfirman:
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibahpun yang menimpa seseorang, kecuali dengan ijin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepadaNya, niscaya Allah akan memberi petunjuk hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [At Taghabun:11].
Apabila seseorang yakin ketika dia tertimpa musibah, kehilangan suami atau anak dan kerabatnya, bahwa semua itu dengan ijin dari Allah, maka Allah akan memberikan taufik kepada hatinya untuk rela terhadap taqdirNya. Adapun yang dimaksud dengan takziyah, yaitu menghibur keluarga mayit dengan menganjurkan supaya mereka bersabar terhadap taqdir Allah dan mengharapkan pahala dariNya. Waktu takziyah, dimulai ketika terjadinya kematian, baik sebelum dan setelah mayat dikubur, sehingga hilang dan terlupakan kesedihan mereka.
1. Takziyah kepada keluarga mayit adalah Sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه ابن ماجه)
Tidak ada seorang mukmin yang memberikan takziyah kepada saudaranya dalam suatu musibah, kecuali Allah akan memberikan kepadanya dari pakaian kehormatan pada hari kiamat. [HR Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani]
2. Sebaik-baik ucapan takziyah adalah takziyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Zainab, ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa bayinya meninggal dunia. Beliau bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ (رواه البخاري)
Sesungguhnya milik Allah untuk mengambilnya dan milikNya untuk diberikan, dan segala sesuatu disisiNya dengan ketentuan yang sudah ditetapkan waktunya. Maka, hendaknya engkau sabar dan ihtisab. [HR Bukhari].
3. Disunnahkan untuk membuat makanan bagi keluarga mayit, karena mereka sibuk dengan musibah yang menimpanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal itu, ketika Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mati syahid. Beliau bersabda:
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ (رواه أبو داود)
Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang perkara yang menyibukkan mereka. [HR Abu Dawud, dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
Keluarga mayit tidak dibenarkan membuat makanan untuk orang yang datang, karena hal ini akan menambah atas musibah mereka dan menyerupai perbuatan orang jahiliyah. Yakni termasuk niyahah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, beliau berkata:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Kami dahulu menganggap berkumpul di tempat keluarga mayit, dan mereka membuatkan makanan kepada orang yang datang termasuk niyahah. [HR Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
4. Tidak boleh sengaja berkumpul untuk takziyah di tempat manapun juga, baik di rumah atau di tempat yang lain, dan tidak boleh juga mengumumkannya, karena tidak ada dalilnya. Dan sebagian Salaf menganggap, bahwa hal ini termasuk niyahah (meratap).
5. Tidak diperbolehkan membaca Al Qur’an ketika takziyah, terlebih menyewa orang-orang untuk membaca Al Qur’an dan berkumpul dengan suatu hidangan makanan sebagaimana banyak terjadi di kalangan kaum muslimin.
6. Ketika takziyah, tidak boleh mengkhususkan pakaian dengan satu warna tertentu, seperti warna hitam. Karena hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Salaf.
7. Bagi orang yang sedih, tidak boleh merobek bajunya atau menampar pipinya atau berteriak dengan ucapan jahiliyah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ (رواه مسلم)
Tidak termasuk dari golongan kami orang yang memukul pipinya atau merobek bajunya atau menyeru dengan seruan jahiliyah. (HR Muslim). Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata:
أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنْ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ (رواه البخاري)
Saya berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang yang mengangkat suaranya ketika tertimpa musibah dan orang yang mencukur rambutnya dan orang yang merobek bajunya. [HR Bukhari].
8. Diperbolehkan menangisi mayit. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika Ibrahim, putra Beliau meninggal dunia. Beliau bersabda:
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَكِنْ لَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ (رواه البخاري ومسلم)
Air mata mengalir dan hati menjadi sedih, akan tetapi kita tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Allah. Dan kami sungguh sedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim. [HR Bukhari dan Muslim]. Selama tidak adanya nadab (yakni menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan huruf nadab, yaitu “ya”) dan niyahah (yakni meratapi mayit dengan mengeraskan suara dengan satu alunan). [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (489/493)].
9. Para ulama telah sepakat haramnya niyahah, yaitu dengan menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan mengeraskan suaranya. Karena dalam hal ini terdapat perbuatan jahiliyah, serta tidak menerima terhadap taqdir dan ketentuan Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ (رواه مسلم)
Orang yang meratap apabila dia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat, sedangkan pada tubuhnya pakaian dari ter dan baju besi dari kudis. [HR Muslim]. Dan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ (رواه مسلم)
Seorang mayit akan disiksa di kuburnya dengan sebab niyahah yang ditujukan kepadanya. [HR Muslim]. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ حَفْصَةَ بَكَتْ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ مَهْلًا يَا بُنَيَّةُ أَلَمْ تَعْلَمِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ (رواه مسلم)
Sesungguhnya Hafshah menangisi kematian Umar.” Beliau berkata,”Sabarlah, wahai saudariku. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya’.” [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Menurut pendapat yang benar, bahwa mayit akan tersiksa karena tangisan yang ditujukan kepadanya sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits yang shahih.” [Lihat Majmu’ Fatawa (24/369,370)].
10. Tidak diperbolehkan mencela orang yang sudah meninggal dunia. Dari ‘Aisyah, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا (رواه البخاري)
Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati, karena mereka mendapatkan dari apa yang telah mereka kerjakan. [HR Bukhari].
11. Disunnahkan untuk ziarah kubur dengan tujuan untuk mengambil pelajaran dan mengingatkan kematian, meskipun ziarah kubur orang yang mati dalam keadaan kafir. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ (رواه مسلم)
Nabi ziarah kubur ibunya. Beliau menangis dan membuat orang-orang yang di sampingnya menangis. Beliau bersabda,”Aku telah minta ijin dari Rabb-ku untuk memohonkan ampunan untuk ibuku, akan tetapi Allah tidak mengijinkanku. Kemudian aku minta ijin untuk ziarah ke kuburannya, maka Allah mengijinkan kepadaku. Ziarahlah kalian ke kuburan, karena akan mengingatkan kalian kepada kematian. [HR Muslim].
12. Disunnahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk mengucapkan do’a. Diantara do’a yang masyru’, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha :
السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ (رواه مسلم)
Semoga keselamatan bagi kalian yang tinggal di sini dari kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan orang yang kemudian. Dan kami, insya Allah akan menyusul kalian. [HR Muslim].
Dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Dahulu Rasulullah Radhiyallahu ‘anhu, mengajarkan kepada para sahabat, apabila mereka keluar ke kuburan, maka satu diantara mereka berdo’a:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ( بِكُمْ ) لَلَاحِقُونَ ( أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ ) أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ (رواه مسلم)
Semoga keselamatan bagi kalian yang ada di sini dari kaum mukminin dan muslimin. Dan kami, insya Allah, sungguh akan menyusul kalian. Kalian lebih dahulu daripada kami dan kami mengikuti kalian. Saya minta kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan kalian. [HR Muslim].
13. Tidak boleh bagi wanita untuk ihdad (berkabung) lebih dari tiga hari, kecuali apabila ditinggal mati suaminya; maka dia ihdad selama empat bulan sepuluh hari. Kecuali apabila dia hamil, maka selesai masa ihdadnya ketika dia melahirkan kandungannya. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Telah menjadi kebiasaan di beberapa negara Islam pada zaman sekarang adanya perintah untuk ihdad (berkabung) karena meninggalnya seorang raja atau pemimpin selama tiga hari atau kurang atau lebih, disertai dengan liburnya kantor-kantor pemerintahan dan pengibaran bendera. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menyelisihi syari’at Islam dan tasyabbuh dengan musuh-musuh Islam. Padahal telah datang hadits-hadits yang shahih yang melarang dan memperingatkan tentang ihdad, kecuali bagi seorang istri, (dia) diperbolehkan ihdad ketika ditinggal mati suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana boleh bagi wanita untuk ihdad tidak lebih dari tiga hari, apabila ada kerabatnya yang mati. Adapun selain itu, maka dilarang. Dan tidak ada tuntunannya di dalam syari’at yang sempurna ini dalil yang membolehkan ihdad terhadap seorang raja atau pemimpin atau orang lain. Padahal telah meninggal dunia pada zaman Nabi putra Beliau, (yaitu) Ibrahim dan tiga orang putrinya, dan Beliau tidak pernah ihdad sama sekali. Dan pada waktu itu, terbunuh panglima-panglima perang Mu’tah, Beliau pun tidak ihdad. Kemudian Beliau wafat, sedangkan Beliau makhluk yang paling mulia. Kematian Beliau merupakan musibah yang paling besar. Akan tetapi, tidak seorangpun diantara sahabat yang melakukan ihdad….” [Lihat Majmu Al Fatawa (1/415)].
14. Ada beberapa amalan orang hidup yang akan bermanfaat bagi mayit. Diantaranya: – Do’a seorang muslim untuknya. – Apabila walinya mengqadha’ puasa nadzarnya. – Apabila walinya atau orang lain melunasi hutangnya. – Amal yang dikerjakan oleh anaknya yang shalih, maka kedua orang tuanya akan memperoleh pahala yang serupa. – Amalan shalih dan shadaqah jariyah Demikianlah beberapa hal yang dimudahkan Allah untuk kami kumpulkan. Semoga bermanfaat bagi saya pribadi dan para penuntut ilmu, serta kaum muslimin pada umumnya. Wa billahit taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondan
Sumber: https://almanhaj.or.id/