Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita kembali lanjutkan pembahasan kaidah seputar jual beli. Kita bahas kaidah ketiga belas.
Kaidah ketiga belas, terkait unsur jahalah (ketidak-jelasan) dalam transaksi jual beli buah
Kaidah menyatakan,
الجهالة إنما تفيد الفساد إذا كانت مفضية إلى النزاع المشكل
Jahalah yang menyebabkan jual belinya batal adalah jahalah yang menyebabkan terjadinya sengketa.
Keterangan:
Setiap sengketa dalam masalah dunia merendahkan kredibilitas manusia. Karena itulah, syariat mencegah setiap celah terjadinya sengketa antar-sesama muslim. Terutama sengketa dalam transaksi jual beli.
Karena itu, kaidah ini menjadi salah satu syarat penting dalam masalah kejelasan objek transaksi.
Sebagai contoh, dalam jual beli buah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah sebelum nampak kelayakannya untuk dipetik. Seperti yang pernah kita bahas di: Kaidah Dalam Fiqh Jual Beli (Bagian 11) – Jual Beli Ijon
Arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dalam rangka menutup terjadilah celah sengketa antara pemilik pohon dengan pembeli.
Kemudian, dalam satu hadis yang panjang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sederet transaksi. Karena semuanya mengandung jahalah (ketidak jelasan).
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالْمُعَاوَمَةِ وَالْمُخَابَرَةِ وَعَنِ الثُّنْيَا وَرَخَّصَ فِى الْعَرَايَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi muhaqalah, muzabanah, muawamah, mukhabarah, dan ats-Tsunya. Namun beliau memberi keringanan untuk transaksi Araya. (HR. Muslim 3994, Nasai 4651 dan yang lainnya)
Keterangan:
Muhaqalah: transaksi muzara’ah (patungan antara pemilik lahan pertanian dengan penanam), dengan pembagian tertntu yang bukan berdasarkan prosentase. Misalnya petak sawah sebelah kanan milik tuan tanah. Sementara yang sebelah kiri milik petani. Atau panen tahun ini milik petani, panen tahun depan milik tuan tanah.
Muzabanah: tukar menukar antara kurma kering dengan kurma basah dengan sama-sama ditakar. Atau anggur kering dengan anggur basah dengan sama-sama ditakar.
Mu’awamah: jual beli buah kurma atau pohon lainnya, uangnya sekarang tapi diambil dua tahun atau 3 tahun berikutnya. Sehingga sama sekali belum kelihatan buahnya.
Mukhabarah: patungan antara pemilik lahan pertanian dengan penanam, dengan aturan, hasil panen tertentu milik petani, sementara hasil panen jenis lainnya milik tuan tanah.
At-Tsunya: pengecualian. Artinya, penjual meminta adanya pengecualian ketika menjual barangnya.
Ulama berbeda pendapat mengenai makna pengecualian dalam jual beli,
[1] Menyatakan kecuali sebagian.
Misalnya, penjual mengatakan, ‘Saya jual motor ini seharga 7 juta, kecuali sebagian.’
Sementara dia tidak memberi tahu, sebagian apa yang dimaksud.
Dan jika sebagian itu dinyatakan, hukumnya dibolehkan. Sebagaimana dinyatakan dalam riwayat lain, dari Jabir bin Abdillah,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الثُّنْيَا إِلاَّ أَنْ تُعْلَمَ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ats-Tsunya kecuali jika diberi tahukan. (HR. Nasai 3896 dan dishahihkan al-Albani).
Kata an-Nawawi, pengecualian yang sama-sama diketahui, dibolehkan dengan sepakat ulama. (Syarh Shahih Muslim, 10/195).
[2] Mengajukan syarat ketika jual beli yang mengurangi sebagian hak pembeli.
Misalnya, penjual mensyaratkan agar barang itu tidak dijual ke orang lain atau tidak dikasihkan orang lain.
[3] Jual beli dengan perjanjian, jika penjual berhasil mengembalikan uang maka pembeli wajib mengembalikan barang. Atau istilah lainnyaba’i al-Wafa’.
(Mu’jam al-Musthalahat al-Fiqhiyah, 1/405).
Namun, melihat konteks hadis, yang lebih tepat adalah makna pertama. Sebagaimana keterangan an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Dan jika perhatikan, semua transaksi di atas, sangat besar unsur ghararnya. Mentransaksikan peluang. Antara terjadi dan tidak terjadi. Antara untung, atau rugi sama sekali. Inilah yang dimaksud unsur ‘jahalah’ (ketidak jelasan) yang berpeluang menimbulkan sengketa.
Ada beberapa bentuk ketidak jelasan dalam akad. Diantaranya,
- Ketidak jelasan pada objek akad, termasuk ketidak jelasan pada upah untuk akad ijarah.
- Ketidak jelasan sesuatu yang diserah terimakan dalam akad muawadhat. Seperti tidak jelas harga dalam akad jual beli.
- Ketidak jelasan masa serah terima objek akad, untuk akad yang ikatannya dibatasi masa tertentu. Seperti ketidak jelasan masa untuk akad sewa.
- Ketidak jelasan sarana penjamin akad yang disyaratkan adanya jaminan. Misalnya dalam akad gadai, barang yang digadaikan harus jelas. (al-Madkhal al-Fiqhi, 2/689)
Secara sederhana, keseimbangan dalam transaksi mu’awadhat, dapat kita rumuskan dengan,
- Iwadh (yang diserahkan) = Muawwadh (yang diterima)
Misalnya, seseorang menyerahkan menyerahka uang, kemudian dia mendapatkan kupon undian berhadiah. Bisa menang, bisa kalah.
Atau nilai iwadh-nya jelas, namun muawwadh-nya ada bagian yang tidak jelas. Dalam kondisi ini ditimbang, seberapa besar nilai ketidak jelasannya. Jika nilai ketidak jelasan itu besar, ini dilarang.
Namun jika nilai ketidak jelasan itu kecil, dan tidak mungkin untuk dihindari, dibolehkan.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk jual beli araya. Jual beli araya atau ariyah adalah jual beli barter antara kurma kering di tangan dengan kurma basah di tangkai pohon. Atau barter antara anggur kering (zabib) dengan anggur basah.
Transaksi semacam ini, bisa dipastikan ada selisih. Sementara barter antar-bahan makanan yang sama, hukumnya riba kecuali ukurannya sama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan selama tidak mencapai 5 wasaq. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَخَّصَ فِى بَيْعِ الْعَرَايَا فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ أَوْ فِى خَمْسَةِ أَوْسُقٍ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk jual beli araya di bawah 5 wasaq. (HR. Abu Daud 3366).
Jika 1 wasaq = 60 sha’, dan 1 sha’ = 2,7 kg, berarti 5 wasaq = 810 kg.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan, karena ketidak jelasan ukuran senilai itu masih bisa ditoleransi. Dan ini menjadi kebutuhan para sahabat ketika itu, sehingga mereka bisa melakukan transaksi barter araya dengan prediksi tanpa ada sengketa.
Syaikh Ahmad Ibrahim mengatakan,
الجهالة ليست بمانعة لذاتها؛ بل لكونها مفضية الى النزاع
Ketidak jelasan, tidak dilarang secara dzatnya, namun karena keberadaannya bisa menimbulkan sengketa. (al-Muamalat as-Syar’iyah al-Maliyah, hlm. 163).
Contoh penerapan kaidah:
[1] Transaksi makan di warung
Ketika seseorang beli di warung, dia mengambil nasi, lauk, sayur, dan kelengkapan lainnya. Dia baru melapor kasir setelah dimakan. Sementara dia hanya menyebutkan jenis sayur dan lauk yang diambil. Tanpa menghitung berapa gram nasinnya, berapa gram sayurnya, dst.
Ketidak jelasan ukuran semacam ini, tidak sampai menimbulkan sengketa, dan itu dibolehkan. (Jamharatul Qawaid Fiqhiyah lil Muamalah Maliyah, 1/254).
[2] Tidak jelas teknik pembagian keuntungan dalam syirkah (kongsi)
Ketidak jelasan cara pembagian hasil dalam syirkah, sangat rentan dengan sengketa. Terlebih ketika terjadi kerugian. Karena itu, ketidak jelasan di sini, bisa mempengaruhi keabsahan akad.
Dalam Ensiklopedi Kaidah Fiqh Muamalah, dinyatakan,
يشترط بيان الوجه الذي سيقسم فيه الربح بين الشركاء؛ وإذا بقي مبهما ومجهولا تكون الشركة فاسدة
Disyaratkan adanya penjelasan metode pembagian keuntungan antara anggota syirkah. Jika masih ada yang belum jelas dan tidak dipahami, maka kerja sama syirkah menjadi batal. (Jamharatul Qawaid Fiqhiyah lil Muamalah Maliyah, 1/253).
[3] Ketidak jelasan jarak ketika naik taksi dengan argo
Ketika seseorang mencari alamat dengan taksi, bisa dipastikan jaraknya tidak jelas dan nominal yang harus dibayar oleh penumpang juga tidak jelas. Bisa sangat jauh, bisa juga dekat.
Namun ketidak jelasan di sini tidak akan menimbulkan sengketa. Karena keduanya telah sepakat, biaya yang dikeluarkan penumpang, sesuai dengan jarak berapa lama dia berada di dalam taksi.
(Jamharatul Qawaid Fiqhiyah lil Muamalah Maliyah, 1/254).
Demikian, Allahu a’lam.
Ditulisoleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)
Sumber: https://pengusahamuslim.com/