Type Here to Get Search Results !

 


IMAM SYAFI'I MEYAKINI ALLAH ADA DI ATAS ARSY


Meyakini Bahwa Allah Berada di Atas Arsy
Imam Syafi’i (wafat 204 H) dan guru senior beliau Imam Malik (wafat 179 H), meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy.

Begitu pula Imam Abu Hanifah (wafat 150 H), Imam Ahmad (wafat 241 H), dan para Imam Ahlussunnah lainnya, semoga Allah merahmati mereka semua.


Inilah fakta sejarah yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun yang jujur dan objektif.

Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan:

“Makna firman Allah dalam kitab-Nya:

مَنْ فِي السَّمَاءِ

“…Dzat yang berada di atas langit…” (Qs. Al Mulk: 16).

di atas Arsy, sebagaimana Dia firmankan:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah yang Maha Pengasih itu berada di atas Arsy” (QS. Thaha: 5).

Maka, Allah itu di atas Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan sendiri, tanpa perlu mempersoalkan bagaimananya.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syuro: 11) [lihat: Manaqibusy Syafi’i lil Baihaqi 1/397-398].

Perhatikanlah bagaimana Imam Syafi’i rahimahullah mengumpulkan dua ayat di atas. Itu menunjukkan bahwa dua ayat itu saling melengkapi, dan tidak boleh dipertentangkan.

Kesimpulan dari dua ayat itu menurut Imam Syafi’i rahimahullah adalah, bahwa “Allah tidak sama dengan makhluk dalam keberadaan-Nya di atas Arsy.”

Inilah pemahaman yang harus kita teladani, bukan malah mempertentangkan dua ayat tersebut, dan mengatakan: karena Allah tidak sama dengan makhluk, maka Allah tidak berada di atas Arsy.

Inilah yang menjadikan Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan: “tanpa mempersoalkan bagaimananya”, karena mempersoalkan hal itu akan menggiring orang untuk mempertentangkan dua ayat tersebut, lalu menafikan keberadaan Allah di atas Arsy-Nya.

Ini pula yang menjadikan Imam Malik rahimahullah membid’ahkan pertanyaan tentang ‘bagaimana’ keberadaan Allah di atas Arsy-Nya [Lihat: Al-Asma was Sifat lil Baihaqi 2/360].

Karena memang hal itu tidak pernah dipersoalkan oleh para sahabat radhiallahu anhum, dan kita juga tidak akan tahu jawabannya, bagaimanapun kita mengusahakannya, karena itu adalah hal gaib, dan kita tidak boleh mengatakan satu huruf pun tentang itu, kecuali dari sumber yang maksum.

Contoh mudahnya: kita tahu ada kurma di surga dan kita juga tahu bahwa nikmat di surga tidak sama dengan nikmat di dunia. Bolehkah kita mempersoalkan ‘bagaimana’ hakikat kurma itu? Lalu setelah itu, kita mentakwilnya atau menafikannya? Tentu tidak boleh.

Kita akan tetap mengatakan, bahwa ada kurma di surga, walaupun kita tidak tahu bagaimana detilnya, tapi yang jelas kurma itu jauh lebih baik dan lebih enak dari kurma yang ada di dunia.

Seperti inilah para ulama salaf memahami semua kabar gaib, baik tentang Allah jalla wa’ala, malaikat, alam kubur, timbangan amal, shirat, surga, neraka, dan hal-hal gaib lainnya, karena mereka-reka hal itu tanpa sumber yang maksum akan menjatuhkan seseorang pada kesalahan.

Imam Abu Hanifah rahimahullah juga meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy, beliau mengatakan:

من لم يقر أن الله على العرش قد كفر لأن الله تعالى يقول {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} وعرشه فوق سبع سموات


“Orang yang tidak mengikrarkan bahwa Allah di atas Arsy, maka dia telah kufur, karena Allah ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Allah yang maha pengasih itu berada di atas Arsy’ (Qs. Thaha: 5), dan Arsy-Nya itu berada di atas langit yang tujuh” [Lihat: Kitabul ‘Arsy lidz Dzahabi 2/178].

Lihatlah, bagaimana kerasnya pengingkaran beliau dalam masalah ini, karena beliau hidup di zaman yang tergolong masih awal dalam sejarah Islam, beliau lahir tahun 80 H, masih ada beberapa sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang hidup ketika itu, sehingga kesesatan dalam bidang akidah ketika itu masih tergolong sedikit. Wajar bila ‘mengingkari keberadaan Allah di atas Arsy’ dianggap kufur saat itu.

Adapun Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, maka beliau juga sama dengan imam-imam ahlussunnah sebelumnya dalam meyakini keberadaan Allah di atas Arsy-Nya.

Dalam bantahannya kepada kelompok Jahmiyah, beliau mengatakan:

 أنكرتم أن يكون الله على العرش وقد قال تعالى الرحمن على العرش استوى


“Mengapa kalian mengingkari bahwa Allah berada di atas Arsy? Padahal Dia sendiri telah mengatakan: ‘Allah yang maha pengasih itu berada di atas Arsy’ (Qs. Thaha: 5)” [lihat: Arradd alaz Zanadiqah, hal 287].

Beliau juga dengan tegas mengatakan:

وهو على العرش وقد أحاط علمه بما دون العرش ولا يخلو من علم الله مكان


“Dia berada di atas Arsy, tapi pengetahuan-Nya meliputi apapun yang ada di bawah Arsy, tidak ada satupun tempat yang luput dari pengetahuan-Nya” [Lihat: Arrad alaz Zanadiqah, hal 293].

Bahkan, inilah akidah seluruh ulama Ahlussunnah di masa awal-awal Islam, Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (wafat 463 H) mengatakan:

أهل السنة مجموعون على الإقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة والإيمان بها وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لا يكيفون شيئا من ذلك ولا يحدون فيه صفة محصورة وأما أهل البدع والجهمية والمعتزلة كلها والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل شيئا منها على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أثبتها نافون للمعبود والحق فيما قاله القائلون بما نطق به كتاب الله وسنة رسوله وهم أئمة الجماعة والحمد لله

“Ahlussunnah telah ber-ijma’ (sepakat), dalam mengikrarkan dan mengimani semua sifat-sifat Allah yang datang dalam Alquran dan Assunnah.

Mereka memaknai sifat-sifat itu dengan makna hakiki, bukan dengan makna majazi, dan mereka tidak mem-bagaimana-kan satupun dari sifat-sifat itu. Mereka juga tidak membatasi Allah dengan sifat yang terbatas.

Adapun para ahli bid’ah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij: mereka semua mengingkari sifat-sifat itu, mereka tidak memaknainya dengan makna hakiki, bahkan beranggapan bahwa orang yang mengikrarkan sifat-sifat itu sebagai ‘musyabbih’ (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebaliknya, mereka di mata orang-orang yang menetapkan sifat-sifat itu adalah orang-orang yang meniadakan sesembahannya.

Dan kebenaran ada di pihak mereka yang mengatakan dengan apa yang dikatakan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, merekalah para imam (ahlussunnah wal) jama’ah, walhamdulillah”. [Lihat: Attamhid libni Abdil Barr 7/145].

Jadi, jika Anda merasa asing di zaman akhir ini, karena berpegang teguh dengan akidah ini, maka tidak perlu bersedih, karena sebenarnya Anda telah bersama seluruh ulama ahlussunnah wal jama’ah di zaman awal Islam.

Tulisan Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny -hafizhahullah- dengan sedikit editan dari redaksi muslim.or.id.

Sumber: https://muslim.or.id/