Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab al-‘Aqidah al-Wasithiyah:
Termasuk beriman kepada Allah dan kepada kitab-kitab Allah ialah, beriman bahwa al-Qur`an Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya, Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya. Tidak boleh melepaskan kata-kata bahwa al-Qur`an adalah hikayat dari kalam Allah atau ungkapan tentang kalam Allah. Bahkan apabila manusia membacanya atau menuliskannya dalam mushaf-mushaf, al-Qur`an tetap tidak keluar dengan demikian dari keadaannya sebagai kalam Allah yang sebenarnya. Sesungguhnya suatu perkataan hanya akan disandarkan secara hakiki kepada yang sejak semula mengatakannya, dan tidak disandarkan kepada orang yang mengatakannya sebagai penyampai. Al-Qur`an adalah kalam Allah; baik huruf-hurufnya maupun makna-maknanya. Kalam Allah bukan hanya huruf-huruf saja tanpa makna, dan bukan pula makna-makna saja tanpu huruf.[1]
Senada dengan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu perkataan Imam Thahawi rahimahullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya al-Qur`an adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya. Allah telah turunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Kaum Mukminin mempercayai al Qur`an benar-benar demikian keadaannya, dan mereka meyakini bahwa al-Qur`an kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya; ia bukan makhluk seperti perkataan manusia. Maka barangsiapa yang mendengar al-Qur`an, lalu ia beranggapan bahwa al-Qur`an adalah perkataan manusia, maka ia kafir; Allah mencelanya, mencacatnya dan mengancamnya dengan Neraka Saqar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ هَٰذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ
“(Orang kafir itu berkata): “Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia“. [al-Muddatstsir/74:25]. Kita memahami dan kita meyakini bahwa, al-Qur’an itu adalah perkataan Pencipta manusia, tidak serupa dengan perkataan manusia.[2]
Pensyarah kitab al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, yaitu Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah, terhadap apa yang dikatakan Imam Thahawi rahimahullah, ia mengatakan: “Ini merupakan kaidah dan pokok yang mulia dan agung di antara pokok-pokok agama. Banyak kelompok manusia yang tersesat dalam masalah ini. Apa yang dikatakan oleh Imam Thahawi rahimahullah ini merupakan kebenaran yang telah dibuktikan oleh dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah bagi siapa saja yang merenungkannya. Juga telah disaksikan oleh fitrah-fitrah sehat, fitrah yang belum mengalami perubahan akibat syubhat-syubhat, keragu-raguan dan pendapat-pendapat batil”[3]
Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal jama’ah.
PANDANGAN KELOMPOK AHLI BID’AH ENTANG AL-QUR`AN DAN KALAM ALLAH
Di bawah ini pemaparan Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullah- secara garis besar (diterjemah secara ringkas dan bebas, Pen.) tentang beberapa perkataan kelompok ahli bid’ah mengenai al-Qur`an dan kalam Allah. Beliau menyebutkan sebagai berikut.[4]
- Pertama: Perkataan Jahmiyah.
Mereka mengatakan, bahwa Allah tidak berbicara, tetapi Allah menciptakan perkataan pada diri selain-Nya dan menjadikan yang selain-Nya itu menjadi pengungkap perkataan Allah. Disebutkannya suatu perkataan sebagai perkataan Allah menurut mereka adalah majaz (kiasan), bukan hakiki, sebab Allah-lah yang menciptakan perkataan itu, sehingga Dia disebut sebagai Yang berkata, karena Dialah pencipta perkataan itu pada diri selain-Nya
Perkataan Jahmiyah ini batil, bertentangan dengan dalil-dalil sam’i (al-Qur`an dan as-Sunnah) maupun dalil-dalil akal. Juga bertentangan dengan perkataan para salaf dan imam-imam kaum Muslimin. Karena sesungguhnya tidaklah masuk akal seseorang disebut sebagai orang yang berkata, kecuali jika perkataan itu benar-benar ada pada dirinya. Bagaimana mungkin Allah disebut telah berkata, padahal yang berkata adalah selain Allah? Bagaimana mungkin disebut perkataan Allah, padahal ia adalah perkataan selain-Nya?
Perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di atas, bahwa “dari Allah al-Qur`an bermula dan kepada-Nya ia akan kembali. Dan sesungguhnya Allah berbicara dengan al-Qur`an ini secara hakiki. Sesungguhnya al-Qur`an yang telah Allah turunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah perkataan Allah yang sebenarnya, bukan perkataan selain-Nya”.
Maksud Syaikhul-Islam dengan perkataannya ini adalah, untuk membantah orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa al-Qur`an bermula dari selain Allah, dan bahwa Allah tidak berbicara dengan al-Qur`an itu secara hakiki, tetapi majaz. Al-Qur`an (menurut mereka) adalah perkataan selain Allah yang disandarkan sebagai perkataan Allah karena Dialah Penciptanya.
- Kedua: Perkataan Kullabiyah, para pengikut ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.
Mereka beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan hikayat dari kalam Allah. Karena kalam Allah menurut mereka adalah ma’na yang ada pada Dzat Allah yang senantiasa tetap pada-Nya, sebagaimana tetapnya sifat hidup dan sifat ilmu pada Dzat Allah. Tidak berkaitan dengan kehendak dan iradah Allah. Makna yang ada pada Dzat Allah ini bukan makhluk. Tetapi lafazh-lafazh yang keluar yang terdiri dari huruf dan suara adalah makhluk. Lafazh-lafazh ini merupakan hikayat dari kalam Allah, dan bukan kalam Allah itu sendiri.
- Ketiga: Perkataan kaum Asy’ariyah, orang-orang yang mengaku pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah.
Mereka mengatakan bahwa al-Qur`an adalah ungkapan tentang kalam Allah. Sebab kalam Allah menurut mereka adalah: Ma’na yang ada pada dzat Allah. Ma’na ini bukan makhluk. Adapun lafazh-lafazh yang dibaca, merupakan ungkapan tentang makna yang ada pada Dzat Allah. Lafazh-lafazh ini adalah makhluk. Ia merupakan ungkapan dari kalam Allah dan tidak dikatakan hikayat dari kalam Allah.
Sebagian ulama mengatakan, perselisihan pendapat antara Asy’ariyah dengan Kullabiyah hanyalah perselisihan secara redaksional saja. Sebenarnya tidak ada perselisihan di dalamnya. Sebab, baik Asy’ariyah maupun Kullabiyah sama-sama mengatakan bahwa al-Qur`an terdiri dari dua macam. Yaitu, terdiri dari lafazh dan makna. Lafazhnya adalah makhluk, yakni lafazh-lafazh yang ada dan dibaca ini. Sedangkan maknanya bersifat qadim (sejak dahulu); ia ada pada Dzat Allah. Ia merupakan makna yang satu, tidak dapat terbagi-bagi dan tidak dapat berbilang. Ini bukan makhluk.
Inti perkataan Asy’ariyah dan perkataan Kullabiyah, andaikata tidak dapat dikatakan sama, maka paling tidak saling berdekatan.
Kedua pendapat itu sama-sama batil. Sebab al-Qur`an tidak dapat dikatakan hikayat dari kalam Allah seperti perkataan Kullabiyah, dan tidak dapat pula dikatakan ungkapan dari kalam Allah seperti perkataan Asy’ariyah. Bahkan al-Qur`an adalah kalam Allah itu sendiri, baik lafazh maupun maknanya, di manapun didapatkan, baik dihafal dalam dada-dada manusia maupun ditulis dalam mushaf-mushaf. Al-Qur`an tetap merupakan kalam Allah yang sebenarnya, bukan makhluk.
- Keempat: Perkataan Mu’tazilah.
Mereka mengatakan bahwa, kalam Allah hanyalah huruf tanpa makna. Menurut mereka, apa yang disebut perkataan atau kalam, ketika dinyatakan secara mutlak hanyalah nama bagi suatu lafazh saja. Sedangkan makna bukan merupakan bagian dari apa yang disebut kalam. Makna hanyalah sesuatu yang ditunjukkan oleh apa yang disebut kalam.
Pendapat Mu’tazilah ini merupakan kebalikan dari pendapat Asy’ariyah dan Kullabiyah yang mengatakan, bahwa kalam Allah adalah makna saja tanpa huruf.
Demikian secara ringkas pemaparan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.
KESIMPULAN
Semua pernyataan kelompok di atas adalah batil. Yang benar ialah pernyataan Ahlu Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Imam Thahawi di atas. Salah satu dalilnya, ialah seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, yaitu firman Allah lSubhanahu wa Ta’ala:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah“. [at-Taubah/9:6].
Maksud mendengar pada ayat ini, yaitu mendengar melalui bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kedudukannya sebagai penyampai. Sedangkan bacaan al-Qur`an dari Rasulullah yang didengar itu tetap disebut kalam Allah. Maka hal ini membuktikan bahwa perkataan hanyalah diakukan kepada yang sejak semula mengatakannya. Bukan diakukan kepada penyampainya.[5]
Imam Syafi`i rahimahullah juga mengatakan bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Dan barangsiapa yang mengatakan al-Qur`an makhluk, maka ia kafir [6]. Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan hal yang sama dalam Ushulus-Sunnah[7].
Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah tentang al-Qur`an dan tentang kalam Allah. Wallahu Waliyyut-Taufiq.
(Makalah ini disadur dan disusun dengan rujukan utama Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, yang disyarah oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan –hafizhahullah-. Ditambah beberapa referensi lain)
_______
Footnote:
[1]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, halaman 136.
[2]. Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal-‘Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Penerbit al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan IX, Tahun 1408 H/1998 M, halaman 168.
[3]. Lihat Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi; Tahqiq wa Muraja’ah: Jama’ah minal-‘Ulama; Takhrij: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[4]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 136-139.
[5]. Lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, halaman 138.
[6]. Lihat catatan kaki dari kitab Ushulus-Sunnah, Imam Ahmad dari riwayat ‘Abdus bin Malik al-Aththar, Syarh dan Ta’liq: al-Walid bin Muhammad Nabih bin Saif an-Nashr. Taqdim dan Ta’liq: Syaikh Muhammad bin ‘Id al-Abbasi. Penerbit Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, distribusi Maktabah al-‘Ilmu, Jeddah, Cetakan I, 1416 H./1996 M, halaman 50.
[7]. Lihat kitab yang sama pada ashl yang ke 13
Referensi: https://almanhaj.or.id/
mmm[15/1 21.58] Ahmad Miftah: RISALAH
Aqidah
Salaf dan Takwil Sifat-sifat Allah
09-11-2021
highway wallpapers
Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan hafizhahullah
Makna As Salaf – السَّلَفُ
Secara bahasa (etimologi) salaf artinya al mutaqaddim[1] yaitu pendahulu, yang lebih dulu, yang awal. Al Quran beberapa kali menggunakan kata salaf, di antaranya:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Al Baqarah: 275)
Dalam hadits, misalnya ucapan Rasulullah ﷺ kepada Fathimah Radhiyallahu ‘Anha:
فَإِنَّهُ نِعَمَ السَّلَفُ أَنَا لَك
Sebaik-baiknya salaf (pendahulu) bagimu adalah aku. [2]
Ada pun makna secara terminologi, ada beberapa pendapat tentang definisi salaf dan batasannya. Syaikh Muhammad bin Khalifah at Tamimi menyebutkan ada tiga, yaitu:
Pertama: Salaf adalah para sahabat nabi saja.
Kedua: Salaf adalah para sahabat nabi dan tabi’in.
Ketiga: Salaf adalah para sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Lalu, Beliau menyimpulkan:
وَالْقَوْلُ الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ الَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَهْلِ السُّنَّةِ هُوَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ هُمُ الْقُرُونُ الثَّلَاثَةُ الْمُفَضَّلَةُ الَّذِينَ شَهِدَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْخَيْرِيَّةِ، حَيْثُ قَالَ: “خَيْرُ الْقُرُونِ الْقَرْنُ الَّذِي بُعِثْتُ فِيهِمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ”، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، فَالسَّلَفُ الصَّالِحُ هُمْ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ. وَكُلُّ مَنْ سَلَكَ سَبِيلَهُمْ وَسَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ فَهُوَ سَلَفِيٌّ نِسْبَةً إِلَيْهِمْ.
Pendapat yang shahih dan terkenal yang dianut oleh mayoritas Ahlus Sunnah bahwa maksud dari Salaf ash Shalih adalah mereka yang hidup pada tiga zaman yang utama, yang kebaikannya telah diakui oleh Nabiﷺ ketika Beliau bersabda: “Sebaik-baiknya zaman adalah zaman yang aku diutus kepada mereka, lalu setelahnya, lalu setelahnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Maka, Salaf ash Shalih itu adalah para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.[3] Jadi, siapa pun manusia yang menyusuri jalan mereka dan berjalan di atas konsep mereka, maka mereka adalah salafi,[4] yang dinisbatkan kepada mereka (kaum salaf). [5]
Ada pun manusia yang hidup di zaman setelah tiga generasi terbaik tersebut, mereka tidak lagi disebut salaf. Mereka disebut khalaf, yang artinya al laahiq ‘an as saabiq – yang menyertai orang yang terdahulu. Sehingga para ulama yang hidup setelah tiga generasi terbaik tersebut, disebut ulama khalaf, misalnya: Imam al Ghazali (abad kelima hijriyah), Imam an Nawawi (abad ketujuh hijriyah), Imam Ibnu Taimiyah (abad kedelapan hijriyah), Imam Ibnu Hajar (abad kesembilan hijriyah), Imam asy Syaukani (abad keduabelas hijriyah), begitu para ulama yang hidup di zaman modern, seperti Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf al Qaradhawi, Syaikh Mutawalli asy Sya’rawi, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Muhammad Natsir, dan lainnya. Mereka adalah kaum khalaf secara zaman.
Makna Takwil – التَأوِيْل
Sebagian ulama mengatakan takwil dan tafsir adalah sama, di antaranya apa yang dikatakan Imam Al Qurthubi Rahimahullah. Tafsir itu bayan (penjelasan) terhadap lafaznya, misal laa rayba fiih artinya laa syakka fiih (tidak ada syak/keraguan padanya). sedangkan takwil itu penjelasan terhadap maknanya, misal laa rayba fiih artinya tidak ada keraguan bagi orang-orang beriman.[6]
Sedangkan Imam Ibnu Jarir ath Thabari Rahimahullah menjudulkan kitab tafsirnya dengan takwil, yaitu Jaami’ al Bayan fi Ta’wilil Quran, artinya Beliau pun menyamakan antara takwil dan tafsir.
Sementara ada pula yang membedakan keduanya. Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
التَّأْوِيلُ التَّفْسِيرُ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا آخَرُونَ فَقَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْهَرَوِيُّ التَّأْوِيلُ رَدُّ أَحَدِ الْمُحْتَمَلَيْنِ إِلَى مَا يُطَابِقُ الظَّاهِرَ وَالتَّفْسِيرُ كَشْفُ الْمُرَادِ عَنِ اللَّفْظِ الْمُشْكِلِ وَحَكَى صَاحِبُ النِّهَايَةِ أَنَّ التَّأْوِيلَ نَقْلُ ظَاهِرِ اللَّفْظِ عَنْ وَضْعِهِ الْأَصْلِيِّ إِلَى مَالا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ
Takwil adalah tafsir, sebagian lain membedakan di antara keduanya. Abu ‘Ubaid al Harawi mengatakan, takwil adalah mengembalikan salah satu kemungkinan makna kepada apa yang sesuai dengan zhahirnya lafaz. Tafsir adalah menyingkap maksud dari lafaz yang sulit. Pengarang an Nihayah menyebutkan bahwa takwil adalah memindahkan zhahirnya lafaz dari tempatnya yang asli kepada apa-apa yang tidak membutuhkan dalil.[7]
Sedangkan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
الحقيقة التي يؤول إليها الخطاب، وهي نفس الحقائق التي أخبر الله عنها
Takwil adalah sebuah hakikat yang menginterpretasikan perkataan (ayat), dan itu hakikatnya adalah kebenaran itu sendiri yang telah Allah ﷻ kabarkan.[8]
Sehingga istilah takwil ketika dikaitkan dengan sifat-sifat Allah ﷻ, maka upaya memahami dan menyingkap makna sesuatu yang disifati dan sifat itu sendiri. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:
فَإِنَّ تَأْوِيلَ آيَاتِ الصِّفَاتِ يَدْخُلُ فِيهَا حَقِيقَةُ الْمَوْصُوفِ وَحَقِيقَةُ صِفَاتِهِ وَهَذَا مِنْ التَّأْوِيلِ الَّذِي لَا يَعْلَمُهُ إلَّا اللَّهُ
Sesungguhnya takwil ayat-ayat sifat mencakup di dalamnya hakikat dari yang sifati dan hakikat sifat itu sendiri. Inilah takwil dari “tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.”[9]
Takwil kaum salaf
Ada yang menganggap bahwa kaum salaf itu anti takwil. Ini tidak benar secara mutlak. Kita akan dapati bahwa kaum salaf pun menakwil sebagian sifat-sifat Allah ﷻ baik sifat-sifat Allah ﷻ yang tertera dalam Al Quran maupun As Sunnah, yang memang tidak mungkin dimaknai secara zahirnya. Ada pun madzhab salaf yang masyhur adalah tafwidh al ma’na (mengembalikan maknanya kepada Allah).[10]
Ketika membahas hadits “Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam …”, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
فَأَوَّلَ فِي بَعْضٍ وَفَوَّضَ فِي بَعْضٍ وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ مَالك وَجزم بِهِ من الْمُتَأَخِّرين بن دَقِيقِ الْعِيدِ
Sebagian salaf mentakwilnya, sebagian sebagian mentafwidhnya, telah pasti hal ini dari Imam Malik dan sebagian muta’akhirin seperti Ibnu Daqiq al ‘Id.[11]
Contoh-contoh takwil para salaf sangat banyak, di antaranya:
Takwil Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma
Tentang ayat “Ingatlah pada hari ketika betis (saaq) disingkapkan” (QS. Al Qalam: 42). Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mentakwilnya, bahwa hari itu begitu syiddah (berat dan payah), amrun ‘azhim (urusan yang besar).[12] Beliau tidak memaknai secara zahir bahwa itu betis hakiki sebagaimana yang langsung terbayang dalam benak manusia ketika mendengar kata betis.
Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:
قال جماعة من الصحابة والتابعين من أهل التأويل: يبدو عن أمر شديد.
Segolongan sahabat nabi dan para tabi’in yang pakar ta’wil mengatakan: “Nampak urusan yang begitu sulit.”[13]
Pakar tafsir di masa tabi’in yang dimaksud yang memaknai dengan syiddah adalah Said bin Jubeir, Mujahid, Adh Dhahak, dan Qatadah.
Begitu pula tentang ayat “aw ya’tiy rabbuka – atau datangnya Tuhanmu” (QS. Al An’am: 158). Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata tentang ayat tersebut:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَالضَّحَّاكُ: أَمَرَ رَبُّكَ فِيهِمْ بِالْقَتْلِ أَوْ غَيْرِهِ
Ibnu Abbas dan Adh Dhahak berkata: “Tuhanmu memerintahkan perang atau lainnya pada mereka.”[14]
Begitu pula tentang ayat Kursi, bahwa makna ayat: “kursiNya meliputi langit dan bumi,” bukanlah bermakna tempat duduk tapi ilmuNya. Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Said bin Jubeir.[15]
Begitu pula ayat: “was samaa’a banaynaahaa bi-aydin (dan langit Kami bangun dengan TANGAN). (QS. Adz Dzariyat: 47). Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan yaitu biquwwah (dengan kekuatan/kekuasaan). Ini juga takwil dari Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid, Sufyan Ats Tsauri.[16]
Begitu pula ayat “Yang abadi adalah WAJAH tuhanmu yang agung dan mulia.” (QS. Ar Rahman: 27). Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Kata wajah adalah ungkapan tentang diriNya.”[17]
Jadi Beliau tidak mengartikan wajah adalah wajah, tapi memaknai bahwa yang abadi adalah eksistensi Allah ﷻ, itulah yang tegaskan oleh Imam Al Qurthubi:
أَيْ وَيَبْقَى اللَّهُ، فَالْوَجْهُ عِبَارَةٌ عَنْ وُجُودِهِ وَذَاتِهِ سُبْحَانَهُ
Yaitu yang abadi adalah Allah ﷻ , ada pun wajah merupakan ungkapan tentang eksistensi diriNya dan zatNya.[18]
Takwil Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah
Tentang ayat Jaa’a rabbuka – telah datang Tuhanmu. (QS. Al Fajar: 22). Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata:
قوله تعالى : { وَجَآءَ رَبُّكَ } أي أمره وقضاؤه؛ قاله الحسن
FirmanNya (dan datanglah Tuhanmu) yaitu urusanNya dan ketetapanNya. Ini dikatakan oleh Al Hasan.[19]
Jadi, bukan bermakna Allah ﷻ secara zat berpindah tempat datang dan pergi. Sehingga Imam Al Qurthubi sendiri mengatakan:
وَاللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ لَا يُوصَفُ بِالتَّحَوُّلِ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَأَنَّى لَهُ التَّحَوُّلُ وَالِانْتِقَالُ، وَلَا مَكَانَ لَهُ وَلَا أَوَانَ، وَلَا يَجْرِي عَلَيْهِ وَقْتٌ وَلَا زَمَانٌ، لِأَنَّ فِي جَرَيَانِ الْوَقْتِ عَلَى الشَّيْءِ فَوْتُ الْأَوْقَاتِ، وَمَنْ فاته شي فَهُوَ عَاجِزٌ.
“Allah ﷻ tidaklah disifati bergeser dari satu tempat ke tempat lain, baginya tidak bergeser dan tidak berpindah. Tidak ada tempat baginya dan tidak pula waktu (musim). Waktu dan zaman tidaklah berlangsung atas diriNya. Sebab, berlangsungnya waktu atas suatu hal dan waktu itu terus berlalu, dan siapa yang sesuatu telah berlalu darinya maka itu menunjukan dia lemah.”[20] Dan, Itu mustahil bagi Allah ﷻ.
Takwil Al A’masy Rahimahullah
Ketika menjelaskan hadits Qudsi: “Jika hambaKu mendekatiKu sejengkal maka aku mendekatinya sehasta, jika hambaKu mendatangiKu berjalan maka Aku mendatangiNya dengan berlari …”. Maksudnya bukanlah Allah ﷻ bergerak dan pindah tempat berlari-lari, Al A’masy Rahimahullah menjelaskan, maksudnya adalah Allah ﷻ memberikan maghfirah – ampunanNya dan rahmatNya.[21]
Takwil Imam Malik bin Anas Rahimahullah
Dalam menjelaskan hadits tentang nuzul (turun)nya Allah ﷻ di tiap malam, bahwa Habib bin Abi Habib mengatakan bahwa Imam Malik berkata kepadaku:
يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا -تَبَارَكَ وَتَعَالَى- أَمْرُهُ، فَأَمَّا هُوَ، فَدَائِمٌ لاَ يَزُولُ. قَالَ صَالِحٌ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِيَحْيَى بنِ بُكَيْرٍ، فَقَالَ: حَسَنٌ وَاللهِ، وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ مَالِكٍ.
“Rabb kita menurunkan urusanNya, adapun diriNya tetap dan tidak pernah bergeser.” Shalih berkata: “Aku ceritakan hal itu kepada Yahya bin Bukair, dia menjawab: “Bagus, demi Allah. Namun aku belum dengar langsung dari Malik.”[22]
Takwil Imam Mujahid dan Imam Sufyan Ats Tsauri, dan salaf lainnya Rahimahumullah
Dalam menjelaskan ayat: “Segala sesuatu akan binasa kecuali WAJAHNYA” (QS. Al Qashash: 88), Imam Mujahid dan Sufyan Ats Tsauri Rahimahumallah mengatakan:
أَيْ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُهُ
Yaitu kecuali bukanlah yang dimaksud adalah wajahNya.[23]
Penjelasan di atas juga dikatakan oleh Imam Abul ‘Aliyah. Sementara Imam Mujahid berkata: kecuali DIA.[24]
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mentakwil ayat: “Dia bersama kamu dimana pun kamu berada.” (QS. Al Hadid: 4), yaitu ilmuNya.[25]
Artinya, yang Bersama kamu adalah ilmuNya, ilmuNya di mana-mana, bukan Allah ﷻ yang di mana-mana.
Takwil Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah
Beliau yang dianggap pimpinan “madzhab anti takwil” pun mentakwil, yaitu ketika membahas ayat Jaa’a rabbuka – datanglah Tuhanmu. (QS. Al Fajr: 22), dan hadits “Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam …”. Maksud datang di situ adalah datang pahalanya, bukan datang zat Allah ﷻ .
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وروى الحافظ البيهقي في مناقب أحمد عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل عن أحمد بن حنبل تأول قول الله {وَجَاء رَبُّكَ} [سورة الفجر] أنه جاء ثوابه، ثم قال البيهقي: وهذا إسناد لا غبار عليه
Al Hafizh al Baihaqi meriwayatkan dalam Manaqib Ahmad, dari Al Hakim, dari Abu ‘Amr bin as Simaak, dari Hambal, dari Ahmad bin Hambal, bahwa Beliau mentakwil firman Allah ﷻ: wa jaa’a rabbuka – dan datanglah Tuhanmu, maknanya adalah DATANG PAHALANYA. Al Baihaqi berkata: “Sanad riwayat ini tidak ada debu padanya” (maksudnya shahih).[26]
Imam al Baihaqi Rahimahullah berkata:
وفيه دليل على أنه كان لا يعتقد في المجيء الذي ورد به الكتاب والنزول الذي وردت به السنة انتقالا من مكان إلى مكان كمجيء ذوات الأجسام ونزولها وإنما هو عبارة عن ظهور ءايات قدرته..
Ini menjadi dalil bahwa Beliau (Imam Ahmad) tidak berkeyakinan kata “kedatangan” yang terdapat dalam Al Quran dan kata “turun” seperti yang ada dalam As Sunnah adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain sebagaimana perpindahan dan turunnya berbagai zat yang memiliki jism (raga/bentuk). Itu hanyalah ungkapan tentang begitu nampaknya tanda-tanda kekuasaanNya.[27]
Takwil Imam Al Bukhari
Dalam hadits shahih:
ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ، أَوْ عَجِبَ، مِنْ فَعَالِكُمَا
Semalam Allah ﷻ tertawa atau kagum terhadap perbuatan kalian berdua.[28]
Imam Bukhari menakwil arti tertawa-nya Allah ﷻ dalam hadits tersebut adalah rahmatNya.[29] Bukan memaknainya secara zahirnya.
Dan masih banyak lainnya.
Penutup
Keterangan ini menunjukkan bahwa klaim sebagian orang bahwa salaf itu tidak takwil tidaklah benar. Takwil walau pun bukan madzhab umumnya kaum salaf, tidaklah serta merta dikatakan sesat bagi pelakunya. Apalagi jika tujuannya untuk melindungi kesucian Allah ﷻ dari makna-makna yang tidak pantas bagiNya. Bagaimana mungkin dikatakan sesat, padahal itu dilakukan para pembesar salaf dan pakar takwil dan tafsir? Oleh karena itu pengkafiran yang dilakukan sebagian orang terhadap ulama Asy’ariyah -mereka melanjutkan madzhab takwil- adalah sikap yang melampaui batas.
Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam
Sumber: Alfahmu.id – Website Resmi Ustadz Farid Nu’man. Baca selengkapnya https://alfahmu.id/salaf-dan-takwil-sifat-sifat-allah/
Catatan Kaki:
[1] Imam an Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 16/7
[2] HR. Muslim no. 4487
[3] Namun, tidak semua salaf itu shalih, ada yang hidup sezaman dengan para sahabat nabi seperti nabi palsu Musailimah al Kadzdzab, atau perintis fikrah (pemikiran) dan firqah (kelompok) khawarij seperti Dzulkhuwaisirah dan syiah seperti Abdullah bin Saba’, mereka hidup di zaman sahabat nabi. Begitu pula pencetus Mu’tazilah yaitu Washil bin ‘Atha dan Amru bin ‘Ubaid, mereka hidup di zaman tabi’in. Intinya, mereka hidup di zaman salaf, tapi bertentangan dengan ajaran kaum Salaf ash Shalih maka manhaj mereka bukanlah salaf. Mereka hanya salaf dalam arti zaman saja.
[4] Ini menunjukkan bahwa istilah salafi tidak merujuk kepada kelompok atau komunitas tertentu dengan gaya berpikir, sikap, penampilan, majelis, radio, majalah, saluran TV, yayasan dan ormas tertentu, sebagaimana yang dipahami sebagian orang. Tapi, siapa pun yang mengikuti jalan dan paradigma kaum salaf, maka dia salafi, walau dia tidak pernah mengaku-ngaku salafi dan tidak pula mengikuti dan bergabung dengan majelis dan komunitas yang menyebut dirinya salafi.
[5] Syaikh Muhammad bin Khalifah at Tamimi, Mu’taqad Ahl as Sunnah wa al Jama’ah, hal. 48
[6] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/15-16
[7] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13/526
[8] Imam Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh baina al ‘Aql wa an Naql, 5/382
[9] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, 3/167
[10] Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 8/136
[11] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 3/30
[12] Imam Ibnu Jarir, Jami’ al Bayan, 23/554
[13] Ibid
[14] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 7/144
[15] Imam Ibnu Jarir, Jami’ al Bayan, 5/397
[16] Ibid, 22/438
[17] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 17/165
[18] Ibid
[19] Ibid, 20/55
[20] Ibid
[21] Imam At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi no. 3603
[22] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala, 7/183
[23] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261
[24] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 13/322
[25] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 6/648
[26] Imam Ibnu Katsir, al Bidayah wa an Nihayah, 10/327
[27] Ibid
[28] HR. Bukhari no. 3798
[29] Imam al Baihaqi, al Asma wa ash Shifat, 2/403 Sumber: https://risalah.id/salaf-dan-takwil-sifat-sifat-allah/
[15/1 21.58] Ahmad Miftah: ☰
Ta’wil Bisa Dibenarkan Bila Maksudnya Tafsir
POKOK-POKOK MANHAJ SALAF
Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-‘Ik
Ta’wil bisa dibenarkan bila maksudnya tafsir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan[1]: “Sesungguhnya lafal ta’wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta’wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu. Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur’an terdahulu memahami lafal ta’wil dengan maksud tafsir. Ta’wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur’an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-‘Ilmi) jika memahami tentang ta’wil, maka maksud ta’wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan Ibnu Abbas padanya”.
Adapun lafal ta’wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah “hakikat“, yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala, misalnya ta’wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta’wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta’wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala sendiri.
Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :”Istiwa’ telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)“. Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa’. Inilah yang disebut ta’wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.
Sedangkan perkataan mereka “Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta’wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya”.
Pada tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula[2]: ” …… Sesungguhnya yang dimaksud dengan lafal ta’wil dalam Al-Qur’an ialah hakikat suatu perkara, meskipun hakikat itu sama dengan makna yang ditunjukan dan dipahami dari zhahirnya lafadz”.
Terkadang pula yang dimaksud dengan ta’wil adalah penafsiran dari suatu perkara serta penjelasan maknanya, walaupun penjelasan makna itu sama dengan lafal perkataan tadi. Dan istillah ta’wil dengan makna kedua inilah yang menjadi istilahnya mufassir terdahulu seperti Mujahid dan lain-lain. Tetapi istilah ta’wil kadang juga dimaksudkan dengan pengalihan suatu lafal dari kandungan makna yang rajih menuju kemungkinan makna yang marjuh disebabkan ada suatu dalil yang mengiringinya.
Baca Juga Tinjauan Moderat Tentang Hukum Syari'at
Pengkhususan istilah ta’wil dengan makna terakhir ini hanya ada pada pembicaraan kaum muta’akhirin. Adapun para shahabat, tabi’in dan semua imam-imam kaum muslimin, seperti imam yang empat dan imam yang lain, mereka tidak menghususkan istilah ta’wil tersebut untuk makna yang terakhir itu, tetapi yang mereka kehendaki dengan ta’wil adalah makna yang petama dan kedua.
Oleh karena itulah, sekelompok orang-orang muta’akhirin berprasangka bahwa lafal (kalimat) ta’wil pada Al-Qur’an atau Hadits hanya bermakna khusus menurut pengertian terakhir tersebut, seperti dalam firman Allah :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“…Dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Rabb kami“. [Ali-Imran/3:7].
Mereka meyakini bahwa waqaf (bacaan berhenti) pada ayat diatas adalah pada :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ
“.. Dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah“.
Sebagai akibat dari prasangka mereka tersebut, mereka terjebak dalam keyakinan bahwa ayat-ayat seperti di atas dan hadits-hadits Nabi, mempunyai makna-makna yang berlainan dengan makna yang langsung bisa dipahami dari lafal nash tersebut. Sementara itu makna yang dikehendaki dari nash tersebut tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah saja. Bahkan Malaikat yang turun membawa Al-Qur’an yakni Jibril, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak bisa mengetahui makna-maknanya. Begitu pula nabi-nabi lain, para shahabat serta para tabi’in.
Menurut keyakinan mereka, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membaca firman-firman Allah berikut :
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
” (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas ‘Arsy“. [Thaha/20 : 5].
اِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
“Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik“. [Faathir/35:10].
بَلْ يَدٰهُ مَبْسُوْطَتٰنِۙ
“: …. tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka“. [Al-Maidah/5:64].
Dan ayat-ayat lainnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerti makna-maknanya. Bahkan (menurut persangkaan mereka) beliau sendiripun tidak memahami kata-katanya sendiri ketika bersabda :
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Rabb kita turun ke langit dunia pada tiap-tiap malam ….” [Hadits Riwayat Bukhari, Juz 2: 25].
Baca Juga Istiqâmah Di Atas Al-Qur'an dan Sunnah Jalan Keselamatan
Bahkan makna yang langsung dapat dimengerti dari nash di atas, tidak dapat dimengerti kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa cara-cara semacam ini adalah caranya kaum salaf”.
Kemudian pada tempat yang lain lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata[3]: “Ayat-ayat yang disebut oleh Allah sebagai ayat-ayat mutasyabihat yakni yang tidak dapat diketahui ta’wil-nya kecuali oleh Allah ; yang dimaksud “tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah” hanyalah pengetahuan tentang tafsir dan maknanya. Sebagaimana hanya ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah :
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
” (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa’) di atas ‘Arsy“.[Thaha/20 : 5].
“Bagaimana Ar-Rahman ber-istiwa’ (bersemayam) ?” Beliau menjawab : “Al-Istiwa’ telah dipahami (maknanya), sedangkan Al-Kaif (bagaimana hakikat istiwa’ [bersemayam] tidak dapat diketahui (majhul). Beriman terhadap istiwa’-Nya wajib dan bertanya tentang “Bagaimana (hakikat)nya adalah bid’ah”. Demikian pula sebelumnya, Rabi’ah dan Ibnu ‘Uyainah pun telah memberikan jawaban serupa dengan jawaban Imam Malik.
Imam Malik telah menjelaskan bahwa makna istiwa’ telah dipahami, sedangkan kaifiyah (cara istiwa-Nya) adalah majhul (tidak dapat dimengerti).
Dengan demikian kaif (hakikat) yang majhul inilah di antara arti ta’wil yang tidak dapat dimengerti melainkan oleh Allah semata. Adapun makna yang dapat dipahami (diketahui) baik istiwa maupun yang lainnya, maka itu adalah ta’wil yang bermakna tafsir yang telah dijelaskan maknanya oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah Ta’ala telah memerintahkan supaya kita menghayati Al-Qur’an dan telah memberitakan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur’an untuk dipahami. Sedangkan penghayatan serta pemahaman tidak mungkin akan bisa dilaksanakan melainkan jika si pembaca menjelaskan maksud pembicaraannya. Adapun apabila seseorang berbicara dengan lafal-lafal yang mengandung banyak makna, lalu dia menjelaskan maksudnya, tentu pembicaraannya tidak mungkin bisa dipahami dan dihayati.
_______
Footnote:
[1] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim
[2] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/14-15
[3] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/9
Referensi: https://almanhaj.or.id/