Type Here to Get Search Results !

 


BERETIKA DAN BERMODAL


OlehUstadz Abdullah Zaen, Lc., MA

PROLOG

“Mas, apa hukum ngumpul-ngumpul di keluarga orang yang meninggal?”, tanya seorang awam kepada temannya yang dia pandang lebih paham agama, karena terlihat rajin ngaji.
“Haram!” jawabnya dengan tegas.
“Dalilnya apa?”.
“Eemm, apa ya ? Ntar saya tanyakan dulu ke ustadz”.
“Terus kalo Yâsinan dan Tahlîlan, hukumnya apa?”.
“Bid’ah!”.
“Kalo yang ini dalilnya apa?”.
“Eemm, apa ya? Saya ngajinya gitu lo. Coba ntar saya tanyakan lagi ke ustadz.”
Demikian obrolan antara dua orang kawan berakhir.

STUDI KRITIS

Menilik jalannya dialog di atas, menurut hemat kami, sekurang-kurangnya ada dua catatan penting yang perlu digoreskan untuk menanggapinya.

Catatan Pertama: Berdakwah itu Perlu Memakai Etika

Satu hal yang kerap dilupakan oleh teman-teman ketika berdakwah, terutama saat menjawab pertanyaan perihal agama, adalah perlunya menggunakan etika atau seni berbicara. Saking urgennya sopan santun ini, sampai-sampai sebagian pakar pendidikan menyatakan bahwa ath-tharîqah ahammu minal mâddah (metode penyampaian itu lebih penting dibandingkan materi yang akan disampaikan)”. Dari sini kita bisa memahami mengapa kebathilan seringkali begitu laris, sebaliknya kebenaran kerap tidak diminati. Salah satu penyebabnya adalah karena kebathilan dibungkus dengan label yang amat menarik. Sebaliknya, kebenaran dipaparkan oleh sebagian orang dengan cara yang sama sekali tidak simpatik.

Betul memang, bahwa dakwah itu perlu disampaikan dengan jelas dan lugas. Tapi “jelas” itu tidak mesti berarti langsung to the point. Jangan lupa ! Obyek dakwah itu amatlah beragam. Ada di antara mereka berasal dari kalangan berpendidikan, yang bila hanya didoktrin tanpa diiringi penjelasan yang memadai dan memuaskan, dakwah itu justru akan mental. Di sinilah kita perlu memperhatikan kondisi psikologis tersebut[1] dan pintar ‘bermain kata’ saat mendakwahinya.

Lantas jawaban yang lebih pas bagaimana?

Untuk kasus tersebut di atas, mengenai pertanyaan tentang hukum ngumpul-ngumpul di rumah keluarga orang yang meninggal, jawaban yang dilontarkan bisa misalnya, “Sebatas ilmu yang saya dapatkan, acara ngumpul-ngumpul seperti itu, terutama pasca jenazah dimakamkan, terlebih hingga berhari-hari, tidak dibenarkan dalam agama. Apalagi sampai memberatkan mereka yang sedang berduka, untuk menyediakan sajian makan besar buat penduduk satu RT. Bukankah orang yang sedang tertimpa musibah seharusnya dibantu, bukan malah dibebani? Jika demikian keadaannya, apa bedanya mereka dengan orang yang sudah jatuh, masih tertimpa tangga pula?”

Begitu kira-kira jawaban simpel yang bisa disampaikan padanya. Kuncinya ajaklah dia berpikir dan bangkitkanlah empatinya.

Untuk menguatkan jawaban, bisa Anda menukil pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat salah satu sahabatnya; yang bernama Ja’far Radhiyallahu anhu wafat,

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا؛ فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang menguras (tenaga dan pikiran) mereka. [HR. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albâni rahimahullah].

Namun keterangan di atas bukan berarti mengajarkan bahwa keluarga yang sedang ditimpa musibah tidak boleh ditemani dan dihibur oleh orang-orang dekatnya. Yang ingin disampaikan di sini adalah, jangan sampai kita terjerumus dalam perilaku niyâhah (meratap) yang dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang salah satu potretnya adalah: berkumpul-kumpul dan makan-makan di rumah si mayit, tanpa alasan yang dibenarkan agama. Jarîr bin Abdullâh Radhiyallahu anhu menjelaskan,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

Kami (para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menilai kumpul-kumpul dan makan-makan di rumah keluarga orang yang meninggal setelah pemakamannya, termasuk kategori niyâhah (meratap). [HR. Ahmad dan isnadnya dinyatakan shahîh oleh ash-Shan’âni]

Adapun jawaban terhadap pertanyaan tentang Yâsinan dan Tahlîlan, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa sebenarnya hukum asal membaca surat Yâsin dan melantunkan kalimat Tahlîl. Terangkan bahwa membaca surat Yâsin itu berpahala besar, sebab termasuk dari al-Qur’ân, yang tiap hurufnya mendatangkan sepuluh pahala. Melantunkan kalimat Tahlîl juga bagian dari amal ibadah istimewa, sebab kalimat thayyibah tersebut merupakan dzikir yang paling afdal.

Setelah hal tersebut gamblang, barulah dijelaskan bahwa salah satu syarat fundamental diterimanya suatu ibadah adalah: tata caranya harus sesuai dengan yang diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagaimana telah maklum, bahwa tambahan suku kata “an” di akhir kata Yâsin dan Tahlîl, sehingga menjadi Yâsinan dan Tahlîlan, mengandung makna khusus. Yakni bukan semata membaca surat Yâsin atau melantunkan kalimat Tahlîl. Namun sudah merupakan istilah dari sebuah ritual yang ditentukan waktunya, tata caranya, bacaannya dan aturan-aturan main lain. Yang jika dicermati, bisa dipastikan ritual tersebut tidak ada dasar dalilnya dalam al-Qur’ân maupun Sunnah. Atau dengan kata lain, amalan tersebut tidak ada tuntunannya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak perlu diamalkan maupun dilestarikan.

Menjelaskan perbedaan antara hukum membaca surat Yâsin dengan hukum ritual Yâsinan, juga antara hukum melantunkan kalimat Tahlîl dengan hukum menjalankan ritual Tahlîlan, amat perlu dan penting. Untuk menepis anggapan dan tuduhan orang-orang jahil, bahwa kita mengharamkan membaca surat Yâsin dan mengucapkan Tahlîl. Kami menilai ini prinsipil; karena perspektif keliru tadi berbahaya jika dibiarkan. Sebab akan memunculkan kerancuan pemahaman, mengapa ibadah mulia dilarang untuk dikerjakan?!

Catatan Kedua: Berdakwah Itu Perlu Modal Ilmu

Melihat jawaban-jawaban yang dilontarkan ikhwan tersebut di atas, secara sekilas kita bisa melihat betapa njomplangnya perbandingan antara jawaban pertama dan kedua. Manakala ditanya tentang hukum ngumpul-ngumpul di rumah keluarga orang yang meninggal, juga hukum Yâsinan dan Tahlîlan, dengan tegas dan lancar, ia menjawab, “Haram! Bid’ah!”. Namun begitu ditanya tentang landasan hukum tersebut, ketegasan tadi sontak berubah menjadi keraguan dan ketidakpastian. “Eeemm, apa ya dalilnya. Saya ndak tahu. Kata Ustadz di pengajian seperti itu. Coba nanti saya tanyakan lagi ke Ustadz…”. Sebuah jawaban yang amat tidak meyakinkan apalagi memuaskan si penanya.

Fenomena kontradiktif seperti ini amat disayangkan banyak terjadi di kalangan ikhwan-akhwat, terlebih yang baru-baru ngaji[2] . Fakta ini dirasakan oleh mereka atau tidak, sejatinya perilaku tersebut lebih banyak merugikan dakwah, dibanding menguntungkannya. Sebab lambat laun akan terbangun anggapan di masyarakat, bahwa para pengusung dakwah ini hanya pintar memvonis, tanpa bisa berargumen.

Perlu disadari oleh semua saja, entah itu Ustadz atau jamaah pengajian biasa, bahwa berdakwah itu perlu modal, terlebih modal ilmu. Bukan sekedar berbekal bonek (bondo nekat). Kesadaran ini seharusnya semakin melecut semangat kaum Muslimin dan Muslimat pada umumnya, untuk lebih giat lagi belajar agama. Bahkan bila perlu, berlatih menghapal dalil-dalil inti landasan prinsip pola beragama (manhaj).

Misalkan, dalil bahwa setiap ibadah itu harus ada landasannya. Antara lain sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim]

Dalil kewajiban mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allâh, antara lain firman-Nya :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allâh dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. [al-Bayyinah/97:5]

Begitu seterusnya…
Dengan semakin bertambah tingginya animo masyarakat untuk mengenal dakwah salaf, juga semakin banyaknya tudingan-tudingan keji para musuhnya, kewajiban menyampaikan dakwah tidak lagi hanya dibebankan kepada para da’i dan ustadz. Pola pikir seperti itu harus segera diakhiri. Justru setiap Muslim dan Muslimah perlu memberikan andilnya dalam berdakwah, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.

EPILOG

Pemaparan tadi itulah, kira-kira uraian yang kami sampaikan kepada ikhwan pelaku dialog tersebut di atas, manakala dia berkonsultasi kepada kami via telpon. Guna membantunya menggarap ‘PR (Pekerjaan Rumah)’ dari temannya yang kritis dalam bertanya.

Teknik menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, insya Allâh bukan sekedar permainan kata dan retorika kosong belaka. Namun merupakan secercah upaya untuk memperbaiki diri, terutama cara dan kualitas dakwah yang kita sampaikan. Agar bisa menapak hari esok yang lebih cerah, dengan izin Allâh Azza wa Jalla …

Semoga bermanfaat! Wallahu a’lâ wa a’lam…

_______

Footnote:

[1]. Silahkan membaca makalah kami yang berjudul “Berdakwah dengan Akhlak Mulia” point keempat: “Santun dalam menyampaikan nasehat, sambil memperhatikan kondisi psikologis orang yang dinasehati”. Di website www.tunasilmu.com.
[2]. Bahkan yang lebih memprihatinkan, kadangkala hal itu juga dialami oleh ikhwan-akhwat yang telah puluhan tahun ngaji. Karena ternyata waktu mereka habis untuk mengupdate pengetahuannya tentang perkembangan fitnah-fitnah yang terjadi di antara orang-orang yang menisbatkan diri kepada Ahlus Sunnah. Sehingga ia begitu fasih dan lancar ketika diminta untuk menyebutkan daftar nama ‘Ustadz’ yang (katanya) bermasalah, lengkap beserta ‘kesalahan’ masing-masing. Namun saat diminta untuk membaca rukun shalat; surat al-Fatihah, yang minimal diulangnya dalam sehari 17 kali, ternyata bacaannya masih grothal-grathul (tidak karuan makhraj dan tajwidnya). Wallahul musta’an…


KETERANGAN ULAMA TENTANG KEHARUSAN MEMILIKI ILMU DALAM MEMBERI NASEHAT DAN BERDA’WAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar, di antaranya:

“…Yang dimaksud dengan niat terpuji yang diterima di sisi Allah dan mendapatkan ganjaranNya adalah hendaknya amalan tersebut ditujukan untuk mencari ridha Allah dan yang dimaksud dengan amal terpuji yang merupakan amal saleh adalah amal yang diperintahkan, dan apabila demikian adanya maka orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar wajib menerapkan pada dirinya sendiri dua syarat tadi, dan tidaklah disebut amal saleh apabila tidak berdasarkan ilmu dan pemahaman ….”

Kemudian beliau berkata pula: “…maka orang yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.

Dan yang dimaksudkan dengan ilmu adalah apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari apa-apa yang Allah utuskan kepadanya dan dia adalah As Sulthan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ

“Yaitu orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka” [Ghafir/40:35]

Barangsiapa yang berbicara tentang dien Islam ini bukan dengan apa yang telah Allah utuskan kepada RasulNya, maka ia berbicara tanpa ilmu, dan barangsiapa yang dikuasai oleh syetan maka syetan pasti menyesatkannya dan menuntunnya menuju adzab jahannam yang menyala- nyala. Dan barangsiapa yang tunduk kepada dienullah maka ia telah beribadah kepada Allah dengan keyakinan”[1]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (wafat th.1420 H) berkata ketika menceritakan tentang akhlak dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i : “Haruslah da’wahmu itu ditegakkan atas hujjah yang nyata, yaitu berdasarkan ilmu, janganlah engkau jahil dengan apa yang engkau serukan kepada manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah : “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (kepada) Allah dengan hujjah yang nyata” [Yusuf/12:108]

Maka haruslah engkau memiliki ilmu, dan ini hukumnya wajib, maka hati-hatilah jangan sekali-kali engkau berýda’wah dengan kebodohan, janganlah sekali-kali engkau berbicara dalam hal-hal yang tidak engkau ketahui, maka orang yang bodoh itu menghancurkan, bukannya membangun, merusak bukannya memperbaiki, maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba Allah, hati-hati, janganlah sekali-kali engkau mengatakan sesuatu dengan mengatasnamakan Allah tanpa ilmu, janganlah engkau berýda’wah mengajak orang lain kepada sesuatu, kecuali dengan ilmu tentang hal tersebut, dan hujjah yang nyata itu artinya sesuai dengan firman Allah dan sabda RasulNya.

Maka seharusnya atas setiap penuntut ilmu dan juru ýda’wah agar memperhatikan tentang apa yang ia serukan dan memperhatikan dalilnya, apabila nampak bagi dia kebenaran dan mengetahuinya maka baru dia menýda’wahkannya, menyeru untuk melakukan keta’atan dan melarang kemaksiatan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya”[2]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata ketika beliau menjelaskan tentang bekal-bekal juru da’wah, di antaranya adalah: “Hendaklah seorang da’i memiliki bekal ilmu dalam berýda’wah. Ilmu yang benar bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah karena setiap ilmu harus digali dari keduanya. Adapun ilmu yang datang kepada kita harus diperiksa terlebih dahulu apakah sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah atau tidak. Apabila sesuai maka harus diterima, dan apabila bertentangan wajib ditolak siapa pun yang menyatakannya”.
Baca Juga  Ketika Beramal Tanpa Ilmu

Ibnu Abas Radhiyallahu’anhuma telah berkata. “Hampir saja batu terjatuh dari langit menimpa kalian, aku mengatakan Rasulullah bersabda dan kalian mengatakan: Abu Bakar dan Umar berkata?”

Apabila ucapan Abu Bakar dan Umar sebagai seorang khalifah dan shahabat yang menyalahi sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam harus ditolak, maka bagaimana kiranya dengan pendapat seorang yang jauh di bawah mereka berdua dalam hal ilmu dan taqwa? tentu lebih utama untuk ditolak ucapannya.

Sungguh Allah Subhana wa Ta’ala telah berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur/24 :63]

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tahukah engkau apakah fitnah itu ? Fitnah itu adalah kesyirikan, barangkali apabila ia menolak sebagian sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam maka akan menimpa dia sesuatu, berupa kecondongan kepada kesesatan yang menyebabkan ia binasa.”

Sesungguhnya bekal yang pertama yang harus dimilki seorang da’i yang menyeru manusia kepada agama Allah, haruslah ia memiliki ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang shahih, adapun da’wah tanpa ilmu maka sesungguhnya ia adalah da’wah berdasarkan kebodohan dan da’wah berdasarkan kebodohan lebih banyak merugikan dari pada manfaatnya dikarenakan si da’i ini telah menobatkan dirinya sebagai orang yang sesat dan menyesatkan, kami memohon pelindungan kepada Allah dari yang demikian itu, dan orangnya disebut dengan jahil murakkab (bertumpuk-tumpuk), kebodohan yang bertumpuk-tumpuk ini lebih berbahaya dari pada kebodohan yang ringan, orang yang bodoh ringan (yaitu merasa dirinya bodoh, pent) dia tidak akan berbicara dan dengan belajar ia dapat menghilangkan kebodohannya, tetapi problem yang sangat besar itu pada diri orang bodoh bertumpuk-tumpuk karena dia tidak akan diam bahkan terus berbicara meskipun dengan kebodohan. Maka ia lebih banyak menjadi perusak dan penghancur dari pada menjadi pemberi cahaya.

Wahai saudara-saudara, sesungguhnya da’wah menyeru kepada agama Allah tanpa didasari ilmu menyalahi praktek Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya. Dengarkanlah firman Allah Ta’ala ketika memerintahkan NabiNya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dalam firmanNya:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah : “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah (ilmu) yang nyata” [Yusuf/12:108]

Pada kalimat  “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) dengan hujjah (ilmu) yang nyata”, maka haruslah seorang da’i untuk menyeru kepada agama Allah berdasarkan ilmu bukan berdasarkan kebodohan.

Dan perhatikanlah, wahai da’i firman Allah Ta’ala, “عَلَىٰ بَصِيرَةٍ  ” (dengan hujjah (ilmu)), yaitu dalam tiga perkara :

    Dengan ilmu tentang apa yang ia sampaikan, hendaklah ia mengetahui hukum syari’at karena boleh jadi seseorang mengajak orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai suatu kewajiban, padahal sesungguhnya dalam syari’at Allah perbuatan tersebut tidaklah wajib maka ia telah mengharuskan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah, dan sebaliknya boleh jadi ia melarang orang lain melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai hal yang haram, padahal sesungguhnya dalam dien Allah bukanlah suatu yang haram, maka ia telah mengharamkan manusia apa-apa yang Allah halalkan untukmereka.
    Dengan ilmu tentang keadan orang yang di da’wahi, oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu ke negeri Yaman beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab,” agar Muadz mengetahui dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka. Maka haruslah engkau mengetahui keadaan orang yang dida’wahi, sejauh mana kapasitas ilmunya ? Sejauh mana kemampuan bicaranya?. Supaya engkau memposisikan diri secara matang untuk berdiskusi dengannya, karena seandainya engkau dalam kebenaran berdebat dengan orang yang jauh lebih pandai dalam berbicara, maka engkaulah yang akan terpojokkan. Maka, jadilah musibah besar terhadap kebenaran sehingga disangka sebagai kebatilan dan engkau adalah penyebabnya, dan janganlah engkau menyangka bahwa pendukung kebatilan itu mesti kalah dalam berbicara pada setiap keadaan.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda (yang artinya)  “Sesungguhnya kalian berselisih dan mengadukan kepadaku, dan barangkali sebagian di antara kalian lebih pandai dalam berbicara membawakan alasan-alasannya dibandingkan dari yang lain, maka aku memutuskan yang menguntungkannya disebabkan yang aku dengar.”

Ini menunjukkan bahwa orang yang berselisih tadi, meskipun di pihak yang batil dikarenakan ia lebih pandai dalam berbicara mengemukakan alasannya, maka diputuskan sesuai dengan apa yang telah diutarakan oleh orang tersebut. Oleh karena itu, haruslah engkau mengetahui keadaan orang yang dida’wahi.

    Dengan ilmu tentang cara berda’wah. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” [An-Nahl/16:125]

Sebagian manusia ketika ia melihat kemungkaran segera menyerangnya, tanpa befikir dampak dari perbuatannya, bukan saja berkenaan dengan dia pribadi, tetapi dampaknya bagi dia dan teman- temannya sesama da’i. Oleh karena itu wajib atas setiap da’i sebelum bergerak melakukan sesuatu, memikirkan apa yang mungkin akan terjadi dan menimbangnya, boleh jadi pada saat itu ia dapat melampiaskan gejolak kecemburuannya dengan pengingkaran tersebut, tetapi dalam waktu yang dekat setelah pengingkaran tadi dapat memadamkan api kecemburuan dia dan orang lain. Oleh karena itu, saya menganjurkan saudara-saudaraku para da’i untuk menggunakan hikmah dan ketelitian, dan perkara ini meskipun terlambat sedikit tetapi membawa akibat yang terpuji dengan kehendak Allah.

Pentingnya seorang da’i berbekal dengan ilmu yang benar berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah disamping telah terdapat dalil-dalilnya dalam nash-nash syari’at juga akal yang sehat ikut membuktikan juga, karena bagaimana mungkin engkau berda’wah menyeru manusia kepada dien Allah sedangkan engkau tidak mengetahui jalan menujuNya, tidak mengetahui syari’atNya, bagaimana bisa ia dikatakan sebagai da’i?!

Apabila sesorang belum memiliki ilmu, maka sepantasnya ia belajar terlebih dahulu kemudian baru berda’wah.

Boleh jadi ada seorang yang bertanya, “Apakah ucapanmu tadi bertentangan dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat?”

Maka saya menjawab, “Tidaklah bertentangan, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sampaikanlah dariku,” kalau begitu apa yang kami sampaikan itu harus berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, inilah yang kami inginkan, ketika kami berkata bahwa seorang da’i membutuhkan ilmu bukan berarti kami mengharuskan ia memiliki ilmu yang sangat luas, tetapi kami menyatakan janganlah seorang menyampaikan sesuatu kecuali dengan apa yang ia ketahui saja, janganlah ia berbicara dengan sesuatu yang tidak ia ketahui”[3]

[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]
_______

Footnote:

[1] Majmu’Fatawa, juz 28 hal. 39. Dinukil dari buku Dhowabit All-Amri bil ma’rufi wan nahyi ‘anil mungkari inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah
[2] Wujubud da’wah ilallahi wa akhlakud du’at, hal.50
[3] Zaad Ad-Daa’iyah ilallah, hal 6-10


APA