Type Here to Get Search Results !

 


KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM

C. Dalil-Dalil Ijma’ yang Memerintahkan Untuk Mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya beramal dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, bahkan yang demikian termasuk memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Kaum Muslimin menerima As-Sunnah sebagaimana mereka menerima Al-Qur-an, karena As-Sunnah merupakan sumber tasyri’ yang disaksikan Allah.

قُل لَّا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Katakanlah: ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang Malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” [Al-An’aam/6: 50]

Kaum muslimin sejak masa Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, dan generasi-generasi yang sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap persoalan agama kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, berpegang teguh dengannya dan menjaganya.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa para Shabahat dan Tabi’in berpegang teguh kepada As-Sunnah adalah:
  • Pertama: Tatkala Abu Bakar Radhiyallahu anhu memegang tampuk khilafah, datang Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya menanyakan bagian warisan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya apabila Allah memberi makan seorang Nabi kemudian ia diwafatkan, maka ia menjadikan warisan bagi orang yang sesudahnya.’ Karena itu, aku memandang bagian itu harus dikembalikan kepada kaum muslimin.” Fathimah berkata, “Engkau lebih mengetahui daripada aku tentang apa-apa yang telah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[1]
Dalam riwayat yang lain, Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ، فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku khawatir bila aku meninggalkan perintahnya aku akan tersesat.”[2]
  • Kedua: ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berdiri di hadapan Hajar Aswad seraya berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu, seandainya aku tidak lihat kekasihku (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menciummu atau menyentuhmu, niscaya aku tidak akan menyentuh dan menciummu.”[3]
  • Ketiga: ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata tentang berdirinya orang-orang ketika jenazah lewat: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, maka kami pun berdiri, dan ketika beliau duduk, kami pun duduk.”[4]
  • Keempat: Ada orang berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Umar: “Kami tidak mendapati dalam Al-Qur-an tentang cara shalat Safar?” Ibnu ‘Umar berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dan tadinya kita tidak mengetahui sesuatu. Karena itu, kita berbuat (beramal) sebagaimana kita melihat apa yang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan.”
Dalam riwayat yang lain ia berkata: “Tadinya kita sesat, lalu Allah menunjukkan kita dengan beliau, karena itu kita wajib mengikuti jejak beliau.”[5]
  • Kelima: Datang seorang wanita kepada ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku diberi kabar bahwa engkau melarang wanita menyambung rambut?” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Benar.” Wanita tersebut berkata: “Apakah larangan itu ada dalam Kitabullah atau engkau dengar langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku mendapatkan larangan itu dalam Kitabullah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Wanita tersebut berkata lagi: “Demi Allah, aku telah membaca mushhaf Al-Qur-an dari awal hingga akhir tetapi aku tidak mendapatkan larangan itu.” Ibnu Mas’ud berkata: “Bukankah ada di dalamnya ayat:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

‘… Apa-apa yang datang dari Rasul, kamu ambil dan apa-apa yang dilarang kamu tinggalkan…’” [Al-Hasyr/59: 7]

Wanita itu menjawab: “Ya.” Selanjutnya Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (dalam lafazh lain: melaknat) mencabut bulu dahi, mengikir gigi, menyambung rambut dan mencacah kecuali karena sakit.”[6]
  • Keenam: Abu Nadhrah meriwayatkan dari Shahabat ‘Imran bin Hushain, ada seorang datang kepadanya bertanya tentang sesuatu, lalu ‘Imran bin Hushain menjawabnya dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu orang yang bertanya tadi berkata, “Jawablah dari Kitabullah, jangan engkau sampaikan selainnya.” ‘Imran berkata: “Engkau adalah orang bodoh (tolol)… Apakah engkau mendapatkan dalam Al-Qur-an tentang shalat Zhuhur yang empat raka’at, tidak dijahrkan bacaannya, bilangan raka’at shalat, ukuran zakat…?” Kemudian ia berkata lagi, “Apakah engkau mendapatkan semua itu diterangkan dalam Al-Qur-an? Ketahuilah, Al-Qur-an yang memerintahkan dan As-Sunnah yang menafsirkan atau menjelaskannya.”[7]
Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh tentang berpegangnya para Shahabat dan Tabi’in terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Mutharrif bin ‘Abdillah bin Syikhir (salah seorang dari kalangan Tabi’in) pernah ditanya oleh seseorang: “Jangan engkau sampaikan kepada kami melainkan dari Al-Qur-an saja.” Mutharrif berkata, “Demi Allah, kami tidak menghendaki ganti dari Al-Qur-an, tetapi kami ingin (menyampaikan) penjelasan dari orang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur-an daripada kami, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[8]. Beliau yang menjelaskan Al-Qur-an, menerapkan dalam taklimnya, menerangkan maksud dan tujuan firman Allah, serta merinci hukum-hukumNya dengan Sunnah beliau yang suci. Beliau adalah qudwah bagi kaum Muslimin (sampai hari Kiamat), oleh karena itu berpeganglah kalian dengan As-Sunnah ini sebagaimana kalian berpegang kepada Al-Qur-anul Karim, dan jagalah As-Sunnah ini sebagaimana kalian menjaga Al-Qur-an.
_______

Footnote:

[1] Hadits shahih riwayat Ahmad (I/4), Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menshahihkan hadits ini dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad (no. 14).
[2] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 3093).
[3] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 1597) dan Muslim (no. 1270).
[4] Hadits shahih riwayat Ahmad (no. 631, 1094, 1167) tahqiq Ahmad Syakir, Muslim (no. 962 (84)), Ibnu Majah (no. 1544) dan ath-Tha-yalisy (I/127 no. 145).
[5] Hadits shahih riwayat Ahmad (II/66 dan 94 atau no. 5333 dan 5683) tahqiq Ahmad Muhammad Syakir.
[6] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 4886), Muslim (no. 2125 (120)), Ahmad (no. 3945) tahqiq Ahmad Syakir, Abu Dawud (no. 4169), Ibnu Baththah fil Ibaanah (I/ 236 no. 68) dan al-Ajurry fisy Syari’ah (I/420-422 no. 103-104), ini adalah lafazh Ahmad.
[7] Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1192 no. 2348) tahqiq Abul Asybal az-Zuhairy.
[8] Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1193 no. 2349).


HUBUNGAN AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR-AN

Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an, sebagai berikut:

1. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang lainnya.

2. Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an yang muthlaq dan ‘aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur-an.

Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya:

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl/16: 44]

Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an adalah:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ

“Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama dengan dua orang perempuan…” [An-Nisaa’/4: 11]

Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah sebagai berikut:
  1.     Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai shadaqah,
  2.     Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya, dan
  3.     Pembunuh tidak mewariskan apa-apa[1].
As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

“Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya…” [Al-Maa-idah/5: 38]

Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari as-Sunnah lah didapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan[2].

As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur-an:

    Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”[3]

    Menjelaskan tentang cara ibadah haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

“Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu sekalian.”[4]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal.

3. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an. Di antara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya memakan daging keledai negeri, daging binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.

Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an dengan As-Sunnah selama-lamanya.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ َ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ

“…Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura/42: 52-53]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh bagi seorang makhluk pun untuk melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapa pun untuk tidak mengikuti Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[5]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an ada 3 macam, sebagai berikut:
  1.     Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an.
  2.     Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur-an.
  3.     Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an, apakah itu hukumnya wajib atau haram yang tidak disebut haramnya dalam Al-Qur-an. Dan tidak pernah keluar dari ketiga pembagian ini. Maka As-Sunnah tidak bertentangan dengan Al-Qur-an sama sekali.
Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



‘Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah…’” [An-Nisaa’/4: 80][6]

_______

Footnote:

[1] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
[2] Subulus Salam (IV/151-152).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 631), dari Shahabat Malik bin al-Khuwairits Radhiyallahu anhu
[4] HR. Muslim (no. 1297).
[5] Ar-Risaalah (hal. 88-89).
[6] Lihat I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (IV/84-85), ta’liq wa takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman.


AS-SUNNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG

A. As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu

Dalil-dalil yang telah dikemukakan dari Al-Qur-an, As-Sunnah, dan Ijma’ sangatlah jelas bahwa tidak boleh bagi siapa pun menolak Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan hanya berpegang kepada Al-Qur-an saja. Karena satu hal yang mustahil bagi orang yang berkata bahwa ia kembali kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, tetapi ia sendiri menolak dalil-dalil As-Sunnah dengan alasan tidak cocok dengan akal atau yang lainnya. Adapun sebagian mereka yang menolak As-Sunnah karena memang belum jelas baginya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at, atau karena kebodohannya, maka kepada orang seperti ini harus diberikan pemahaman melalui proses wajib belajar. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya dengan sengaja dan terang-terangan mengingkari hujjah-hujjah As-Sunnah padahal ia mengetahui wajibnya berpegang kepada As-Sunnah, maka orang ini adalah kafir[1].

Sesungguhnya pada masa Shahabat sendiri telah ada segelintir orang yang tidak memperhatikan nilai tasyri’ As-Sunnah, seperti yang terjadi pada seseorang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan ‘Imran bin Husain. (Lihat dalil-dalil ijma’ tentang wajibnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Beberapa orang yang menolak As-Sunnah pada masa Shahabat yang penulis sebutkan di atas tidaklah mewakili satu firqah atau jama’ah, akan tetapi dari kegoncangan per individu. Seiringnya perkembangan zaman mereka akan menjadi firqah atau jama’ah. Pada masa Shahabat ini ada yang perlu digarisbawahi, yaitu penolakan terhadap As-Sunnah tidak terjadi secara menyeluruh di semua negeri Islam, tetapi hanya terdapat pada beberapa orang saja. Itupun terjadinya di Iraq, karena pada waktu itu Shahabat ‘Imran bin Husain dibantah oleh penolak As-Sunnah ketika beliau berada di Iraq, sedangkan Shahabat Ayub as-Sikhtiyani berada di Bashrah. Dan untuk kemudian para penentang As-Sunnah terus berkembang di masa Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad[2].

B. As-Sunnah Menurut Pandangan Khawarij, Mu’-tazilah, dan Syi’ah
Pandangan Khawarij

Kaum Khawarij dengan berbagai sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) seluruh Shahabat adalah adil. Tetapi setelah itu mereka mengingkari ‘Ali, ‘Utsman, dan Shahabat yang tergolong Ash-habul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka yang menerima keputusannya dan membenarkannya ataupun yang mengakui keputusan salah satu dari kedua hakim tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal yang diriwayatkan jumhur setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tidak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zhalim. Karena itu Khawarij tidak menganggap para Shahabat sebagi rawi tsiqah lagi.

Menurut Dr. Muhammad Musthafa al-Azhumy, bahwa Khawarij menerima Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri’ Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawarij menolak As-Sunnah yang diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya[3].

Pandangan Mu’tazilah

Di antara ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pandangan Mu’tazilah terhadap As-Sunnah, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan juga tentang pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak As-Sunnah secara keseluruhan.

Al-Amidi mengutip pandangan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional melaksanakan ibadah atas dasar khabar ahad tidak dapat dibenarkan.”

Ulama perbandingan agama

Mengemukakan tentang pandangan kaum Mu’tazilah mengenai masalah ini. Abu Manshur al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte Nizhamiyah, sebagai berikut:
  1.     Mereka mengingkari mu’jizat-mu’jizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
  2.     Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan
  3.     Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas.
Kemudian ia menyebutkan bahwa umumnya kaum Mu’tazilah mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Nizhamiyah) ini.

Al-Khudhari mengambil kesimpulan dari pendapat asy-Syafi’i dan begitupula Mushthafa as-Sibba’i, bahwa sekte yang menolak seluruh hadits adalah Mu’tazilah.

Menurut Dr. Musthafa al-A’zhumi bahwa Mu’tazilah mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan kaidah berfikir mereka. Jadi tidaklah menolak seluruh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]

Pandangan Syi’ah Tentang As-Sunnah
Syi’ah mempunyai berbagai sekte, Syi’ah dulunya masih dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam, tatkala madzhab ini masih berpegang dengan ajaran para ulama. Perlu diketahui bahwa dahulu para ulama membedakan antara Rafidhah dan Syi’ah. Rafidhah riwayatnya tidak boleh diterima sama sekali dan tidak boleh meriwayatkan dari mereka. Adapun Syi’ah masih boleh kita menerima hadits darinya dengan syarat dia tidak menda’wahkan bid’ahnya. Sedang Syi’ah yang sekarang berkembang (Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah) adalah satu sekte yang sama dengan Rafidhah. Ajaran tauhid mereka diambil dari Qadariyah, Jabariyah, Mur-ji’ah, Mu’tazilah, dan ‘Asy’ariyah. Ajaran mereka sangat bertentangan dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan perbedaan yang sangat menonjol, yaitu tentang Al-Qur-an, ‘aqidah, Sunnah, Malaikat, Imamah, Taqiyyah, Mut’ah, Shahabat dan Ahlul Bait[5].

Sebelum masuk kepada masalah As-Sunnah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pandangan Syi’ah tentang Al-Qur-an. Di mana para ulama Syi’ah mengatakan: “Telah terjadi pemalsuan terhadap Al-Qur-an yang dilakukan oleh para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Di antara ulama Syi’ah yang berpendapat demikian adalah:
  1.     Al-Kulaini dalam kitab Ushulul Kafi.
  2.     Al-Qummi dalam tafsirnya.
  3.     Abu al-Kasim al-Kufi dalam kitabnya al-Istighatsah.
  4.     Al-Mufid dalam kitabnya Awaa-il Maqalat
  5.     Al-Ardabily dalam kitab Haqiqatusy Syi’ah.
  6.     At-Thabrasy dalam kitabnya al-Ihtijaj.
  7.     Al-Kasyi dalam tafsirnya ash-Shafiy.
  8.     Nikmatullah al-Jazairi dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah.
  9.     Al-Khurasani dalam kitabnya Bayan as-Sa’adah fi Maqamah al-Ibadah.
  10.     An-Nuri Ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khi-thaab fi Itsbat Tahriifil Kitab Rabbil Arbaab.
Menurut ulama Syi’ah, Al-Qur-an sekarang ini ada beberapa macam nuskhah (Al-Qur-an versi Syi’ah), yaitu:
  1.     Terdapat 114 surat, tapi ada 269 ayat yang menyimpang.
  2.     Terdapat 112 surat, (114 surat dikurangi Mu’awidzatain).
  3.     Terdapat 115 surat, (114 surat ditambah surat Al-Wilayah).
  4.     Terdapat 117 surat, (114 surat ditambah surat al-Qunut, al-Hiqd, dan al-Khulu’).
  5.     Wahyu Zhahir dan Bathin
  6.     Mushhaf Fathimah, berisikan lebih dari tujuh belas ribu ayat.
  7.     Mushhaf Syi’ah, yang tebalnya tiga kali Al-Qur-an kaum muslimin.
  8.     Mushhaf yang dibawa oleh Imam Mahdi al-Muntazhar, dalam persembunyiaannya hampir 12 abad.
Bila dilihat dari segi keyakinan mereka terhadap Al-Qur-an saja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kaum Syi’ah sudah keluar dari Islam.

Tentang masalah As-Sunnah, kaum Syi’ah menolak semua hadits yang ada pada kaum Sunni yang dianggap tidak melalui jalur ahlul bait (ahlul bait menurut pengertian mereka), karena itu 96 % hadits-hadits Rasulullah Shallallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tolak, dan hanya 4 % saja mereka terima.

Kitab-kitab hadits yang diakui para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjadi pegangan dan rujukan kaum muslimin ditolak oleh mereka, karena kaum Syi’ah mempunyai kitab hadits yang nilainya menurut mereka jauh lebih tinggi dari hadits-hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Kitab hadits mereka disusun oleh al-Kulaini, nama kitab tersebut ialah:
  1.     Al-Kafi,
  2.     Al-Ushul minal Kafi, dan
  3.     Al-Furu’ minal Kafi.
Penyimpangan lain yang bisa kita lihat dari pengertian hadits menurut pendapat mereka, ialah:
  1.     Mereka tidak mementingkan sanad sama sekali.
  2.     Semua yang diriwayatkan dari imam-imam ma’shum (Imam dua belas), kedudukan haditsnya sama dengan hadits yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sama dengan Al-Qur-an dari segi kekuatannya.
  3.     Selama hadits tadi diriwayatkan oleh imam mereka, wajib diterima.
  4.     Kaum muslimin jelas sangat jauh berbeda dengan Syi’ah dalam hal:
    a. Ilmu Mushthalah Hadits,
    b. Ilmu Dirayah Hadits,
    c. Ilmu Rijalil Hadits

Berkata Imam Malik tentang Rafidhah, “Jangan bicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan sesuatu pun dari mereka. Mereka adalah pendusta.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang Syi’ah Imamiah, “Mereka adalah manusia yang paling pendusta dalam masalah naqliyah (wahyu) dan sebodoh-bodoh manusia dalam masalah akal, bahkan mereka ini golongan yang paling bodoh.”

C. As-Sunnah dan Para Penentangnya di Masa Sekarang

Secara historis sesudah abad kedua Hijriyah tidak pernah timbul lagi dalam sejarah individu atau jama’ah yang mengaku dirinya Islam tetapi mereka membuang As-Sunnah. Umumnya mereka yang menolak As-Sunnah adalah para pengikut sekte-sekte yang timbul pada zaman fitnah mulai tahun 37 H sampai abad kedua, kemunculannya tiada lain karena kebodohan semata. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah berupaya dengan berbagai usaha menyadarkan dengan berbagai dialog dan membantah hujjah mereka.

Sesudah berlalu dua belas abad, zaman berubah dan Daulah Islam telah lenyap, maka mulai muncul masa imperialisme, dan para penjajah mulai menyebarkan fitnah mereka yang jelek dan kotor untuk menghancurkan prinsip-prinsip Islam. Dalam situasi dan kodisi seperti ini muncullah penentang-penentang As-Sunnah di Iraq, Mesir, dan beberapa negara jajahan lainnya.

Adapun di Mesir timbul fitnah pada masa Muhammad ‘Abduh sebagaimana disebutkan oleh Abu Rayyah dalam kitabnya, yang kemudian setelah itu diikuti oleh Dr. Taufik Sidqi dengan artikelnya yang berjudul Al-Islam huwal Qur-anu Wahdah dalam al-Manar no. 7 dan 12, tahun VII di Mesir. Kemudian Ahmad Amin menulis dalam kitabnya Fajrul Islam tahun 1929 H, di dalamnya mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil, dan ia tetap berpendirian demikian hingga datang ajalnya.

Begitupula halnya Isma’il Adham, ia menulis risalah tahun 1353 H, tentang sejarah As-Sunnah, katanya, “Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim tidak kuat dasarnya (tidak kuat sanadnya), bahkan diragukan dan umumnya adalah maudhu’ (palsu)!”

Jadi, ada orang yang menolak As-Sunnah secara keseluruhan, dan ada pula yang menolaknya sebagian saja, yakni mereka yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Dalil-dalil yang mereka pakai hampir sama dengan dalil-dalil yang dipakai oleh orang-orang yang menolak As-Sunnah pada abad ke-2 Hijriyah.
_______

Footnote:

[1] Setelah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang yang mem-buat ia menjadi kafir.
[2] Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/21-22).
[3] Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/22-23).
[4] Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/23-25).
[5] Tentang masalah-masalah ini lebih rinci, lihat kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim (9 jilid), cet. I, th. 1406 H.
Dr. Ihsan Ilahi Zhahir telah menulis beberapa kitab tentang Syi’ah yang diterbitkan oleh Idaarah Turjumaanil Qur-an, Lahore-Pakistan, di antaranya:

    Asy-Syi’ah wal Qur-an.
    Asy-Syi’ah was Sunnah.
    Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, dan selainnya


AS-SUNNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG

D. Dalil-Dalil Para Penolak As-Sunnah
Dalil-dalil yang dijadikan dasar dan argumentasi mereka untuk menolak As-Sunnah ialah:[1]
  • Pertama: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ

“…Tiada sesuatu pun yang terluput dalam Al-Qur-an ini…” [Al-An’aam/6: 38]

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

“…Dan kami turunkan Al-Qur-an kepadamu sebagai penjelasan segala hal…” [An-Nahl/16: 89]

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا

“Maka patutlah aku mencari hakim selain dari pada Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepadamu dengan terperinci?..” [Al-An’aam/6: 114]

Ketiga ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Al-Qur-an mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah agama, baik hukum-hukumnya dalam kehi-dupan di dunia dan akhirat. Dengan ketiga ayat itu menurut mereka sesungguhnya Allah telah menerangkan dan merinci segala sesuatunya hingga tidak diperlukan lagi keterangan lain, seperti halnya As-Sunnah. Karena kalau seandainya Al-Qur-an masih belum lengkap atau masih meninggalkan bagian-bagian tertentu, maka kalau demikian mengapa Allah mengatakan bahwa Al-Qur-an telah menjelaskan segala sesuatunya? Sekiranya masih diperlukan keterangan lain, berarti Allah telah menya-lahi pemberitaan-Nya sendiri, dan hal ini sangat mustahil.
  • Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur-an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr/15: 9]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjamin akan menjaga keutuhan Al-Qur-an, sedangkan As-Sunnah tidak. Sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah, tentulah Allah akan menjaminnya.
  • Ketiga: As-Sunnah tidak ditulis di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat, sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah pastilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menuliskannya. Demikian juga para Shahabat dan Tabi’in akan berusaha mengumpulkan dan melembagakannya. Para Shahabat hanya diperintahkan untuk menulis Al-Qur-an, tapi sebaliknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melarang mereka untuk menuliskan hadits-hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk menghapusnya bagi mereka yang sudah terlanjur menulisnya.
Di antara hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjahnya adalah:
  1.     Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa menulis sesuatu dariku selain Al-Qur-an hendaklah ia hapus. Dan tidak dihalangi kalian menyampaikan sesuatu dariku, dan barang-siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempatkan tempat duduknya di Neraka.” [HR. Muslim]
  2.     ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abu Bakar telah membakar sebuah dokumen yang mencatat hadits, seraya berkata: “Aku khawatir kelak setelah mati, tersebar hadits pada orang yang kupercayai seolah-olah aku menguatkannya, padahal mungkin saja orang tersebut tidak meriwayatkannya sesuai dengan apa yang telah disampaikan kepadaku.” [HR. Al-Hakim]
  3.     Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu bertindak serupa ketika berkunjung kepada Mu’awiyah, ia ditanya tentang suatu hadits. Zaid memberitahukannya kepada Mu’awiyah, lalu Mu’awiyah menyuruh seseorang mencatat hadits tersebut. Akan tetapi Zaid berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menulis apa pun tentang hadits yang disampaikannya.” Lalu orang tersebut menghapus kembali apa yang telah ditulisnya”.
  4.     Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu bermaksud untuk mencatat As-Sunnah, kemudian berputar haluan sambil berkata, “Pernah aku bermaksud menuliskan hadits, kemudian aku ingat pada satu kaum yang hidup sebelum kalian membukukan catatan yang didapatnya sehingga mereka tenggelam dalam karya tersebut dan Al-Qur-an dilupakan. Demi Allah, aku tidak mau mencampur Kitab Allah dengan apa pun juga selama-lamanya.”
  5.     Demikian pula halnya ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, yang meminta agar siapa saja yang telah menuliskan hadits untuk menghapusnya.
Selanjutnya Dr. Taufik Sidqy menjelaskan bahwa As-Sunnah baru dilembagakan setelah munculnya kesalahan dan kealpaan, sehingga menyusuplah penyelewengan dan perubahan yang menimbulkan keraguan dan menghilangkan kepercayaan untuk memakai hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Baca Juga  Hadits yang Memerintahkan Untuk Mengikuti Nabi
  • Keempat:Taufik Shidqy pernah membawakan hadits yang di dalamnya mengisyaratkan bahwa As-Sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, di antaranya:
إِنَّ الْحَدِيْثَ سَيُقْشُوْ عَنِّي فَمَا أَتَا يُوَافِقُ الْقُرْآنَ فَهُوَ عَنِّي وَمَا أَتَاكُمْ عَنِّي يُخَالِفُ الْقُرْآنَ فَلَيْسَ مِنِّي.

“Akan bertebaran hadits-hadits dariku, apa-apa yang datang kepadamu dari hadits-haditsku, bacalah Kitabullah dan bandingkanlah yang cocok dengan Al-Qur-an, dan yang berbeda dari Al-Qur-an bukanlah dari diriku.”

إِذَا حَدِّثْتُمْ عِنِّي حَدِيْثاً تَعْرِفُوْنَهُ وَلاَ تُنْكِرُوْنَهُ قُلْتُهُ أَوْ لَمْ أَقُلْهُ، فَصَدَّقُوْا بِهِ فَإِنِّي أَقُوْلُ مَا يُعْرَفُ وَلاَ يُنْكَرُ، وَإِذَا حَدِّثْتُمْ عَنِّي حَدِيْثاً تُنْكِرُوْنَهُ قُلْتُهُ أَوْ لَمْ أَقُلْهُ فَلاَ تُصَدِّقُوْا بِهِ فِإِنِّي لاَ أَقُوْلُ مَا يُنْكَرُ وَلاَ يُعْرَفُ.

“Apabila disampaikan kepada kalian hadits dariku dan kalian mengetahuinya dan tidak mengingkarinya, yang aku katakan atau yang aku tidak katakan, benarkanlah dia. Karena sesungguhnya aku bersabda dengan apa-apa yang sudah dikenal dan tidak diingkari. Tetapi bila disampaikan kepada kalian hadits yang kalian ingkari dan kalian tidak mengenalnya, maka dustakanlah hadits itu karena aku tidak berkata sesuatu yang tidak dikenal atau diingkari.”
_______

Footnote:

[1] Lihat penjelasan mereka dan bantahannya dalam kitab:

    As-Sunnah Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy, hal. 176-189.
    Difa’ ‘anis Sunnah wa Raddu Syubahil Mustasyriqin wal Kuttaabil Mu’aa-hirin, Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.
    Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/30-42).


TANGGAPAN DAN BANTAHAN BAGI PARA PENENTANG AS-SUNNAH

D. Pentadwinan

 (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah.”

As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.”[1]

Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara resmi.

Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:

تَسْمَعُوْنَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ

“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.”[2]

Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi’in. Begitu selanjutnya, para Tabi’in yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.

Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H), datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah:

    Ibnu Juraij di Makkah
    Sa’id bin Arubah
    Al-Auza’i di Syam
    Sufyan ats-Tsauri di Kufah
    Imam Malik bin Anas di Madinah
     ‘Abdullah Ibnul Mubarak
    Hammad bin Salamah di Bashrah
    Husyaim
    Imam asy-Syafi’i

Mereka ini semuanya dari generasi Tabi’ut Tabi’in yang hidup pada zaman kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi’in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:

Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:

    Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, lahir th. 194 H – wafat th. 256 H)
    Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H – wafat th. 261 H)

Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if, bahkan ada pula yang maudhu’ (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :

    Musnad Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H)
    Shahih al-Bukhari (194 – 256 H)
    Shahih Muslim (204 – 261 H)
    Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)
    Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)
    Sunan Ibni Majah (209 – 273 H)
    Sunan an-Nasa-i (225 – 303 H)

Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:

    Shahih Ibnu Khuzaimah (223 – 311 H)
    Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jamush Shaghir, yang disusun oleh ath-Thabrani (260-340 H)
    Sunan ad-Daraquthni (306 – 385 H)
    Al-Mustadrak al-Hakim (321 – 405 H)

Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya. Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha’if dan palsu, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallaam.

Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sab’ah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha’if, kitab-kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:

    Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha’if Sunan at-Tirmidzi,
    Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha’if Sunan Abi Dawud,
    Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha’if Sunan an-Nasa-i,
    Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha’if Sunan Ibni Majah,
    Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha’if al-Adabul Mufrad,
    Shahih Mawariduzh Zham’an dan Dha’if-nya,
    Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha’if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.

Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dalam penulisan hadits dan pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-Sunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

E. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat
Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah:

1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu’jamul Kabir dari jalan ‘Ali bin Sa’id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin ‘Abdillah dari ‘Abdullah bin ‘Umar.

Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa ‘illatnya:

a. Al-Wadhiin bin ‘Atha’ jelek hafalannya
b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima kalau ada mutabi’nya.”
c. Abi Hadhir tersebut lemah

2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi Dzi’bin, dari Sa’id bin Abi Sa’id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi’bin dari Sa’id al-Makburi, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu Hurairah.

Jadi ‘illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi’bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini termasuk mursal.

Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.

Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah dan syari’at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Qur-an, bukankah ba-nyak hukum syari’at yang ditetapkan dalam As-Sunnah?

Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka’at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala hukum mu’amalah dan ibadah?

Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, “Dapat kiranya kita mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kambing, unta, dan sapi? Adakah aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ke-tentuan fiqh lainnya?

Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma’ ulama orang tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa cukup shalat satu raka’at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.

Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya. Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma’ ummat Islam.

Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal nash-nashnya ada, mereka menurut ijma’ ulama termasuk orang fasik.

Atas kedua dasar itulah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib dijadikan pegangan[3].

DALIL PARA PENOLAK KHABAR AHAD

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______

Footnote:

[1] HR. Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu? (Fat-hul Baary I/194) dan ad-Darimy (I/126).
[2] Hadits shahih riwayat Ahmad (I/321), Abu Dawud (no. 3659), al-Hakim (I/95) dan Ibnu Hibban (Shahih Mawariduzh Zham’an no. 65), dari jalan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
[3] Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I/214-215), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah