Type Here to Get Search Results !

 


HIDAYAH ITU DIJEMPUT, BUKAN DITUNGGU?


Saudaraku,
Hidayah itu mahal dan berharga
Sangat beruntung orang yang mendapat hidayah
Dia merasakan kebahagiaan dunia-akhirat
Kebahagiaan hati, ketentraman jiwa dan ketenangan yang sejati

Hidayah itu bukan ditunggu
Menunggu waktu tua dahulu
Menunggu sukses dunia dahulu
Menunggu anak dewasa dan mandiri dahulu

Hidayah itu dijemput dengan segera
Karena taubat tidak menunggu ajalmu
Bukan lambat asal selamat
Tapi cepat agar selamat di akhirat

Hanya orang yang bersungguh-sungguh lah yang mendapatkan hidayah. Allah berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Orang-orang yang bersungguh-sungguh (berjuang) di jalan Kami, sungguh akan Kami berikan petunjuk (hidayah) kepada mereka untuk istiqamah di jalan Kami. (QS. Al-Ankabut: 69).

Ibnul Qayyim menjelaskan ayat di atas, beliau berkata:

علق سبحانه الهداية بالجهاد، فأكمل الناس هداية أعظمهم جهادا، وأفرضُ الجهادِ جهادُ النفس، وجهاد الهوى، وجهادُ الشيطان، وجهادُ الدنيا

“Allah menggantungkan/mengkaitkan hidayah dengan perjuangan/jihad. Manusia yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Jihad yang paling utama yaitu jihad mendidik jiwa, jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan dan jihad melawan fitnah dunia.” [Al-Fawaid, hlm. 59]

Bersungguh-sungguh lah, melawan nafsu dunia dan syahwat yang menipu
Melawan gengsi dunia dan sombong
Melawan kerasnya hati

Bagaimana cara menjemput hidayah:
Datangi kajian dan sumber ilmu, karena hidayah dan hijrah itu harus dengan ilmu
Segera ganti dengan teman-teman yang baik dan shalih
Baca buku tata cara shalat dan perbaiki cara shalatmu
Ambil Al-Quran yang lama berdebu, bacalah dengan lama sejenak

Infakan sebagian hartamu
Sedekahlah sembunyi-sembunyi, semoga bisa meredam murka Allah
Segera kunjungi anak yatim, usap lah kepalanya dan santuni
Ziarah ke kubur dan renungkan lah engkau akan menyusul dan dilupakan manusia
Berkunjunglah ke orang sakit dan lihat mereka menyesal tidak bisa beramal banyak lagi
Kunjungi panti jumpo, lihat mereka menyesal menyia-nyiakan masa muda dengan hura-hura
Tidak lupa berdoa kepada Allah di sepertiga malam memohon hidayah kepada Allah

Semoga kita semua mendapatkan hidayah dari Allah.

Semoga keluarga, teman dan kaum muslimin mendapatkan hidayah terbaik.

Penulis: dr. Raehanul Bahraen



HIDAYAH DAN ISTIQAMAH DI ATASNYA

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

اَ لْهِدَايَةُ هِيَ الْعِلْمُ بِالْحَقِّ مَعَ قَصْدِهِ وَإِيْثَارِهِ عَلَ dan غَيْرِهِ، فَالْمُهْتَدِيْ هُوَ الْعَامِلُ بِالْحَقِّ الْمُرِيْدُ لَهُ

Hidayah yaitu mengetahui kebenaran yang disertai dengan niat untuk mengetahui dan mengutamakannya dari pada yang lain. Jadi orang yang diberi hidayah yaitu yang melakukan kebenaran dan menginginkannya. [1]

Pentingnya Hidayah

Seorang Muslim dalam kehidupannya sangat membutuhkan hidayah. Ia tidak bisa lepas dari hidayah Allâh Azza wa Jalla. Apalagi di zaman yang digambarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dimana fitnah itu seperti potongan malam yang kelam, paginya seorang beriman namun sore harinya ia menjadi kafir. Sorenya beriman namun di pagi harinya ia menjadi kafir, ia menjual agamanya demi sedikit dari harta dunia. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ، يُصْبِ حُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.

Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih karena fitnah-fitnah itu seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit. [2]

Manusia membutuhkan hidayah lebih dari kebutuhan mereka terhadap makan dan minum. Bahkan Allâh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum Muslimin dalam shalatnya untuk senantiasa memohon hidayah kepada Allâh Azza wa Jalla sebanyak tujuh belas kali setiap harinya. Ini menunjukkan betapa pentingnya hidayah itu dalam kehidupan dan kehidupan manusia.

Betapa pentingnya masalah hidayah, banyak manusia yang memohon dan mengharapkan hidayah menyapa dirinya. Tapi sayang, mereka tidak mau berusaha untuk menjalankan sebab-sebabnya. Hidayah tidak akan datang secara tiba-tiba dan gratis. Hidayah memerlukan perjuangan untuk mencapainya. Tidak mungkin Allâh Subhanahu wa Ta'ala mengutus malaikat-Nya untuk membimbing tangan seorang hamba agar bergerak menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, kalau hamba tersebut bermalas-malasan ketika mendengar adzan dan tidak mau mengambil air wudhu. Tidak mungkin juga Allâh Azza wa Jalla mengutus malaikat-Nya untuk menarik tangan seorang hamba dari kemaksiatan dan kemungkaran, kalau hamba tersebut tidak berusaha menjauhinya.

Benarlah ibarat yang sering kita dengar, “hidayah itu mahal”. Ya, hidayah memang mahal. Ia tidak diberikan kepada orang-orang yang hanya bisa mengharap tanpa mau berusaha. Ia diberikan hanya kepada mereka yang mau bersungguh-sungguh mencarinya dan berusaha mendapatkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا  ۚ وَإِنَّ اللَّه َمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan menunjukkan kepada jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allâh beserta orang-orang yang berbuat baik. [Al-'Ankabût/29:69]

Ingatlah kisah Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu ! Bagaimana beliau Radhiyallahu anhu berusaha dan berjuang untuk mendapatkan hidayah, beliau meninggalkan Persia untuk mendapatkan hidayah sampai masuk agama Nashrani. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu pergi ke Madinah sampai bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam , lalu beliau masuk Islam. [3]

Dalam masalah hidayah ini, Ibnu Rajab rahimahullah telah membagi manusia menjadi tiga bagian :

Pertama , رَاشِدٌ ( râsyid ) yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan selanjutnya.

Kedua, غَاوِيٌ ( ghâwi ) yaitu orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikutinya.

Dan yang ketiga , ضّالٌّ ( dhal ) yaitu orang yang tidak mengetahui hidayah secara menyeluruh.

Setiap râsyid, dia mendapat petunjuk, dan setiap orang yang mendapat petunjuk secara sempurna maka ia dikatakan r â syid . Karena hidayah menjadi sempurna apabila seseorang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya . [4]

Hubungan Hidayah Dan Istiqâmah

Istiqâmah adalah meniti jalan yang lurus dan tidak melenceng ke kiri dan ke kanan. Istiqâ mah mencakup mengerjakan seluruh ketaatan yang lahir maupun yang batin dan meninggalkan larangan yang lahir maupun batin.

Seorang hamba dalam meniti jalan yang lurus ini membutuhkan hidayah. Ia tidak bisa berjalan tanpa melenceng ke kiri dan ke kanan kecuali dengan hidayah dari Allâh. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus [Al-Fatihah/1:6]

Dalam ayat di atas Allâh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk memohon hidayah dalam meniti jalan yang lurus. Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah berkata, “Maksudnya, tuntun kami dan tunjuki kami serta berikan taufik kami kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan yang jelas yang mengantarkan kita kepada Allâh Subhanahu wa Ta'ala dan surga-Nya. Jalan tersebut adalah mengungkap kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tunjuki kami kepada jalan yang lurus dan tunjuki kami di dalam jalan yang lurus tersebut. Maksudnya, tunjuki kami ke jalan yang lurus adalah berpegang teguh pada agama islam dan meninggalkan agama selain islam . Dan makna tunjuki kami di dalam jalan yang lurus adalah mencakup hidayah kepada semua agama perincian secara ilmu dan amal. Doa ini merupakan doa yang paling menyeluruh dan bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu, wajib bagi seorang hamba untuk berdoa kepada Allah dengan doa ini di setiap rakaat shalatnya.” [5]

Seorang Muslim tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak mengetahui apakah besok dia masih tetap setia berada di jalan yang lurus atau tidak. Karenanya seorang Muslim dituntut untuk selalu memohon hidayah agar ditetapkan dalam agama ini dan diberikan akhir kehidupan yang baik. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa hati seorang hamba terletak di antara jari jemari Allâh, jika Allâh Subhanahu wa Ta'ala menghendaki sesat, maka ia akan sesat, dan jika Allâh Subhanahu wa Ta'ala menghendaki ia lurus, maka ia pun akan lurus. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أُمَّ سَلَمَةَ ! إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَص َابِعِ اللهِ، فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ.

Wahai Ummu Salamah! Tidaklah ada seorang anak adam kecuali hatinya terletak di antara dua jemari Allâh, jika Allâh berkehendak, Dia akan luruskan, dan jika Dia berkehendak, Dia akan sesatkan. [6]

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam sering mengucapkan :

يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنـكَ

Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu

Anas Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh! Kami telah memberi Anda dan kepada apa (ajaran) yang Anda bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir atas kami?” Maka Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

نَـعَمْ ، إِنَّ الْـقُـلُوْبَ بَـيْـنَ أُصْبُـعَـيْـنِ مِنْ أَصَابِع ِ اللّٰـهِ يُـقَلِـّبُـهَـا كَـيْـفَ يَـشَاءُ.

Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya. [7]

Seorang insan tidak bisa istiqâmah melainkan dengan hidayah dari Allâh Subhanahu wa Ta'ala . Dua hal ini sangat berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu seorang muslim jika ia ingin tetap berada di atas hidayah sampai wafatnya, maka ia wajib berpegang teguh pada al-Qur'ân dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman assalafus shalih. Ia wajib melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta'ala , menjauhkan larangan-larangan-Nya. Ia juga wajib melaksanakan tauhid dan menjauhkan syirik, melaksanakan sunnah dan menjauhkan bid'ah, serta senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ditetapkan di atas hidayah dan sunnah dan diwafatkan di atas sunnah. Bila seseorang istiqâmah dalam menjalankan sunnah sesuai dengan petunjuk syari'at, maka Allâh Subhanahu wa Ta'ala akan menambah petunjuknya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” [Muhammad/47:17]

Macam-Macam Hidayah [8]

Hidayah memiliki empat macam:
  • Pertama: Hidayah yang umum yang mencakup seluruhmakhluk yang Allâh jelaskan dalam firman-Nya:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ

Dia (Musa) menjawab, “Rabb kami adalah (Rabb) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberikan petunjuk.” [Thaha/20:50]

Maknanya, bahwa Allâh Azza wa Jalla telah memberikan segala sesuatu bentuknya yang tidak akan serupa dengan yang lain. Allah memberikan setiap anggota badan bentuk dan gerakannya, memberikan setiap orang rupa yang khusus, kemudian memberikan hidayah mereka kepada pekerjaan-pekerjaan yang diciptakan sesuai dengan penciptaan mereka. Seperti Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada hewan untuk bergerak dengan kemauannya demi mendapat apa-apa yang bermanfaat baginya dan menolak bahaya yang mengancamnya. Benda mati diberikan hidayah sesuai dengan penciptaannya. Semuanya itu diberikan hidayah yang layak dengan penciptaan mereka. Sama halnya setiap jenis hewan memiliki hidayah yang sesuai dengannya meskipun berbeda jenis dan rupanya, begitu juga anggota badan memiliki hidayah yang layak baginya. Allâh Subhanahu wa Ta'ala memberi hidayah kepada kaki untuk berjalan, tangan untuk mencengkeram dan bekerja, lisan untuk berbicara, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat pemandangan. Begitulah Allâh Subhanahu wa Ta'ala memberikan hidayah sesuai dengan penciptaannya. Allâh juga memberikan hidayah kepada pasangan setiap hewan untuk melakukan perkembang-biakan dan mendidik anak, dan memberikan hidayah kepada seorang anak untuk menghisap susu puting ibunya.

Dan urutan hidayah ini hanya Allâh yang dapat menghitungnya. Allâh juga telah memberikan hidayah kepada lebah untuk membuat sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di bangunan-bangunan. Kemudian setelah itu ia diperintah untuk menempuh jalan Rabb-nya yang telah dimudahkan olehnya dan kembali ke rumahnya. Ia juga diberikan hidayah untuk mentaati induk lebah, mengikutinya, dan bermakmum kemana pun ia pergi. Ia juga diberikan hidayah untuk membangun rumah yang indah dan kokoh.

Siapapun yang memperhatikan sebagian dari hidayah Allâh yang tersebar di alam semesta ini, maka ia akan menyaksikan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allâh, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata, Maha Perkasa Maha Bijaksana.

Alihkanlah perhatian Anda dari pengetahuan terhadap hidayah ini kepada penetapan kenabian dengan pandangan yang mudah, benar, ringkas, dan paling jauh dari syubhat. Karena, bagaimana mungkin Rabb yang tidak membiarkan hewan-hewan sia-sia dan memberikan mereka hidayah yang susah dicerna oleh para pemikir, membiarkan manusia yang dimuliakan dan diberikan karunia atas seluruh makhluk begitu saja, tidak memberikan petunjuk kepada kesempurnaannya, malah dibiarkan begitu saja tanpa diperintah , dilarang, tidak diganjar, dan dihukum ? Sungguh, ini merupakan ketidaksesuaian terhadap hikmah Allâh dan menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada Allâh Subhanahu wa Ta'ala.

Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta'ala mengingkari orang-orang yang berpendapat seperti yang disebutkan di atas dan menjelaskan bahwa itu tidak mungkin. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَ ا تُرْجَعُونَ ﴿١١٥﴾ فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ  ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ? Maka maha tinggi Allâh, raja yang sebenarnya, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (yang memiliki) 'Arsy yang mulia.” [Al-Mukminun/23: 115-116]

Allâh Azza wa Jalla mensucikan diri-Nya dari perkiraan ini. Maka jelaslah bahwa perkara ini (anggapan bahwa manusia diciptakan sia-sia) telah terbukti kebatilannya dalam fitrah manusia yang suci dan akal yang lurus. Ayat ini juga merupakan salah satu dalil yang menetapkan hari akhirat dengan akal. Dan hal tersebut telah jelas dengan dalil akal dan syara', sebagaimana ia juga merupakan salah satu jalan yang kuat dalam hal ini. Siapa pun yang faham tentang ini maka ia akan memahami rahasia firman Allâh Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّ ا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ  ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ  ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Rabb mereka mengumpulkannya.” [Al-An'âm/6:38]

Dengan firman-Nya:

وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ  ۚ قُلْ إِنَّ اللَّهَ قَادِرٌ عَلَىٰ أَنْ يُنَزِّلَ آيَةً وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Dan mereka (orang musyrik) berkata, 'mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Rabbnya?' Mengatakan, 'sesungguhnya Allah berkuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.' [Al-An'âm/6:37]

Kalau Allâh Subhanahu wa Ta'ala memberikan hidayah kepada binatang, apalagi kepada manusia ! Allâh tidak mungkin membiarkan mereka. Oleh karena itu, Allah mengutus para Nabi dan para Rasul untuk menunjuk mereka kepada kemaslahatan mereka, di dunia dan akhirat.

  • Kedua: Hidayah bayan (keterangan) dan dilalah (petunjuk), serta pengenalan terhadap dua jalan; jalan kebaika dan keburukan, keselamatan dan kebinasaan.

Hidayah ini tidak mengharuskan adanya petunjuk yang sempurna, karena hidayah macam ini hanya sebagai sebab dan syarat bukan sebagai jaminan. Karenanya perlu disandingkan petunjuk dengan hidayah ini, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta'ala:

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَىٰ عَلَى الْهُدَى ٰ

Dan adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu…” [Fushshilat/41:17

Maksudnya, Kami menjelaskan kepada mereka, Kami tunjuki mereka, dan Kami tuntun mereka, tapi mereka tidak mau mengikuti hidayah itu. Diantaranya juga firman Allâh:

لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sungguh, Anda benar-benar membimbing manusia menuju jalan yang lurus. [Asy-Syûra/42:52]

  • Ketiga: Hidayah taufik dan ilham. Hidayah ini mengharuskan adanya petunjuk dan tidak pernah absen dalam mengikutinya. Hidayah ini yang disebut oleh Allâh dalam firman-Nya:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ يُضِلُّ مَ نْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ 

Jika Allah berkehendak Dia bisa menjadikan kalian umat siapa yang satu, akan tetapi Dia mendorong yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki…” [An-Nahl/16:93]

Juga firman-Nya:

إِنْ تَحْرِصْ عَلَىٰ هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ

Jika engkau (Muhammad) sangat berharap agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya…” [An-Nahl/16:37]

Juga dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ.

Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat mengelilinginya. Dan siapa yang Allâh sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk .” [9]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَا ءُ  ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” [Al-Qashash/28:56]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menafikan hidayah taufik dan ilham dari diri Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menetapkan dakwah hidayah dan penjelasan dalam firman-Nya :

لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

…Sungguh, Anda benar-benar membimbing manusia ke jalan yang lurus. [Asy-Syûra/42: 52]

  • Keempat : Tujuan dari semua hidayah, yaitu hidayah di akhirat, menuju ke Surga atau ke Neraka ketika para penghuninya digiring ke dalamnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإ ِيمَانِهِمْ  ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Rabb karena keimanannya. Mereka berada di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di dasar sungai-sungai. [Yunus/10:9]

Dan kata penghuni surga ketika berada di dalamnya :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا

 “…Segala puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami ke surga ini…” [Al-A'râf/7:43]

 Dan firman Allâh Azza wa Jalla tentang penghuni neraka:

احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ ﴿ ٢٢﴾ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الجَحِيمِ

(Diperintahkan kepada malaikat), 'Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.'” [Ash-Shaffât/37:22-23]

Apabila Anda telah mengetahui ini, maka hidayah yang selalu diminta dalam firman-Nya tentang jalan yang lurus adalah hidayah dari macam yang kedua dan ketiga saja, yaitu memohon penjelasan, petunjuk, taufik dan ilham.

Doa-Doa Agar Dikaruniai Hidayah

Setelah kita mengetahui bahwa seorang insan tidak pernah lepas dari hidayah dan bahwa ia sangat membutuhkan hidayah melebihi kebutuhannya terhadap makan dan minum, maka berikut ini kami bawakan beberapa doa dari al-Qur'an dan as-sunnah agar kita dikaruniai hidayah oleh Allah.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً  ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Ya Rabb kami, janganlah Engkau memberikan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau memberikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau maha pemberi. [Ali Imran/3:8]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu . [10]

اللَّهُمَّ ثَبِّتْنِيْ وَاْجَعْلِنْي هَادِيًا مَهْدِيًّا

Ya Allâh, teguhkanlah diriku, jadikanlah diriku pemberi petunjuk dan diberi petunjuk (oleh-Mu) . [11]

اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ وَسَدِّدْنِيْ ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَ وَالسَّدَادَ

Ya Allâh, berilah petunjuk padaku dan luruskanlah diriku. Ya Allâh, aku memohon petunjuk dan kelurusan kepada-Mu. [12]

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal/baik), dan kecukupan [13]

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ الس Perlindungan Lingkungan Perlindungan Lingkungan dan Perlindungan Lingkungan ِ يَخْتَلِفُوْنَ، اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ Kartu kredit juga merupakan pilihan yang baik َقِيْمٍ

Ya Allâh, Rabb Jibrîl, Mikâ-îl, dan Israfîl. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb Yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hukum di antara hamba-hamba-Mu tentang apa-apa yang mereka perselisihkan. Temukanlah aku pada kebenaran (yaitu, tetapkan aku di atas kebenaran) dari apa yang dipertentangkan dengan seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki. ” [14]

Wallahu a'lamu bish shawaab.

Penulis: Al-Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas  حفظه الله

_______

Catatan Kaki:

[1] Mift â h Dâ ris Sa'â dah (I/305), ta'liq Ali bin Has an al-Halabi, cet . Daar Ibnu 'Affan, th. 1416 H.
[2] Shahih : HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868- Mawârid ), dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[3] Tentang kisah masuknya Islamnya Salman al-Fâ risi Radhiyallahu anhu dibawakan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah t dalam kitabnya, Fawâ -idul Fawâ -id (hlm. 363-366). Lihat juga kitab-kitab lain dalam ta'liq Syaikh Ali Hasan al-Halabi terhadap kitab ini.
[4]  J â mi'ul 'Ulû m wal Hikam (II/126), cet. Muassasah ar-Risalah.
[5] Tais î r karî mir Rahmâ n (hlm. 39), cet. Saya, Daarul Fadhiilah, th. 1425 H.
[6] Shahih : HR. At-Tirmidzi (no. 3522).
[7]   hahah: HR. At-Tirmidzi (no. 2140), dan selainnya.
[8] Bad â -i'ul Fawâ -id (hlm. 207-208), karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq dan takhrij Basyir Muhammad 'Uyun, cet. II, Maktabah Darul bayan, th. 1425 H. Lihat juga Mift â h Dâ ris Sa'â dah (I/307-309), karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah , ta'liq dan takhrij Syaikh Ali Hasan al-Halabi, cet. Saya, Daar Ibni 'Affan, th. 1416 H.
[9] HR. Abu Dawud (no. 2118), at-Tirmidzi (no. 1105), dan lainnya.
[10] SDM. At-Tirmidzi (no. 3522)
[11] HR. Al-Bukhâri (no. 6333)
[12] HR. Muslim (no. 2725)
[13] HR. Muslim (no. 2721).
[14] SDM. Muslim (no. 770 (200)), Abu Dawud (no. 767), dan Ibnu Mâjah (no. 1357). Nabi n membaca doa istift â h ini ketika shalat malam. Lihat do'a-do'a tersebut dalam buku penulis, Do'a dan Wirid , cet. XVI, Pustaka Imam asy-Syafi'i-Jakarta, th. 2013.



GERBANG HIDAYAH

Ihdinash-shirathal mustaqim, shirathalladzina-an`amta `alaihim… Begitulah seorang muslim melafazhkan kalimat per kalimat dua ayat saat membaca surat al Fatihah. Artinya, tunjukilah kami kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat….

Seorang muslim senantiasa membacanya pada setiap raka’at shalat, saat beribadah kepada Allah. Satu isyarat yang menunjukkan, betapa pentingnya hidayah, sehingga seorang muslim harus memohonnya, minimal tujuh belas kali dalam satu hari satu malam. Hidayah itu sangat dibutuhkan, sebagaimana tubuh membutuhkan makanan dan minuman. Begitulah, hatinya juga memerlukan hidayah sebagai sarana memenuhi kebutuhannya.

Hidayah, merupakan nikmat yang dianugerahkan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Ia merupakan salah satu nikmat yang agung dari sekian banyak nikmat. Dan nikmat hidayah, adalah nikmat yang bernilai istimewa.

Hidayah merupakan sentuhan lembut Ilahi, yang akan mengantarkan seorang hamba kepada pantai kebahagiaan. Ia merupakan wujud kasih-sayang Ilahi, sehingga seorang hamba tidak terjatuh ke dalam jurang kesalahan dan kesengsaraan. Ia menuntun seorang hamba yang dikuasai hawa nafsu, sehingga menjadi terbimbing kepada kehendak Dzat Yang Maha Kuasa. Maknanya, Allah tidak membiarkan seorang hamba berada dalam kesendirian ketika mencari kebenaran. Akan tetapi, tanganNya menuntunnya ke arah yang Dia ridhai.

Jika demikian yang terjadi pada seorang hamba, maka hal itu merupakan pertanda baik. Berarti, jejak-jejak kasih-sayang Allah sudah tampak di kalbunya. Mahabbah Allah kepadanya sedang datang menuju hatinya. Maka seorang hamba hendaklah segera menampungnya dalam kalbunya. Jangan biarkan hidayah Allah berlalu. Jangan biarkan hidayahn itu meninggalkannya, sehingga menyebabkan seorang hamba harus menunggu dan menunggu, tanpa mengetahui kapan akan datang kembali. Bisa jadi, penantian itu tidak berkesudahan.

CARA ALLAH AZZA WA JALLA MEMBERIKAN HIDAYAH

Allah memiliki banyak cara untuk membuat seorang hamba kembali kepada kebenaran, setelah lama ia bergumul dengan kemaksiatan. Ternyata, fitrahnya tak bisa mengingkari, bahwa tidak ada kebahagiaan, kecuali kembali kepada Allah.

Ada seorang parewa [1] yang telah banyak melakukan dosa. Salah satunya, dia telah membunuh banyak orang, hingga 99 orang. Tiba-tiba rasa kerinduan kepada kebenaran menghentaknya. Lalu pergilah ia bertanya kepada orang-orang, apakah ada yang bisa mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan yang ia punyai. Orang-orang menunjukkannya kepada seorang ahli ibadah. Setelah bertemu dengan orang yang yang ditunjukkannya tersebut, ia pun menanyakan tentang dosa yang telah ia lakukan, yaitu membunuh 99 orang. Apakah bagi dirinya masih terbuka pintu taubat dan hidayah? Ternyata, orang yang ditanya menjawab : “Tidak,” mendengar jawaban tersebut, parewa ini serasa marah, hingga dibunuhlah seorang ahli ibadah yang ditanya ini. Menjadi lengkaplah ia membunuh 100 orang.

Sekalipun ia mengulangi dosa yang telah lalu, tetapi ternyata tidak membuatnya putus asa. Kemudian, parewa ini pun kembali mencari seseorang yang bisa memberikan jawaban terhadap masalah yang menghantui pikirannya. Dia pun bertemu dengan seorang ahli ilmu.

Bertanyalah ia: “Saya telah membunuh 100 orang. Yang terakhir saya bunuh bukanlah orang sembarangan. Dia ahli ibadah, yang mungkin di mata Allah jauh lebih mulia dari 99 orang yang telah saya bunuh sebelumnya. Apakah pintu taubat masih terbuka bagi saya?”.

Mendengar pengaduan sang pemuda ini, seorang ahli ilmu ini menjawab: “Siapakah yang dapat menghalangi antara dirimu dengan taubat?”

Mendengar penjelasan ini, Sang Pemuda mengangkat kepalanya, seakan tidak percaya mendengar dari jawaban tersebut. Wajahnya berbinar, air matanya menetes karena bahagia. Selesailah sudah pengembaraannya. Saatnya ia menghirup hari-hari bahagia. Perilaku dan perbuatan yang telah meletihkan dan menyengsarakannya, tidak akan ia ulangi lagi. Dan ia pun menuruti nasihat seorang ‘alim ini yang mengatakan: “Akan tetapi, berangkatlah engkau ke negeri yang jauh. Yaitu ke tempat orang-orang yang shalih. Jangan kembali lagi ke negerimu, karena negerimu tidak baik”.

Berangkatlah ia melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman. Di dalam lubuk hatinya, ia berazam untuk hijrah dari semua amal buruk menuju kebaikan.[2]

Kebanyakan orang menemukan hidayah, tatkala jiwanya sedang remuk redam disebabkan karena musibah yang sedang menimpanya. Musibah ini menumbangkan semua kesombongannya, meluluh-lantakkan ketidakpeduliannya terhadap Allah dan syari’atNya. Ketika seorang hamba sudah berada di atas jurang kehancuran, Allah menahannya, lalu menuntunnya dengan kelembutan dan kasih-sayangNya. Akhirnya, hamba yang sombong ini terselamatkan, kembali kepada jalan Allah. Ini semua dikarenakan hidayah Allah.

Dia, seperti seorang prajurit yang membelot dan berkhianat, tetapi telah kalah berperang melawan atasannya. Kemudian, dengan pakaian lusuh, wajah kotor dan berdebu, luka-luka memenuhi sekujur tubuhnya, ia kembali. Dia menyerah. Dengan menyerahkan diri secara sukarelala, ia memiliki harapan, mudah-mudahan sang atasan akan memaafkan kesalahannya.

Terkadang Allah menundukkan kesombongan seorang hamba dengan membinasakan kekayaan, yang seorang hamba ini merasa memilikinya selama ini. Kesadaran muncul setelah api besar membakar rumahnya atau istananya, dan segala kekayaan yang ia peroleh dengan menghabiskan semua waktu dan masa mudanya yang hanya untuk mengumpulkan harta.

Terkadang Allah memaksanya untuk bersujud dan membaluri keningnya dengan tanah, setelah ia kehilangan orang-orang yang dicintainya. Kadangkala Allah memberi hidayah kepada seseorang, setelah orang itu terjerat dalam kasus korupsi; setelah ia merasakan sempitnya penjara, dan pedihnya kehilangan jabatan. Maka ia tinggalkan dunia, dan ia kembali kepada Allah.

Atau terkadang Allah menimpakan penyakit kepadanya, sehingga menyebabkan dirinya terbaring lemas. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, ia tetap tergolek di atas kasur, setelah puluhan tahun dengan kesehatan yang dimilikinya ia melawan Allah, dengan selalu berbuat maksiat. Dia menyangka, seakan ia memiliki kekuatan.

Mereka itu adalah orang-orang beruntung. Mereka menemukan jalan kembali, setelah diberi teguran oleh Dzat Maha Pencipta.

Ada lagi manusia, yang juga menjadi mulia karena memperoleh hidayah. Yaitu orang-orang yang dihentikan pengembaraannya, disebabkan kerinduannya kepada kebenaran. Seperti perjalanan ikan solmon, ia melintasi sungai, menyeberangi lautan, mengarungi samudera, melintasi benua. Bermil-mil perjalanan telah ia tempuh. Ketika sudah tiba masanya, ada kerinduan memanggilnya untuk kembali ke fithrahnya sebagai seorang hamba, sekalipun banyak aral menghalanginya. Orang-orang itu, termasuk diantaranya adalah para sahabat yang mulia, Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal.

Khalid, seorang ksatria, panglima yang tidak pernah terkalahkan, hamba Allah Azza wa Jalla yang tawadhu, pemilik jiwa besar, karena dia memang orang besar. Semuanya tentu mengetahui, apa yang telah ia perbuat terhadap kaum Muslimin di perang Uhud. Dengan ketajaman pandangannya, ia dapat merubah kekalahan menjadi kemenangan untuk Quraisy. Yang ini sebagai kemenangan pertama dan terakhir bagi mereka. Sang ksatria ini, hampir pada semua tempat dan dimanapun berada, dia selalu menunjukkan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Akan tetapi, cahaya hidayah telah mengubahnya. Sebelum penaklukan Mekkah, ia mengajak kawan karibnya, yaitu ‘Amr bin Ash untuk berangkat menuju Madinah, dengan tujuan meyatakan keislaman.

Berangkatlah mereka dengan ‘azam (tekad) yang telah kuat. Dan tetaplah ia berlaku sebagai ksatria dari Quraisy. Setibanya di Madinah, ia pun mengutarakan keinginannya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulurkan tangan kepadanya, maka Khalid bin Walid menarik kembali tangannya, seraya berucap : “Dengan syarat, wahai Nabi Allah Azza wa Jalla, agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan segala perbuatanku semasa jahiliyah”. Bagaimanakah Rasulullah menanggapi permintaannya? Beliau n tersenyum dan berkata,”Apakah engkau belum mengeri, wahai Khalid? Sesungguhnya Islam menghapuskan semua perbuatan engkau sebelum ini!”

Alangkah indah pembicaraan tersebut, penuh dengan pemahaman, kebeningan, keteduhan, ketulusan dan kejujuran. Menggetarkan setiap muslim yang mendengarnya, apalagi yang menghadirinya. Bagaimanakah peristiwa ini bisa terulang kembali oleh pendengaran kita pada zaman kita sekarang ini?

Adapun Ikrimah, dia adalah orang yang ikut serta mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah beberapa tahun yang lalu. Setelah Mekkah dikuasai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ikrimah mencoba lari dari kenyataan. Dia seberangi lautan. Dia lintasi lautan padang pasir. Dalam kesendiriannya, ia coba tinggal di negeri orang. Dia mencoba menahan diri dari dorongan kembali kepada kebenaran. Telah ia coba. Akan tetapi, ternyata panggilan itu begitu kuat. Keinsafan menghinggapi hari-harinya. Maka, ia mencoba untuk melangkahkan kaki pulang, menyatakan kelemahan diri dan mengantarkan kepasrahan jiwa.

Disebutkan oleh Ibnu Hajar, ketika Ikrimah dalam pelarian, di sebuah bahtera, datanglah badai, lalu orang-orang yang berada dalam bahtera itu berteriak : “Ikhlaskan niat kalian kepada Allah. Sesungguhnya Tuhan (berhala) kalian tidak mendatangkan manfaat sedikitpun,” sehingga tenanglah badai itu, lalu ia berkata,”Ya Allah, jika keikhlasan yang menyelamatkanku di lautan, tentu ia juga yang akan menyelamatkanku di daratan. Demi Allah, aku berjanji, jika aku selamat dari kejadian ini, aku akan mendatangi Muhammad, dan aku letakkan tanganku di atas tangannya.[3]

Itulah satu contoh datangnya hidayah, yang kemudian diraihnya.

Ada lagi, yang dalam mendapatkan hidayah, mereka memperolehnya melalui pencarian yang cukup melelahkan. Berpindah dari satu ajaran kepada ajaran lain. Dari agama satu kepada agama lain. Hingga akhirnya, diapun memperoleh apa yang diinginkan. Contoh yang tepat untuk golongan ini adalah Salman al Farisi.

Yang juga sangat luar biasa, sebagai bukti kasih-sayang Allah terhadap hambaNya, yakni golongan yang seolah sudah masuk dalam katagori yang tidak mungkin ada harapan untuknya. Seakan tidak ada denyut kebenaran dalam hatinya. Seolah hatinya benar-benar telah mati, lalu rahmat Allah mendahuluinya, dan iapun memperoleh hidayah. Contoh dari golongan ini adalah Umar bin Khaththab.

Tentang dirinya diturunkan ayat dalam surat al An`am ayat 122, Allah berfirman.

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” [al-An’am : 122].

Inilah permisalan dari Allah untuk seorang hamba, yang pada mulanya hatinya terpuruk dalam kesesatan, lalu Allah menghidupkan kembali hatinya. Yang tadinya gersang, Dia segarkan dengan iman. Allah memberinya petunjuk untuk mengikuti RasulNya. Dia memasukkannya kepada Islam, agama penyerahan diri. Saat itu, ia telah mulai mengerti hal-hal yang bermanfaat dan membahayakan dirinya. Ia pun berusaha untuk melepaskan diri dari kemurkaan dan hukuman Allah Azza wa Jalla. Pandangannya mulai mengenal kebenaran, yang sebelumnya ia tidak bisa melihatnya. Ia sudah mulai belajar, yang sebelumnya ia buta. Dan ia sudah mulai belajar pula untuk mengikuti syari’at Allah, yang sebelumnya ia berpaling darinya. Sampailah ia memperoleh cahaya hidayah. Dengan cahaya itu, ia dapat menggunakannya untuk menerangi perjalanannya kepada Allah Azza wa Jalla, di tengah kegelapan manusia.[4]

MUARA KEBENARAN

Para ulama mengatakan, semua perbuatan badan, yang lahir darinya perbuatan baik maupun perbuatan buruk, amal shalih maupun amal thalih, hakikatnya dikuasai oleh satu komando, yaitu hati atau qalbu. Ibarat raja, qalbu memiliki kekuasaan terhadap bala tentaranya. Semua tindakan berada di bawah perintah dan larangannya. Ia dapat menggunakan sekehendaknya. Semua di bawah kuasa dan penuh pengabdian kepadanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, itulah hati” [5]

Hidup dan bercahayanya hati, berarti merupakan pertanda jika dirinya telah memiliki modal untuk meraih segala kebaikan. Begitu pula sebagaimana mati dan gelapnya hati, itu merupakan pertanda jika ia memiliki dasar keburukan.

Oleh karenanya, hati yang bisa merengkuh hidayah Allah Azza wa Jalla, baik ia sendiri yang melangkah, atau hidayah yang mendekatinya, atau sebab tertentu kemudian Allah k berbuat atas diri hambaNya sesuai dengan keinginan dan kehendakNya, maka hati yang seperti ini, berarti hati tersebut masih dalam kategori hidup, dan hati tersebut masih mempunyai cahaya, meskipun redup.

Dengan hidupnya hati, berarti menunjukkan semua perangkat tubuhnya masih aktif, baik pendengaran maupun penglihatannya, malu dan jati dirinya. Begitu pula ia masih memiliki semua akhlak yang mulia, cinta kepada kebaikan dan rasa benci kepada keburukan.

Hati yang baik, juga ibarat magnit. Semakin kuat kadar magnitnya, maka akan semakin kuat pula hidayah melekat kepadanya, atau ia sendiri yang melekat kepada hidayah.

Berbeda dengan hati yang mati. Sedikit demi sedikit telah meninggalkan unsur magnit, sebab maksiat yang sedang berproses pada hatinya telah merubahnya menjadi unsur lain, yang tidak lagi dapat menarik hidayah. Bahkan ia tidak dapat mendeteksi dan mengenalinya sama sekali.

Hati inilah yang menjadi kebahagiaan atau kesengsaraannya di dunia. Hati jugalah yang membuat akhir kehidupan hamba di dunia ditutup dengan husnul khatimah atau su-ul khatimah.

Dari ‘Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ [في رواية – فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ [في رواية – فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

“Dan demi Dzat yang tidak ada yang berhak diibadahi selainNya, sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan penduduk surga [dalam riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antara dia dengan surga, kecuali tinggal satu hasta. Kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan amalan penduduk neraka, sehingga ia masuk ke dalamnya. Dan seseorang beramal dengan amalan penduduk neraka [dalam riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antara dia dengan neraka, kecuali tinggal satu hasta. Kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan amalan penduduk surga, sehingga ia masuk ke dalamnya”.[6]

Ibnu Rajab berkata,”(SAbda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “yang nampak oleh manusia) ini memberikan adanya petunjuk, bahwa (perkara) batin tidak sesuai dengan lahirnya. Bahwa su`ul khatimah terjadi karena tersembunyinya dosa yang tidak terlihat oleh manusia, baik dari sisi amalan buruk maupun yang lainnya. Sifat yang tersembunyi tersebut mengantarakannya kepada su`ul khatimah ketika dekat kematian. Begitu juga seseorang beramal dengan amal penduduk neraka, lalu pada akhir hidupnya sifat yang tersembunyi itu mengalahkan amalan buruknya, yang menyebabkannya mendapat husnul khatimah.” [7]

Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan, akan tetapi hal seperti ini jarang terjadi, disebabkan kasih-sayang Allah dan keluasan rahmatNya; perubahan manusia dari yang buruk kepada yang baik banyak terjadi. Sedangkan perubahan seseorang dari yang baik kepada yang buruk, sangat langka ditemukan. Segala puji untukNya atas itu semua. [8]

Ya Allah Azza wa Jalla ! Hiasilah kami dengan hiasan iman. Jadikanlah kami pemberi petunjuk untuk manusia yang telah Engkau beri hidayah, tidak sesat dan menyesatkan. Jadikanlah kami untuk tetap mencintai orang yang mencintai karenaMu.

Penulis: Ustadz Armen Halim Naro

_______

Footnote:

[1]. Parewa adalah bahasa Minang. Yaitu pemuda yang hidupnya bergelimang dosa dan maksiat, akan tetapi masih memiliki iman dan merasa segan terhadap orang yang taat beragama.
[2]. HR Bukhari, 6/512; Muslim, no. 2766, dari Sa`ad bin Malik bin Sinan.
[3]. Ash-Shabah, 4/538.
[4]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/231 dan Ighatsul Lahfan, Ibnul Qayyim, halaman 26.
[5]. HR Bukhari, 1/126, no. 52; Muslim, 11/57, no. 1599, dari hadits Nu’man bin Basyir.
[6]. HR Bukhari, 6/303, no. 3208, 3332, 6594; Muslim no. 2643.
[7]. Jami` Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab, 1/57.
[8]. Syarh Arba’in an Nawawiyah, Ibnu Daqiqil-‘Id, 1/31.

Tags