Type Here to Get Search Results !

 


PEMBAGIAN TAUHID MENURUT PARA ULAMA AHLUS-SUNNAH

Pembagian tauhid merupakan salah satu ijtihad dari para ulama untuk menjelaskan betapa pentingnya aspek-aspek pada ajaran tauhid dalam agama Islam. Pembagian-pembagian yang disampaikan oleh para ulama adalah hasil telaah (istiqra‘) dari berbagai dalil-dalil dalam syariat. Pembagian ini berguna juga untuk memperingatkan umat Islam terkait aspek-aspek yang dapat merusak nilai keimanan seorang muslim terhadap Allah Ta’ala. Bahkan, urgensi ini lebih sangat dibutuhkan lagi jika melihat berbagai ancaman dan tantangan di zaman ini yang penuh fitnah-fitnah yang menerpa umat Islam, mulai dari ajaran-ajaran liberalisme, pluralisme, sekulerisme, singkretisme, sampai pada syubhat-syubhat kesyirikan yang dibungkus sebagai ajaran dari Islam.


Oleh karena itu, pembagian tauhid dalam ajaran agama Islam bukanlah sesuatu yang baru alias bid’ah, melainkan hanyalah sebagai sarana untuk memudahkan umat dalam memahami agama sebagaimana para ulama fikih merumuskan berbagai tatanan aspek-aspek yang menjadi rukun dalam suatu ibadah. Itu merupakan hasil ijtihad sebagai cara/metode yang bertujuan memudahkan umat untuk belajar terkait hukum-hukum dalam sebuah ibadah.

Sebelum membahas pengklasifikasian tauhid, tentunya kita harus memahami makna tauhid secara ringkas. Makna tauhid secara bahasa berasal dari kata وَحَّدَيُوَحِّدُتَوْحِيْدًا yang memiliki arti  “menjadikan sesuatu esa (tunggal)”. Adapun secara istilah dalam syariat, tauhid dapat diartikan sebagai mengesakan Allah dalam segala hal yang menjadi kekhususan bagi-Nya. Para ulama membagi tauhid dapat ditinjau dari berbagai sisi dan jenis pembagian, di antaranya:

Pembagian tauhid ditinjau dari objek yang dibahas (Allah) 

Jenis pembagian yanng pertama ini adalah pembagian yang masyhur di masa kontemporer ini. Pembagian yang pertama ini menitikberatkan pada sudut pandang dari mu’allaq-nya, yaitu objek yang dibahas, yaitu Allah. Pembagian ini mencakup tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma wa sifat.
  • Tauhid ar-rububiyyah (توحيد الربوبية)
Tauhid rububiyyah dapat didefiniskan sebagai pengesaan Allah dalam hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya. Tauhid rububiyyah ini mengandung implementasi bahwasanya seorang hamba harus memiliki keyakinan bahwa hanya Allah semata yang Mahamencipta, Mahamengatur, Mahamenghidupkan, Mahamematikan, Mahamemberikan rezeki, Mahakuat, dan Mahaperkasa. Atau dengan definisi yang lebih mudah, mengesakan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya.
Pendaftaran Mahad Ilmi 2024-2025

Tauhid jenis ini hampir-hampir tidak ada seorang pun yang mengingkari dari umat manusia, kecuali orang yang menyimpang dan menyombongkan diri. Hal ini dikarenakan semua hamba memiliki fitrah dalam hatinya bahwa ada Tuhan Yang Esa dibalik seluruh penciptaan dan pengaturan jagad raya. Hal ini dibuktikan sebagaimana yang Allah firmankan,

قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ ٱلسَّبۡعِ وَرَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِیمِ ۝  سَیَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘Maka, mengapa kamu tidak bertakwa?‘” (QS. Al-Mu’minun: 86-87)

Selain faktor fitrah, tauhid rububiyyah ini memiliki banyak sekali bukti yang mempersaksikan bahwa hanya Allah sematalah yang menciptakan, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh alam lewat berbagai ayat kauniyyat, berupa berbagai penciptaan makhluk dan alam semesta yang sempurna, begitu juga dengan keteraturan dari kejadian yang ada di alam semesta begitu teliti dan sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)

Terdapat syair Arab yang masyhur terkait keesaan Allah dalam rububiyyah-Nya, yaitu

وَفِي كُلِّ شيئٍ لَهُ آيَةٌ — تَدُلُّ عَلَى أنَّهُ وَاحِدُ

“Di dalam setiap sesuatu terdapat bagi-Nya bukti yang menunjukan bahwa Dia adalah Esa.”
  • Tauhid al-uluhiyyah (توحيد الألوهية)
Tauhid uluhiyyah dapat didefinisikan sebagai pengesaan Allah dalam seluruh jenis ibadah, hanya ditujukan untuk Allah. Kata “ulūhiyyah” (الألوهية) bermakna “ibadah”, sementara kata asal pembentuknya adalah dari “al-ilah” (الإله) yang berarti “yang disembah”. Maka dari itu, tauhid ini disebut dengan tauhid ibadah (توحيد العِبادة).

Dalil-dalil terkait dengan tauhid uluhiyyah, di antaranya:

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Bahkan, inti dari tauhid ini yaitu ibadah, menjadi tujuan utama diciptakan manusia dan jin di alam semesta ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Konsekuensi dari implementasi tauhid ini adalah wajib bagi setiap mukallaf untuk menyerahkan seluruh ibadah hanya kepada Allah semata. Maka sebaliknya, jika ia menyerahkan sedikit saja dari ibadah kepada selain Allah, maka ia terjerumus pada kesyirikan.

Definisi-definisi ibadah

Arti dari ibadah sendiri, para ulama mendefinisikan dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda, tetapi memiliki makna inti yang sama. Definisi-definisi terkait dengan ibadah dapat dikelompokkan menjadi tiga definisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-Fauzan dalam Al-Irsyad Ilaa Ash-Shahih Al-I’tiqad, yaitu:
  • Pertama, ibadah adalah segala hal yang diperintah oleh syariat dan tidak termasuk padanya hal-hal dari adat kebiasaan maupun hal-hal yang berasal dari konsekuensi logika (akal).
  • Kedua, ibadah adalah perendahan diri yang disertai dengan rasa cinta dan ketundukan diri yang sempurna. Definisi ini disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Kafiyah Asy-Syafiyah karangan beliau,
وَعِبادَةُ الرحمَن غاية حُبِّه — مَعْ ذُلِّ عَابِدِه هما قُطْبَانِ

عَليهِمَا فَلَكُ العِبَادةِ دائِرٌ — ما دَار حَتّى قَامتْ قُطْبَانِ

“Ibadah kepada Allah adalah rasa cinta yang sempurna dibarengi dengan ketundukan seorang hamba. Maka dua unsur tersebut adalah kutub (inti) dari ibadah.

Di atas kedua (unsur kutub) tersebut poros ibadah berjalan, dan tidak akan berjalan (sah) poros ibadah, kecuali dengan tegaknya dua kutub (unsur inti) tersebut.”
  • Ketiga, ibadah adalah seluruh hal yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridai oleh Allah dari perkataan dan perbuatan, baik yang tampak (zahir) maupun tersembunyi (batin). Definisi ini merupakan definisi yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah. Pada pendapat ketiga ini, Al-Hafidz Al-Hakami dalam kitabnya A’lam As-Sunnah Al-Mansyurah menambahkan dengan kalimat “disertai dengan berlepas diri dari hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang Allah cintai dan ridai”.

Dari ketiga definisi di atas dapat dibuat kompromi yang menandakan maksud dari para ulama adalah satu hal yang sama. Dari sisi pendapat pertama, definisi tersebut ditinjau dari penetapan sesuatu hal itu sebagai ibadah yang sah, maka harus berasal dari wahyu syariat. Maka, tidak boleh mengatakan atau menghukumi suatu perkataan dan perbuatan itu adalah ibadah melainkan dari wahyu syariat. Adapun definisi kedua, maka ia dibangun dari makna bahasa Arab yaitu “perendahan diri” dan unsur yang dikandung dari ibadah, yaitu rasa cinta dan ketundukam yang sempurna. Sementara pendapat ketiga, ditinjau dari konsekuensi sesuatu hal itu disebut ibadah. Maka, hal yang disebut ibadah konsekuensinya pasti dicintai dan diridai oleh Sang Khaliq, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Rukun kandungan dari suatu ibadah

Ibadah yang diperintahkan mengandung tiga makna utama di dalamnya. Para ulama menyebutnya dengan rukun dalam setiap ibadah. Tiga hal tersebut adalah: 1) cinta, 2) harap, dan 3) takut. Ketiga rukun tersebut dapat diringkas kembali dalam dua rukun saja, yaitu: a) cinta dan b) pengagungan. Sifat dari ibadah yang berkualitas adalah yang mengandung ketiga unsur ibadah tersebut sebagaimana dalam ayat tentang sifat ibadah para nabi. Allah berfirman,

فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَوَهَبْنَا لَهُۥ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُۥ زَوْجَهُۥٓ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Maka, Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)
  • Tauhid al-asma’ wa ash-shifat (توحيد الأسماء والصفات)
Tauhid al-asma’ wa shifat dapat didefinisikan sebagai pengesaan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah. Tauhid jenis ini adalah tauhid yang implementasinya berupa persaksian dan keyakinan bahwa Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, terbebas dari aib dan kekurangan. Dalil dari tauhid jenis ketiga ini dapat dijumpai dalam firman Allah Ta’ala berikut,

لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Mahamendengar, Mahamelihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah mendefinisikan tauhid asma’ wa shifat dengan kalimat berikut,

الإيمان بما وصف به نفسه في كتابه العزيز، وبما وصفه به رسوله محمد صلى الله عليه وسلم من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل

“Keimanan dengan sifat-sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an yang agung, dan keimanan dengan sifat-sifat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapkan untuk Allah tanpa disertai tahrif, ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil.”

Meskipun definisi di atas adalah terkait dengan sifat Allah, akan tetapi juga sama berlaku dalam bahasan nama-nama Allah Ta’ala. Adapun yang dimaksud dari istilah-istilah tentang tahrif, ta’thil, takyif, dan tamstil akan dijelaskan berikut ini,
  • Pertama, tahrif adalah menyelewengkan makna yang terpahami secara langsung kepada makna yang lain dan jauh yang tidak dimaksud oleh redaksi lafaz dengan kemungkinan kebenarannya yang lemah.
  • Kedua, ta’thil adalah menafikan sifat-sifat ketuhanan Allah dan mengingkari sifat tersebut sebagai sifat yang ada (melekat) pada Zat Allah.
  • Ketiga, takyif adalah meyakini sifat Allah memiliki bentuk dan rupa seperti ini atau itu atau bertanya tentang bentuk sifat Allah.
  • Keempat, tamtsil adalah meyakini bahwasanya sifat Allah serupa dengan sifat-sifat yang ada pada diri para makhluk-Nya.
Maka dari itu, keimanan seorang muslim terkait nama dan sifat Allah harus terbebas dari empat penyelewengan di atas yang dilakukan oleh kubu yang bersebrangan dari ahlussunnah wal jamaah.
Kaidah-kaidah umum dalam memahami nama dan sifat Allah

Dalam keimanan terkait tauhid jenis ini harus dilandaskan dengan berbagai kaidah yang telah masyhur di kalangan para ulama. Kaidah-kaidah dalam memahami asma’ dan sifat Allah dapat dijelaskan dalam beberapa poin-poin berikut:
  • Pertama, nama dan sifat bagi Allah adalah termasuk dari perkara gaib. Sikap yang wajib dilakukan oleh seorang mukmin adalah mengimani nama dan sifat Allah sebagaimana apa adanya, tanpa menjadikan barometer selain wahyu sebagai pokok rujukan dalam menetapkan keduanya.
  • Kedua, wajib memahami nash-nash terkait nama dan sifat Allah yang datang dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana makna yang tampak (dzahir).
  • Ketiga, akal (logika) manusia tidak memiliki ruang dan kuasa hak untuk menetapkan nama dan sifat bagi Allah secara terperinci dan mandiri tanpa adanya wahyu yang menetapkan perinciannya.
  • Keempat, pembahasan terkait sifat-sifat Allah itu sama dengan pembahasan Zat Allah. Maksudnya, jika Zat Allah Ta’ala itu adalah Zat yang ada dan memiliki kesempurnaan yang tiada sesuatu apapun yang menyerupainya, maka akan sama juga sifat-sifat yang melekat pada Zat Allah juga mencapai titik kesempurnaan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Maka dapat disimpulkan, hukum yang kita tetapkan dan yakini dalam sifat-sifat Allah itu sama dengan Zat Allah.
  • Kelima, kesamaan makna umum dari suatu sifat yang dimiliki oleh Allah dan makhluk tidak berkonsekuensi kesamaan atau keserupaan dalam kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh Allah dengan makhluk. Artinya, kesamaan pada suatu eksistensi yang ada dalam hal sifat-sifat yang memiliki makna sama tidak mengharuskan mereka sama dalam hakikat sifat tersebut. Akan tetapi, masing-masing dari sesuatu yang ada/ eksis memiliki kekhususan masing-masing dalam sifat tersebut. Misalkan, ilmu Allah, maka tentunya pada derajat sempurna. Sedangkan ilmu makhluk tidak akan sedikit pun berarti dan bernilai, jika dibandingkan dengan ilmu Sang Khaliq.
  • Keenam, Seluruh nama dan sifat Allah itu mencapai derajat kesempurnaan yang tidak diisi oleh sedikit pun dari kekurangan dan kelemahan.
________

Referensi:
  1. Alu Syaikh, Shalih bin Abdullah bin Abdul Aziz . 2016. At-Tamhid Li Syarhi Kitab At-Tauhid. Al-Azhar: Dar At-Taqwa
  2. Al-’Utaimin, Muhammad bin Shalih. 1435 H. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Ibnu Al-Jauzi.
  3. Al-’Umairi, Sulthan bin Abdurrahman. 2021. Al-’Uqud Adz-Dzahabiyyah ‘Ala Maqashidi Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Dimam: Dar Madariju Li An-Nasyr
  4. Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. 1440 H. Al-Irsyad Ila Shahihi Al-I’tiqad. Riyadh: Maktabah Dar Al-Minhaj.
  5. Harras, Muhammad Khalil. ____. Syarhu Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah. Urdun: Dar Al-Hasan Li An-Nasyr wa At-Tauzi’

Daftar Isi

    Pembagian tauhid ditinjau dari kewajiban hamba terhadap Allah
        Tauhid al-’ilmi
        Tauhid al-’amali
    Klasifikasi, penamaan, dan penjelasan tauhid menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H)
        Tauhid al-qaul al-’ilmi
        Tauhid al-’amali al-iradi
    Klasifikasi jenis tauhid menurut Ibnul Qayyim (691-751 H)
        Tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat
        Tauhid al-mathlab wa al-qashdi
    Klasifikasi jenis tauhid menurut Al-Hafidz Al-Hakami (1342-1377 H)
        Tauhid al-’ilmi al-khabari al-i’tiqadi
        Tauhid ath-thalabi al-qashdi al-iradi

Pembagian tauhid ditinjau dari kewajiban hamba terhadap Allah

Setelah dipaparkan pembagian tauhid menjadi tiga jenis, maka di antara para ulama ada yang membagi tauhid ini ke dalam dua jenis saja dengan menimbang sudut pandang kewajiban bertauhid seorang hamba terhadap Allah. Para ulama ahlusunah pada abad yang lebih lalu, yaitu sekitar abad 7 H, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah, lebih banyak membagi tauhid ini kepada dua jenis saja. Pembagian ke dalam dua jenis tauhid ini akan berkumpul pada klasifikasi berikut, yaitu, 1) tauhid al-‘ilmi dan 2) tauhid al-‘amali. Adapun penjelasan definisi ringkas dari kedua jenis tauhid tersebut sebagai berikut.
  • Tauhid al-’ilmi
Tauhid al-’ilmi adalah tauhid yang yang berisi kewajiban dari syariat kepada mukalaf untuk berilmu dan beriman dengan makna-makna rububiyyah dan sifat-sifat Allah yang sempurna. Maka, dapat disimpulkan bahwa pada tauhid jenis ini berkumpul dua jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid asma wa sifat.
  • Tauhid al-’amali
Tauhid al-’amali adalah tauhid yang berisi kewajiban syariat terhadap mukalaf untuk beramal dengan beribadah kepada Allah dan larangan untuk berbuat syirik. (Al-Fawaid Al-Masturah, 1: 52-53)

Setelah masa beliau berdua sampai zaman kontemporer ini, terdapat para ulama yang membagi tauhid ke dalam dua jenis, tetapi memiliki penamaan yang berbeda dengan beliau berdua. Berikut rincian pembagian tauhid menjadi dua jenis dengan sudut pandang kewajiban hamba terhadap Allah menurut berbagai pandangan para ulama.
Klasifikasi, penamaan, dan penjelasan tauhid menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H)

Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam satu kitab yang beliau tulis, yaitu Ash-Shafadiyah, menerangkan tentang tauhid ilahiah itu ada dua jenis, yaitu 1) tauhid al-qaul al-’amali dan b) tauhid al-’amali al-iradi. Syaikhul Islam rahimahullah berkata,

والتوحيد الذي جاءتْ به الرسل ونزلتْ به الكُتب هو توحيد الإلهية، وهو أن يعبد الله وحده لَا شريكَ له، وهو متضَمِّنٌ لشيئينِ، أحدهما: القول العلْميّ ، وهو إثباتُ صفاتِ الكمالِ، وتنزِيهه عن النقائصِ، وتنزيهه عن أنْ يمَاثِلَه أحدٌ في شيئ من صفاته، فلا يوصَفُ بنقْصٍ بحالٍ، ولا يماثله أحدٌ في الكمال، كما قال تعالى: (قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ۝  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ۝  لَمۡ یَلِدۡ وَلَمۡ یُولَدۡ ۝  وَلَمۡ یَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ)، فالصّمدية تُثبت له الكمال، والأحدية تنفي مماثلَه شيئ له في ذلك، كما بسطنا ذلك في غير هذا الموضع.

والتوحيد العَملي الإرادي أن يعبد إلا إياه، فلا يدعو إلا إياه ولا يتوكل إلّا عليه، ولا يخاف إلا إياه، ولا يرجو إلا أياه، ويكون الدين كله لله، قال تعالى: (قُلۡ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡكَـٰفِرُونَ ۝  لَاۤ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ۝  وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ ۝  وَلَاۤ أَنَا۠ عَابِدࣱ مَّا عَبَدتُّمۡ ۝  وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ ۝  لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ). وهذا التوحيد يتضمنُ أنّ اللهَ خالق كلِّ شيئٍ  وربه ومليكه لا شريك له في المُلكِ.

“Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul dan yang terkandung dalam kitab-kitab Allah adalah tauhid ilahiah. Tauhid ilahiah adalah seorang hamba beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya. Tauhid ilahiah mengandung dua unsur, yaitu:

Tauhid ini memiliki makna penetapan bagi Allah sifat-sifat yang sempurna, menyucikan Allah dari kekurangan-kekurangan, dan menyucikan Allah dari segala sesuatu yang menyerupai atau menyaingi-Nya dalam sifat-sifat Allah. Maka dari itu, Allah tidak disifati sedikit pun dengan kekurangan dan tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupai-Nya dalam kesempurnaan. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan, “Katakanlah (Muhammad), bahwa Allah adalah Esa. Allah adalah Zat tempat bergantung seluruh makhluk-Nya. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan Dia (Allah) tidak ada sesuatu apa pun yang sebanding (semisal) dengan-Nya. Maka, sifat Ash-Shamadiyah yang dimiliki Allah mengandung makna bahwa Allah memiliki kesempurnaan dari segala sisi. Sementara sifat Al-Ahadiyah menegasikan keserupaan sesuatu apa pun terhadap Allah dalam aspek kesempurnaan-Nya sebagaimana yang telah kami jelaskan pada tempat lain.
  • Tauhid al-’amali al-iradi
Tauhid ini memiliki makna bahwa seorang hamba tidak mengerjakan ibadah, kecuali hanya untuk Allah semata.  Maka, nantinya ia tidak akan berdoa kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali hanya kepada Allah, tidak takut kecuali hanya kepada Allah, dan tidak berharap kecuali hanya pada Allah. Sehingga seluruh agamanya (ibadahnya) hanya untuk Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), wahai orang-orang yang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Sementara kalian tidak menyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak akan (sekali-kali) menyembah apa yang kalian sembah. Sementara kalian juga tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” Tauhid jenis ini terkandung makna bahwa Allah adalah Sang Pencipta segala sesuatu, Allah adalah Tuhan seluruh alam, Sang Pemilik jagad semesta, dan tidak ada suatu serikat pun yang bersama Allah.” (Ash-Shafadiyah, 2: 228-229)

Klasifikasi jenis tauhid menurut Ibnul Qayyim (691-751 H)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga memiliki pembagian tauhid yang hampir sama dengan gurunya (Ibnu Taimiyyah) dengan membagi tauhid menjadi dua macam, yaitu: 
  1. tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat dan 
  2. tauhid al-mathlab wa al-qashdu. 
Pada kesempatan yang sama, Ibnul Qayyim juga menyebutkan nama lain dari dua jenis tauhid tersebut. Ibnul Qayyim menyampaikan pembagian tauhid ini dalam kitab Madarijus Salikin ketika membahas pembagian tauhid yang sebelumnya dipaparkan pembagian tauhid menurut berbagai firqah dalam Islam maupun luar Islam. Adapun beliau rahimahullah berkata,

وأمّا التوحيدُ الذي دعتْ رسل الله، نزلتْ بهِ كُتُبُ فوَرَاءَ ذلك كلِّهِ وهو نوعان، تَوْحيدٌ في المعْرفة والإثْباتِ، وتوحيدٌ في المطْلبِ والقصْد

فالأوّل: هو حقيقةُ ذاتِ الرّبِّ تعالى، وأسماءه، وصفاته، وأفْعالِه، وعُلُوِّه، فوق سمواتِهِ على عرْشِهِ، وتكلُّمِهِ بِكُتُبِه، وتكْلميهِ لِمنْ شاء منْ عِبادهِ، وإثْبات عمومِ قضاءِهِ، وقَدَره، وحُكْمه، وقد أفصح القرآنُ عن هذا النوعِ جِدَّ الإفصَاحِ

كما في أوّل سورةِ الحديد، وسورة طه، وآخر سورة الحشْر، وأوَّلُ سورة (تنزيل) السجدة، وأوّل سورة آل عمران، وسورة الإخلاصِ بكمالها، وغير ذلك.

النوع الثاني: مِثْلُ ما تضمّنتْهُ سورة: قل يأيها الكافرون)، وقوله: (قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم)، الآية وأوَّلُ سورة سورة (تنزيل الكتاب) وآخِرِها، وأوَّلِ سورة يونس ووسطِها وآخِرِها، وأوّلِ سورةِ الأعراف وآخِرُها، وجُمْلة سورة الأنعامِ وغالبِ سور القرآنِ، بل كلُّ سورةٍ في القرآن فهي متضمنة لنَوعي التوحيدِ.

بل نقول قولًا كليًا: إنّ كلَّ آية في القرآن فهي متضمةٌ للتوحيدِ، شاهدةٌ بِهِ، داعيةٌ إليهِ، فإنّ القرآنَ: إمّا خَبَرٌ عن اللهِ، وأسمائه، وصفاته، وأفعالِهِ، فهو التوحيد العلميالخبري، وإمّا دعوةٌ إلى عبادته وحده لا شريك له، وخَلْعُ كلّ ما يُعبدُ من دونِهِ، فهو التوحيد الإراديّ الطلبي، وإمّا أمرٌ ونهيٌ، وإلْزامٌ بطاعته في نهيِهِ وأمره، فهي حقوق التوحيد ومكمَّلاته، وإمّا خبرٌ عَنْ كرامة الله لِأهل توحيده وطاعَتِهِ، وما فعل بهم في الدنيا وما يُكرمُهم به في الآخرة، فهو جزاء توحيده، وإمّا خبر عن أهل الشِرْك، وما فعل بهم في الدنيا من النكال، وما يَحُلُّ بهم في العُقبى من العذاب، فهو خبر عمّنْ خرج عن حكم التوحيد.

“Adapun tauhid yang didakwahkan oleh para rasul Allah dan yang dikandung oleh seluruh kitab-kitab Allah terdapat dua macam, yaitu: 1) tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat dan 2) tauhid al-mathlab wa al-qashdu.

Tauhid al-ma’rifat wa al-itsbat

Tauhid yang pertama ini berisi tentang pembahasan hakikat Zat Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, ketinggian Allah di atas langit-langit, yaitu di atas ‘Arsy-Nya, perkataan-perkataan Allah dalam semua kitab-kitab-Nya, pembicaraan Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, penetapan atas seluruh kekuasaan, takdir, dan hukum yang ditetapkan oleh-Nya. Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an tentang tauhid ini dengan sangat fasih. Bukti-bukti tauhid ini tergambar pada awal surah Al-Hadid, surah Thaha, akhir dari surah Al-Hasyr, awal dari surah As-Sajdah, akhir surah Ali-Imran, surah Al-Ikhlas seluruhnya, dan lain-lain.

Tauhid al-mathlab wa al-qashdi

Tauhid ini adalah semisal yang dikandung dalam surah Al-Kafirun, “Katakanlah (Muhammad), wahai orang-orang yang kafir ,.. ”, juga firman Allah, “Katakanlah (Muhammad), wahai ahlul kitab, marilah kita sama-sama menuju satu seruan (tauhid) yang sama antara kami dengan kalian..”, ayat awal dalam surah Az-Zumar dan bagian akhirnya, awal surah Yunus, bagian tengah, dan akhirnya, awal surah Al-A’raf dan bagian akhirnya, sebagian dari surah Al-An’am, dan kebanyakan dari kandungan surah-surah dalam Al-Qur’an. Bahkan, setiap surah dalam Al-Qur’an berisi dua jenis tauhid di atas.

Maka, dapat kita disimpulkan secara global, bahwasanya setiap ayat dalam Al-Qur’an pasti mengandung, menjadi saksi kebenaran ajaran tauhid, serta mengajak untuk bertauhid. Hal ini karena Al-Qur’an isinya tidak lepas dari beberapa hal berikut, yaitu:
  • Pertama, kabar terkait Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah tauhid (jenis pertama) yaitu tauhid al-’ilmi wa al-khabari.
  • Kedua, perintah untuk beribadah kepada Allah semata tanpa dan tidak menyekutukan-Nya, serta membebaskan dari seluruh peribadahan kepada selain Allah. Tauhid ini (jenis kedua) disebut dengan tauhid al-iradi ath-thalabi.
  • Ketiga, syariat perintah dan larangan. Isi dari syariat ini adalah kewajiban menaati Allah dalam perintah dan larangan-Nya. Dua hal ini adalah hak-hak tauhid (yang harus ditunaikan hamba) dan penyempurna tauhid.
  • Keempat, kabar berupa karamah Allah kepada ahli tauhid dan ahli ketaatan, apa yang diperbuat oleh mereka di dunia, dan akhir yang akan mereka dapat berupa pemuliaan dari Allah di akhirat.
  • Kelima, kabar tentang ahli kesyirikan, apa yang mereka perbuat di dunia dari kezaliman, dan akhir yang akan menimpa mereka berupa azab. Isi yang kelima ini adalah kabar dari orang-orang yang telah keluar dari tauhid.” (Madariju As-Salikin baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in/1099)
Klasifikasi jenis tauhid menurut Al-Hafidz Al-Hakami (1342-1377 H)

Al-Hafidz Al-Hakami memiliki nazam yang cukup masyhur yang membahas tema akidah ahlusunah waljamaah. Nazam ini juga disyarah oleh beliau sendiri dalam kitab Ma’arijul Qabul. Beliau dalam nazam dan syarahnya membagi jenis tauhid kepada dua jenis, yaitu 1) tauhid al-’ilmi al-khabari al-i’tiqadi dan 2) tauhid ath-thalabi al-qashdi al-iradi. Beliau rahimahullah menjelaskan dalam kitab beliau,

التوحيد نوعان

الأوَّلُ: التوحيد العِلْمي الخَبَري الإعْتقَادي المتضمِّنُ إثباتَ صفاتِ الكَمال للهِ عزَّ وجلّ وتنزيههُ عن التشْبيهِ والتَمْثيلِ ووتنزيههُ عن صِفات النقصِ، وهو توحيد الربوبيّة.

الثاني: التوحيدُ الطّلَبِي القصْدي الإرَادي، وهو عبادةُ الله تعالى وحْده لا شريك له وتجْريد محَبَّته، والإخْلاص له وخوفه ورَجاؤُه والتوكُّل عليه بالرضا به ربًّا وإلهًا ووليا، وأن لا يجعل له عَدْلًا في شيئ من الأشياء، وهو توحيد الألوهية.

“Tauhid ada dua macam, yaitu:
Tauhid al-’ilmi al-khabari al-i’tiqadi

Yang pertama, tauhid al-’ilmi al-khabari al-i’tiqadi adalah tauhid yang terkandung di dalamnya penetapan sifat-sifat sempurna bagi Allah ‘Azza Wajalla dan penyucian Allah dari segala bentuk penyerupaan dan penyamaan Allah (terhadap makhluk), serta penyucian Allah dari segala sifat kurang. Tauhid ini sama dengan tauhid rububiyyah dan asma’ wa sifat.
Tauhid ath-thalabi al-qashdi al-iradi

Yang kedua, tauhid ath-thalabi al-qashdi al-iradi adalah yang berisi tentang perintah untuk beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, memurnikan kecintaan, keikhlasan, rasa takut, rasa harap, dan tawakal kepada-Nya dengan penuh rida bahwa Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah dan Yang Mahapelindung, serta tidak menjadikan sekutu bagi-Nya dalam satu pun bentuk peribadahan. Tauhid ini sama dengan tauhid uluhiyah.” (Ma’ariju Al-Qabul, 1: 121)

Penulis: Putra Mahardika Sakti 

_______

Referensi:

Al-Kawariy, Kamilah. 2019 M. Al-Fawaid Al-Masthurah Fii Halli Alfadzi Kitabi A’lami As-Sunnah Al-Manshurah. Beriut: Dar Ibnu Hazm.

Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 2011 M. Ash-Shafadiyah. Riyadh: Dar Al-Fadhilah.

Al-Hakami, Hafiz bin Ahmad. Ma’ariju Al-Qabul Bi Syarhi Sullam Al-Wushul Ila ‘Ilmi Al-Ushul Fi At-Tauhid. Dimam: Dar Ibnu Al-Jauzi.

Al-Jauziyah, Muhammad bin Abu Bakr bin Al-Qayyim. Madariju As-Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Al-Azhar: Dar Al-’Alamiyah.