Type Here to Get Search Results !

 


HAKIKAT IMAN, KUFUR, DAN TAKFIR


HAKIKAT IMAN, KUFUR, DAN TAKFIR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DAN MENURUT FIRQAH-FIRQAH YANG SESAT(1)

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa agama yang hak. Allah Ta’ala telah menjelaskan di dalam kitab-Nya tentang pokok-pokok agama dan tingkatan-tingkatannya, yang agama ini dibangun di atasnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, agama ini dibangun di atas tiga pondasi yang agung, dan semua syari’at agama ini bercabang darinya. Ketiga pondasi itu ialah Islam, iman, dan ihsan.

Dalil-dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah telah menjelaskan tentang hakikat dari setiap tingkatan agama, rukun-rukunnya, kedudukannya dalam agama, dan keterkaitan dengan yang lainnya.

Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup penjelasan tentang:
  1.     hakikat Islam, rukun-rukun, kewajiban-kewajibannya, serta hal-hal yang menjadi pembatal dan lawannya, berupa amal perbuatan.
  2.     hakikat iman, rukun-rukun, cabang-cabangnya, juga hal yang membuatnya bertambah dan berkurang, dan hal-hal yang dapat menghilangkan pokok-pokok keimanan atau menghilangkan kesempurnaannya
  3.     pengertian ihsan, serta hakikat dan rukunnya.
Begitu juga, terdapat sejumlah nash yang menjelaskan nama-nama hukum agama, berdasarkan pelaksanaan manusia terhadap tingkatan-tingkatan ini, yaitu siapa yang dikatakan sebagai muslim, mu’min, muhsin, fasiq, kafir, dan munafik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya mewajibkan dan mengharamkan, ganjaran dan siksa, mengkafirkan dan memfasikkan adalah hak Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Tidak ada hak bagi seorang pun dalam hukum ini. Kewajiban manusia, hanyalah mewajibkan apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”[1]

Beliau juga mengatakan,”Ketahuilah, bahwa permasalahan takfir (mengkafirkan) dan tafsik (memfasikkan orang lain) termasuk permasalahan asma`[2] dan ahkam[3] yang berkaitan dengan janji dan ancaman di akhirat. Juga berkaitan dengan wala` dan permusuhan, pembunuhan, terlindunginya darah dan hukum-hukum yang lainnya di dunia. Sesungguhnya Allah Ta’ala menjanjikan, bahwa orang-orang yang beriman masuk surga, dan mengharamkan surga bagi orang-orang kafir.”[4]

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan,”Permasalahan ini –maksudnya permasalahan Islam, iman, kekufuran, dan kemunafikan- adalah permasalahan yang besar. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengkaitkan nama-nama ini (Islam, iman, dan sebagainya) dengan kebahagiaan dan kesengsaraan, serta dengan permasalahan masuk surga dan neraka. Dan ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang musamma (penamaan) dari nama-nama itu (yang berhak mendapat nama-nama tersebut), merupakan ikhtilaf yang pertama kali muncul dalam ummat ini. Yaitu penyelisihan Khawarij terhadap para sahabat. Mereka (Khawarij) mengeluarkan para pelaku maksiat (dari kalangan kaum Muslimin) dari Islam secara keseluruhan, dan memasukkan mereka dalam lingkup kekufuran, serta memperlakukan mereka layaknya orang kafir. Lalu dengan hal itu, mereka menghalalkan darah kaum Muslimin. Setelah ini, muncullah penyelisihan kaum Mu’tazilah.”[5]

Sesungguhnya penyimpangan dalam masalah takfir (mengkafirkan) telah ada semenjak awal sejarah ummat ini. Yaitu dengan memberontaknya kaum Khawarij kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu pada tahun 37 H setelah beliau memandatkan tahkim. Yaitu menunjuk dua orang hakim untuk menjadi juru damai dalam memutuskan perkara pada Perang Shiffin. Mereka mengingkari ‘Ali Radhiyallahu anhu tentang hal ini, lalu mereka mengkafirkan ‘Ali, dua orang hakim (‘Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhuma, dan orang-orang yang ridha dengan keputusan itu.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Ketika ‘Ali Radhiyallahu anhu mengutus Abu Musa dan sejumlah pasukan bersamanya ke Daumatul Jandal, maka kaum Khawarij semakin menjadi-jadi. Mereka berlebih-lebihan dalam mengingkari ‘Ali, dan akhirnya mereka secara terang-terangan mengkafirkannya.”[6]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Karena inilah, wajib berhati-hati dalam mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa dan kesalahan (yang dilakukan). Karena hal ini merupakan bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah serta harta mereka.”[7]

PENJELASAN RINGKAS TENTANG HAKIKAT IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH DAN FIRQAH-FIRQAH SESAT

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah meyakini bahwa iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”[8]

Imam Abu ‘Utsman Isma’il ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Dan di antara madzhab Ahlul Hadits bahwa iman adalah perkatan, perbuatan, dan pengetahuan. Bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.”[9]?

Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pendapat ulama kaum Muslimin ialah bahwa iman wajib atas seluruh makhluk; yaitu membenarkan dengan hati, menetapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.”[10]

Kesimpulannya, iman menurut Ahlus Sunnah terdiri dari tiga pokok, yaitu keyakinan hati, perkataan lisan, dan perbuatan anggota badan. Dari tiga pokok inilah bercabangnya cabang-cabang iman.

Pendapat Murji’ah

Inti dari pendapat Murji’ah dalam masalah iman ialah, mengeluarkan amal perbuatan dari nama iman, dan bahwasanya iman tidak bercabang-cabang dan tidak terbagi-bagi, tidak menerima tambahan maupun pengurangan, bahkan iman itu sesuatu yang satu, seluruh orang Mukmin sama keimanannya. Inilah pokok pendapat mereka yang telah disepakati oleh seluruh firqah mereka.[11]

Pendapat Al Wa’iidiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah)

Khawarij dan Mu’tazilah masing-masing meyakini bahwa, al-iman al-mutlaq (pokok keimanan) mencakup hal melakukan seluruh amalan ketaatan dan meninggalkan seluruh hal yang diharamkan. Bila sebagian dari hal ini hilang pada diri seseorang, maka batallah keimanannya, dan ia berada di dalam neraka, kekal selama-lamanya.

Kemudian kedua firqah ini berselisih mengenai penamaan orang fasiq (pelaku dosa besar) di dunia. Khawarij mengatakan, pelaku dosa besar adalah kafir. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan, bahwa pelaku dosa besar berada dalam satu kedudukan di antara dua kedudukan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).[12]

SUMBER KESALAHAN FIRQAH-FIRQAH SESAT DALAM MASALAH IMAN SERTA KERANCUAN (SYUBHAT) MEREKA

Sumber kesalahan firqah-firqah sesat yang menyelisihi Ahlus Sunnah dalam masalah iman, kembali pada satu syubhat, yaitu keyakinan mereka bahwa iman adalah sesuatu yang satu, tidak terbagi-bagi atau bercabang.

Sisi-Sisi Perbedaan Antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah Dalam Masalah Iman
Perbedaan secara umum antara Ahlus Sunnah dan firqah-firqah sesat dalam masalah iman, terdapat pada tiga masalah.
  • Masalah Pertama: Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya iman itu terbagi-bagi dan bercabang-cabang. Apabila sebagiannya hilang, maka sebagian lain tetap ada. Berbeda dengan firqah-firqah sesat secara umum, karena mereka tidak berpendapat seperti itu, sebagaimana yang telah dijelaskan.
  • Masalah Kedua: Iman menurut Ahlus Sunnah dapat bertambah dan berkurang. Dan dalam hal ini, orang yang beriman itu bertingkat-tingkat. Sedangkan kebanyakan ahlul bid’ah tidak berpendapat demikian, karena didasari pokok pendapat mereka, yaitu iman tidak dapat dibagi-bagi dan tidak bercabang-cabang.
  • Masalah Ketiga: Menurut Ahlus Sunnah, terkadang pada diri seseorang terkumpul antara kufur dan iman, syirik dan tauhid, dan ini sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh berbagai nash. Contohnya firman Allah Ta’ala.
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan tidaklah sebagian besar dari mereka beriman kepada Allah, melainkan (mereka) dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). [Yusuf/12:106].

Dalam masalah ini, sebagian besar ahlul bid’ah menyelisihi dan mengingkarinya. Bahkan, Khawarij berpendapat, bahwa tidak mungkin terkumpul keimanan dan maksiat pada diri seseorang.[13]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Dan di sini ada pokok yang lain, yaitu terkadang terkumpul pada diri seseorang kekafiran dan iman, syirik dan tauhid, takwa dan maksiat, nifaq dan iman. Inilah di antara pokok Ahlus Sunnah yang agung. Selain mereka, yaitu dari kalangan ahlul bid’ah menyelisihinya, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Qadariyyah. Dan permasalahan keluarnya pelaku dosa besar dari neraka dan kekekalan di dalamnya, dibangun di atas pokok ini.”[14]

Makna perkataan mereka (Ahlus Sunnah) berkumpul di dalam dirinya kufur dan keimanan, maksudnya, berkumpul di dalamnya cabang-cabang kufur dan cabang-cabang iman; karena perbuatan maksiat merupakan cabang dari kekufuran. Adapun perbuatan ketaatan, termasuk cabang keimanan. Setiap cabang dari cabang-cabang kekufuran disebut kufur, dan setiap cabang dari cabang-cabang keimanan disebut dengan iman.[15]

Perbedaan Yang Bersifat Khusus Antara Ahlus Sunnah dan Murji’ah Dalam Masalah Iman, Terdapat Pada Tiga Masalah
  • Masalah Pertama: Ahlus Sunnah berpendapat, amal perbuatan masuk ke dalam nama iman. Adapun Murji’ah, mereka, tidak berpendapat demikian.
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Murji’ah menyelisihi kita dalam tiga hal: (1) kita mengatakan, iman adalah perkataan dan perbuatan; sedangkan mereka mengatakan, iman adalah perkataan tanpa amal. (2) kita mengatakan, iman bertambah dan berkurang; sedangkan mereka mengatakan, iman tidak bertambah dan tidak berkurang. (3) kita mengatakan, kami beriman dengan menetapkan; sedangkan mereka berkata, kami beriman di sisi Allah.”[16]

Masalah mengeluarkan amal dari iman merupakan pegangan pokok pendapat Murji’ah, yang mereka semua sepakat tentang masalah itu. Oleh karena itu, Imam al-Barbahari (wafat 329 H) rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang berkata bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, maka sungguh ia telah keluar dari irja’ (Murji’ah) dari awal sampai akhir.”[17] Artinya, ia bukan orang Murji’ah.
  • Masalah Kedua: Ahlus Sunnah tidak menetapkan dengan pasti terhadap seseorang dari kaum Muslimin dengan keimanan yang sempurna, dan tidak pula menafikan (meniadakan) pokok iman darinya. Sedangkan Murji’ah, mereka, menjadikan setiap orang yang mewujudkan pokok keimanan sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya, bahkan mereka (Murji’ah) menjadikan orang yang fasiq sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.
Ini yang dimaksud oleh Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pada masalah pertama: “Kami beriman dengan iqrar,” sedangkan mereka (Murji’ah) mengatakan, “Kami beriman di sisi Allah”. [18]
  • Masalah Ketiga: Ahlus Sunnah membolehkan memberi istitsna’ (pengecualian) pada keimanan yang sempurna (maksudnya, mengucapkan, “Saya beriman, insya Allah”) dan melarang hal itu pada pokok keimanan. Mereka tidak memberi kesaksian atas diri mereka dengan keimanan yang sempurna, dan mereka tidak meragukan pokok keimanannya. Adapun Murji’ah, mereka, mengharamkan istitsna’ (mengucapkan insya Allah) dalam iman, karena didasari pendapat mereka bahwa, iman adalah sesuatu yang satu. Yaitu pembenaran hati. Dan mereka menamakan orang yang memberi istitsna’ sebagai orang yang ragu-ragu (dalam keimanan).[19]
Perbedaan Ahlus Sunnah dengan al-Wa’idiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah) Terdapat Pada Tiga Masalah
  • Masalah Pertama: Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa, tetapnya pokok iman bersamaan dengan adanya dosa. Sedangkan Khawarij dan Mu’tazilah meyakini lenyapnya iman secara keseluruhan, bersamaan dengan adanya sebagian dosa. Karena inilah Ahlus Sunnah tidak mengeluarkan pelaku dosa besar dari agama Islam, sedangkan Khawarij dan Mu’tazilah mengeluarkan mereka dari Islam.
  • Masalah Kedua: Ahlus Sunnah memisahkan antara Islam dan iman ketika (penyebutan) keduanya berkumpul. Adapun Khawarij dan Mu’tazilah tidak memisahkan antara Islam dan iman.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata mengenai orang-orang fasiq di kalangan agama ini: “Adapun Khawarij dan Mu’tazilah, mereka mengeluarkan pelaku dosa besar dari nama iman dan Islam, karena menurut mereka, iman dan Islam itu adalah satu”.[20]
  • Masalah Ketiga: Perbedaan Ahlus Sunnah dengan Khawarij dan Mu’tazilah tentang penamaan orang fasiq (pelaku dosa besar) dan hukumnya.
Ahlus Sunnah berkata: “Ia muslim dan hukumnya di akhirat di bawah kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya”.

Khawarij berkata: “Dia (pelaku dosa besar) adalah kafir dan hukumnya di akhirat berada di dalam neraka, dan kekal selama-lamanya”.

Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa, dia berada pada satu kedudukan di antara dua kedudukan (manzilah bainal manzilataini), yaitu tidak mukmin dan tidak kafir. Hukumnya di akhirat, ia kekal di dalam neraka.[21]
_______

Footnote:

[1] Majmu’ Fatawa’ (V/554-555).
[2] Maksudnya adalah nama-nama, yaitu seperti iman, kekufuran, fasiq, dan lain-lain.
[3] Maksudnya adalah hukum-hukum yang timbul akibat dari nama-nama itu. Seperti pengkafiran, pernyataan bahwa seseorang yang beriman adalah mukmin, bahwasanya orang yang beriman masuk surga, dan seorang kafir masuk neraka, serta hukum-hukum yang lainnya. Sebagaimana lebih jelas lagi pada perkataan Ibnu Taimiyyah selanjutnya.
[4] Majmu’ Fatawa’ (XII/468).
[5] Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam (I/114).
[6] Al Bidayah wan-Nihayah (VII/295).
[7] Majmu’ Fatawa’  (XIII/31).
[8] Kitabus Sunnah, Imam ‘Abdullah bin Imam Ahmad (I/307).
[9] ‘Aqidatus-Salaf Ashabil-Hadits, halaman 82 no. 104.
[10] Kitabusy-Syari’ah (II/611).
[11] Majmu’ Fatawa’  (XII/471, XIII/38).
[12] Majmu’ Fatawa’  (VII/222, XVIII/270-271).
[13] Majmu’ Fatawa’  (VII/353).
[14] Ash-Shalah wa Hukmu Tarikhiha, Tahqiq: Bassam ‘Abdul Wahhab al-Jabi, Dar Ibni Hazm, Cetakan I Tahun 1416 H, halaman 78. Lihat juga Majmu’ Fatawa’ (XIII/48).
[15] Majmu’ Fatawa’  (VII/520) dan kitab ash-Shalah wa Hukmu Tarikhiha, halaman 79.
[16] Syarhus-Sunnah, Imam al-Baghawi (I/41).
[17] Syarhus-Sunnah, Tahqiq: Khalid bin Qasim ar-Raddady, halaman 123, no. 161.
[18] At-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 27.
[19] Majmu’ Fatawa’ (VII/429) dan Syarah ‘Aqidah ath-Thahawiyyah, halaman 494-497.
[20] Majmu’ Fatawa’ (VII/242).
[21] Majmu’ Fatawa’ (VII/241-242, XII/470-474, 479). Lihat Syarah ‘Aqidah ath-Thahawiyyah (halaman 442).



AWAL MUNCULNYA PENGKAFIRAN TANPA DALIL DI TENGAH-TENGAH UMMAT INI DAN BERBAGAI SEBABNYA

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Karenanya, wajib berhati-hati dalam mengkafirkan kaum Muslimin karena berbagai dosa dan kesalahan. Sebab hal itu adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam. Para pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah, dan harta mereka.”[1]

Kelompok yang pertama kali menampakkan pengkafiran tanpa haq (tanpa bukti yang benar) adalah Khawarij. Sebagian besar mereka, dahulunya adalah orang-orang yang bergabung bersama pasukan ‘Ali pada perang Shiffin. Maka tatkala ‘Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma bersepakat untuk melakukan tahkim (yaitu, mengangkat satu orang dari kedua belah pihak sebagai hakim atau penengah) –peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan 37 H– Khawarij mengingkari (menolak) perkara tahkim ini. Mereka melampaui batas dalam pengingkarannya terhadap ‘Ali. Mereka berkata kepadanya: “Engkau telah menjadikan manusia sebagai hakim terhadap Kitabullah, tidak ada hukum kecuali milik Allah,” kemudian secara terang-terangan mereka mengkafirkannya.[2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada para sahabatnya mengenai Khawarij dan kemunculannya, dan beliau memotifasi mereka untuk memeranginya. Di dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari hadits ‘Ali Radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ، سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ، يَقُولُوْنَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ، لاَ يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيْتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ، فَإِنَّ فِيْ قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِِ.

Akan keluar suatu kaum di akhir zaman. Mereka berusia muda dan berpemahaman dangkal. Mereka berkata dengan perkataan sebaik-baik makhluk. Iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama, laksana anak panah yang melesat menuju buruannya. Maka di mana saja kalian bertemu dengan mereka, bunuhlah mereka. Karena dalam pembunuhan mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi orang yang membunuhnya.[3]

Imam Abu Bakar al-Khallal rahimahullah membawakan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, bahwasanya beliau berkata: “Khawarij adalah satu kaum yang jelek. Aku tidak menyetujui adanya satu kaum yang lebih jelek daripadanya. Telah shahih hadits-hadits tentang mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari sepuluh jalan periwayatan hadits.”[4]

Khawarij adalah kelompok pertama yang dikenal dengan pengkafiran terhadap dosa besar dan pengkafiran terhadap umat Islam tanpa haq (bukti yang benar). Akan tetapi (hal ini) tidak terbatas pada mereka saja, bahkan kaum Rafidhah ikut dengan mereka, mereka lebih jelek daripada Khawarij –dalam hal pengkafiran dan selainnya dari berbagai keyakinan mereka– dimana mereka mengkafirkan orang-orang terpilih dari umat ini, yaitu para sahabat nabi. Mereka meyakini pemurtadan para sahabat (dengan sangkaan mereka) karena meninggalkan atau tidak memilih ‘Ali Radhiyallahu anhu sebagai khalifah.

Disebutkan dalam kitab al-Kafi (kitab induk Syi’ah) yang merupakan kitab paling shahih dan terpercaya menurut mereka, dari Abu Ja’far – ini hanya pengakuan mereka belaka– bahwasanya ia berkata, “Semua manusia menjadi murtad setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kecuali tiga orang”. Saya berkata,“Siapa tiga orang itu?” Ia menjawab,”Al-Miqdad bin al Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.”[5]

Rafidhah adalah ahlul bid’ah yang paling ekstrim dalam pengkafiran, sehingga mereka mengkafirkan setiap orang yang menyelisihinya; karena itulah mereka mengkafirkan sebagian besar para sahabat, Tabi’in dan seluruh imam pemuka agama. Mereka tidak bersikap wara’ (tidak berhati-hati) dalam hal ini, dan hal ini sudah masyhur bagi orang yang mengetahui ‘aqidah mereka serta menelaah kitab-kitab mereka.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,“Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, seluruh kaum Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, yaitu orang-orang yang telah Allah Ta’ala ridhai dan mereka ridha kepada Allah Ta’ala. Dan mereka mengkafirkan sebagian besar ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan orang-orang terdahulu dan kemudian.”[6]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Banyak dari kalangan ahlul bid’ah, seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan Mumatstsilah (Musyabbihah). Mereka berkeyakinan sesat, yang mereka anggap benar dan mereka berpendapat bahwa orang yang telah menyelisihi mereka adalah kafir.”[7]

PENGKAFIRAN YANG TERJADI  PADA ZAMAN INI DAN BERBAGAI SUMBERNYA[8]

Pada zaman ini, sungguh pemikiran takfir telah tersebar begitu dahsyat, melebihi apa yang pernah terjadi pada zaman sebelumnya. Di antara sumber dan sebab tersebarnya adalah, sebagian kelompok dakwah modern yang asasnya bukan Sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan bercampur aduk di dalamnya berbagai bid’ah dan kesesatan, baik dikarenakan buruknya tujuan pendirinya, maupun karena kebodohan mereka tentang agama.

Di antara hasil karya dari jama’ah-jama’ah itu, yaitu munculnya kitab-kitab yang diberi nama dengan “buku-buku pemikiran” yang telah merusak ‘aqidah sebagian besar kaum Muslimin dan menyimpang dari agama yang murni. Buku-buku tersebut memandang masyarakat Islam sekarang ini adalah masyarakat Jahiliyyah yang kafir, yang melemparkan (ajaran) Islam ke belakang dan memeluk kekufuran yang nyata; tidak ada seorang pun yang selamat dari hal itu, baik pemerintah, rakyat, laki-laki dan wanita, orang tua dan pemuda. Yaitu dari apa yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam keberadaan generasi sekarang ini yang terdidik di atas buku-buku ini, maka tumbuhlah di dalam jiwa mereka benih-benih pengkafiran secara umum terhadap masyarakat Islam sekarang ini, sehingga menjadi ‘aqidah yang menancap kuat bagi mereka dan menjadi keyakinan. Hal ini adalah fitnah yang besar dan menimbulkan berbagai kejelekan dan kerusakan di mana-mana.

Saya tidak bermaksud membatasi dan tidak juga memperluas dalam memberikan contoh mengenai apa yang terdapat dalam kitab-kitab ini, berupa ungkapan dan perkataan-perkataan dalam pengkafiran masyarakat Islam sekarang ini. Saya hanya mengisyaratkan pada sebagian contoh dan penguat terhadap apa yang terdapat dalam buku-buku Sayyid Quthb rahimahullah, karena ia adalah pemimpin yang dibesar-besarkan di kalangan Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang terpengaruh dengan manhaj mereka. Juga karena buku-bukunya paling banyak tersebar dan paling banyak memberikan pengaruh daripada selainnya. Sehingga sebagian orang yang menisbatkan diri kepada Sunnah, terkena fitnahnya (mengikuti manhaj Sayyid Quthb). Sesungguhnya kitab-kitab Ikhwanul Muslimin penuh dengan berbagai ibarat (ungkapan) yang mengkafirkan para pemimpin kaum Muslimin dan masyarakat Islam sekarang ini.[9]

Di antara ucapan Sayyid Quthb tentang pengkafiran masyarakat Islami sekarang ini tanpa terkecuali, terdapat dalam kitab Ma’alim fith-Thariq,”Hakikat permasalahannya adalah permasalahan kufur dan iman, permasalahan syirik dan Tauhid, dan permasalahan Jahiliyyah dan Islam; dan ini adalah hal yang harus jelas. Sesungguhnya manusia bukanlah kaum Muslimin -sebagaimana pengakuan mereka- dan mereka hidup di kehidupan Jahiliyyah. Apabila ada di antara mereka yang senang menipu dirinya sendiri atau menipu yang lainnya, lalu ia meyakini bahwa Islam dapat tegak dengan adanya Jahiliyyah ini, maka baginya hal itu. Akan tetapi, ketertipuannya atau penipuannya tidak mengubah sedikit pun hakikat kenyataan yang ada. Ini bukanlah Islam dan mereka bukanlah kaum Muslimin.”[10]

Sebagian pembesar pemimpin Ikhwanul Muslimin meyakini hal ini dan mereka menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka.

Al-Qardhawi berkata,”Pada fase ini telah muncul kitab-kitab asy-Syahid Sayyid Quthb yang menjelaskan fase terakhir dari pengkafirannya, yang berujung pada pengkafiran masyarakat, memutuskan hubungan dengan orang lain dan menyerukan jihad terhadap seluruh manusia.”[11]

‘Ali Juraisyah juga mengatakan, bahwa para takfiriyyin (orang yang gampang mengkafirkan orang lain), pada asalnya adalah dari kelompok Ikhwanul Muslimin, kemudian, mereka memisahkan diri dan mengkafirkan mereka (kelompok Ikhwanul Muslimin).

Sayyid Quthb berkata di dalam kitabnya, Fi Zhilalil Qur`an: “Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana mulanya. Datang agama ini dengan La ilaha illallah, sesungguhnya manusia telah murtad kepada penghambaan kepada hamba sampai pada penyimpangan agama. Mereka telah mundur ke belakang dari kalimat La ilaha illallah . . . manusia seluruhnya termasuk di dalamnya. Orang-orang yang mengumandangkan adzan di timur dan di barat dengan kalimat La ilaha illallah, tidak ada petunjuk, tidak ada kenyataan . . . mereka lebih berat dosanya dan lebih keras siksanya pada hari Kiamat, karena mereka telah murtad menuju penghambaan kepada manusia sesudah jelas petunjuk bagi mereka, dan sesudah mereka berada di dalam agama Allah Ta’ala.”[12]

SEBAB-SEBAB MUNCULNYA PENGKAFIRAN TANPA HAQ DI TENGAH-TENGAH UMMAT ISLAM[13]

1. Bodoh terhadap hakikat agama

Bodoh tentang agama Islam merupakan sebab yang paling besar dari para takfiriyyun (orang-orang yang suka mengkafirkan) untuk mengkafirkan kaum Muslimin tanpa dalil dan tanpa hujjah dari syari’at.  Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Kebodohan adalah akar segala kerusakan dan kejahatan.”[14]

Ahlul bid’ah, mereka adalah, orang-orang yang bodoh dan zhalim. Sedangkan Ahlus Sunnah adalah orang yang berilmu, adil, dan sayang kepada makhluk.

2. Mengikuti hawa nafsu dan berpaling dari nash-nash syar’i

Takfiriyyun, mereka adalah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Padahal Allah Ta’ala melarang mengikuti hawa nafsu. Allah Ta’ala berfirman.

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [al-Maidah/5:49].

3. Takwil (penafsiran) yang rusak

Takwil yang rusak adalah sebab yang hakiki, yang mendorong takfiriyyun mengkafirkan kaum Muslimin dengan tidak benar. Mereka menggunakan dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, kemudian mereka tafsirkan menurut hawa nafsu mereka. Para ulama mengatakan bahwa at-takwil adalah sebab setiap kejelekan dan fitnah di tengah ummat Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,”Khawarij mentakwilkan ayat-ayat al Qur`an, yang mereka meyakininya dan menjadikan orang yang menyalahinya adalah kafir.”[15]

4. Talbis (penyamaran) setan

Sesungguhnya setan telah menggoda dan menipu takfiriyyin untuk mengkafirkan kaum Muslimin dengan tidak benar.

_______

Footnote:

[1]  Majmu’ Fatawa’ (XIII/31).
[2] Lihat al-Farqu Bainal-Firaq (halaman 51-54), al-Bidayah wan-Nihayah (VII/295), Majmu’ Fatawa’ (XIII/208).
[3] HR al Bukhari (no. 6930) dan Muslim (no. 1066).
[4] As-Sunnah, Imam Abu Bakar al-Khallal (I/145).
[5] Ar-Raudhah minal Kafi (VIII/235-236).
[6] Majmu’ Fatawa’ (XXVIII/477).
[7] Majmu’ Fatawa’ (XII/466-467).
[8] Dinukil dengan ringkas dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Darul Imam al-Bukhari, Cetakan I Tahun 1426 H, halaman 37-40.
[9] At-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38.
[10] Ma’alim fith-Thariq, halaman 158. Dinukil dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38-39.
[11] Aulawiyyat Harakah Islamiyyah, halaman 110. Dinukil dari kitab at-Takfir wa Dhawabithuhu, halaman 38-39.
[12] Tafsir fi Zhilalil-Qur`an (IV/2122), dinukil dari At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal. 39).
[13] Lihat At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal. 45-48).
[14] Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, halaman 101.
[15] Majmu’ Fatawa’ (XX/164).



PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP MASALAH KUFUR DAN TAKFIR

Definisi Kufur

Kufur secara bahasa, berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’, kufur adalah, tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.[1] Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya disebut kafir.

Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah dalam Masalah Kufur dan Takfir

Masalah takfir (kafir-mengkafirkan) adalah masalah yang sangat berbahaya. Karena itu, para ulama sangat berhati-hati dalam masalah ini, sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Karena inilah, wajib berhati-hati dalam mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa dan kesalahan (yang dilakukan). Karena hal ini adalah bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam, sehingga pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah serta harta mereka”.[2]

Di bawah ini saya akan jelaskan kaidah-kaidah menurut para ulama Ahlus Sunnah tentang masalah kufur dan takfir:
  •     Masalah pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  •     Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya, kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.[3]
  •     Tidak setiap ucapan dan perbuatan -yang disifatkan nash sebagai kekufuran– merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam, yaitu: kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini, sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukum-hukum yang mereka keluarkan.
  •     Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari al-Qur`an dan as-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini, tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.
Ahlus Sunnah tidak menghukumi atas pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman, apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya. Hal ini karena Allah Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisa`/4:48].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras tentang tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan “kafir” atau “musuh Allah”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.

Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “wahai kafir”, maka dengan ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya, apabila seperti yang ia katakan; namun apabila tidak, maka akan kembali kepada yang menuduh.[4]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

…وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ.

… Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan ia musuh Allah, sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya sendiri.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ، وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ، إِلاَّ اِرْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ.

Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, karena tuduhannya akan kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.[6]
  •     Terkadang ada keterangan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah yang mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi kafir, kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa kebalikan dari syarat-syarat tersebut).[7] Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah Ahlul ‘Ilmi yang dalam ilmunya, dan para ulama Rabbani[8] dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.
  •     Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam), selama hatinya tetap dalam keadaan beriman.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. [an-Nahl/16:106].

7. Kufrun akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam, sebagai berikut

        Juhud (mengingkari) جُحُوْدٌ
        Takdzib (mendustakan) تَكْذِيْبٌ
        Iba` (sikap enggan) إِباَءٌ
        Syakk (keraguan) شَكٌّ
        Nifaq (kemunafikan) نِفَاقٌ
        I’radh (sikap berpaling) اِعْرَاضٌ
        Istihza` (memperolok-olok) اِسْتِهْزَاءٌ
        Istihlal (penghalalan) اْلإِسْتِحْلاَلُ

8. Sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada tiga macam, yaitu: perkataan, perbuatan, dan i’tiqad (keyakinan)
  • Di antara kufur ‘amali (perbuatan) dan qauli (ucapan), ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu perbuatan atau perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala seginya, misalnya menghujat Allah Ta’ala, mencaci-maki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bersujud kepada berhala, membuang mushaf al Qur`an di tempat sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu.
Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu tidak boleh, melainkan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, sebagaimana perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.
  •     Sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti ucapannya para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.
  •     Sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai dengan kadarnya.
  •     Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat (kaum Muslimin), yang dikarenakan dosa-dosa besarnya. Mereka mengkhawatirkan terjadinya nash-nash ancaman kepada pelaku dosa-dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam neraka. Bahkan mereka akan bisa keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at, dan karena rahmat Allah Ta’ala disebabkan pada mereka masih ada tauhid. Pengkafiran karena dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.[9]
Perbedaan Antara Kufur Besar dan Kufur Kecil
  1.     Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.
  2.     Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam neraka, sedangkan kufur kecil, jika pelakunya masuk neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah Ta’ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk neraka sama sekali.
  3.     Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.
  4.     Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesung-guhnya, antara pelakunya dengan orang-orang mukmin. Dan orang-orang mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar kemaksiatannya.[10]
Wallaahu a’lam.

Penulis: Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas rahimahullah


_______
Footnote
[1] Majmu’ Fatawa’ ‘ (XII/335), dan lihat ‘Aqidatut-Tauhid, Syaikh Shalih al-Fauzan, halaman 81.
[2] Majmu’ Fatawa’ (XIII/31)
[3] Majmu’ Fatawa’ (XII/466).
[4] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah (I/23), Ibnu Hibban (no. 250-at-Ta’liqatul-Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban), dan Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[5] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu anhu.
[6] Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu anhu.
[7] Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir:

    mengetahui (dengan jelas),
    dilakukan dengan sengaja, dan,
    tidak ada paksaan.

Sedangkan intifa’ul mawani’ (tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir), yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas.

    Tidak mengetahui,
    Tidak disengaja, dan
    Karena dipaksa.

Lihat Mujmal Masa-ilil Iman wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35, dan Majmu’ Fatawa’ (XII/498).

[8] Rabbani, adalah orang yang bijaksana, ‘alim, dan penyantun, serta banyak ibadah dan ketakwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/405).
[9] Lihat bahasan kufur dan takfir dalam Majmu’ al-Fatawa (XII/498) dan Mujmal Masa-ilil-Iman wal-Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, oleh Musa Alu Nashr, ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari, Salim bin ‘Id al-Hilali, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, Basim bin Faishal al-Jawabirah – حفظهم الله -, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35. Lihat pula Al-Wajiz fi ‘Aqidatis-Salafish-Shalih, ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari, dimuraja’ah dan ditaqdim oleh beberapa ulama, Darur-Rayah, Cetakan II Tahun 1422 H, halaman 121-126, dan Fitnatut-Takfiir, oleh Muhadditsul-‘Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Taqdim : Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Ta’liq :  Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمهم الله , dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu Lauz, Dar Ibnu Khuzaimah, Cetakan II Tahun 1418 H, dan Tabshir bi Qawa’idit-Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Cetakan I Tahun 1423 H.
[10] ‘Aqidatut Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, halaman 84. Pembahasan tentang pembatal-pembatal Islam dapat dilihat pada buku saya, Prinsip Dasar Islam, Pustaka at-Taqwa, Bogor, Cetakan II/.

Tags