Type Here to Get Search Results !

 


CINTA RASULULLAH DAN PERAYAAN MAULID

Dua kalimat di atas seakan tidak bisa terpisahkan. Mengaku cinta berarti melakukan perayaan maulid, tidak maulid berarti tidak cinta. Sehingga ada yang mengatakan, “Jika ada yang bertanya kenapa anda melakukan perayaan maulid ? Itu sama dengan dia menanyakan kenapa anda mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa cinta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perayaan maulid begitu erat hubungannya.

Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah perayaan maulid itu merupakan salah satu cara yang dibenarkan syari’at dalam membuktikan cinta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Pertanyaan ini layak dilontarkan, agar kecintaan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa membuahkan keutamaan-keutamaan yang diinginkan, bukan sebaliknya menyeret kepada perbuatan ghuluw. Seseorang yang mengaku cinta dan berkeinginan mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berarti bebas mengekspresikan cintanya dengan cara-cara yang diinginkan atau cara yang dipandang baik tanpa landasan syari’at. Lihatlah saat salah seorang shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menampakkan rasa hormat dan cintanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara bersujud dihadapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena melihat penganut agama lain bersujud dihadapan para pendeta mereka. Lalu dia memandang Rasûlullâh lebih layak dihormati dengan cara ini dibandingkan mereka, tapi apa tanggapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِراً أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لأحَدٍ لَأمَرْتُ المَرأةَ أنْ تَسْجُدَ لِزَوجِهَا

Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka sungguh saya sudah memerintahkan perempuan untuk sujud kepada suaminya. [HR. Ibnu Majah]

Perhatikan juga ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dipuji dengan pujian yang melampaui batas ! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka melakukan itu dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أُطْرِيَ ابْنُ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana Nabi Isa ibnu Maryam dipuji. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allâh dan Rasul-Nya’.

Apa yang menyebabkan mereka melakukan hal-hal di atas ? Rasa cinta dan hormat adalah jawabnya. Mereka mengekspresikan rasa cinta dan hormat itu dengan cara yang mereka pandang baik, namun ternyata ditolak dan dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Berbagai peristiwa ini hendaknya mendorong kita menempuh cara-cara yang benar dalam merealisasikan rasa cinta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hendaknya kita menjadikan perintah-perintah serta larangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tolok ukur kebenaran juga praktek-praktek yang dilakukan oleh para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Karena mereka adalah orang-orang yang mendapatkan ridha dari Allâh Azza wa Jalla dan mereka juga orang-orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana ungkapan Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, “Saya sudah diutus kepada banyak penguasa … dan saya tidak pernah melihat satu penguasapun yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diagungkan oleh para shahabatnya.”

Oleh karena itu, amalan-amalan mereka harus dijadikan patokan untuk menilai kelurusan suatu amalan yang dilakukan oleh orang-orang berikutnya. Perayaan maulid diantara yang harus diukur keabsahannya dengan praktek mereka. Jika perayaan itu dianggap ibadah, Adakah diantara para shahabat yang pernah melakukannya ? Jika tidak pernah, mengapa mereka tidak melakukannya ? Apakah ini berarti tidak mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Setiap insan yang beriman mesti akan mengatakan bahwa para shahabat itu adalah orang-orang yang sangat mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mereka siap berkorban apa saja demi mendukung dan membela Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka juga sudah mengetahui sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mewajibkan pengikutnya untuk mendahulukannya cinta kepadanya di atas cinta-cinta kepada semua makhluk, termasuk kepada dirinya sendiri.
Baca Juga  Hakekat Mengikuti Ahlul Bait

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Tidak akan sempurna iman salah seorang diantara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada cintanya kepada anak, orang tua dan semua manusia. [HR Bukhâri]

Jika perayaan maulid itu merupakan salah satu cara mengungkapkan cinta yang dibenarkan dalam syari’at tentu mereka sudah melakukannya. Ketiadaan perayaan maulid nabi pada saat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat menunjukkan bahwa perayaan itu tidak termasuk cara yang benar dalam mengekspresikan cinta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Taat kepada perintah-perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukti cinta yang sebenarnya. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menganugerahkan kepada kita semua cinta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM MENURUT SYARI’AT ISLAM

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam yang memperingatkan terhadap bid’ah.

Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla , niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka

Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.

Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.

Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua  yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.


ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM

Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]

Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]

BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM

Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:

Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Juga berfirman yang maknanya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla .” [al-Ahzâb/33: 21]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak.

Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.
  • Kedua: Khulafâ-ur Râsyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.”[3]

Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]
  • Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]
Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]

Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam?
  • Keempat: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:  [ وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً ] “Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [al-An’âm/6:115]

Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla  tidak akan memurkainya selamanya.”[7]

Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ

Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka.[8]
  • Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
  • Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka[9]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata,

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at[10]

Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]

Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para Shahabatnya.”[12]

Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
  • Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla , maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Qs Ali Imrân/3:31).

al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]

Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla , maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla , lalu Allah Azza wa Jalla  menguji mereka melalui ayat ini …”

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”[14]
  • Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka.[15]
  • Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.
  • Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam .
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

… Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari Kemudian. [an-Nisâ’/ 4:59]

Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna: Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla .” [asy-Syûra/42: 10].

Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.
  • Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.”[16]
Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam .
  • Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam merupakan perbuatan ghuluw  (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”[17]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah  berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mengatakan:

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ

Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.[18]

Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.

Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.[19]

Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
  • Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti  kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]
  • Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah Azza wa Jalla berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at.[23]

Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.”[24]

Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam   masih hidup, beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam dengan cara berdiri setelah beliau wafat.

HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM

Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:

1. Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , mentauhidkan Allah Azza wa Jalla , menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, beradab dengan adabnya.

2. Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.

3.  Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam . Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi  dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. [al-Ahzâb/33:56]

4. Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan membenci orang yang membencinya.

5. Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM

Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bid’ah dhalâlah.

1. Al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata:

“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”[26]

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]

3. Al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :

“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa salam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]

4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:

“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia  yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”[29]

5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:

“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam . Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…”[30]

6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
  • Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
  • Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ?  Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu  yang  bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…”[al-Mâidah/5: 3]”[31]

7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu  bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah… Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam…”[32]

Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

Penulis: 
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Marâji’ :

    Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
    Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
    Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqî
    al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
    Siyar A’lâmin Nubalâ.
    al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
    Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
    al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
    Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
    Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
    Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
    ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
    al-Bida’ al-Hauliyyah.
    Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
    al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
    Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
    Dan kitab-kitab lainnya.
_______

Footnote:

[1]  Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]  Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]  Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu anhu.
[4]  Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]  Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]  Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau rahimahullah bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]  Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]  Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]  Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]  al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]  Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]  Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]  Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]  Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]  Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]  Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]  Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu .
[18]  Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]  Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]  ‘Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]  Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]  Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]  Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]  At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]  Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]  Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]  Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]  Al-Madkhal (II/234-235).
[29]  Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]  Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]  Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]  Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.