Type Here to Get Search Results !

 


BUKTI CINTA NABI YANG BENAR DAN YANG KELIRU


Seperti apa bukti cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,  “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.

Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.

‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,

لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ

”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ

“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[4]

Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[5]
  • Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
  • Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[6]

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat.”[7]
  • Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[8]
  • Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)

Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.”  Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[9]

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:

[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-

Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[10]

Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)

Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[11] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[12]

[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),

يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[13]
  • Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq  dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[14]
  • Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[15] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[16] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[17]

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[18]

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[19]

Nantikan pembahasan kami tentang perayaan Maulid Nabi, sejarah dan pandangan ulama mengenai perayaan tersebut. Semoga Allah mudahkan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

_____

Notes:

[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164, Muassasah Al Qurthubah.

[2] Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir.

[3] HR. Bukhari no. 6632.

[4] HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’

[5] I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973.

[6] HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih

[7] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih.

[8] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

[9] HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903.

[10] HR. Muslim no. 2541.

[11] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.

[12] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, 3/463.

[13] Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.

[14] HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’ Ya’sub.

[15] HR. Bukhari no. 3461

[16] Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1422 H.

[17] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718

[18] Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.

[19] Majmu’ Fatawa, 25/298.



HAKIKAT CINTA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.

Tidak boleh seseorang melakukan perbuatan atau ibadah yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak contohkan, apalagi mengatakan bahwa perbuatan itu termasuk “cinta” kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ?! Karena hakikat cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah dengan ittiba’ bukan dengan berbuat bid’ah.

Cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya merupakan ibadah yang paling mulia. Sedangkan dalam beribadah kepada Allâh, tidak boleh seorang Muslim melakukan perbuatan bid’ah, karena bid’ah dilarang dalam agama. Orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam agama, maka perbuatannya tertolak, tidak diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَـةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.[1]

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama kami yang tidak ada contohnya (dari kami), maka ia tertolak.[2]

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[3]

Bentuk-Bentuk Penyimpangan Dari Cinta Kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam
  • Pertama: Perbuatan Syirik
Penyimpangan terbesar dari perintah ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah kesyirikan, yaitu menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan sesuatu. Padahal, tidaklah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam diutus oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala melainkan untuk menyempurnakan tauhid dan menjauhkan syirik.

Saat ini, fenomena kesyirikan banyak merebak di tengah kaum Muslimin. Di antaranya adalah semakin banyaknya kubur-kubur yang dibangun dan disembah, serta semakin banyak pengunjungnya. Dan yang menganjurkan untuk ziarah dan menyembah kubur-kubur tersebut adalah para da’i, ustadz, dan kyai. Padahal ini merupakan perbuatan syirik akbar, sejelek-jelek bid’ah, dan bentuk penyelisihan yang paling besar terhadap petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .

Di antara peziarah kubur tersebut ada yang sujud, thawaf, istighatsah, meminta syafa’at, dan memohon segala macam permintaan kepada penghuni kubur, terlebih lagi pada bulan Rabi’ul-Awwal, Rajab, dan Sya’ban. Perbuatan ini jelas merupakan syirik yang paling besar dan bentuk penentangan kepada Allâh dan Rasul-Nya, wal ‘iyyadzu billâh.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat (bencana) kepadamu selain Allâh, sebab jika engkau lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zhalim. [Yunus/10:106].

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allâh, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4:48].
  • Kedua: Amalan-amalan Bid’ah
Bentuk-bentuk lain dari penyimpangan atas ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dan bukan merupakan bentuk cinta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah berbagai macam perbuatan bid’ah.

1. Peringatan Maulid Nabi

Di antara bid’ah yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin adalah perayaan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul-Awwal, dan sedikit sekali para da’i yang memperingatkan ummat dari penyimpangan ini. Apabila mereka yang mengadakan perayaan ini mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan syi’ar Islam dan kecintaan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , maka apakah hal ini pernah dilaksanakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , ataukah tidak? Pernahkah beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mencontohkannya ataukah tidak? Demikian juga, apakah peringatan maulid itu pernah dilakukan para sahabat ataukah tidak?

Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam atau memperingati hari kelahiran Nabi semakin hari semakin marak bahkan diyakini sebagai suatu ibadah dan bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam  padahal hal tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, a-immatul-arba’ (Imam Abu Hanifah, Imam Mâlik bin Anas, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal). Ketika orang melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , jelas mereka ingin mendapatkan ganjaran, pahala, dan lainnya. Kalau seperti ini adalah ibadah sedangkan ibadah harus ada contohnya dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam.

2. Mengamalkan Shalawat-Shalawat Bid’ah

Yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh seseorang membuat shalawat-shalawat tertentu yang tidak dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam ber-shalawat dan memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam kecuali berdasarkan dalil shahîh dari al-Qur`ân dan as-Sunnah.

Para ulama Ahlus-Sunnah telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahîh, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada para sahabatnya g . Sebab bershalawat adalah ibadah, dan ibadah harus berdasarkan ittiba` (meneladani) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam .[4]

3. Berlebihan Dalam Memuji Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam

Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

… Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu …  [an-Nisâ`/4:171].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِـي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِـي الدِّيْنِ.

Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.[5]

Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allâh, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu, misalnya, dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , tawassul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala ; perbuatan ini adalah syirik.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.

Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah,”Abdullâh wa Ra-sûluhu (hamba Allâh dan Rasul-Nya)”.[6]

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allâh dan Rasul (utusan)-Nya”.[7]

‘Abdullâh bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata: Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam , kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ .

“Sayyid (penguasa) kita adalah Allâh Azza wa Jalla “.

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya,” serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

قُـوْلُـوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh setan“.[8]

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata: Sebagian orang berkata kepada beliau, “Wahai Rasûlullâh, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami,” maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ ، أَنَا مُـحَمَّدٌ ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِـيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِـيْ الَّتِي أَنْزَلَنِـيَ اللهُ

“Wahai manusia, ucapkanlah perkataan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allâh dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allâh berikan kepadaku“.[9]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyid-ku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami,” padahal sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam , juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mengarahkan mereka agar menyifati dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullâh wa Rasûluh(hamba Allâh dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allâh ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allâh. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , dalam kasidah atau anasyid, dimana mereka tidak membedakan antara hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .

4. Mengamalkan Hadits-Hadits Lemah Dan Palsu

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengancam orang-orang yang berdusta atas nama beliau. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menemui tempat tinggalnya di neraka.[10]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ

Barangsiapa menceritakan hadits dariku dan hadits tersebut diketahui dusta, maka ia adalah salah satu dari para pendusta.[11]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ (palsu) bagi orang yang telah mengetahui atau menurut persangkaan kuatnya bahwa derajat hadits tersebut adalah maudhu`. Maka barangsiapa meriwayatkan suatu hadits yang ia yakin atau berprasangka kuat bahwa derajatnya adalah maudhu’, namun ia tidak menjelaskan derajatnya, maka ia termasuk dalam ancaman hadits ini.”[12]

Kepada kaum Muslimin –khususnya kepada para da’i dan para ustadz– tidak boleh membawakan hadits-hadits lemah dan palsu, karena akibatnya akan menimbulkan bid’ah dan diancam masuk neraka. Hakikat cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam , yaitu dengan kita mempelajari tentang hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam dan mushthalahnya, kemudian membaca kitab-kitab hadits yang shahîh, lalu mengamalkan, serta mendakwahkan-nya. Dan jangan membawakan hadits-hadits lemah dan palsu.

Para da’i harus belajar ilmu mushthalah hadits, yaitu mempelajari ilmu riwayat dan ilmu dirâyah. Ilmu riwâyatul-hadîts, yaitu ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, perbuatan-perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam, taqrîr (persetujuan), dan sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam . Adapun ilmu dirâyah hadîts, yaitu ilmu yang membicarakan tentang qawâ`id (kaidah-kaidah), yang dengannya dapat diketahui sah atau tidaknya suatu hadits tersebut, yang orang sandarkan kepada Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ilmu dirâyah hadîts membahas tiga prinsip yang ada pada hadits, yaitu sanad, matan, dan rawi.

Wallâhu a’lam.

Penulis: Al-ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz

_______

Footnote:

[1] Shahîh. HR Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (I/205), dan al-Hakim (I/95-96). Dishahîhkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi, juga dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwâ`ul-Ghalîl (no. 2455).
[2] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2697), Muslim (no. 1718 (17)), Abu Dawud (no. 4606), Ahmad (VI/270), Ibnu Hibban (no. 26, 27–at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[3] Shahîh. HR Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146, 180, 256), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[4] Lihat buku Do’a dan Wirid, Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa slam, dan Sifat Shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam oleh penulis.
[5] Shahîh. HR Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ`i (V/268), Ibnu Majah (no. 3.029), Ibnu Khuzaimah (no. 2.867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahîh menurut syarat Muslim. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1.283).
[6] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3.445), at-Tirmidzi dalam Mukhtashar asy-Syamâ`il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhuma.
[7] ‘Aqîdatut-Tauhîd (hlm. 151).
[8] Shahîh. HR Abu Dawud (no 4.806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no 211, Shahîh al-Adabil-Mufrad no. 155), an-Nasâ`i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawinya shahîh. Dishahîhkan oleh para ulama (ahli hadits)”. Lihat Fat-hul-Bâri (V/179).
[9] Shahîh. HR Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasâ`i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika`i dalam Syarh Ushûl-I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah (no. 2675). Sanadnya shahîh dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu.
[10] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 107) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[11] Shahîh. HR Muslim (hlm. 12).
[12] Syarh Shahîh Muslim (I/65).