Type Here to Get Search Results !

 


BID'AH-BID'AH DIBULAN MUHARRAM

Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi terakhir yang tidak ada lagi nabi setelahnya.

Bid’ah Kesedihan Pada Rofidhah (Syi’ah)
Pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, yang dikenal dengan Asyuro, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan al-Husain bin Ali bin Abu Thalib (semoga Allah meridhoi keduanya) dengan kesyahidan, di tahun 61 H. Kesyahidannya merupakan salah satu yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat kedudukannya dan meninggikan derajatnya. Dia dan saudaranya al-Hasan adalah dua pemimpin muda penghuni syurga. Kedudukan yang tinggi tidak didapat akan kecuali dengan cobaan, hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Siapa orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الصَّالِحُونَ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ مِنَ النَّاسِ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ صَلاَبَةٌ زِيدَ فِى بَلاَئِهِ وَإِنَ كَانَ فِى دِينِه رِقَّةٌ خُفِّفَ عَنْهُ وَمَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِىَ عَلَى ظَهْرِ الأَرْضِ لَيْسَ عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

“Para nabi, kemudian orang-orang sholeh, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya. Jika pada agamanya kuat, ditambahlah ujiannya. Jika pada agamanya ada kelemahan diringankan ujiannya. Ujian bagi seorang mukmin tidak akan berhenti hingga dia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa.”

Al-Hasan dan al-Husain (semoga Allah meridhoi keduanya) telah terlebih dulu memiliki kedudukan yang tinggi dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Keduanya tidak mengalami cobaan seperti yang dialami generasi pertama. Keduanya dilahirkan di masa kejayaan Islam. Diasuh dalam kehormatan dan kemuliaan. Kaum muslimin menghormati dan memuliakan keduanya. Ketika Nabi wafat, keduanya masih kanak-kanak. Diantara nikmat Allah yang Dia berikan kepada keduanya adalah Allah berikan ujian dengan apa yang terjadi atas ahlulbaitnya  (keluarga Nabi). Sebagaimana orang yang lebih baik dari keduanya telah diuji. Ali Ibnu Abi Thalib Radhiyallahu anhu (ayah dari al-Hasan dan al-Husain) lebih baik dari keduanya, dia mati syahid terbunuh.

Kematian al-Husain menyebabkan fitnah besar ditengah kaum muslimin. Sebagaimana terbunuhnya Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu adalah sebab terbesar berkobarnya fitnah. Umat menjadi tercabik-cabik hingga hari ini karenanya.

Ketika Abdurrahman bin Maljam membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, pemimpin kaum mukminin ketika itu, para sahabat Nabi membaiat[1] al-Hasan, putra Ali, yang telah dikatakan oleh Nabi,

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْن عَظِيْمَتَيْن مِنَ اْلُمسْلِمِيْنَ

“Sesungguhnya anakku[2] ini adalah sayyid, Allah akan menjadikannya pendamai dua kubu besar kaum muslimin yang saling berseteru.”

Al-Hasan melepaskan haknya dari kepemimpinan, sehingga Allah mendamaikan antara dua kubu kaum muslimin[3]. Kemudian dia wafat.

Lalu muncullah kelompok yang membuat surat pernyataan kepada al-Husain, yang menjanjikan akan memenangkan dan menolongnya jika mau merebut kepemimpinan. Tetapi hakikatnya tidaklah seperti yang dijanjikan. Bahkan ketika al-Husain mengirim sepupunya kepada mereka, mereka mengingkari janji dan membatalkan kesepakatan. Bahkan mereka membantu musuhnya untuk menyerahkannya kepada lawannya dengan (seolah-olah) berperang bersamanya.

Ketika itu para cendikia dan pencinta al-Husain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan selain keduanya telah memperingatkan untuk jangan pergi bergabung bersama mereka. Tetapi al-Husain tidak menggubrisnya. Para cendikia menilai bahwa keluarnya al-Husain tidak mengandung kemaslahatan, tidak pula menyongsong kebahagiaan. Dan pada akhirnya terjadilah apa yang telah dikhawatirkan. Sungguh ketetapan Allah telah ditakdirkan dan ditentukan.

Ketika al-Husain Radhiyallahu anhuma keluar dan melihat bahwa keadaannya telah berubah, dia minta agar diundang untuk berdamai atau memerangi para penghianat atau menemui sepupunya Yazid. Tetapi semua permintaannya ditolak. Sampai mereka melakukan kongkalikong dan memeranginya sehingga beliaupun memerangi mereka, walau akhirnya terbunuh bersama dengan orang-orang yang ada bersamanya, terbunuh secara zalim dan menemui kesyahidan. Allah memuliakannya dengan kesyahidan itu. Dipertemukan dengan ahlulbaitnya (keluarganya) yang baik lagi suci (diakhirat). Dan Allah menghinakan mereka yang mendzalimi dan mengkhianatinya.

Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya keburukan ditengah manusia. Sehingga muncullah kelompok yang jahil lagi zalim, kelompok yang mulhid (kafir) lagi munafik atau dhoolah (sesat) lagi qhawiah (melampaui batas), menampakkan loyalitas kepada ahlulbait dan menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Pada hari itu dinampakkan syi’ar jahiliah seperti menampar-nampar wajah, mencabik pakaian dan berbelasungkawa dengan cara jahiliah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dengan kematian al-Husain setan membuat dua bid’ah di tengah manusia: bid’ah kesedihan dan ratapan pada hari Asyuro dengan menampar-nampar wajah, menjerit-jerit, menangis, bersin-bersin dan membuat acara nostalgia. Semua itu menggiring kepada mencela dan melaknat generasi salaf dan mengaitkan mereka yang tidak terlibat menjadi para pendosa. Sampai-sampai mereka mencela generasi pertama Islam. Membacakan kisah-kisah yang kebanyakannya adalah dusta. Maksud mereka melakukan hal-hal itu adalah untuk membuka pintu perpecahan di antara ummat. Apa yang mereka lakukan (pada hari asyuro) bukanlah hal yang wajib, tidak pula mustahabbah (disukai) menurut kesepakatan kaum muslimin. Perbuatan-perbuatan itu hanyalah ingin mengenang dan meratapi musibah masa lalu yang merupakan perbuatan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (selesai perkataannya)

Perbuatan mereka itu menyelisihi syari’at Allah. Yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya ketika tertimpa musibah (jika baru menimpa) adalah bersabar, mengembalikannya kepada Allah dan mengharap balasan pahala, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,

وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥   اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ١٥٦ اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Dan kabarkanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”[al-Baqarah/2: 155-157]

Di dalam hadits shahih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukanlan dari (ajaran) kami siapa yang menampar-nampar wajah, mencabik-cabik pakaian dan berdoa dengan doa jahiliah (ketika ditimpa musibah).”

Sabdanya yang lain,

أنا بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ

“Aku berlepas diri (tidak ridha) dari wanita yang meraung-raung, memotong rambut dan mencabik-cabik pakaian (ketika ditimpa musibah).” [Hadits riwayat Muslim]

Sabdanya,

النَّائِحَة إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْل مَوْتهَا تقام يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَعَلَيْهَا سِرْبَال مِنْ قِطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرْب

“An-Naaihah (wanita yang meratapi mayit) jika belum bertobat sebelum mati, pada hari kiamat akan dibangkitkan berpakaian dari ter (aspal) dan baju tameng dari kudis .”

Sabdanya pula.
“Tidaklah seorang muslim apabila ditimpa musibah kemudian mengatakan,

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ, اللهم أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا

‘Sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah dan kepada-Nyalah ia berpulang. Ya Allah berilah ganjaran pahala atas musibah yang menimpaku dan gantilah untukku dengan yang lebih baik.’

Melainkan akan Allah ganjar dia (dengan pahala) atas musibah yang menimpanya dan digantikan dengan yang lebih baik.” [Hadits riwayat Muslim]

Sabdanya yang lain,

أَرْبَع فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْر الْجَاهِلِيَّة لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ : الْفَخْر فِي اْلأَحْسَاب ، وَالطَّعْن فِي اْلأَنْسَاب ، وَالاِسْتِسْقَاء بِالْأَنْوَاءِ ؛ وَالنِّيَاحَة

“Ada empat hal pada ummatku dari perkara jahiliah yang tidak ditinggalkan: berbangga dengan suku, mencela keturunan, meminta hujan dengan bintang dan meratapi mayat.”

Lalu bagaimana jika ditambah lagi dengan menzalimi mukmin lain, melaknat, mencela mereka, membantu pelaku perpecahan dan kekafiran mencapai maksud mereka merusak agama ini serta hal-hal lain yang tidak dapat dihitung selain oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari apa yang dihiasi setan kepada pengikut kesesatan dan keburukan adalah menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung, meratap dan mengeluh, melantunkan kosidah-kosidah atau nasyid-nasyid kesedihan dan riwayat berita-berita yang penuh dengan kedustaan. Kejujuran yang tersisa hanyalah memperbaharui kesedihan dan kefanatikan, membangkitkan kebencian serta permusuhan, menyusupkan fitnah di tengah kaum muslimin dan menjadikannya wasilah mencaci orang-orang soleh generasi pertama serta memperluas kedustaan dan fitnah dalam agama ini.

Kaum muslimin tidak mengetahui yang lebih banyak kedustaan, fitnah dan penghianatannya terhadap Islam daripada kelompok sesat lagi menyimpang ini. Mereka lebih buruk daripada Khawarij yang keluar dari Islam, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Memerangi ahli Islam dan membiarkan penyembah berhala.”

Mereka membantu kaum Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik memerangi ahlulbait Nabi dan ummatnya yang beriman. Sebagaimana bantuan mereka terhadap kaum musyrikin, musuh Islam di Baghdad (Irak) dan tempat-tempat lain. Memerangi keluarga Nabi yang merupakan tambang risalah, putra Abbas Ibnu Abdul Muthalib dan selain mereka dari ahlulbait serta kaum mukminin. Membantai anak-anak dan menghancurkan tempat tinggal. Keburukan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak dapat dihitung lagi.

Mereka ini adalah kelompok Rhafidhah (Syi’ah), yang paling terkenal dalam mencela dua khalifah ar-Rasyidin; Abu Bakar dan Umar (semoga Allah meridhai keduanya). Mereka melaknat, membenci dan mengkafirkan keduanya (kita berlindung kepada Allah). Oleh karena itu, ketika Imam Ahmad ditanya, “Siapa Rafidhah itu?” beliau menjawab, “Adalah mereka yang mencela Abu Bakar dan Umar.”

Karena itulah mereka dinamakan Raafidhah[4]. Mereka menolak Zaid bin Ali (ahlulbait) yang loyal kepada dua khalifah, Abu Bakar dan Umar (semoga Allah meridhai keduanya) karena kebencian mereka kepada keduanya. Mereka yang benci dua khalifah ini adalah Raafidhah. Ada pula yang mengatakan bahwa dinamakan Raafidhah[5] karena mereka menolak Abu Bakar dan Umar (Allah meridhai keduanya).

Raafidhah ini asalnya adalah kaum munafikin lagi zindik. Dipelopori oleh Abdullah bin Saba’ (Yahudi Yaman) yang zindik, dia menampakkan penghormatan yang berlebihan terhadap Ali ra, dengan mengklaim bahwa Ali diangkat sebagai imam dengan nas dan menyatakan kemaksuman Ali Radhiyallahu anhu (terjaga dari dosa).

Karena pondasinya adalah kemunafikan, sehingga sebagian salaf mengatakan, “Kecintaan kepada Abu Bakar dan Umar adalah wujud keimanan dan membencinya adalah kemunafikan. Mencintai Bani Hasyim adalah iman dan membencinya adalah kemunafikan.”

Kelompok inilah yang dideskripsikan oleh Saikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan: “Kelompok Rafidhah (Syi’ah) adalah ummat yang tidak memiliki akal yang jelas, tidak pula naql (sumber rujukan) yang shahih (benar), tidak pula agama yang diterima, tidak juga dunia yang ditolong. Bahkan mereka adalah kelompok yang paling banyak berdusta dan bodoh. Agama mereka yang masuk ke dalam tubuh kaum muslimin adalah kezindikan dan kemurtadan. Sebagaimana masuknya agama Nasrani, Ismailiah dan selain mereka. Mereka dengan sengaja memusuhi orang-orang pilihan ummat dan kepada musuh Allah dari kaum Yahudi, Nasrani dan musyrikin mereka loyal. Dengan sengaja menolak kejujuran yang terang lagi tak dapat disangkal, dan kedustaan yang nyata yang mereka buat serta  mereka perjuangkan.

Mereka sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Sya’bi (semoga Allah merahmatinya): “Orang yang paling pintar diantara mereka jika mereka itu dari bangsa hewan adalah keledai, jika dari bangsa burung maka ia adalah burung pemakan bangkai.

Adapun sekarang ini, sebagian yang mengklaim sebagai muslimin di beberapa negara menyambut bulan Muharram dengan kesedihan, kegundahan, khurafat dan kebatilan-kebatilan. Mereka membuat keranda dari kayu dihiasi kertas warna-warni yang dinamakan dengan kubur al-Husain atau Karbala. Juga membuat dua kubur dan dinamakan sebagai takziah. Anak-anak berkumpul dengan pakaian, bunga-bungaan atau dedaunan dan menamakan mereka sebagai fuqoro al-Husain (yang berhajat kepada al-Husain).

Pada hari pertama bulan Muharram mereka menyapu rumah, mandi dan bersih-bersih. Kemudian dihidangkan makanan dan dibacakan surat al-Fatihah, permulaan surat al-Baqarah, surat al-Kafirun, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas, shalawat kepada Nabi, lalu menghadiahkan pahala makanan tersebut kepada orang-orang yang telah mati.

Pada bulan ini dilarang berhias. Para wanita tidak memakai perhiasannya, tidak makan daging, tidak mengadakan perayaan dan pesta, bahkan tidak mengadakan akad nikah, istri tidak boleh berhubungan dengan suaminya bila umur pernikahan belum melewati dua bulan, memperbanyak memukul wajah dan dada, mencabik pakaian, meratap dan mulai melaknat Muawiah dan para sahabatnya, Yazid serta para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di sepuluh hari pertama bulan Muharram, api dinyalakan dan manusia menglilinginya. Anak-anak pawai dijalan-jalan sambil berteriak-teriak: ‘Ya Husain, ya Husain’. Semua bayi yang dilahirkan pada bulan ini dianggap kesialan, dan pada sebagian wilayah beduk dan kentongan dipukul-pukul, musik dimainkan dan bendera dipasang. Keranda diletakkan lalu para lelaki, wanita dan anak-anak lewat dibawah keranda itu. Mereka mengusap-usapnya dengan bendera dan bertabaruk (mengharapkan barokah), meyakini bahwa hal itu akan membuat mereka tidak terkena penyakit dan dapat memanjangkan umur.

Di sebagian negara yang lain, orang-orang keluar pada malam Asyuro, para lelaki begadang menyusuri jalan-jalan. Jika matahari akan terbit barulah kembali ke rumah-rumah mereka.

Pada hari Asyuro mereka memasak masakan khusus. Para penduduk desa dan kota berduyun mendatangi suatu tempat yang mereka namakan dengan ‘Karbala’ untuk melakukan towaf (mengelilingi) keranda yang mereka buat dan bertabaruk dengan keranda itu dengan wasilah bendera, menabuh beduk dan gendang. Bila matahari tenggelam, keranda tersebut dikubur atau ditenggelamkan ke dalam air dan orang-orangpun kembali kerumahnya masing-masing. Sebagian orang duduk-duduk di jalan-jalan sambil minum minuman yang mereka namakan as-Salsabil dan membagi-bagikannya kepada orang-orang secara gratis. Sebagian orang yang dianggap bijak pada sepuluh hari pertama bercerita tentang kelebihan-kelebihan al-Husain, sedangkan keburukan-keburukan ditimpakan kepada Muawiah serta Yazid (yang juga ahlulbait) dengan tidak lupa menumpahkan sumpah serapah kepada keduanya dan para sahabat.

Mereka meriwayatkan keutamaan hari Asyuro dan bulan Muharram dengan hadits-hadits palsu dan lemah juga dengan riwayat-riwayat dusta. Empat puluh hari setelah hari asyuro mereka melakukan perayaan sehari penuh yang mereka namakan al-Arba’in. Pada hari itu mereka mengumpulkan dana, dengan dana itu mereka membeli makanan khusus dan mengundang orang-orang untuk datang mencicipinya.

Bid’ah seperti ini dilakukan di India dan Pakistan serta negara-negara yang didominasi syi’ah. Terlebih lagi di Iran dan Iraq serta Bahrain.

Perayaan hari berkabung, ratapan, keluhan, membuat dokumentasi acara, memukul-mukul dada dan hal-hal lain yang biasa dilakukan pada hari asyuro dan sebelumnya di bulan-bulan haram diyakini sebagai pendekatan diri kepada Allah dan dapat menghapus seluruh dosa yang terjadi pada tahun sebelumnya. Mereka tidak sadar kalau apa yang mereka lakukan jusru mengharuskan penolakan dan menjauhkan mereka dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sangat benar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam kitab-Nya,

اَفَمَنْ زُيِّنَ لَهٗ سُوْۤءُ عَمَلِهٖ فَرَاٰهُ حَسَنًاۗ فَاِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرٰتٍۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِمَا يَصْنَعُوْنَ 

“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” [Faathir/35: 8]

Dan firman-Nya,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ ١٠٣ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” [al-Kahfi/18:103-104]

Bid’ah Kebahagiaan Pada an-Nawashib.
Sebelumnya pembahasan mengenai bid’ah kesedihan di hari Asyuro pada Syi’ah. Pada pembahasan ini (dengan izin Allah) kita akan membahas mereka yang berseberangan dengan Rafidhah/Syia’ah, yang menjadikan hari Asyuro sebagai musim (moment) kebahagiaan. Mereka adalah Nawashib yang ekstrim membenci al-Husain dan ahlulbait Nabi. Orang-orang bodoh yang menghadapi kerusakan dengan kerusakan, kedustaan dengan kedustaan, kejelekan dengan kejelekan dan bid’ah dengan bid’ah. Mereka membuat-buat keterangan palsu mengenai syi’ar kebahagiaan dan kegembiraan di hari Asyuro; seperti bercelak, mengecat kuku, melebihkan uang belanja keluarga, memasak masakan diluar kebiasaan dan lain sebagainya yang biasa dilakukan pada hari-hari perayaan. Yang akhirnya mereka menjadikannya musim (hari besar) seperti hari-hari besar perayaan dan kebahagiaan.

Mereka ini pertama kali muncul pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Sa’id al-Khudri ra berkata, “Ali diutus kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa emas. Maka Nabi membagikannya kepada empat kelompok: kepada al-Aqro bin Habis al-Handzoli, al-Mujasyi, Uyainah bin Badar al-Fazari, Zaid at-Tho’i, kepada salah seorang dari Bani Nabhan dan al-Qomah bin ‘Alatsah al-Aamiri dari bani Kilab.

Para sahabat Quraisy dan Anshar tidak terima dengan pembagian itu dan berkata: “Beliau membagi pembesar-pembesar Najed dan mengabaikan kami.” Nabi menjawab, “Aku memberikannya untuk meluluhkan hati mereka.” Maka majulah seorang lelaki yang cekung kedua matanya, tebal pipinya, menonjol keningnya, lebat jenggotnya dan botak kepalanya[6]. Dia berkata, “Takutlah kepada Allah, wahai Muhammad!” Nabi menjawab, “Siapa yang akan mentaati Allah jika aku bermaksiat kepada-Nya? Bagaimana Allah memberi kepercayaan kepadaku atas penduduk bumi, tetapi kalian tidak?!” Maka salah seorang sahabat meminta izin untuk membunuh (memenggal leher lelaki itu) (saya kira Khalid bin al-Walid Radhiyallahu anhu[7]) tetapi Nabi  melarangnya. Setelah lelaki itu berlalu kemudian Nabi bersabda, “Sesungguhnya dari keturunan orang itu (dibelakang orang itu) akan ada kaum yang membaca al-Quran tetapi tidak melebihi tenggorokannya. Mereka keluar dari agama seperti tembusnya anak panah dari buruannya. Mereka memerangi pemeluk Islam tetapi membiarkan penyembah berhala. Jika aku sempat menjumpai mereka, niscaya aku akan memerangi mereka seperti memerangi kaum ‘Aad[8].“

Dalam riwayat Muslim: “Ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tengah membagikan harta rampasan perang. Datang kepada beliau Zul Khuwaisiroh (yang berasal dari Bani Tamim). Dia berkata, “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Celaka kamu, siapa yang akan berbuat adil jika aku tidak adil. Sungguh tertipu dan merugilah aku jika tidak berbuat adil.” Umar Ibnu al-Khatthab Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal kepalanya!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Biarkan dia, sesungguhnya dia memiliki teman-teman yang sebagian kalian akan merasa shalatnya dan puasanya lebih rendah dibanding shalat dan puasa mereka, mereka membaca al-Quran tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka, mereka keluar dari Islam seperti tembusnya anak panah dari objek buruannya. Ia (berusaha) melihat pada kait panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, kemudian melihat ke sambungan batang panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, , kemudian melihat kepada mata panahnya tetapi tidak didapati bekasnya, kemudian melihat ke bulu yang terpasang di pangkal anak panah tetapi tidak mendapati bekasnya, karena cepatnya panah tersebut sehingga tidak ada bekas kotoran maupun darahnya. Ciri atau tandanya diantara mereka ada seorang lelaki hitam yang salah satu buah dadanya seperti perempuan atau seperti daging tumbuh yang menggelayut, mereka keluar ketika terjadi perpecahan di tengah manusia

Abu Sa’id berkata, “Aku bersaksi bahwa aku mendengar berita itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan (setelah Nabi wafat) aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu memerangi mereka dan akupun berperang bersamanya. Ali minta orang yang disebutkan cirinya oleh Nabi dihadirkan, sehingga dicarilah orang itu dan ditemukan. Ketika didatangkan kepadanya aku melihatnya sebagaimana ciri-ciri yang disebutkan Nabi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kala itu di Kuffah terdapat kaum Syi’ah yang memperjuangkan al-Husain, dipimpin oleh al-Mukhtar bin Ubaid al-Kadzaab. Sedangkan kelompok an-Nashibah membenci Ali dan keturunannya. Diantara mereka yang membenci Ali adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Telah falid dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Akan ada di daerah Tsaqif pendusta lagi pembinasa “ dan kala itu dialah pendusta itu, dan pembenci Ali inilah yang binasa.

Kelompok pertama membuat-buat kesedihan. Sedangkan kelompok yang satunya lagi membuat-buat kebahagiaan. Bid’ah yang pertama berasal dari fanatik berlebihan kepada al-Husain ra, sedangkan asal bid’ah yang satunya lagi yaitu fanatik bathil dalam membenci al-Husain, kedua bid’ah ini sesat. Tidak ada seorangpun dari Imam yang empat atau selain mereka yang membenarkan kedua kelompok tersebut. Mereka yang menganggap baik perbuatan tersebut tidaklah memiliki hujjah yang syar’i (dalil dari syari’at).

Tidak diragukan bahwa kelompok Nawashib (yang berlebihan dalam membenci ahlulbait) demikian pula Rafidhah/syi’ah (yang berlebihan dalam mencintai ahlulbait) telah berbuat bid’ah dan kesalahan dalam amalan mereka, menyimpang dari sunnah Nabi. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rashidin (pengganti yang mendapat petunjuk) setelahku. Berpegangalah dengan petunjuk itu dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan atas kalian meninggalkan amalan yang diada-adakan, karena setiap amalan yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa ar-Rasyidin tidak menyunnahkan (mengajarkan) sesuatupun dari hal-hal yang mereka perbuat pada hari Asyuro; tidak bersedih dan berkabung tidak pula bergembira dan berbahagia. Ketika Nabi tiba di kota Madinah, beliau mendapatkan kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyuro, lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa (alaihi salam) dari tenggelam di lautan, karenanya kami memuasainya. Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami lebih berhak (meneladani) Musa daripada kalian.” Maka beliaupun berpuasa pada pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa pada hari itu juga.

Bangsa Quraisy jahiliah dahulu juga mengagungkannya (berpuasa pada hari Asyuro).

Hari yang diperintahkan untuk dipuasai adalah satu hari Asyuro itu saja. Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabiulawal. Di tahun berikutnya beliau baru memuasainya dan memerintahkan ummatnya untuk memuasainya juga. Kemudian turun perintah wajibnya puasa Ramadhan pada tahun yang sama, sehingga dihapuslah puasa Asyuro –maksudnya tidak lagi diwajibkan-.

Ulama telah berbeda pendapat apakah puasa Asyuro wajib atau mustahab (disukai) menjadi dua pendapat. Yang paling benar adalah bahwa pada mulanya diwajibkan tetapi kemudian menjadi istihbab (disukai).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak (lagi) memerintahkan seluruh ummatnya untuk memuasainya, beliau hanya bersabda,

هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ، وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ

“Sekarang adalah hari Asyuro, Allah tidak mewajibkan atas kalian memuasainya, sedangkan aku memuasainya, siapa yang berkehendak silahkan memuasainya dan siapa yang berkehendak silahkan berbuka (tidak puasa).” [Mutafak alaih]

Dan sabdanya pula,

إِنَّ صَوْم عَاشُورَاء يُكَفِّر سَنَةً ، وَإِنَّ صِيَام يَوْم عَرَفَة يُكَفِّر سَنَتَيْنِ

“Puasa Asyuro menghapus dosa (kecil) selama setahun dan puasa Arafah menghapus dosa (kecil) selama dua tahun.”

Diakhir hayat Nabi, sampai berita kepadanya bahwa kaum Yahudi menjadikan Asyuro sebagai hari ‘Id (raya), sehingga Nabi bersabda,

لَئِنْ عِشْت إِلَى قَابِل لَأَصُومَن التَّاسِعَ

“Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sunnguh aku akan memuasai (juga) hari kesembilan.” Untuk menyelisihi kaum Yahudi dan tidak menyerupai mereka menjadikannya sebagai hari raya.

Diantara sahabat Nabi dan ulama ada yang tidak memuasainya juga tidak menyukai memuasainya. Bahkan memakruhkan (membenci) jika memuasai hari Asyuro saja, sebagaimana yang dinukil dari sebagian ulama. Sedangkan sebagian lagi menjadikannya istihbab (disukai).

Yang shahih adalah istihbab (disukai) memuasainya. Dipuasai bersamaan dengan hari kesembilan karena itu adalah akhir perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan memuasainya, (juga) hari kesembilan‘.

Itulah yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun hal-hal lain seperti: menyediakan makanan diluar adat kebiasaan, baik makanan dari kacang-kacangan atau lainnya, membeli pakaian baru, melebihkan nafkah harian, berbelanja kebutuhan umum di hari itu, melakukan ibadah khusus seperti shalat tertentu, menyembelih sembelihan, menyimpan daging kurban sampai tiba hari Asyuro untuk dimasak bersama kacang-kacangan, bercelak, mencat (mencutek) kuku, mandi, bersalam-salaman, saling mengunjungi, menziarahi masjid atau tempat-tempat tertentu dan lain sebagainya merupakan bid’ah yang mungkar, yang tidak disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pula Khulafa as-Rasyidin, bahkan tidak pula dianggap mustahab (kebaikan) oleh seorangpun Imam kaum muslimin yang masyhur.

Yang wajib adalah mentaati Allah dan Rasulnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti agama dan jalan yang telah ditentukan. Mencukupi diri dengan petunjuk dan apa yang telah diajarkan. Hendaklah bersyukur atas besarnya nikmat yang telah diberikan.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [Ali Imraan/3:164]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خَيْرَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَي هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) adalah sesat.”

Sumber:
Kitab Al-Bid’ah al-Hauliah ditulis oleh Abdullah at-Tuwaijri yang merupakan thesis S2 untuk mendapat gelar Magister di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiah dan dia meraih nilai sangat memuaskan pada tahun 1406 H.

[Disalin dari  البدع التي أحدثت في شهر محرم   Penulis  Syaikh Abdullah at-Tuwaijri, Penerjemah : Syafar Abu Difa , Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
______

Footnote:

[1] Mengangkatnya menjadi pemimpin kaum muslimin menggantikan ayahnya -pent.
[2] Al-Hasan adalah cucu Rasulullah, beliau menggunakan kata anak maksudnya keturunan -pent.
[3] Dua kubu ini adalah kubu yang membaiat Muawiah dan kubu yang membaiat al-Hasan. Bersatu dibawah kepemimpinan Muawiah setelah al-Hasan menyerahkan baiatnya kepada Muawiah -pent.
[4] Sekarang lebih dikenal dengan Syi’ah -pent.
[5] Raafidhah secara bahasa bermakna: penolak -pent.
[6] Di dalam kitab Fathul Baari disebutkan bahwa lelaki itu bernama Zulkhuwaisiroh at-Tamimi, ada pula yang mengatakan Hurqus bin Zuhair as-Sa’di –pent.
[7] Sebagian periwayat menyebutkan Umar. Tidak ada pertentangan dalam hal ini, karena mungkin saja keduanya hadir ketika itu dan mengusulkan hal yang sama ( Fathul Baari) –pent.
[8] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Khalid bin al-Walid membunuh Zul Khuwaisiroh  padahal beliau r sendiri berazam untuk memerangi mereka karena pada saat itu kelompok yang beliau sebutkan itu belum muncul memerangi kaum muslimin. Yang masyhur bahwa kelompok ini pertama kali muncul di masa kepemimpinan Ali Radhiyallahu anhu (Fathul Baari) –pent.



11 AMALAN BID'AH DIBULAN MUHARRAM

Daftar Isi

    Pertama: Keyakinan bahwa bulan Muharram bulan keramat
    Kedua: Doa awal dan akhir tahun [2]
    Ketiga: Peringatan tahun baru hijriyyah
    Keempat: Puasa awal tahun baru hijriyyah [5]
    Kelima: Menghidupkan malam pertama bulan Muharram [7]
    Keenam: Menghidupkan malam hari ‘Asyuro
    Ketujuh: Shalat ‘Asyuro
    Kedelapan: Do’a hari ‘Asyuro
    Kesembilan: Memperingati hari kematian Husein [15]
    Kesepuluh: Peringatan hari suka cita
    Kesebelas: Berbagai ritual dan adat istiadat di tanah Air

Berikut adalah beberapa amalan bid’ah (tidak ada tuntunan) yang ada di bulan Muharram yang masih laris manis di tengah-tengah kaum muslimin di tanah air.

Pertama: Keyakinan bahwa bulan Muharram bulan keramat

Keyakinan semacam ini masih bercokol pada sebagian masyarakat. Atas dasar keyakinan ala jahiliyyah inilah banyak di kalangan masyarakat yang enggan menikahkan putrinya pada bulan ini karena alasan akan membawa sial dan kegagalan dalam berumah tangga [1]!!. Ketahuilah saudaraku, hal ini adalah keyakinan jahiliyyah yang telah dibatalkan oleh Islam. Kesialan tidak ada sangkut pautnya dengan bulan, baik Muharram, Shafar atau bulan-bulan lainnya.

Kedua: Doa awal dan akhir tahun [2]

Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu Zaid berkata: “Tidak ada dalam syariat ini sedikitpun doa’ atau dzikir untuk awal tahun. Manusia zaman sekarang banyak membuat bid’ah berupa do’a, dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali!!”. [3]

Ketiga: Peringatan tahun baru hijriyyah

Tidak ragu lagi perkara ini termasuk bid’ah. Tidak ada keterangan dalam as-Sunnah anjuran mengadakan peringatan tahun baru hijriyyah. Perkara ini termasuk bid’ah yang jelek. [4]

Daurah Penggerak Dakwah

Keempat: Puasa awal tahun baru hijriyyah [5]

Perkara ini termasuk bid’ah yang mungkar. Demikian pula puasa akhir tahun, termasuk bid’ah. Hanya dibuat-buat yang tidak berpijak pada dalil sama sekali!. Barangkali mereka berdalil dengan sebuah hadits yang berbunyi;

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ, وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ, فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةَ بِصَوْمٍ, جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةً خَمْسِيْنَ سَنَةً

Barangsiapa yang puasa pada akhir hari Dzulhijjah dan puasa awal tahun pada bulan Muharram, maka dia telah menutup akhir tahun dengan puasa dan membuka awal tahunnya dengan puasa. Semoga Allah manghapuskan dosanya selama lima puluh tahun!!”. Hadits ini adalah hadits yang palsu menurut timbangan para ahli hadits. [6]

Kelima: Menghidupkan malam pertama bulan Muharram [7]

Syaikh Abu Syamah berkata: “Tidak ada keutamaan sama sekali pada malam pertama bulan Muharram. Aku sudah meneliti atsar-atsar yang shahih maupun yang lemah dalam masalah ini. Bahkan dalam hadits-hadits yang palsu juga tidak disebutkan!!, aku khawatir -aku berlindung kepada Allah- bahwa perkara ini hanya muncul dari seorang pendusta yang membuat-buat hadits!!. [8]

Keenam: Menghidupkan malam hari ‘Asyuro

Sangat banyak sekali kemungkaran dan bid’ah-bid’ah yang dibuat pada hari ‘Asyuro [9]. Kita mulai dari malam harinya. Banyak manusia yang menghidupkan malam hari ‘Asyuro, baik dengan shalat, do’a dan dzikir atau sekedar berkumpul-kumpul. Perkara ini jelas tidak ada tuntunan yang menganjurkannya.

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Termasuk bentuk bid’ah dzikir dan doa adalah menghidupkan malam hari ‘Asyuro dengan dzikir dan ibadah. Mengkhususkan do’a pada malam hari ini dengan nama do’a hari Asyuro, yang konon katanya barangsiapa yang membaca doa ini tidak akan mati tahun tersebut. Atau membaca surat al-Qur’an yang disebutkan nama Musa pada shalat subuh hari ‘Asyuro [10]. Semua ini adalah perkara yang tidak dikehendaki oleh Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin!!”. [11]

Ketujuh: Shalat ‘Asyuro

Shalat ‘Asyuro adalah shalat yang dikerjakan antara waktu zhuhur dan ashar, empat rakaat, setiap rakaat membaca al-Fatihah sekali, kemudian membaca ayat kursi sepuluh kali, Qul HuwAllahu Ahad sepuluh kali, al-Falaq dan an-Nas lima kali. Apabila selesai salam, istighfar tujuh puluh kali. Orang-orang yang menganjurkan shalat ini dasarnya hanyalah sebuah hadits palsu!! [12]

As-Syuqoiry berkata: “Hadits shalat ‘Asyuro adalah hadits palsu. Para perowinya majhul, sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuti dalam al-Aala’I al-Mashnu’ah. Tidak boleh meriwayatkan hadits ini, lebih-lebih sampai mengamalkannya!!”. [13]

Kedelapan: Do’a hari ‘Asyuro

Diantara contoh do’a ‘Asyuro adalah; “Barangsiapa yang mengucapkan HasbiyAllah wa Ni’mal Wakil an-Nashir sebanyak tujuh puluh kali pada hari ‘Asyuro maka Allah akan menjaganya dari kejelekan pada hari itu”.

Doa ini tidak ada asalnya dari Nabi, para sahabat maupun para tabi’in. Tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang lemah apalagi hadits yang shahih. Do’a ini hanya berasal dari ucapan sebagian manusia!!. Bahkan sebagian syaikh sufi ada yang berlebihan bahwa barangsiapa yang membaca doa ini pada hari ‘Asyuro dia tidak akan mati pada tahun tersebut!!.[14] Ucapan ini jelas batil dan mungkar, karena Allah telah berfirman:

إِنَّ أَجَلَ اللَّهِ إِذَا جَاءَ لَا يُؤَخَّرُ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu Mengetahui. (QS.Nuh: 4)

Kesembilan: Memperingati hari kematian Husein [15]

Pada bulan Muharram, kelompok Syi’ah setiap tahunnya mengadakan upacara kesedihan dan ratapan dengan berdemontrasi ke jalan-jalan dan lapangan, memakai pakaian serba hitam untuk mengenang gugurnya Husain. Mereka juga memukuli pipi mereka sendiri, dada dan punggung mereka, menyobek saku, menangis berteriak histeris dengan menyebut: Ya Husain. Ya Husain!!!”

Lebih-lebih pada tanggal 10 Muharram, mereka lakukan lebih dari itu, mereka memukuli diri sendiri dengan cemeti dan pedang sehingga berlumuran darah!!! Anehnya, mereka menganggap semua itu merupakan amalan ibadah dan syi’ar Islam!! Hanya kepada Allah kita mengadu semua ini [16].

Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: “Adapun menjadikan hari asyuro sebagai hari kesedihan/ratapan sebagaimana dilakukan oleh kaum Rofidhah karena terbunuhnya Husain bin Ali, maka hal itu termasuk perbuatan orang yang tersesat usahanya dalama kehidupan dunia sedangkan dia mengira berbuat baik. Allah dan rasulNya saja tidak pernah memerintahkan agar hari mushibah dan kematian para Nabi dijadikan ratapan, lantas bagaimana dengan orang yang selain mereka?!”. [17]

Husein bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah dari perkawinan Ali bin Abi Thalib dengan putrinya Fatimah binti Rasulullah. Husein sangat dicintai oleh Rasulullah. Beliau bersabda:

حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ اْلأَسْبَاطِ

Husein adalah bagianku juga dan Aku adalah bagian Husein. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husein. Husein termasuk cucu keturunanku. [18]

Husein terbunuh pada peristiwa yang sangat tragis, yaitu pada tanggal 10 Muharram tahun 61 H, di sebuah tempat bernama Karbala, karenanya peristiwa ini kemudian lebih dikenal dengan peristiwa Karbala. [19]

Namun, apapun musibah yang terjadi dan betapapun kita sangat mencintai keluarga Rasulullah bukan alasan untuk bertindak melanggar aturan syariat dengan memperingati hari kematian Husein!!. Sebab, peristiwa terbunuhnya orang yang dicintai Rasulullah sebelum Husein juga pernah terjadi seperti terbunuhnya Hamzah bin Abdil Muthollib, dan hal itu tidak menjadikan Rasulullah dan para sahabatnya mengenang atau memperingati hari peristiwa tersebut, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syi’ah untuk mengenang terbunuhnya Husein!!. [20]

Kesepuluh: Peringatan hari suka cita

Yang dimaksud hari suka cita adalah hari menampakkan kegembiraan, menghidangkan makanan lebih dari biasanya dan memakai pakaian bagus. Mereka yang membuat acara ini, ingin menyaingi dan mengganti hari kesedihan atas peristiwa terbunuhnya Husein dengan kegembiraan, kontra dengan apa yang dilakukan orang-orang Syiah. Tentunya, acara semacam ini tidak dibenarkan, karena bid’ah tidak boleh dilawan dengan bid’ah yang baru!! Dan tidak ada satu dalilpun yang membolehkan acara semacam ini. [21]

Kesebelas: Berbagai ritual dan adat istiadat di tanah Air

Di tanah air, bila tiba hari ‘Asyuro kita akan melihat berbagai adat dan ritual yang beraneka ragam dalam rangka menyambut hari istimewa ini. Apabila kita lihat secara kacamata syar’I, adat dan ritual ini tidak lepas dari kesyirikan! Seperti meminta berkah dari benda-benda yang dianggap sakti dan keramat, bahkan yang lebih mengenaskan sampai kotoran sapi-pun tidak luput untuk dijadikan alat pencari berkah!!. [22]

Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis: Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)

_____

[1] Syarh Masail al-Jahiliyyah, DR.Sholih al-Fauzan hal.302

[2] Ishlahul Masajid, al-Qoshimi hal.129, as-Sunan wal Mubtada’at, Muhammad Ahmad Abdus Salam hal.155

[3] Tashih ad-Duu’a, Bakr Abu Zaid hal.107

[4] Bida’ wa Akhtho’ hal.218. Lihat secara luas masalah ini dalam risalah Al- Ihtifal bi Ra’si Sanah wa Musyabahati Ashabil Jahim oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari.

[5] as-Sunan wal Mubtada’at hal.191, Tashihud Du’a hal.107

[6] al-A’lai al-Mashnu’ah, as-Suyuti 2/108, Tanziihus Syari’ah, Ibnu Arroq 2/148, al-Fawaid al-Majmu’ah, as-Syaukani no.280. Kritik Hadits-Hadits Dho’if Populer, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi hal.114

[7] Tashihud Du’a hal.107, Bida’ wa Akhtho hal.221

[8] al-Ba’its Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239

[9] Iqthido as-Sirath al-Mustaqim 2/129-134, Majmu’ Fatawa 25/307-314 keduanya oleh Ibnu Taimiyyah, al-Ibda’ Fi Madhoril Ibtida’ Ali Mahfuzh hal.56, 269, as-Sunan wal Mubtada’at hal.154-158, 191.

[10] Bida’ al-Qurro Bakr Abu Zaid hal.9

[11] Tashihud Du’a hal.109

[12] al-Fawaid al-Majmu’ah no.60 al-Aala’I al-Masnu’ah 2/92.

[13] as-Sunan wal Mubtada’at hal.154

[14] Du’a Khotmil Qur’an, Ahmad Muhammad al-Barrok, buku ini sarat dengan khurafat dan kedustaan!!. (Bida’ wa Akhtho hal.230).

[15] Iqthidho as-Siroth al-Mustaqiem 2/131-132

[16] Lihat Min Aqoid Syi’ah/Membongkar Kesesatan Aqidah Syi’ah hlm. 57-58, Syaikh Abdullah bin Muhammad

[17] Lathoiful Ma’arif   hlm. 113

[18] HR.Tirmidzi: 3775, Ibnu Majah: 144. Ibnu Hibban: 2240, Hakim 3/177, Ahmad: 4/172, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahihah: 1227.

[19] Lihat kisah lengkapnya dalam al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir 8/172-191.

[20] Syahr al-Muharram wa Yaum ‘Asyuro, Abdullah Haidir hal.29

[21] Majmu’ Fatawa 25/309-310, Iqtidho as-Siroth al-Mustaqiem 2/133, Tamamul Minnah, al-Albani hal.412

[22] Diantara adat ritual yang sering dilakukan di daratan Jawa adalah yang dikenal dengan istilah Kirab 1 Syuro. Acara ini sarat dengan kesyirikan, mulai dari keyakinan mereka terhadap benda pusaka keraton, keyakinan kerbau yang punya kekuatan ghaib, tirakatan dengan doa dan dzikir pada malam harinya dan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang sangat jelas!!. Wallahul Musta’an.


HARI ASYURA (10 MUHARRAM) ANTARA SUNNAH DAN BID’AH

SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA

Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.

Dari ’Aisyah Radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.”[1]

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّه بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ 

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu”[2]

Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.

Diriwayatkan pada hadits lain.

وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى

“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ

“Abu Musa Radhiyallahu anhuberkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu”[4]

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin”[5]

CARA BERPUASA DI HARI ASYURA

1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ

“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:

صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ

“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan.

Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al 2/76):”Ini adalah derajat yang paling sempurna”.

Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang paling utama”.

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434

Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram

Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:

صَامَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal sembilan.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[6]

Dalam riwayat lain :

لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

“Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[7]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”

عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ

“Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh”[8]

3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal sembilan dan sepuluh atau sepuluh dan sebelas Muharram

صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”[9]

Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
  1.     Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
  2.     Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
  3.     Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
Jadi hadits di atas shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.

Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan….”

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”

Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal sebelas”

4. Berpuasa pada sepuluh Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246):

”Puasa Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal sembilan, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal sembilan dan sebelas. Wallahu a’lam.”

BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA
  1.     Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
  2.     Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
  3.     Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
  4.     Membakar kemenyan.
  5.     Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
  6.     Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)
  7.     Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
  8.     Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
    As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”

Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”

Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata: “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.
Baca Juga  Peristiwa Karbala Dalam Pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah

مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.

Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.

Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122

Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

مَنِ ا غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.

Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.

Adapun hadits,

ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا

“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”

Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).

Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin

(Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali)

_____

Footnote:

[1] Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2] Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3] Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4] Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5] Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6] Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7] Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8] Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9] Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88