Type Here to Get Search Results !

 


BERDO’A DI DALAM SHALAT ATAU SESUDAHNYA?


Berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan amal shaleh yang keutamaan dan kedudukannya sangat tinggi dalam Islam.

Cukuplah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut menunjukkan keagungan kedudukan do’a dan yang menunjukkan bahwa ibadah ini sangat dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” [Al-Mu’min/40:60]

Dalam sebuah hadits yang shahih, dari an-Nu’man bin Basyîr Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berdo’a adalah ibadah”, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.[1]

Jadi, maksud dari kata ibadah dalam ayat di atas adalah berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla .

Dan karena kedudukannya yang mulia, di akhir ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan ancaman keras bagi orang yang menyombongkan diri dan berpaling dari berdo’a kepada-Nya[2]. Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

Sesungguhnya barangsiapa enggan untuk memohon kepada Allâh maka Dia akan murka kepadanya.[3]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan tingginya keutamaan do’a sebagai sebab perhatian dan pemuliaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya.[4] Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ ۖ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا

Katakanlah, “Rabbku tidak mengindahkan kamu, kalau kamu tidak berdo’a (dan beribadah kepada-Nya). (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya, karena itu kelak (adzab) pasti (menimpamu)” [Al-Furqân/25:77]

Demikian pula dalam beberapa hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang agungnya kedudukan do’a. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Seutama-utama ibadah adalah berdo’a.[5]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia bagi Allâh Azza wa Jalla daripada do’a.”[6]

DOA YANG DIKABULAKN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Setiap Muslim tentu mengharapkan do’a-do’a permohonan kebaikannya dikabulkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dijanjikan Allâh Azza wa Jalla dalam ayat di atas. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua do’a yang dipanjatkan lantas dikabulkan-Nya. Penyebab adalah banyak dari do’a-do’a yang dilakukan manusia tidak memperhatikan syarat-syarat, adab dan sebab-sebab terkabulnya do’a, serta tidak menjauhi penghalang-penghalang terkabulnya do’a tersebut, sebagaiamana yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Di antara penghalang tersebut adalah melampaui batas dalam berdo’a dalam segala bentuknya, perbuatan dosa dan kezhaliman tanpa bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , tergesa-gesa meminta pengabulan do’a dari Allâh Azza wa Jalla , mengkonsumsi harta yang haram, baik dalam makanan, minuman, maupun pakaian, kelalaian hati dari (mengingat Allâh Azza wa Jalla ), serta dominasi hawa nafsu dan syahwat pada diri manusia.[7]

Demikian pula adab dan sebab-sebab dikabulkannya do’a yang banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jadi, do’a dan permohonan yang paling dekat dengan pengabulan dari Allâh Azza wa Jalla adalah permohonan yang terpenuhi padanya syarat-syarat terkabulnya do’a, jauh dari penghalang-penghalangnya, dan dihiasi dengan adab-adab berdo’a sebanyak mungkin. Inilah do’a yang tidak akan ditolak oleh Allâh Azza wa Jalla , insya Allâh.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika terkumpul dalam do’a (seorang hamba) hadirnya hati dan terfokusnya secara utuh kepada permohonan yang dimintanya, (waktu dia berdo’a) bertepatan dengan salah satu dari enam waktu (yang dijanjikan padanya) pengabulan do’a, yaitu:
  1.     sepertiga malam yang terakhir
  2.     ketika adzan (berkumandang)
  3.     (waktu) di antara adzan dan iqamah,
  4.     di akhir shalat-shalat (lima waktu) yang wajib (sebelum salam),
  5.     ketika imam (khathib) naik ke mimbar pada hari Jum’at sampai selesai shalat Jum’at,
  6.     dan akhir waktu (siang) setelah shalat Ashar (sebelum matahari terbenam) pada hari Jum’at
disertai perasaan khusyu’ dalam hati, merendahkan diri, tunduk, pasrah dan mengakui kelemahan diri (di hadapan Allâh Azza wa Jalla), dia berdo’a dalam keadaan suci (dari hadats), menghadap qiblat serta mengangkat kedua tangannya kepada Allâh Azza wa Jalla.  Dia memulai (do’anya) dengan memuji dan menyanjung Allâh Subhanahu wa Ta’ala , lalu bershalawat atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian sebelum menyampaikan permohonannya, dia bertaubat dan beristigfar (memohon ampun kepada-Nya), setelah itu dia menyampaikan permohonannya kepada Allâh Azza wa Jalla , dengan merengek-rengek dan bersungguh-sungguh meminta, disertai perasaan takut dan berharap, bertawassul kepada-Nya dengan nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha tinggi), dan mentauhidkan-Nya, serta terlebih dahulu bersedekah sebelum berdo’a. Sungguh do’a (seperti) ini hampir (pasti) tidak akan ditolak selamanya. Terlebih lagi jika do’a tersebut bersesuaian dengan do’a-do’a yang diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa do’a-do’a tersebut kemungkinan (besar) dikabulkan atau mengandung nama Allâh yang paling agung…”[8]

BERDOA DALAM SHALAT

Saat melaksanakan shalat adalah salah satu waktu yang dijanjikan pengabulan do’a dari Allâh Azza wa Jalla padanya dan berdo’a pada saat ini merupakan salah satu sebab utama dikabulkannya do’a.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ

Ketika salah seorang dari kalian sedang mengerjakan shalat maka sesungguhnya (saat itu) dia sedang bermunajat (berkomunikasi/ berbisik-bisik) dengan Rabbnya (Allâh Azza wa Jalla)[9]

Hadits ini menunjukkan bahwa diantara saat yang paling tepat dan pantas bagi seorang hamba untuk menyampaikan permohonannya kepada Allâh Azza wa Jalla adalah ketika dia sedang melaksanakan shalat, karena pada waktu itu dia sedang bermunajat dan berkomunikasi dengan Allâh Azza wa Jalla.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Adapun berdo’a (yang langsung dilakukan) setelah salam dari shalat, dengan menghadap kiblat atau para makmum (dalam shalat berjama’ah), maka ini sama sekali bukanlah termasuk sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan tidak pernah dinukil dari (hadits) Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (baik) dengan sanad yang shahih ataupun hasan… Mayoritas do’a-do’a yang berkaitan dengan shalat tidak lain dilakukan dan diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Inilah (berdo’a di dalam shalat) yang sesuai dengan keadaan orang yang sedang shalat, karena dia sedang menghadap Allâh Azza wa Jalla dan bermunajat dengan-Nya selama dia dalam shalatnya, maka setelah dia mengucapkan salam dari shalat terputuslah munajatnya (dengan Allâh) dan buyarlah sikap berdiri serta kedekatannya dengan Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu, bagaimana (bisa dibenarkan ketika) hamba ini meninggalkan do’a kepada Allâh Azza wa Jalla di saat dia sedang bermunajat, dekat dan menghadap kepada-Nya (di dalam shalat), kemudian dia (malah) berdo’a kepada-Nya setelah semua itu selesai??. Tidak diragukan lagi bahwa keadaan sebaliknyalah yang lebih sesuai dan lebih pantas bagi hamba yang sedang melaksanakan shalat.”[10]

Berdasarkan hadits-hadist yang shahih, para Ulama menyimpulkan bahwa ada enam atau tujuh tempat dalam shalat[11] yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla ketika itu, yaitu:
  1. Dalam do’a istiftah atau iftitah setelah takbîratul ihram, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits shahih, di antaranya hadits riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
  2. Dalam do’a qunut shalat witir sebelum ruku’, setelah selesai membaca al-Fâtihah dan surah al-Qur’an. Ini juga disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
  3. Di waktu i’tidal setelah bangkit dari ruku’, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dari ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu anhu .
  4. Di waktu ruku’, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma .
  5. Di waktu sujud (semua sujud dalam shalat). Di waktu inilah yang paling sering Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a-do’a dan memerintahkan untuk memperbanyak do’a padanya.
  6. Di waktu duduk di antara dua sujud, ini juga disebutkan dalam hadits yang shahih.
  7. Sebelum salam dari shalat (di akhir shalat), setelah tasyahud dan shalawat. Inilah yang diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan dari Fadhâlah bin ‘Ubaid Radhiyallahu anhu .[12]
Kemudian Imam Ibnu hajar menambahkan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga selalu berdo’a (dalam shalat) ketika qunut (witir dan nâzilah) serta di saat membaca al-Qur’an, ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati ayat-ayat (yang menjelaskan tentang) rahmat Allâh maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a memohon (rahmat-Nya), dan ketika melewati ayat-ayat (yang menjelaskan tentang) adzab Allâh maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a memohon perlindungan (kepada-Nya).”[13]

Dan di antara tempat-tempat tersebut di atas, ada dua tempat yang diperintahkan dan dianjurkan secara khusus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbanyak do’a padanya, yaitu di waktu sujud dan setelah tasyahhud sebelum salam dari shalat.[14]

1. Di Waktu Sujud

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدُ فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ

Sedekat-dekatnya seorang hamba dari Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud, maka perbanyaklah do’a (pada waktu itu)[15]

Dalam hadits lain dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ

Adapun (di waktu) sujud maka bersungguh-sungguhlah untuk berdo’a padanya, karena pantas untuk dikabulkan do’amu (pada waktu itu).[16]

Kedua hadits ini menunjukkan keutamaan berdo’a di waktu sujud sehingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memperbanyak do’a padanya (setelah membaca dzikir untuk sujud), dan juga menunjukkan bahwa waktu sujud adalah saat yang dijanjikan pengabulan do’a padanya.[17]

Oleh karena itulah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam paling sering dan paling banyak berdo’a pada waktu sujud dalam shalat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana penjelasan Imam Ibnul Qayyim dan Imam Ibnu Hajar.[18]

Juga perlu diingatkan di sini, bahwa keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini berlaku untuk semua sujud dalam shalat dan tidak hanya untuk sujud terakhir saja, sebagaimana yang disangka dan dipraktekkan oleh sebagian dari kaum Muslimin.[19] HuH

2. Setelah Tasyahhud Sebelum Salam dari Shalat

Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya:

أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ ؟ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ

Do’a apakah yang paling didengar (dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla )? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Do’a) di tengah malam (akhir malam) dan di ujung (akhir) shalat-shalat (lima waktu) yang wajib[20]

Yang di maksud ‘akhir shalat yang wajib’ dalam hadits ini adalah setelah tasyahhud sebelum salam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[21] dan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin.[22]

Dalam hadits shahih lainnya dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bacaan tahiyyat dan tasyahhud dalam shalat kepada para Sahabat Radhiyallahu anhum, di akhir hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو

 Kemudian (orang yang sedang shalat, setelah membaca tahiyyat dan tasyahhud) hendaknya dia memilih do’a yang paling disukainya dan berdo’a dengannya (ketika itu)[23]

Demikian juga dalam hadits lain dari Fadhâlah bin ‘Ubaid Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِى -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ

Kemudian orang yang sedang shalat hendaknya membaca shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu setelah itu berdo’a sesuai dengan keinginannya.”[24]

Kedua hadits ini menunjukkan perintah dan anjuran untuk memperbanyak do’a di saat ini.[25]

Dalam kitab Shifatu Shalâtin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (hlmn 183-187), Syaikh al-Albani rahimahullah membawakan banyak hadits shahih yang berisi do’a-do’a yang diucapkan dan diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibaca setelah tasyahhud dan sebelum salam dari shalat.

Bahkan sebagian Ulama mengatakan bahwa anjuran berdo’a di saat ini tidak hanya berlaku pada waktu duduk tahiyyat akhir, tapi juga berlaku pada waktu tahiyyat awal. Mereka berdalil dengan lafazh riwayat lain dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu di atas, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu duduk (dalam shalat) di setiap dua raka’at, maka ucapkanlah: at-tahiyyaatu lillahi washalawaatu wathayyibaat… dan hendaknya dia memilih do’a yang paling disukainya lalu berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla ”[26].

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “…di setiap dua raka’at…” menunjukkan bahwa ini berlaku untuk tahiyyat awal dan tahiyyat akhir.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Hazm al-Andalusi t dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah .[27]

ANTARA BERDO’A DI DALAM SHALAT DAN SETELAH SHALAT

Dari pemaparan di atas, jelaslah keutamaan besar dan kemuliaan berdo’a dalam shalat. Tentu saja jika dibandingkan dengan berdo’a setelah shalat, yang diperbolehkan oleh sebagian dari para Ulama, maka berdo’a di dalam shalat jelas lebih utama dan lebih tinggi kedudukannya, karena berdo’a setelah shalat tidaklah memiliki keutamaan yang khusus seperti berdo’a di dalam shalat.

Memang ada di antara para Ulama, seperti Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani rahimahullah [28], yang berdalil untuk menetapkan keutamaan berdo’a setelah shalat dengan hadits dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu yang telah dinukil di atas, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang do’a yang paling didengar (dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla )?: “(Do’a) di tengah malam (akhir malam) dan di ujung (akhir) shalat-shalat (lima waktu) yang wajib.”[29]

Mereka memaknai sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini “… Di dubur shalat-shalat (lima waktu) yang wajib” dengan ‘setelah salam dari shalat-shalat tersebut’.

Namun, pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa maknanya ‘di akhir shalat sebelum salam’, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin.[30]

Kalaupun pemaknaan di atas bisa diterima, tetap saja keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini tidak bisa menyamai atau bahkan tidak bisa mendekati keutamaan-keutamaan berdo’a di dalam shalat yang telah dinukil dan dijelaskan di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya berdo’a di dalam shalat lebih dekat dengan pengabulan (dari Allâh Azza wa Jalla ) daripada (berdo’a) di waktu lain.”[31]

Oleh karena itu, jelaslah bagi kita kesalahan yang banyak dilakukan oleh sebagian dari kaum Muslimin ketika mereka melakukan shalat berjama’ah di masjid-masjid, mereka selalu mengerjakan shalat dengan cepat dan ringkas, kemudian setelah itu mereka berdo’a dengan do’a yang sangat panjang, seakan do’a setelah shalat lebih utama dan lebih penting dibandingkan dengan do’a di dalam shalat, bahkan dengan shalat itu sendiri.

Tentu saja, perbuatan ini tidak benar dan sangat bertentangan dengan sunnah atau petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pelaksanaan shalat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Dari al-Bara’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

رَمَقْتُ الصَّلاةَ مَعَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُ قِيَامَهُ فَرَكْعَتَهُ فَاعْتِدَالَهُ بَعْدَ رُكُوْعِهِ ،فَسَجْدَتَهُ فَجِلْسَتَهُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، فَسَجْدَتَهُ فَجِلْسَتَهُ مَا بَيْنَ التَّسْلِيمِ وَالانْصِرَافِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ

Aku mengamati dengan seksama shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka aku dapati (lama waktu ketika) Beliau berdiri, ruku’, bangkit dari ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, sujud (yang kedua) dan duduk (tahiyyat) sebelum salam lalu mengakhiri shalat (semuanya) hampir sama (panjang waktunya)”[32].

Hadits ini menunjukkan bahwa panjang waktu setiap rukun shalat yang dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tergantung panjang atau pendeknya bacaan al-Qur’an (al-Fâtihah dan surah) Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri, sehingga jika bacaan al-Qur’an tersebut semakin panjang maka semakin panjang pula waktu rukun-rukun shalat lainnya.[33]

Dan termasuk hal yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperpanjang waktu ruku’ dan duduk tasyahhud setelah membaca dzikir yang khsusus bagi rukun-rukun tersebut adalah memperbanyak bacaan do’a dan permohonan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana penjelasan di atas.

Maka semua ini jelas menunjukkan tidak pantas dan merupakan tindakan keliru, orang yang memperingkas pelaksanaan shalatnya tanpa ‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan dalam syari’at Islam) lalu setelah itu dia berdo’a dengan sangat lama dan panjang, seakan-akan do’a di luar shalat lebih utama dan lebih mulia daripada shalat itu sendiri.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADIKAN PELKASANAAN SHALAT HARUSNYA LEBIH PANJANG DAN KHUSYU’

Ada beberapa faktor dan sebab yang menjadkan pelaksanaan shalat seorang hamba harusnya lebih lama, tenang dan khusyu’, selain hal yang telah disebutkan di atas, di antaranya:
  • 1. Shalat adalah qurratul ‘ain (penyejuk hati atau penghibur jiwa) bagi orang yang benar, sehingga ketika melaksanakannya dia akan betah berlama-lama karena dia merasakan kenikmatannya.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

Allâh menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk hati/penghibur jiwa) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.[34]

Faktor inilah yang akan memudahkan seorang hamba untuk meraih khusyu’ dalam shalatnya, dengan izin Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata[35], “Khusyu’ dalam shalat hanyalah akan diraih oleh orang yang hatinya tercurah sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya menyibuk-kan diri dan lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika itulah shalat akan menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya), sebagamana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allâh menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”[36]

Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal Radhiyallahu anhu :

يَا بِلاَلُ أَرِحْنَا بِالصَّلاَةِ

Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat[37].
  • 2. Bacaan al-Qur’an, do’a dan dzikir dalam shalat, semua ini termasuk sebab utama yang menjadikan tenang dan damai hati manusia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir kepada Allâh. Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allâh hati menjadi tenteram [Ar-Ra’du/13:28]

Artinya: dengan berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan.[38]

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla [39].

Salah seorang Ulama salaf berkata, “Kami mengerjakan shalat lalu beristirahat (merasakan kegembiraan) di dalam shalat kami.”[40]
  • 3. Saat shalat merupakan waktu bermunajat dan dekat dengan Allâh Azza wa Jalla.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Ketika salah seorang dari kalian sedang mengerjakan shalat maka sesungguhnya (saat itu) dia sedang bermunajat (berkomuni-kasi/ berbisik-bisik) dengan Rabbnya (Allâh Azza wa Jalla )”[41].

Bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla adalah kedudukan tertinggi dan kemuliaan terbesar seorang hamba di sisi Allâh Azza wa Jalla .[42]
  • 4. Do’a-do’a dalam shalat lebih utama dan dijanjikan pengabulan dari Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Tentu ini menjadikan seorang hamba lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk memperbanyak do’a di dalam shalat.
BOLEHKAH BERDO’A SETELAH SALAM DARI SHALAT?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang membolehkannya dan ada yang tidak membolehkannya.

Di antara para Ulama yang membolehkannya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah .[43]

Ada juga di antara para Ulama yang tidak membolehkannya, karena ini bukan merupakan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdo’a setelah melaksanakan shalat wajib (lima waktu) bukanlah sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pantas dilakukan, kecuali do’a yang bersumber dari sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti beristigfar tiga kali setelah salam.[44] Hal yang semestinya dilakukan oleh seorang Muslim adalah berdo’a ketika dia sedang shalat (di dalam shalat). Bisa di dalam sujud (setelah membaca dikir sujud), karena sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (yang artinya), “Sedekat-dekatnya seorang hamba dari Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud, maka perbanyaklah do’a (pada waktu itu)”[45]. Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Adapun (di waktu) sujud maka bersungguh-sungguhlah untuk berdo’a padanya, karena pantas untuk dikabulkan do’amu (pada waktu itu)”[46]

Atau di akhir tasyahhud sebelum salam, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menyebutkan (bacaan) tasyahhud, “…Kemudian orang yang sedang shalat (setelah membaca tahiyyat dan tasyahhud) hendaknya dia memilih do’a yang paling disukainya”[47]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat kedua tangan Beliau untuk berdo’a setiap selesai shalat wajib, sampaipun ketika beristigfar tiga kali (setelah salam) tidak pernah dinukil (dalam hadits yang shahih) bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangakat kedua tangan ketika beristigfar.

Tidak ada (dalam petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) do’a yang dinamakan dengan ‘do’a penutup shalat’, akan tetapi yang diperintahkan (dalam Islam) setelah shalat adalah berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ

Apabila kamu telah selesai melaksanakan shalat, maka berdzikirlah kepada Allâh di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring [An-Nisâ’/4:103]

Maka aku nasehatkan kepada orang yang selalu berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla setiap selesai shalat wajib (lima waktu) dengan mengangkat kedua tangannya, hendaknya dia meninggalkan perbuatan ini dalam rangka mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan ini). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara (dalam agama Islam) adalah yang diada-adakan (tanpa ada contoh dari sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”[48].

Sebagian para Ulama yang membolehkan hal ini menjelaskan bahwa berdo’a tidak langsung dilakukan setelah shalat, tetapi setelah membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dan dicontohkan dalam sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana penjelasan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid beliau Imam Ibnul Qayyim[49].

Dan meskipun hal ini dibolehkan, tentu saja tidak menjadikan kita lantas lebih mengutamakan dan memetingkan berdo’a setelah shalat, serta meremehkan dan kurang memperhatikan berdo’a di dalam shalat, sehingga menjadikan kita luput dari keutamaan-keutamaan besar sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Akhirnya kami menutup tulisan ini dengan berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi agar Dia memudahkan petunjuk-Nya bagi kita untuk meraih segala kebaikan dan terhindar dari segala keburukan. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
_______

Footnote:

[1] HR Abu Dawud, no. 1479; At-Tirmidzi, 5/211; Ibnu Majah, no. 3828 dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 4/109 dan Taisîrul Karîmirrahmân, hlm. 740
[3] HR. At-Tirmidzi, no. 3373 dan al-Hakim, 1/667. Hadits ini dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[4] Lihat kitab Taisîrul Karîmirrahmân, hlm. 587
[5] HR. Al-Hakim, 1/667. Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilatul Ahâ-dîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah, no. 1579
[6] HR. At-Tirmidzi, 5/455; Ahmad, 2/362; Ibnu Hibban, 3/151 dan al-Hakim, 1/666. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan al-Hakim, serta dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[7] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim t dalam kitab al-Jawâbul Kâfi, hlm. 3-4
[8] Kitab al-Jawâbul Kâfi, hlm. 5
[9] HSR. Al-Bukhâri, 1/406 dan Muslim, no. 551
[10] Kitab Zâdul Ma’âd, 1/247
[11] Imam Ibnul Qayyim menyebutkan tujuh tempat (Zâdul Ma’âd, 1/247), sedangkan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani t menyebutkan enam tempat (Fat-hul Bâri, 11/132).
[12] Lihat dua kitab di atas.
[13] Kitab Fat-hul Bâri, 11/132
[14] Lihat kitab Fat-hul Bâri, 11/132 dan Majmû’ Fatâwa wa Rasâ-il Syaikh Ibni ‘Utsaimin, 13/206
[15] HSR. Muslim, no. 482
[16] HSR. Muslim, no. 479
[17] Lihat kitab Fat-hul Bâri, 2/300 dan (2/491); ’Aunul Ma’bûd, 3/90 dan Faidhul Qadîr, 2/68
[18] Dalam kitab Zâdul Ma’âd, 1/247 dan Fat-hul Bâri, 11/132
[19] Lihat kitab Syarh Shahîh Muslim oleh Imam an-Nawawi, 4/206
[20] HR. At-Tirmidzi, no. 9936 dan an-Nasa-i , 6/32. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[21] Lihat kitab Zâdul Ma’âd, 1/305
[22] Lihat kitab asy-Syarhul Mumti’, 1/678
[23] HSR. Al-Bukhari, 1/287 dan Muslim, no. 402
[24] HR. Abu Dawud, no. 1481 dan at-Tirmidzi, 5/517. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[25] Lihat kitab Zâdul Ma’âd, 1/247 dan Shifatu Shalâtin Nabi n , hlm. 183
[26] HR. An-Nasaa-i , 2/23; Ahmad, 1/437 dan Ibnu Hibban, 5/281. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[27] Lihat kitab Shifatu Shalâtin Nabi n , hlm. 160 dan al-Qaulul Mubîn fi Akhthâ-il Mushallîn, hlm. 160
[28] Lihat kitab Fat-hul Bâri, 11/134
[29] HR. At-Tirmidzi, no. 9936 dan an-Nasa-i , 6/32. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[30] Lihat kitab asy-Syarhul Mumti’, 1/678
[31] Kitab ar-Raddu ‘alal Bakri, 2/520
[32] HSR. Muslim, no. 471
[33] Lihat kitab Zâdul Ma’âd, 1/228
[34] HR. Ahmad, 3/128 dan an-Nasa-i , 7/61. Hadits ini  dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[35] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 3/319
[36] HR. Ahmad, 3/128 dan an-Nasa-i , 7/61. Hadits ini dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[37] HR. Abu Daud, 2/715 dan Ahmad, 5/364. Hadits ini dinyatakan shahih oleh syaikh Al Albani.
[38] Lihat kitab Taisîrul Karîmirrahmân, hlm. 417
[39] Ibid.
[40] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab al-Wâbilush Shayyib, hlm. 34
[41] HSR. Al-Bukhâri, 1/406 dan Muslim, no. 551
[42] Lihat kitab Fat-hul Bâri, 2/14 dan Faidhul Qadîr, 2/416
[43] Lihat kitab ar-Raddu ‘alal Bakri, 2/520; Zâdul Ma’âd, 1/247 dan Fat-hul Bâri, 11/133
[44] HSR. Muslim, no. 591

[45] HSR. Muslim, no. 482

[46] HSR. Muslim, no. 479

[47] HSR. Al-Bukhâri, 1/287 dan Muslim, no. 402

[48] Majmû’ Fatâwa wa Rasâ-il Syaikh Ibni ‘Utsaimin, 13/207

[49] Lihat kitab Zâdul Ma’âd, 1/247 dan Taudhîhul Ahkâm, 2/310