Type Here to Get Search Results !

 


BARZANJI, KITAB INDUK PERINGATAN MAULÎD NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM


Seputar Kitab Barzanji

Secara umum peringatan maulud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya:

Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga:
  1.     Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
  2.     Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
  3.     Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Penulis Kitab Barzanji

Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[2]

Kesalahan Umum Kitab Barzanji

Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

: مَن قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرفٌ.  رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِِيْ

Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an  maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîmssatu huruf. Akan tetapi, Alifd satu huruf, lâmd satu huruf mîmd satu huruf .[3]

Kesalahan Khusus Kitab Barzanji

Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
  • Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji menyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.

وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ     وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ       فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ            نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ

Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.

Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]

Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.[5]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissallam dan yang lainnya.”[6]

Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan  lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]

Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.[8]
  • Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:

مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا       مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.

Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga,  sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.

Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini hadir,  meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.

يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ         يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ      صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ

Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.

 Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah manusia teragung yang lebih layak  dihormati dari pada orang lain[9]

Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam  disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.

Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.

Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam   adalah para sahabat Radhiyallahu anhum -semoga Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidaklah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.[10]

Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.

Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian.[11], maka alasan ini tidak tepat.

Memang benar Imam Nawawi  rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan,[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan.[13]
  • Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ       ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن    ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ          فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ

Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)

Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba , maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.[14]

Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissallam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya  dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak  dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]

Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Alaihissallam bersabda: “Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]

Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
  • Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Para pengagum kitab Barzanji menganggap bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam  merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi  dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. [al-Ahzâb/ 33:56]

Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:
  1.     Terkena doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]
  2.     Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”.[19]
  3.     Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla , karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
  4.     Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. [Al-Ahzâb/ 33:43]

Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. [Ar-Ra’du/ 13:28].

Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla . Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.
  • Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:

وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً        مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ

Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni[21]

Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam   memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi  sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.

Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ’i bahwa semua Nabi sejak Nabi  Adam Alaihissallam hingga Nabi  terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[22]

Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissallam, seperti dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.

Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat.[23]

Penulis: Ustadz Zainal Abidin Lc

_______

Footnote:

[1] Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2] Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3] (HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468)
[4] Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5] Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6] Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7] Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8] Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9] Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10] Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11] Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya  (1768)
[12] Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13] Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14] Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15] Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16] Shahîh, dishahîhkan Oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17] Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya  (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18] Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ‘ : 6
[19] Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ‘ : 5
[20]  Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya  (284).
[21]  Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]  Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf  Utsman (169-192).
[23]  Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah k memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.


MENGAPA HARUS BARZANJI?

1. Keberadaan Kitab Barzanji Di Kalangan Kaum Muslimin

Kitab ‘Iqdul Jauhar Fî Maulid an-Nabiyyi al-Azhar’ atau yang terkenal dengan nama Maulid Barzanji, adalah sebuah kitab yang sangat populer di kalangan dunia Islam, demikian juga di negara kita Indonesia, terutama di kalangan para santri dan pondok-pondok pesantren. Maka, tidak mengherankan jika di setiap rumah mereka terdapat kitab Barzanji ini. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah menghafalnya. Sudah menjadi ritual di antara mereka untuk membacanya setiap malam Senin karena meyakini adanya keutamaan dalam membacanya pada malam hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada juga yang membacanya setiap malam Jum’at karena mengharap keberkahan malam hari tersebut. Ada juga yang membacanya setiap bulan sekali, dan ada juga pembacaan maulid barzanji ini pada hari menjelang kelahiran sang bayi atau pada hari dicukur rambutnya. Sudah kita ketahui bahwa mereka beramai-ramai membacanya dengan berjamaah kemudian berdiri ketika dibacakan detik-detik kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan pada perayaan maulid beliau pada tanggal 12 Rabi’ûl awwal. Mereka meyakini bahwa dengan membaca barzanji ini mereka telah mengenang dan memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka akan memperoleh ketentraman, kedamaian dan keberkahan yang melimpah. Demikianlah cara mereka untuk mewujudkan cinta sejati mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Kandungan Kitab Barzanji

Kitab ini mengandung sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara singkat mulai sejak beliau lahir, diangkat menjadi rasul, peristiwa hijrah dan pada peperangan hingga wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, dalam penyajiannya dipenuhi dengan lafadz-lafadz ghuluw dan pujian-pujian yang melampaui batas kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih ketika dibacakan masa-masa menjelang kelahiran beliau. Disebutkan bahwasanya binatang melata milik orang Quraisy sibuk memperbincangkan kelahiran beliau dengan bahasa Arab yang fasih’, bahwa Âsiah, Maryam binti Imran dan bidadari-bidadari dari surga mendatangi ibu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Aminah menjelang kelahiran beliau, tanaman yang dulu kering, menjadi tumbuh dan bersemi kembali setelah beliau lahir dan masih banyak lagi kemungkaran dalan barzanji ini, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan sebagian hak rububiyah yang tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah k semata. Semua ini muncul karena sikap ghuluw atau ifrâth dari kelompok yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, sikap ghuluw adalah sikap yang tercela dalam agama Islam dan merupakan sebab penyimpangan dan jauhnya kaum Muslimin dari kebenaran yang sebelumnya telah menghancurkan umat pendahulu kita. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ

“Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar“. [An-Nisa/4 : 171]

Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أََطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nashara menyanjung Isa bin Maryam sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu katakanlah tentang aku, “hamba Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya”.[HR Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوُّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اْلغُلُوُّ

“Jauhilah sikap berlebih-lebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan”. [HR Muslim]

Kitab Barzanji ini, serta kitab-kitab yang semisalnya seperti maulid Diba’i dan al Burdah dijadikan pegangan oleh para penyembah kubur dan pemuja para wali dan habib dalam rangka mengenang dan membela pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Hal ini telah dikatakan oleh pendahulu mereka, seorang tokoh Quburi (pengagum kubur) yang hidup semasa dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu Nuruddin Ali bin Ya’kub yang terkenal dengan nama al Bakri (673-724 H), dia berkata: “Aku sungguh khawatir atas mayoritas penduduk negeri ini (keburukan akan menimpa mereka) dengan sebab mereka enggan untuk membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Inilah dalih yang menjadi sandaran untuk membenarkan kebid’ahan mereka.

Sedangkan pernyataan ini telah dikupas dan dibantah oleh Syaikhul Islam dalam kitabnya al Istighâtsah fî ar-radi ‘alal bakrî [1]. Begitulah dalih mereka sejak dahulu hingga sekarang dalam mengadakan acara maulid dan membaca barzanji atau semisalnya. Mereka membela pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa kaum Wahabi tidak cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jelas, hal ini merupakan kedustaan yang besar atas ahlus sunnah wal jama’ah, karena Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun kecintaan mereka berada di antara ifrâth (ghuluw) dan tafrîth (meremehkan).

Dalam buku maulid barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju ‘alaihi wa sallam.

Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka, sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.

Padahal mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dengan membaca kitab Barzanji, tetapi dengan mewujudkan syahâdat “Anna Muhammadan Rasulûllâh” dengan konsekuensi membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla melainkan dengan syari’atkan beliau. Inilah cinta sejati kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni dengan merealisasikan mutâba’ah (keteladanan) kepada beliau yang mulia dan menerapkankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kitab Barzanji ini? Dan bagaimana dahulu salafus shâlih, para pendahulu kita yang mulia mencintai dan memuliakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dan apakah yang mereka baca dan pelajari dalam keseharian mereka? Apakah kitab Barzanji atau yang kitab yang lain? Semoga pembahasan selanjutnya bisa memberikan jawabannya.

3. Para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Adalah Generasi Terbaik

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam kebaikan dan orang yang paling sempurna dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka juga orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satu riwayatpun dari mereka, bahwa sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkumpul lalu membaca sîrah dan mengenang kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih; seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahuhuli kita dalam mengamalkannya.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah membaca sîrah beliau sendiri, tidak pernah mengajarkannya kepada para sahabat dan juga umatnya agar membaca sîrah pada hari kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, tidak ada satu kebaikan pun, melainkan telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada satu keburukan pun melainkan telah dilarang oleh beliau. Jadi, pembacaan maulid barzanji dan maulid yang lain adalah bid’ah dhalâlah yang harus dijauhi oleh kaum muslimin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ماَ بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرٍ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia berkewajiban untuk menunjukkan umatnya kepada perkara terbaik yang dia ketahui untuk mereka, dan memberi peringatan atas perkara jelek yang dia ketahui untuk mereka”. [HR Muslim]

Maka, pembacaan barzanji dan yang semisalnya bukanlah merupakan suatu kebaikan yang ditunjukkan oleh beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Kebaikan yang Hakiki Hanya Ada Pada Ilmu Syar’i yang Shahîh

Di antara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah jika dia difahamkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang agama Islam yang murni yang bersumber dari Alqur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Sufyan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ الله ُبِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah k untuk mendapatkan kebaikan maka Dia (Allah) akan memahamkannya dalam agama”.[HR Bukhâri]

Jadi, di antara tanda-tanda seseorang akan mendapatkan kebaikan adalah dengan mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Alqur’ân dan hadits. Kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya.

Kalau ditanyakan kepada kebanyakan saudara kita, mengapa mereka asyik membaca kitab Barzanji? Mereka pasti menjawab bahwa mereka hanya menginginkan kebaikan. Demikian juga para pelaku bid’ah, mereka menginginkan kebaikan dalam mengamalkan bid’ahnya. Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mampu memperolehnya, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu

5. Kewajiban Untuk Berpegang Kepada Alqur’ân Dan As Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah dengan tali Allah Azza wa Jalla semuanya dan janganlah berpecah belah”. [Ali-Imrân/3:103]

Syaikh as-Sa’di berkata: ” Agar mereka berpegang teguh dengan tali yang Allah Azza wa Jalla berikan. Dia menjadikannya sebagai sebab antara mereka dan Dia, yaitu agama dan kitab-Nya. Kemudian mereka bersatu di atasnya, tidak berpecah belah dan senantiasa seperti itu hingga mereka mati.[2]

Alqur’ân dan as Sunnah adalah pedoman hidup kita dalam beragama dan kunci keselamatan di dunia dan akherat. Keduanya adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang abadi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّيْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR Hâkim].

6. Keutamaan Membaca Dan Mempelajari Alqur’ân Dan Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ﴿٢٩﴾لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

”Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah k menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fâthir/ 35:29-30]

Orang-orang yang membaca kitabullâh akan mendapatkan keutamaan yang besar. Mereka juga tidak meninggalkan membaca sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memahaminya karena Alqur’ân dan Sunnah keduanya tidak bisa di pisahkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata: “Membaca Alqur’ân itu terbagi menjadi dua:
  • Pertama adalah tilâwah hukmiyyah yakni membenarkan beritanya, menerapkan hukum-hukumnya dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya.
  • Kedua adalah tilâwah lafdziyah yakni sekedar membacanya, dan telah terdapat dalil yang banyak dalam keutamaan membaca Alqur’ân ini, baik membaca secara keseluruhan atau sebagian ayat-ayat tertentu saja.[3]
7. Adab-Adab Dalam Membaca Alqur’ân

Ketika kaum muslimin gemar membaca Alqur’ân dan sibuk mempelajarinya, maka sudah selayaknya mereka mengetahui etika dan adab dalam bermuamalah dengan Kitâbullâh.

Di antara adab-adab dalam membaca Alqur’ân adalah:

a). Membaca dengan niat yang ikhlas.
Membaca Alqur’ân adalah ibadah yang mulia. Maka, disyaratkan untuk mengikhlaskan niat hanya mencari wajah Allah Azza wa Jalla. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِقْرَأُوْا القرُآنَ وَابْتَغُوْا بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيْمُوْنَهُ إِقَامَةً الْقَدَحِ يَتَعَجَّلُوْنَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُوْنَهُ

“Bacalah Alqur’ân dan carilah dengannya wajah Allah Azza wa Jalla, sebelum datang satu kaum yang menegakkannya seperti melepaskan anak panah (membaca dengan cepat); mereka tergesa-gesa dan tidak mengharapkan pahala akherat”. [HR Ahmad]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Makna hadits ini adalah mereka tergesa-gesa dengan upahnya yang berupa uang atau agar terkenal dan semisalnya”.[4]

b). Membaca dengan menghadirkan hati, menghayati apa yang dibaca dan berusaha memahami maknanya.
c). Membaca dalam keadaan berwudhu’, karena hal ini lebih memuliakan Kalâmullah
d). Tidak membacanya di tempat yang kotor dan najis atau di tempat yang bising sehingga tidak mungkin dia mendengar bacaannya dengan baik, karena ini berarti merendahkan Kalâmullah.
e). Hendaknya membaca ta’awwudz; A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm atau ta’awwudz yang lain sebelum mulai membacanya
f). Hendaknya memperbagus suaranya.
g). Hendaknya membaca dengan tartil.
h). Melakukan sujud tilawah ketika melewati ayat-ayat sajdah (ayat-ayat yang dianjurkan untuk sujud ketika membacanya).

8. Penutup

Kitab maulid Barzanji ternyata dipenuhi dengan kemungkaran aqidah di dalamnya. Dan tidak selayaknya kaum muslimin asyik membacanya dalam keadaan apapun, apalagi sebagian besar di antara mereka tidak memahami apa yang mereka baca. Perayaan maulid nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak disyari’atkan dalam agama kita bahkan termasuk perbuatan bid’ah. Maka, ajakan kami hendaknya kaum muslimin semuanya kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Alqur’ân dan Sunnah di atas pemahaman salaful ummah dan istiqamah hingga wafat menjemput kita. Semoga Allah Azza wa Jalla ridha terhadap kita.

______

Footnote:

[1] Al istighâtsah fî ar-rad ‘ala Al bakri, cet maktabah dual minhaj hal 23
[2] Tafsîr as-Sa’di, cet. Muassasah ar Risâlah hal 112
[3] Majâlis Syahri Ramadhân, cet. ar Riasah al Ammah hal 28
[4] At Tibyân fî Adâbi Hamalatil Qur’ân, cet. Maktabah Ibnu Abbas -Yaman hal 68