As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna[1]. Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah “As-Sunnah” atau “Ahlus Sunnah” menurut petunjuk yang sesuai dengan i’tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : “….. Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata:
اِسْتَوصُوْابِآهْلِ السُّنَّةِ خَيْرًا فَاِنَّهُمْ غُرَبَاءُ
“Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba“[2]
Yang dimaksud “As-Sunnah” menurut para Imam yaitu : Thariqah (jalan hidup) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di atasnya”. Yang selamat dari syubhat dan syahwat”, oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan : “Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk kedalam perutnya dari (makanan) yang halal”.[3]
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta’akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i’tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan sahabat). Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai “As-Sunnah”. Menamakan masalah ini dengan “As-Sunnah” karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.[4]
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum.
Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan: “….. Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para sahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah”.[5]
Kata “Ahlus-Sunnah” mempunyai dua makna:
Mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan: ”Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi’dah dan hadits mereka tidak di ambil”.[6]
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya: ”Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli”.[7]
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang dihadapan Ahlul Bid’ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa’ wal Bida’ dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji’ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu ‘anhum.
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i’tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama’ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama’ah.[8]
Para ulama berselisih tentang perintah berjama’ah ini dalam beberapa pendapat:[9]
- Jama’ah itu adalah As-Sawadul A’dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
- Para Imam Mujtahid
- Para Sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum.
- Jama’ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
- Jama’ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna:
- Bahwa jama’ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara’, maka wajib melazimi jama’ah ini dan haram menentang jama’ah ini dan amirnya.
- Bahwa jama’ah yang Ahlus Sunnah melakukan i’tiba’ dan meninggalkan ibtida’ (bid’ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama’ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma’ atau As-Sawadul A’dzam.[10]
Syaikhul Islam mengatakan: “Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama’ah karena jama’ah itu adalah ijtima’ (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama’ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma’ merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’).[11]
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa’ wal Bida’. Contohnya: Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram“. [Ali-Imran/3 : 106].
“Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa’ wa Dhalalah”.[12]
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do’akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.[13]
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukan atas luasnya i’tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
ASY’ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH
Asy’ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab Salaf “Ahlus Sunnah wa Jama’ah” adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu As’ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.
Baca Juga Kaidah Memahami Al-Kitab dan As-Sunnah
Az-Zubaidi mengatakan: “Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”.[14]
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan :”Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi”. [15]
Al-Ayji mengatakan :”Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang mereka : “Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para sahabatku berada diatasnya”. Mereka itu adalah Asy’ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.[16]
Hasan Ayyub mengatakan : “Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid”.[17]
Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini:
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid’ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar’i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i’tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.
(Terjemahan dari majalah Al-Bayan No. 78 Shafar 1415H/Juli 1994 oleh Ibrahim Said).
Penulis: Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi
_______
Footnote:
[1] Lihat Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah I/3804 Oleh Syaikh Abdur Rahman Al-Mahmud dan kitab Mafhum Ahlis Sunnah wal Jama’ah Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i dalam “Syarhus-Sunnah” No. 49
[3] Lihat : Al-Lalika’i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8:1034
[4] Kasyful Karriyyah 19-20
[5] Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107
[6] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15.
[7] Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr
[8] Lihat : Wujubu Luzuumil Jama’ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi.
[9] Al-I’tisham 2:260-265.
[10] Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah 1:17
[11] Majmu al-Fatawa 3:175
[12] Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63
[13] Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9
[14] Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6
[15] Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3
[16] Al-Mawaqif hal. 429
[17] Lihat : Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I’tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin hal. 150
Referensi: https://almanhaj.or.id/
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
AS-SALAFIYAH, FIRQATUN NAJIYAH (GOLONGAN YANG SELAMAT) DAN THAIFATUL MANSHURAH (KELOMPOK YANG MENANG)
- Ketiga: Peringatan dan Catatan Penting
Jika ditanya: Mengapa mereka tidak menisbatkan diri kepada Al-Qur’an, sehingga dikatakan Ahlul Qur’an?
Jawabannya: Belumkah kamu mendengar perkataan Al-Alamah Abul Qaasim Habatullah bin Al-Hasan Al-Laalika’iy yang wafat tahun 418H dalam kitabnya Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/23 – 25 : Kemudian siapa saja yang berkeyakinan dengan satu madzhab tertentu maka dia akan menisbatkannya kepada pencetus madzhab yang mencetuskannya dan akan bersandar kepada pendapatnya kecuali Ahlul Hadits karena pencetusnya adalah Rasulullah, sehingga mereka menisbatkan diri kepadanya, bersandar kepada ilmunya, mengambil dalil dengannya, mengembalikan permasalahan kepadanya, mencontoh pendapatnya dan mereka bangga dengan hal itu serta memerangi musuh-musuh sunnah yang mendekatinya. Maka siapakah yang dapat menyamai mereka dalam gelar yang terhormat ini dan mengalahkan mereka dalam kebanggaan dan ketinggian nama ini ? Karena nama mereka diambil dari makna-makna Al-Kitab dan As-Sunnah yang mencakup keduanya, karena merekalah yang mewujudkannya atau karena keistimewaan mereka dengan mengambilnya, mereka berada dalam penisbatan mereka ini diantara sebutan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik” [Az-Zumar/39 : 23]
(Yaitu) Al-Qur’an karena mereka adalah pengemban Al-Qur’an, pengikut, penghapal dan penjaganya dan bergabungnya mereka kepada Hadits Rasulullah karena merekalah penyampai dan pengembannya, maka tidak diragukan bahwa mereka berhak dengan nama ini karena dua makna ini ada pada mereka, hal itu karena kita telah menyaksikan bahwa menusia mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah dari mereka dan bersandar dalam meneliti keabsahan keduanya kepada mereka dan kita tidak mendengar dari abad-abad yang telah lalu dan tidak kita lihat pada zaman kita ini seorang ahlul bid’ah yang menjadi tokoh pimpinan dalam menghapalkan Al-Qur’an dan dipegangi manusia dalam satu masa dari zaman-zaman yang ada dan tidak berkibar panji untuk seorang dari mereka dalam riwayat hadits Rasulullah dalam masa-masa yang telah lalu serta tidak ada seorangpun yang mencontoh mereka dalam agama dan tidak pula dalam satu riwayat dari syariat-syariat Islam.[1]
Dan segala puji hanya bagi Allah yang telah menyempurnakan cahaya Islam untuk kelompok ini dan memuliakan mereka dengan persatuan serta memberi keistimewaan kepada mereka dan menunjuki mereka ke jalanNya dan jalan RasulNya, dialah Ath-Thaifah Al-Manshurah, Al-Firqatun Najiyah, Ushbatul Haadiyah dan Jama’ah yang adil yang berpegang teguh kepada As-Sunnah yang tidak menginginkan yang lain sebagai pengganti Rasul, dan berpaling darinya demikian juga perubahan keadaan tidak merubah pendirian mereka dan tidak pula kebid’ahan orang yang menjadikan Islam untuk menghalangi jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menginginkannya bengkok serta memalingkan jalannya dengan jidal (perdebatan) dan senjata menurut prasangka dusta dan perkiraan batil darinya, dia dapat memadamkan cahaya (agama) Allah Subhanahu wa Ta’ala sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan cahaNya walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.
4. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pembicaraan Tentang Hal Ini Ditinjau Dari Beberapa Sisi:
- Pertama: Sebab Penamaan Ini.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) karena hal itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”
Dan mereka mengetahui bahwa sebenar-benarnya kalam adalah kalamullah dan sebaik-baiknya contoh teladan adalah contoh teladan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendahulukan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalam selainNya dari semua jenis manusia dan mengedepankan contoh teladan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang lainnya, dengan demikian mereka dinamakan Ahlul Kitab dan Sunnah.
Dinamakan Ahlul Jama’ah karena Jama’ah bermakna berkumpul dan lawannya berpecah belah walaupun kata jama’ah akhirnya menjadi untuk satu kaum yang berkumpul ijma’ (konsensus) merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan agama.
Mereka menimbang dengan ketiga pokok ini semua ucapan dan amalan manusia baik lahir maupun batin dari hal-hal yang berhubungan dengan agama. Ijma’ yang otentik adalah yang ada padanya As-Salaf Ash-Sholih, karena setelah mereka terjadi banyak perselisihan dan umatpun telah bertebaran.
Lalu beliaupun menjelaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah bahwa madzhab mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) telah ada sejak lama dan sudah dikenal sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad, karena dia adalah madzhabnya para sahabat yang telah mengambilnya dari Nabi mereka, dan siapa yang menyelisihi hal itu maka dianggap ahlil bid’ah menurut Ahlus Sunnah.
Kemudian beliau menjelaskan sebab penisbatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dengan berkata : Dan Ahmad bin Hanbal walaupun sudah terkenal sebab imam Ahlus Sunnah dan kesabarannya dalam ujian, tidaklah itu semua karena diia besendirian dalam pendapat tersebut atau mencetuskan satu pendapat yang baru akan tetapi karena As-Sunnah sudah ada dan terkenal sebelumnya yang beliau ketahui dan dakwahkan seta bersabar dalam ujian yang menimpanya serta tidak menyempal darinya.
- Kedua: Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah Al-Firqatun Najiyah
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_____
Footnote:
[1] Al-Lalika’iy menceritakan tentang zaman-zaman yang waktu itu Islam masih jaya dan ilmu nabawiy masih kokoh sekali serta belum disentuh ahlil bid’ah, akan tetapi kita berada dizaman keterasingan, kita lihat banyak dari ahli bid’ah penghapal Al-Qur’an dan berlajar hadits nabawi maka kita jangan tercengang dan untuk siapa kita sedih ; karena kita telah mengetahui penjelasannya dalam Sunnah Nabi yang shahih dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kenyataan yang tidak dapat ditolak ini kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala menghindarkan kita darinya dengan kemurahanNya dan melimpahkan rahmatnya kepada kita, maka hendaknya sadarlah wahai para penuntut ilmu syar’i akan hakikat masalah ini sehingga mengetahui kepada siapa megambil agama ini. Sungguh telah disabdakan Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ
“Termasuk alamat-alamat hari kiamat diambilnya ilmu dari ahlil bid’ah”
Dikeluarkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab Az-Zuhud (61) dan Alaalika’i dalam Syarhul Ushul I’tikad Ahlus Sunnah wal Jama’ah (102) dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Bakr bin Sawaadah dari Abi Umayah Al-Jumahiy secara marfu’. Saya berkata : dan ini sanadnya shahih ; karena hadits Ibnu Lahi’ah shahih jika diriwayatkan dari jalan Al-Abadillah dari beliau dan Ibnu Mubarak termasuk Al-Abaadilah tersebut. Ibnul Mubarak berkata bahwa makna Al-Ashaaghir adalah ahlil bid’ah.
Hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits Ibnu Mas’ud yang dihukumi marfu’ ; karena tidak dikatakan menurut pemikiran dan ijtihadnya, dan lafadznya adalah:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ وَ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِم فَذَلِكَ حِيْنَ هَلَكُوْا
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama ilmu datang kepada mereka dari para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alihi wa sallam dan tokoh-tokoh mereka, dan jika datang kepada mereka ilmu tersebut dari selain tokoh ulama mereka, maka itulah waktu kehancurannya” [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (851) dan Alaalika’i (101) dan yang lainnya].
Jika ada yang berkata bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وتَأْويْلَ الْجَاهِلِيْنَ
“Membawa ilmu ini dari setiap generasi orang-orang adilnya yang menghilangkan darinya penyimpangan orang yang sesar dan ajaran orang yang merusak (agama) serta ta’wilnya orang-orang bodoh” [Hasan Lighairihi sebagaimana telah saya jelaskan dalam juz khusus yang saya beri nama Tahrirul Qaul fi Tashhoho Haditstsil Udul]
Saya jawab : Benar, akan tetapi belumkah kamu membaca tulisannya Imam Nawawiy dalam kitab Tahdzib Al-Asma wa Lughaat (1/17) setelah menyebutkan hadits ini : Dan ini berita dari beliau tentang perlindungan, penjagaan ilmu dan keadilan pembawanya dan memberitahukan bahwa Allah memberikan taufiq pada setiap generasi orang-orang adil yang membawa ilmu dan menghilangkan penyimpangan darinya dan yang setelahnya tidak akan hilang dan ini penegasan akan keadilan pembawa ilmu (ulama) pada setiap zaman dan begitulah kenyataannya, walillahil hamd. Dan ini termasuk tanda-tanda kenabian dan tidak mengapa hal ini dengan munculnya sebagian orang-orang fasiq yang mengenal sedikit ilmu karena hadits ini hanya mengkhabarkan bahwa orang-orang adillah yang membawa ilmu ini bukan berarti selain mereka tidak mengenal sedikitpun dari ilmu tersebut. Dan saya telah menjelaskan lebih panjang lagi masalah ini dalam kitab Hilyatul Aalimil Mualim wa Mulghatuth Tholib Al-Mutaallim dan ini diterbitkan oleh Darut Tauhid – Riyadh
Referensi: https://almanhaj.or.id/