TAUHID, JALAN KEBAHAGIAAN DAN KEBERKAHAN DI DUNIA DAN AKHIRAT
Sesungguhnya negeri ini adalah negeri yang pantas dibanggakan, karena Indonesia adalah negeri terbesar jika ditinjau dari jumlah penduduknya yang beragama Islam. Hal lain yang pantas untuk dibanggakan juga adalah mayoritas kaum Muslimin ini masuk Islam melalui kelembutan dan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, perangai mereka merupakan cerminan yang sangat dirasakan oleh setiap pengunjung negeri ini.
Dengan taufiq Allâh Azza wa Jalla, kajian pada hari ini di tempat yang mulia ini (di masjid Istiqlal) bertepatan dengan momen penting kenegaraan yaitu peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Meskipun kita tidak sengaja menjadikan waktu pengajian ini bertepatan dengan momen kenegaraan ini, akan tetapi semua ini terjadi karena kehendak Allâh Azza wa Jalla dan Allâh Azza wa Jalla tidak menakdirkan sesuatu kecuali baik bagi para hamba-Nya.
Hari kemerdekaan ini bagi masyarakat Indonesia merupakan hari yang selayaknya dijadikan hari bergembira, karena pada hari itu, kaum Muslimin terbebas dari penindasan dan perbudakan kaum penjajah. Semua itu wajib disyukuri dengan rasa syukur yang kita haturkan kepada Allâh Azza wa Jalla . Tentunya rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla ini harus kita perbaharui terus-menerus, karena Dia Azza wa Jalla telah menganugerahkan nikmat yang sangat agung kepada penduduk negeri ini. Yaitu, nikmat merdeka dalam urusan agama, bernegara dan mengatur segala sumber alam dan kehidupan rakyatnya.
Cara Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Indonesia
Mensyukuri nikmat kemerdekaan dengan cara bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla Dzat yang memberikan dan menganugerahkan nikmat tersebut kepada kita. Caranya dengan menunaikan ibadah yang benar kepada-Nya, merendahkan diri di hadapan keagungan-Nya dengan mentauhidkan Allâh, istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, dan juga dengan mengikuti sunnah Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Inilah kemerdekaan yang sejati. Di dalamnya, kita merdeka (bebas) dari semua kebiasaan kita yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan dari tradisi-tradisi yang kita warisi dari nenek moyang yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan diri dari perbudakan hawa nafsu dan semua yang menyelisihi ridha Allâh Azza wa Jalla. Bukan hanya sebatas merayakan hari atau momen penting yang berlalu begitu saja tanpa mendatangkan faidah. Tentunya perkara seperti ini tidak diinginkan oleh seorang Muslim terjadi pada dirinya dan pada orang lain juga. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kita dalam sebuah hadits shahih.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِلَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّه لِنَفْسِهِ
Demi Allâh yang jiwaku ada di tangan-Nya! Sungguh tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.
Inilah kemerdekaan yang sesungguhnya dengan mengetahui keesaan Allâh Azza wa Jalla (tauhid), beriman kepada-Nya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang pasti mendatangkan kebaikan untuk diri kita dan mendatangkan ketentraman bagi masyarakat sekitar kita serta memajukan umat manusia.
Sesungguhnya mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam rubûbiyah-Nya, ulûhiyah-Nya dan dalam Nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, adalah pondasi kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebenaran pernyataan ini ditunjukkan oleh banyak dalil, baik dalam al-Qur`ân maupun dalam Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Al-An’âm/6:82]
Keamanan yang di maksud adalah rasa aman di dunia dan akhirat. Keamanan di dunia dengan jiwa yang ridha dan diridhai (oleh Allâh Azza wa Jalla ), jiwa yang bersih lagi bertakwa. Sedangkan rasa aman yang didapat di surga Allâh Azza wa Jalla, bersama para Nabi, para shiddîqîn, para syuhada dan para shalihin. Sungguh, mereka adalah sebaik-baik teman. Adakah kebahagiaan yang lebih berharga dibandingkan ini semua?!. Apakah ada anugerah yang lebih tinggi dan utama dari anugerah tersebut?!. Itulah anugerah dari Allâh Maha Mulia, Yang Maha Dermawan, Yang Maha Memberikan segala sesuatu.
Siapakah sejatinya orang yang beriman (dalam ayat di atas)? Mereka adalah orang-orang yang beriman, beramal shaleh, yang betul-betul mengetahui apa yang telah Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas diri mereka lalu mereka memeganginya, melaksanakannya dan mendakwahkannya.
Keimanan bukanlah satu perkara yang terbetik di dalam hati atau pikiran tanpa wujud nyata, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli filsafat dan pengikut hawa nafsu. Akan tetapi, iman yang benar mencakup ilmu, perbuatan dan keyakinan. Itulah iman yang dipahami oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Iman itu adalah mengucapkan dengan lisan, mengamalkan dengan anggota badan dan meyakini dengan hati. Keimanan ini bisa bertambah dengan sebab menjalankan ketaatan kepada ar-Rahmân (Allâh Azza wa Jalla) dan bisa berkurang dengan sebab menaati syaitan. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah dalam masalah iman. Inilah keyakinan para pendahulu umat Islam dalam memahami iman.
Keimanan itu sesuatu yang benar-benar ada dalam hati dan memberi pengaruh pada anggota badan, hati, ucapan dan perbuatan. Inilah keimanan yang dijadikan panggilan Allâh kepada pemiliknya dalam firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا
Wahai orang-orang yang beriman…
Orang-orang yang seperti inilah yang akan diberi balasan oleh Allâh Azza wa Jalla (dengan keimanan mereka):
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنّٰتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal [Al-Kahfi/18:107]
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan dalam ayat-ayat al-Qur`an tentang balasan bagi orang-orang yang beriman dan berbagai kebaikan serta keberkahan yang dipersiapkan buat mereka di dunia dan akhirat.
Kandungan kalimat tauhid Lâ ilâha illa Allâh yang terdiri dari nafi (penafian) dan itsbât (penetapan) telah diisyaratkan oleh ayat di atas (Al-An’âm/7:82).Sehingga pengertian Lâ ilâha illa Allâh adalah menafikan semua sesembahan yang tidak berhak disembah (yang batil), agar seluruh ibadah yang murni hanya diperuntukkan bagi Allâh Azza wa Jalla saja.
Oleh karena itu, pengertian yang benar dari kalimat tauhid Lâ ilâha illa Allâh adalah tidak ada yang berhak diibadahi dengan haq kecuali Allâh. Setiap ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla adalah batil dan setiap yang diibadahi selain Allâh adalah batil, bila orang tersebut ridha untuk disembah.
Hakikat ini telah disebutkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
Orang-orang yang beriman , ini memuat itsbât (penetapan).
Sedangkan, firman-Nya:
وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik).
Ini adalah nafi (penafian) yang memuat larangan berbuat syirik kepada Allâh Azza wa Jalla.
Kemudian kezhaliman yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah perbuatan zhalim seperti yang dilakukan oleh saya, Anda atau orang ini dan orang itu. (Bukan!). Para Shahabat telah mendengar ayat yang mulia ini, kemudian mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, siapakah diantara kita yang tidak pernah menzhalimi dirinya sendiri?” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian dengar perkataan hamba yang shalih, Luqmân kepada putranya:
اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang besar. [Luqmaan/31:13].
Maka, yang dimaksud perbuatan zhalim dalam ayat tersebut adalah perbuatan syirik (menyekutukan) Allâh Azza wa Jalla. Perbuatan syirik ini merupakan sebesar-besarnya kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang besar. (Luqmân/31:13). Juga berfirman:
وَالْكٰفِرُوْنَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim [Al-Baqarah/2:254].
Tidak ada perbuatan zhalim yang lebih besar daripada kezhaliman dengan beribadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla, atau mengarahkan sebagian bentuk ibadah kepada selain-Nya!
Padahal dalam al-Qur`ân, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ١٦٢ لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
Katakanlah, “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”. [Al-An’am/6:162-163]
Maksudnya, aku adalah orang yang pertama berserah-diri untuk melaksanakan perintah-perintah Rabbul ‘alamin. Aku tidak mendurhakainya, aku tidak akan beribadah kepada selain-Nya, dan aku tidak menaati selain Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesungguhnya ibadah yang benar hanyalah dilakukan bagi Allâh. Mengapa ibadah-ibadah seperti doa, istighatsah, nadzar atau mengharapkan pertolongan dan bantuan, rasa raghbah dan rahbah ini atau sebagiannya diarahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla ?!.
Anda sebagai orang Muslim yang mengucapkan dalam shalatmu, atau mendengarkan imam yang tengah membaca:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan [Al-Fâtihah/1:5]
Maksudnya, kita beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon pertolongan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla. Sementara itu, amat disayangkan, kita masih menyaksikan sebagian kaum Muslimin yang senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan memalingkan ibadah dari Allâh Azza wa Jalla. Kalau begitu berarti mereka telah melanggar apa yang telah mereka ikrarkan dalam ucapan mereka tersebut. Ucapan yang merupakan firman Allâh, kalâmullâh dan terdapat dalam surat paling agung dalam al-Qur`ân, yaitu surah Al-Fâtihah yang senantiasa kita ikrarkan dan kita baca berulang-ulang dengan penuh ketundukan kepada keagungan Allâh, keimanan kepada-Nya dan berserah diri terhadap perintah-perintah-Nya, serta mengikrarkan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allâh Tabâraka wa Ta’âla.
Sungguh benar, itu adalah kebahagiaan yang sangat besar yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepada ahli tauhid, dengan memenuhi kalbu mereka dengan keimanan, menyelimuti kepala mereka dengan kedamaian, dan memenuhi jiwa-jiwa mereka dengan rasa ketenangan, sehingga mereka betul-betul dapat melakukan tugas besar dan kewajiban beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengajak orang lain untuk menunaikan ibadah tersebut.
Allâh berfirman:
قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak(kamu) kepada Allâh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allâh, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf/12:108]
Ayat yang mulia Ini adalah nash Qur`âni, yang seharusnya menjadi penghias lisan setiap Mukmin yang telah merasakan kebahagiaan dan manisnya kehidupan. Hal ini sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ
Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman [Muttafaqun ‘alaih].
Manisnya keimanan merupakan bentuk kebahagiaan yang sangat besar, yang dinikmati seorang Mukmin dalam kehidupan ini, walaupun hidup sebagai rakyat jelata, dalam keadaan fakir, ataupun tengah sakit, namun kebahagiaan memenuhi jiwa dan hatinya.
Mari lihat kembali Firman Allâh yang terdapat dalam Surah Al-Fâtihah juga:
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ ٦ صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka [Al-Fâtihah/1:6-7]
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan nikmat kepada mereka berupa nikmat keimanan dan tauhid yang menjadi landasan kebahagiaan besar mereka di dunia dan keselamatan mereka yang besar di sisi Allâh Azza wa Jalla pada Hari Kiamat.
Kita lihat bagaimana keadaan para nabi. Ada seorang nabi berdakwah sementara tidak ada yang mengikuti dakwah mereka kecuali satu atau dua orang. Ada di antara mereka yang tidak memiliki pengikut yang beriman kepadanya sama sekali. Bahkan ada diantara para nabi yang dibunuh oleh musuh-musuh Allâh Azza wa Jalla. Ada di antara mereka, Nabi Nuh Alaihissallam, yang telah berdakwah selama 950 tahun, akan tetapi tidak ada yang menyambut dakwah beliau kecuali sedikit saja.
Baca Juga Tauhid ar-Rubûbiyah Mengharuskan Tauhid al-Ulûhiyah
Demikianlah keadaan para nabi, kendati demikian, kebahagiaan tidak pernah meninggalkan hati, akal dan jiwa mereka. Sebab, mereka berdiri tegak di atas kekayaan yang amat besar dan kebaikan yang melimpah, yaitu keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh tauhid.
Kezhaliman yang di dalam ayat mulia ini merupakan tindakan kesyirikan kepada Allâh, yang Allâh menafikannya dari seorang Mukmin, dan melarang mereka untuk menyentuh atau melakukannya, namun, umat Islam tidak bisa begitu saja selamat darinya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan:
الشِّرْكُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ
Sesungguhnya kesyirikan di tengah umat ini lebih lembut dari jalannya seekor semut.
Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَضْطَرِبَ أَلَيَاتُ نِسَاءِ دَوْسٍ حَوْلَ ذِيْ الْخَلَصَةِ
Hari Kiamat itu tidak akan terjadi hingga pantat-pantat wanita suku Daus berjoget di sekitar Dzilkhalashah. [HR. al-Bukhari no.7116]
Dzilkhalashah adalah satu berhala yang dahulu disembah oleh mereka pada masa Jahiliyah
Disini, Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa kejadian itu (syirik) akan kembali terjadi dan suatu jenis kesyirikan akan kembali ke tengah umat. Hal ini menuntut kita untuk waspada dan hati-hati, dan memurnikan tauhid serta menanamkan aqidah yang benar lagi bersih dengan kuat dalam hati kita, ucapan-ucapan kita, perbuatan-perbuatan kita. Hendaknya kita ekstra hati-hati dan mengingatkan diri kita dan masyarakat sekitar kita, keluarga besar kita, anak-istri dan siapa saja yang menjadi tanggung-jawab kita, serta para pemangku urusan kita. Kita bersama mereka mesti saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, dan saling berpesan dengan mereka dengan nasehat yang tulus, yang tujuannya hanyalah mengharap mereka memperoleh hidayah dan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.
Dalam dua hadits ini terdapat isyarat yang sangat jelas dan pernyataan yang amat kuat, bahwasanya syirik dengan dua jenisnya akan menimpa individu-individu dari umat Islam, baik berjumlah banyak maupun sedikit. Semoga Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan kita semua dan kaum Muslimin darinya, baik dari jenis syirik besar maupun kecil.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik), bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [An-Nisâ/4:48].
Dosa syirik ini tidak akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan taubat, kembali kepada Islam, menanamkan hakikat-hakikat keimanan, melepaskan diri secara total dari syaitan. Demikianlah bentuk taubat nashuha yang tulus. Sehingga seseorang yang telah tersesat kembali ke jalan yang lurus, jalan Rabb kita Yang Maha Agung. Jalan yang dimaksud ini amatlah jelas lagi terang, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِالنَّقِيَّة لَيْلُهَا كَنَهَارِهَالَا يَزِيْغُ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ
Aku tinggalkan kalian dalam jalan yang terang-benderang, malamnya bagaikan siang, tidaklah orang menyimpang darinya kecuali orang yang tersesat.
الزَّيْغُ (dalam hadits, tersesat) maknanya mengalami sedikit penyimpangan. Bagaimana dengan orang yang benar-benar menyimpang, berbuat sejadi-jadinya dan bahkan menjauhkan diri mereka dari jalan yang terang yang haq ini, dari tauhid, dan dari aqidah ini menuju kepada kesyirikan dan perlawanan terhadap hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla, tauhîdullâh dan ‘ubûdiyyah kepada-Nya.
Para imam dan ulama Islam telah menyebutkan bahwa syirik itu ada dua macam, yang pertama adalah syirik akbar (syirik besar) dan syirik ashghar (syirik kecil). Syirik akbar itu akan mengeluarkan seorang Mukmin dari Islam. Sedangkan syirik ashghar termasuk perbuatan dosa besar dan kadang-kadang dapat menyebabkan pelakunya terjatuh dalam syirik akbar, meski tidak langsung terjadi.
Kendati demikian, Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan sekaligus yang paling sayang kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, Ulama Islam tidak memperlakukan mereka sebagaimana memperlakukan orang-orang kafir, meskipun melakukan syirik akbar. Akan tetapi, ada dalam jiwa para ulama rasa kasih, prihatin dan bersikap lembut kepada mereka serta menasehati mereka. Juga mengajak dan melarang mereka, agar dalil-dalil menjadi jelas di hadapan mereka dan mematahkan segala syubhat yang ada di dalam kepala mereka. Kemudian jika ada orang dari mereka yang tetap memegangi kesyirikan itu, enggan menerima penjelasan, setelah kita bersabar, menjelaskan dan berdiskusi, dan bersikap lembut dengan mereka, maka saat itu ia telah memilih putusan untuk dirinya sendiri. Ia lebih memilih untuk menjadi murtad, keluar dari agama dan menyusul kaum musyrikin. Na’ûdzubillâh min dzâlik.
Tentang orang yang jahil, atau orang yang belum tahu, tidak menyadari apa yang ia ucapkan atau yang ia perbuat, sementara ia menyangka telah berbuat kebaikan, namun perbuatan yang ia lakukan adalah perbuatan orang-orang kafir dan bertentangan dengan keimanan, maka ia mesti mendapatkan penjelasan dan keterangan. Orang ini kemudian mau kembali kepada al-haq dan kembali kepada jalan kebenaran. Sungguh keadaan yang seperti itu bisa merupakan tanda kebahagiaan yang hakiki dan ridha Allâh Azza wa Jalla kepadanya, karena Allâh Azza wa Jalla memberinya hidayah setelah sebelumnya ia berada dalam kesesatan.
Masih ada dua persoalan dalam pembahasan ini. Yang pertama, bahwa diantara bentuk kesyirikan yang sangat buruk lagi parah yang masih terjadi pada umat Islam yaitu meminta kepada selain Allâh Azza wa Jalla , istighâtsah dan isti’ânah dan meminta pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla, padahal semua perkara ini dahulu telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak kecil dari kalangan Sahabat saat mereka belum menginjak usia baligh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍاحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
Wahai anak kecil, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat.Jagalah Allâh, niscaya Allâh akan menjagamu. Dan jagalah Allâh, niscaya engkau mendapati-Nya di depanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allâh, dan bila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allâh.
Mengapa sebagian kaum Muslimin yang mengatakan lâ ilâha illâ Allâh dan mengagungkan Allâh dan mencintai-Nya, namun mereka masih meminta kepada selain Allâh Azza wa Jalla , memohon pertolongan dengan selain-Nya ?!. Bahkan sebagian dari mereka ada yang mengagungkan makhluk melebihi pengagungannya kepada Allâh!!.Begitu takut kepada Syaikh, guru atau pemimpinnya, melebihi takutnya kepada Rabbnya. Mereka berani bersumpah atas nama Allâh dengan dusta. Akan tetapi, bila nama syaikh disebut di depan murid, kaki-kaki mereka gemetaran dan hati mereka ketakutan.Mereka hanya mau bersumpah dengan nama guru atau nama wali mereka. lebih hebat lagi, mereka bersumpah atas nama wali mereka itu dengan tidak berdusta, akan tetapi ketika bersumpah atas nama Allâh, mereka berani bersumpah dengan dusta.
Kita sama sekali tidak mengingkari adanya wali, karena derajat kewalian itu ditetapkan oleh Allâh Azza wa Jalla didalam al-Qur`ân. Kewalian yang kita ingkari adalah yang dijadikan jalan untuk berbuat seenaknya dan mencari kenikmatan duniawi. Ini bukan wali, dan kewaliannya tidak benar.
Sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ٦٢ اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada rasa kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. [Yûnus/10:62-63]. Inilah sifat dan karakter para wali.
Sedangkan persoalan kedua, siapakah yang berhak menghukumi bahwasanya seseorang itu kafirdan sudah keluar dari Islam setelah ditegakkan hujjah kepada mereka dan dipatahkan syubhat-syubhat mereka, serta bersabar dalam menasehati dan menjelaskan kepadanya?.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّه لِنَفْسِهِ
Tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.
Bahkan dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحِبَّ النَّاسَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَتَكُنْ مُؤْمِنًا
Cintailah manusia apa yang kamu sukai bagi dirimu, maka kamu menjadi orang Mukmin
Demikian pula,Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ارْحَمُوْا تُرْحَمُوْا
Kasihilah, niscaya kalian akan dikasihi
Jawaban dari pertanyaan yang tadi saya ajukan adalah seseorang tidak boleh menyangka dirinya mampu menegakkan hujjah kecuali para Ulama rabbani dan para Qadhi yang keputusannya diakui. Selain mereka, walaupun dari kalangan Ulama, namun dari kalangan orang alim yang biasa saja atau penuntut ilmu yang menonjol, apalagi orang yang awam, maka tidak sepantasnya, ia maju dalam panggung ini dan mengobral label kafir dan murtad kepada orang-orang awam, dengan dalih orang-orang itu telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur.
Oleh sebab itulah, para Ulama Islam, semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati mereka semua mengatakan, “Tidak setiap orang yang terjatuh dalam kekufuran itu (otomatis) akan menjadi orang kafir, kecuali setelah ditegakkan hujjah atas dirinya dengan baik dan dipatahkan segala syubhatnya”.
Vonis itu hanya boleh keluar dari Ulama Rabbani atau Qadhi yang keputusannya diperhitungkan. Mereka saja yang berhak.
Pada kesempatan mulia seperti saat ini pula, tidak selayaknya kita melupakan satu pihak yang punya usaha besar yang biasa berkhianat lagi penuh makar (makar Syiah), dari orang-orang yang mengaku sebagai kaum Muslimin. Mereka pun memiliki slogan-slogan yang Islami secara zhahir. Akan tetapi, mereka mengklaim bahwa sesungguhnya al-Qur`ânul Karim sudah mengalami perubahan oleh tangan-tangan manusia, mereka mengkafirkan para Sahabat Nabi, kecuali beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari-jari dua tangan. Mereka pun melecehkan kemuliaan dan kesucian Ummul Mukminin ‘Aisyah, putri Abu Bakar ash-Shiddîq, Mereka mengagungkan orang-orang yang kita agungkan (keluarga Nabi, Ahlul Bait) dengan pengagungan yang berlebihan, layaknya mereka mengagungkan Allâh Azza wa Jalla .
Sampai ada tokoh besar dari mereka (Syiah) yang mengingkari khilafah Abu Bakar yang sudah disepakati oleh para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan, “Adapun tuhan yang khalifah pengganti Nabinya adalah Abu Bakar, ia bukanlah khalifah kita, dan nabi itu bukanlah nabi kita, tuhannya bukanlah tuhan kita (!?)”.
Maka, demi Allâh, seandainya kaum Muslimin di satu negeri manapun memperbolehkan eksistensi dan pemikiran golongan tersebut di negeri mereka , walaupun dengan janji pemberian bantuan keuangan, ekonomi dan sumber daya alam, maka pada gilirannya para penduduk negeri itu sebenarnya telah mendatangkan kerusakan bagi diri mereka sendiri dalam agama, dunia, negara dan martabat. Lihatlah oleh kalian beberapa negeri Arab yang dimasuki oleh mereka. Lihat negeri Yaman, Suriah, Irak dan Libanon. Lihatlah mereka (orang-orang Syiah Rafidhah) telah berbuat berbagai kerusakan demi kerusakan di sana dan masih melakukan kerusakan hingga sekarang ini.
Dengan dasar hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّه لِنَفْسِهِ
Tidaklah sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.
Juga karena sesungguhnya kami mencintai negeri ini dan mencintai penduduk negeri ini, maka kami ingin katakan satu pernyataan yang tulus lagi jelas, “Waspadailah mereka itu, musuh-musuh kalian. Mereka bak serigala yang berbulu domba.”.
Baca Juga Diantara Macam Kekufuran Adalah Kufur Keraguan
Sesungguhnya tauhid merupakan pintu kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan merupakan gerbang menuju keamanan dan kedamaian serta ketenangan.
اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
Mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Al-An’âm/6:82]
Apakah mungkin terwujud kebahagiaan tanpa rasa aman, dan apakah mungkin tergapai ketentraman tanpa ada kedamaian?. Seandainya saja engkau memiliki harta sepenuh bumi ini, dengan kesehatan yang paling prima, akan tetapi engkau tidak merasa aman, masih mengkhawatirkan keselamatan dirimu, hartamu, anak-anakmu, keluargamu dan negerimu. Apakah dalam keadaan demikian, engkau akan merasakan kebahagiaan, dan mengetahui cara menuju kebahagiaan.
Demi Allâh, tidak ada jalan menuju kebahagiaan kecuali dengan adanya rasa aman. Dan tidak ada jalan menuju keamanan kecuali dengan iman. Yaitu, sejalan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَﭑ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Al-An’âm/6:82]
Kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan hati, keceriaan dan suka-citanya. Simaklah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, seorang ulama yang dimusuhi oleh banyak orang, kemudian mereka penjarakan dan siksa, serta mereka lontarkan tuduhan bermacam-macam terhadapnya. Lima kali beliau dipenjara selama 5 tahun. Namun ketika berada di penjara, Allâh Azza wa Jalla mudahkan beliau untuk menulis ilmu tafsir al-Qur`ân, sampai-sampai mengatakan, “Sungguh, aku amat menyesali saat-saat yang aku habiskan untuk selain Kitâbullâh”.
Itulah hakikat kebahagiaan. Itulah hakikat pengamalan ilmu, keamanan, kedamaian, iman dan ketentraman yang sejati.
Beliau rahimahullah pernah mengatakan, “Apa yang dapat dilakukan musuh-musuhku terhadap diriku. Surgaku ada dalam hatiku, kemanapun aku pergi senantiasa ia bersamaku. Ketika mereka memenjarakan aku, maka itu berarti aku tengah berkhalwat dengan Allâh. Ketika mereka mengasingkanku, maka pengusiran terhadap diriku di jalan Allâh, itu merupakan jalan-jalan bagiku. Bahkan ketika mereka membunuhku, maka sesungguhnya aku terbunuh syahid di jalan Allâh”.
Betapa luar biasa hatinya. Betapa besar kebahagiaan yang beliau lihat, dapatkan dan beliau rasakan dalam keadaan yang sangat genting dan sulit. Karena beliau telah mendapatkan rasa aman dan damai dan karena di dalamnya ada keimanan yang merupakan kunci segala kebaikan dan pintu segala kebahagiaan di dunia dan di sisi Allâhpada Hari Kiamat.
Ini di antara contoh kebahagiaan yang diraih oleh ahlul iman, yang diraih oleh seorang ulama di dunia ini meskipun tekanan-tekanan para pembenci kian keras kepadanya dan kepungan-kepungan para pengkhianat kian kuat, lalu bagaimana kebahagiaan ahlul akhirat, bagi kaum Mukminin di akhirat kelak. Sesungguhnya kebahagiaan paling besar mereka adalah ketika mereka masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka, serta ketika melihat wajah Allâh Azza wa Jalla .
Saat itu, para penjaga surga berkata kepada para penghuni surga ketika pintu-pintu surga dibuka bagi mereka, “Kesejahteraan bagi kalian, sungguh kalian dalam keadaan yang sangat baik, maka masuklah kalian dalam keadaan aman”.
Inilah balasan yang sempurna. Itulah kebahagiaan paling agung, saat engkau selamat dari siksa Allâh Azza wa Jalla, bahagia meraih ridha Allâh dan berada di surga Allâh Azza wa Jalla, bersama para nabi, shiddîqîn, syuhada dan orang-orang shalih. Merekalah sebaik-baik teman.
Demi Allâh, sungguh tauhid merupakan asas kebahagiaan abadi, di dunia dengan mendapatkan keridhaan, mudah taat, hidup bahagia dan memperoleh kenikmatan. Sedangkan di akhirat, akan memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
Tauhid merupakan faktor dalam menumbuhkan tauhid
Maksudnya mengesakan Allâh merupakan salah satu faktor terpenting untuk menyatukan umat Islam dan merupakan pedoman yang dapat mengikat hati.
Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allâh telah mempersatukan hati mereka [Al-Anfâl/8:63].
Jadi, dakwah tauhid itu merupakan faktor terbentuknya persatuan dan kesatuan antara hati dan badan sekaligus. Seandainya engkau mengeluarkan uang tanpa penanaman keimanan kepada Allâh, pengajaran risalah Allâh dan aqidah fillah, engkau tidak akan mampu menyatukan mereka. Karena hati mereka masih saling bertikai. Hawa nafsu mereka tidak sejalan dengan keinginan atas orang lain. Akhirnya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kemauan dan hawu nafsu masing-masing. Demikianlah dahulu keadaan sosial masyarakat Arab di masa Jahiliyah sebelum Islam datang. Maka, sasaran utamanya adalah menyatukan semua jiwa dan hati tersebut untuk mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , dan mengagungkan-Nya, walaupun badan mereka saling berjauhan.
Apakah buah dari hal tersebut yang terwujud setelah penanaman tauhid dan aqidah yang benar serta iman yang haq?. Buahnya adalah Allâh Azza wa Jalla menyatukan hati dan badan mereka sekaligus.
Ketika para Sahabat Muhajirin berhijrah, kaum Anshar menyambut mereka dengan hangat. Kaum Anshar dengan rela berbagi dengan kaum Muhajirin dalam makanan, harta dan tempat tinggal yang mereka miliki. Mereka pun hidup dalam satu kehidupan dan satu masyarakat. Hati-hati dan badan-badan mereka telah bersatu-padu.
Sebaliknya, lihatlah persatuan umat yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla yang Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang mereka dengan:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ
Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah [Al-Hasyr/59:14]
Kalian menyangka mereka bersatu, padahal hati mereka bercerai-berai. Karena mereka orang-orang yang tidak mengetahui kebenaran, mereka tidak memahami kebenaran, tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak bertakwa kepada-Nya. Kita tidak menginginkan persatuan yang seperti itu. Kita menginginkan persatuan yang sejati yang bertumpu pada tauhid yang akan menyatukan hati, akal dan badan untuk membentuk hakekat persatuan yang Allâh firmankan dalam ayat berikut:
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِهٖ صَفًّا كَاَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوْصٌ
Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. [Ash-Shaff/61:4]
Kami menyebutkan ayat ini untuk menyebutkan pentingnya bangunan yang tersusun kokoh yang kita di dalamnya bagaikan jasad yang satu, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْوَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إذَا اشْتَكَى عُضْوٌ اسْتَدْعَى سَائِرَ الْجَسَدِ كُلِّهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih, sayang dan cinta mereka seperti seperti jasad yang satu. Ketika salah satu anggota mengeluh sakit, makaakan mengundang anggota tubuh lainnya dengan susah tidur dan demam. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Adapun jihad yang benar yang semua jiwa kita merindukannya, yang merupakan puncak Islam, bukanlah perkara yang tanpa aturan, kacau atau karena emosi, atau sekedar semangat saja, akan tetapi berdasarkan pedoman yang jelas melalui fatwa Ulama Rabbani dibawah pimpinan para Ulama dan idzin penguasa yang sejalan dengan petunjuk al-Qur`ân.
Mereka ini masuk dalam bingkai firman Allâh Azza wa Jalla:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kalian [An-Nisâ/4:59].
Sebagian Ulama dari kalangan ahli tafsir mengatakan, “Ulama dan para Umara. Sebagian menyempurnakan sebagian yang lain, agar umat Islam keluar menuju jalan keselamatan mereka dengan aman, damai, tenang dan tentram. Jauh dari kesembronoan anak-anak muda dan kekacauan jalan pikiran mereka serta semangat besar mereka yang lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada kebaikan yang mereka buat dalam banyak keadaan mereka, bahkan dalam seluruh urusan mereka.
Dan ketika Allâh memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada Allâh dalam beberapa ayat dalam al-Qur`ân, Allâh mengingatkan mereka dengan beberapa kenikmatan, yaitu nikmat aman, damai dan ketenangan yang apabila semuanya terwujud akan mendatangkan kebahagiaan yang setiap orang berusaha untuk menggapainya, baik yang mukmin maupun yang kafir.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ ٣ الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilih rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan [Quraisy/106:3-4].
Perhatikanlah, betapa tinggi kedudukan iman itu. Dan betapa pentingnya kehidupan ekonomi yang aman. Dua hal ini secara bersama-sama menciptakan kebahagiaan yang akan sulit tercapai hakikatnya dengan baik kecuali dengan merealisasikan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla .
Demikian pula yang diisyaratkan Nabi dalam haditsnya untuk mengingatkan manusia tentang kebahagiaan yang dicari-cari oleh siapa saja dan faktor pendukung dan terwujudnya kebahagiaan tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصْبَحَمِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ مُعَافًى فِيْ بَدَنِهِعِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ كأنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا
Barangsiapa diantara kalian pada pagi hari dalam keadaan aman dalam rumahnya, badannya sehat, dia memiliki makanan untuk hidup seharinya, maka seolah-olah dunia semuanya dikumpulkan baginya.
Hadits ini pada awalnya tertuju kepada para Sahabat Nabi, generasi istimewa yang telah merealisasikan keimanan dan tauhid, dan mengetahui bagaimana cara yang benar dalam mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan secara realita terlihat dengan menjadikan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sumber hukum dalam seluruh urusan hidup mereka.Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya [An-Nisâ/4:65].
Para Sahabat Nabi adalah teladan dalam memahami hak ini dan pelaksanaannya. Maka, mereka pun menjadi sebaik-baik generasi dan sebaik-baik umat yang pernah dikeluarkan untuk manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali [An-Nisâ/4:115].
Siapakah orang-orang Mukmin dalam ayat tersebut? Mereka adalah para Sahabat Nabi. Orang-orang yang menjadi teladan kita, dan kita menjadikan ucapan-ucapan dan perbuatan mereka sebagai petunjuk dalam mengamalkan Islam.Mereka adalah generasi sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka
Seluruh kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di sisi Allâh di akhirat kelaktidak akan pernah tercapai kecuali dengan tauhid dan hanya terwujud bagi ahli tauhid. Itulah puncak keinginan mereka dan puncak kebahagiaan mereka. Dan itulah kunci kebahagiaan mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat.
Semoga Allâh Pemilik ‘Arsy yang agung berkenan memberikan nikmat keamanan di negeri kita, menyatukan kita dan menganugerahkan kebahagiaan dalam hati kita dan menjadikan kita semua sebagai penghuni surga, dan memberikan kepada kita nikmat untuk melihat wajah Allâh Azza wa Jalla, merahmati kita, dan meneguhkan hati kita serta menutup hidup kita dengan husnul khatimah. Amin.
Penulis: Syaikh Ali bin Hasan Abdul Hamid Al Halabi
Referensi: https://almanhaj.or.id/