Type Here to Get Search Results !

 


MERAIH KEBERKAHAN ILMU AGAMA

Pertanyaan:

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Ana mau bertanya apa saja yang menyebabkan ilmu seseorang itu menjadi berkah agar mudah untuk ia amalkan. Karena ana sudah mengetahui beberapa hal namun belum mampu untuk mengamalkannya karena kelemahan iman, jadi bagaimana caranya agar setiap ilmu yang didapatkan kita bisa mengamalkannya tanpa perasaan yang berat?

Jazaakallaahu khairan katsiiraa

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Semoga Allah berikan kepada anda dan kita semua ilmu yang berkah dan bermanfaat.

Dengan apa yang telah di tanyakan, dan adanya rasa keinginantahuan dari keberkahan dari ilmu yang selama ini di dapat, berharap ini sebagai pintu kebaikan untuk terus memperbaiki kehidupan kita dengan ilmu dan bisa menjalankannya dengan baik, sehingga kebahagiaan di dunia dan di akhirat dapat dihasilkan.

Makna Keberkahan Ilmu

Syekh Abdul Malik al-qasim menjelaskan makna barokah secara umum dengan mengatakan,

”Bahwa manusia di kehidupan dunia ini menginginkan tambahan kebaikan baik dari waktu, umur, harta, anak dan semua apa yang disuka, dari segala hal yang dianggap sebagai sumber kebahagiaan dalam kehidupannya. Seorang muslim akan berdoa kepada Allah agar diberi keberkahan untuknya sebagaimana Nabi juga meminta kepada Allah untuk diberikan keberkahan dalam banyak perkara.

Berokah adalah kebaikan Allah yang Dia sematkan kepada sesuatu. Barokah itu bila melekat pada sesuatu yang terlihat sedikit, maka Allah jadikan banyak/cukupkan dengannya kebutuhannya, bila diberikan kepada yang banyak ia mendatangkan manfaat, dan paling besarnya dari apa yang dirasakan dari buah keberkahan dalam suatu perkara adalah tatkala sesuatu yang berkah itu dapat menghantarkan pemiliknya kepada jalan ketaatan kepada Allah azza wa jalla.

Syekh Al-qasimi juga menjelaskan terkait dengan keberkahan ilmu, ia berkata,

“Berkahnya suatu ilmu itu dapat terlihat/dirasakan dengan jelas. Tidak banyak dari manusia yang telah Allah berikan untuk membersihkan dirinya dengan ilmu, dimana Allah berikan manfaat kepadanya dengan menjadi seorang guru, menjadi dai ataupun pegawai atapun selainnya (dari orang yang dapat memberikan manfaat kepada umat dari ilmu yang ia miliki). Bahkan sebaliknya, Banyak yang telah Allah berikan ilmu , namun ternyata tidak banyak orang yang mengambil manfaat darinya.

Keberkahan bila Allah turunkan, lingkupannya mencakup semua perkara. Baik dalam hartanya, anaknya, waktunya, pekerjaannya, hasil produksinya, istrinya, ilmunya, dakwahnya, tunggangannya, rumahnya, akalnya, tubuhnya, temannya. Karenanya, pembahasan tentang masalah barokah ini adalah sesuatu yang sangat penting dan sangat krusial untuk diketahui.”

Di dalam beberapa keadaan berbeda, syekh Utsaimin memberikan penjelasan terkait dengan makna keberkahan pada suatu ilmu dan pemiliknya, beliau berkata,

“Barokah yang Allah berikan kepada manusia ada beberapa ragam, diantaranya barokah pada ilmunya. Dimana, ia tidaklah duduk di suatu tempat kecuali manusia mengambil manfaat dengan ilmunya. Tidak diragukan lagi bahwa keberkahan dalam diri manusia ketika ia semangat di dalam menyebarkan ilmu, meniti jalan untuk terus melaju dan mengembangkan ilmunya dengan berbagai cara ia lakukan, untuk menjadikan manusia antusias terhadap ilmu yang sedang di cari, sehingga ia tidak menjadikan manusia sekitarnya menjadi bosan dengan ilmu.”

Sebagaimana yang di nasihatkan oleh syekh Ibnu Utsaimin dalam beberapa kesempatan, ketika beliau berbicara tentang barokah ilmu, beliau mengatakan,

”Semestinya seseorang itu menjadi berkah dengan ilmunya, dengan ilmu yang dimiliki ia dapat mengambil manfaat dan beribadah kepada Allah. Juga di antara keberkahan ilmu yaitu dengan cara menyebarkan dan mengajarkan ilmunya di tengah umat, atau dengan mengarang dan menuliskannya. Lihatlah keberkahan ulama terdahulu yang telah menulis dan mengarang (kitab), bagaimana umat mengambil manfaat pada saat ini dan sampai waktu yang Allah kehendaki, sehingga dengan ilmu, ia mempunyai keberkahan yang besar buat manusia.

Kebanyakan, bila seseorang yang berdakwah untuk dirinya -dan semoga Allah melindungi kita semua-  maka ilmunya menjadi tidak barokah. Dan orang yang menginginkan kebenaran, Allah akan berikan keberkahan dengan ilmunya. Walaupun ketika ia berbicara/mengajar kepada orang yang mempunyai tingkatan ilmu rendah (baru belajar, ia tetap bisa mengambil manfaat darinya). Kita banyak dapatkan orang orang yang mempunyai niat dan tujuan mulia, bila berbicara, mereka menjelaskan dengan ungkapan yang mudah, walaupun kepada orang yang baru belajar. Disebabkan dalam diri mereka pengaruh kuat dari niat yang benar dan kekuatan dalam menjelaskan kebenaran.”

Banyak faktor yang mempengaruhi keberkahan dan kemanfaatan ilmu  yang kita pelajari dan kita miliki. banyak para ulama yang memberikan nasihat dalam hal ini, silahkan bisa membuka kembali kitab adab dalam mencari ilmu atau siroh para ulama dalam mencari dan mengajarkan ilmu, bagaimana keberkahan ada dalam ilmu dan amal mereka.

Sedikit mencoba untuk meringkaskan apa yang pernah di dapatkan dalam usaha mendapatkan keberkahan dalam mencari ilmu, sehingga benar benar ilmu yang didapakan mempunyai pengaruh dalam amal ibadah nyata dan kebahagiaan di dalam kehidupan kita dan masyarakat kita.

Diantara lain yang perlu di perhatikan dalam usaha mencari keberkahan:

1. Meminta ampun dengan segala kekurangan dan perbuatan kita. Baik dalam mencari ilmu atau dalam menjalankan amal ibadah yang lainnya. Ilmu adalah cahaya, sulit untuk mendapatkan keberkahan cahaya tersebut, bila kita merasa tahu dari dzat yang Maha Tahu dan merasa sempurna dari amalan yang jauh dari kata sempurna. Karena keberkahan ilmu itu juga sangat di tentukan dengan beberapa hal :

A. Keikhlasan dan tujuan kita dalam kita mencari ilmu.

B. Adab yang dilakukan ketika dulu/sedang mencari ilmu. Bila tanpa adab atau kurang adabnya dalam memuliakan ilmu, guru atau majelis ilmu, bisa jadi akan menyebabkan ilmu yang di dapat tanpa banyak menghasilkan manfaat.

C. Materi dan tahapan belajar yang kurang tepat, tidak sesuai dengan tingkatannya dan lompat dari kemampuan yang dimilikinya, sehingga ia tidak paham atau salah paham atau bahkan cepat berputus asa dalam mencari dan mengamalkan ilmu.

D. Jauh dari qudwah bagaimana para ulama salaf dalam belajar dan beramal. Merasa pintar, zaman modern tidak sama dengan zaman terdahulu, tidak perlu talaqqi/duduk di majelis ilmu, mencukupkan diri dengan kecanggihan elektronik dan sebagainya dari sikap yang tidak mau mengikuti bagaimana para ulama belajar dan mendapatkan ilmu.

2. Teman dan komunitas yang baik dan kondusif, yang bisa mendorong untuk terus belajar dan beramal dengan ilmu yang di pelajari. Bila orang orang yang di sekeliling kita tidak mendukung, biasanya malah akan mundur ke belakang, hasilpun tidak bisa maksimal.

Menukitkan point penting dengan apa yang di sebutkan oleh syekh Abdul Malik alqasimi ketika menjelaskan cara mendapatkan keberkahan dalam harta dan usaha kita, ada beberapa yang bisa kita sebutkan secara singkat dan bisa kita terapkan dalam mencari keberkahan, baik dalam bekerja ataupun dalam usaha mencari ilmu.

Diantara point yang beliau sebutkan terkait bagaimana dan cara mendatangkan keberkahan:

  • Pertama: dengan bertaqwa kepada Allah. Sebagaimana firmanNya:

 ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض – الأعراف:96

وقال تعالى : { ومن يتق الله يجعل له مخرجا ، ويرزقه من حيث لا يحتسب } – الطلاق: 2 – 3

  • Kedua: Membaca alquran. Karena alquran yang penuh berkah, memberikan manfaat kepada hati dan anggota tubuh kita. Sehingga dalam seluruh perkara kehidupan kita, tidak akan bisa terlepas dari pengaruh keberkahan alquran. Karenanya dalam tahapan menuntut ilmu, para ulama mengedepankan untuk mempelajari terlebih dahulu dengan alquran, baik dalam membaca, menghafal dan mengamalkan isi alquran.
  • Ketiga: berdoa, untuk diberikan kemudahan dan keberkahan dengan rizki dan ilmu yang di cari.
  • Keempat: Tidak pelit dengan apa yang dimiliki dari harta dan sedikit ilmu untuk ditularkan/diberikan, serta juga ia baguskan cara dalam mewujudkan target keberhasilan.
  • Kelima: Menjaga kejujuran dalam bermuamalah dan usaha mewujudkan keberhasilan.
  • Keenam: Tidak menunda dan segera dalam berusaha (bekerja dan belajar), seawal dan sesegara mungkin, tanpa banyak menunda waktu bila ada kesempatan.
  • ketujuh: berusaha mengikuti dan mengamalkan sunnah nabi dalam banyak hal.
  • kedelapan: memperbagus cara bertawakkal kepada Allah. Karena orang yang bertawakal kepada Allah, Allah berjanji akan mencukupkan kebutuhannya.
  • kesembilan: Istikharah kepada Allah dalam banyak hal, dalam berusaha dan beramal. Sehingga Allah berikan kemantapan pilihan yang tepat dan di diridhoi-Nya.
  • kesepuluh : Tidak mengemis manusia dalam mencari rizki, pun juga dalam mencari ilmu, ia akan berusaha mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mendapatkannya.
  • Kesebelas: Berinfak dan bershadaqah, karena akan mendatangkan rizki dan ilmu yang lainnya. Shadaqahnya ilmu dengan cara menyebarkan dan mengajarkannya.
  • Keduabelas: menjauhkan diri dari segala bentuk cara dan harta yang haram. Terutama dalam berjual beli dan bermuamalah serta dalam mencari keberhasilan nilai nilai yang menghiasi raport/ijasah.
  • ketigabelas: Bersyukur dan selalu memuji Allah dengan segala pemberian-Nya. Berharap Allah meridhoi dan menambah lebih baik dari rizki yang telah diberikan.
  • Keempatbelas: menjaga Kewajiban, terutama sholat lima waktu, karena mengesampingkan kewajiban terutama sholat lima waktu, adalah kemaksiatan yang dapat menyirnakan keberkahan dalam diri manusia.
  • Kelima belas: selalu banyak beristighfar dan meminta ampun dari segala kekurangan. Atas kelalaian kita dalam berjuang dan memanfaatkan peluang.

Tiada salahnya terus belajar, dan memperbaiki sistem belajar dengan duduk bersama para ulama untuk memberikan arah bagaimana kita belajar dan beramal, sehingga keberkahan, kebenaran dan kebahagiaan dalam mencari ilmu benar benar kita wujudkan., untuk menghantarkan kita semua ke dalam surga Allah ta’ala.

اللهم بارك لنا فيما أعطيتنا واجعله عونا على طاعتك، وصلى الله وسلم على نبينا وآله وصحبه أجمعين

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :

Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.

Sumber: https://bimbinganislam.com/

DIANTARA TANDA KEBERKAHAN ILMU

Sebagian orang begitu bersemangat belajar ilmu agama, namun dia tidak menyadari bahwa dia telah kehilangan keberkahan dari ilmu agama yang dia pelajari. Ketika dia telah belajar banyak cabang dalam ilmu agama, dia pun mulai menyanjung dan memuji dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya memiliki lautan ilmu, seakan-akan dia seorang Rasul yang mendapatkan wahyu.

Mereka inilah orang-orang yang tidak mendapatkan keberkahan ilmu. Keberkahan ilmu tidaklah ditandai dengan ilmu yang luas dan banyak, mengetahui segalanya, bahkan setiap detil perselisihan ulama dalam cabang ilmu tertentu. Bisa jadi ilmu seseorang itu banyak dan luas, namun dia tidak mendapatkan keberkahannya.

Lalu, apakah tanda keberkahan ilmu tersebut?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

… من خشية الإنسان لربه عز وجل وإنابته إليه، والحقيقة أن العلم إذا لم يثمر خشية الله عز وجل، والإنابة إليه، والتعلق به سبحانه وتعالى، واحترام المسلمين، فإنه علم فاقد البركة، بل قد يختم لمن سلك هذا المسلك بخاتمة سيئة …

“(Tanda keberkahan ilmu adalah) takutnya seseorang kepada Allah Ta’ala dan bertaubat (kembali) kepada-Nya. Pada hakikatnya, jika ilmu tidak menumbuhkan (membuahkan) rasa takut kepada Allah Ta’ala, bertaubat kepada-Nya, bersandarnya hati kepada-Nya, dan memuliakan kaum muslimin, maka ilmu tersebut telah kehilangan berkahnya. Bahkan, bisa jadi orang tersebut akan menutup amalnya dengan kejelekan.”

Demikian juga, hendaknya mereka (para penuntut ilmu) senantiasa memuliakan para ulama terdahulu (salafus shalih), meskipun kita meyakini bahwa mereka tidaklah selamat dari kesalahan dan kekeliruan. Kita meyakini bahwa para ulama adalah manusia biasa yang mungkin saja melakukan kesalahan. Sebagaimana halnya kita pun sangat-sangat mungkin melakukan kesalahan. Akan tetapi, jika kita telah melihat kesalahan nyata yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita tidak boleh menerima dan mengambil pendapat yang keliru tersebut. Namun, kita wajib memaklumi dan memberikan ‘udzur kepada mereka rahimahumullah, karena kita tahu bahwa maksud mereka adalah maksud yang baik, yaitu untuk mencari kebenaran. Kita tidak boleh mencela mereka atau mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas kepada mereka. Hendaknya setiap kita bisa membaca kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala yang berjudul Raf’ul Malaam ‘an Aimmatil A’laam agar kita memahami bagaimanakah bersikap yang benar terhadap para ulama rahimahumullahu Ta’ala.

Belajarlah adab kepada para ulama dan orang-orang awam, barulah kemudian belajar ilmu …

Penulis: M. Saifudin Hakim

____

Catatan kaki:

[1]     Disarikan dari: Syarh Al-‘Aqidah As-Safariyaniyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Madaarul Wathan, Riyadh KSA, tahun 1434, hal. 63-64.

Sumber: https://muslim.or.id/

LENYAPNYA KEBERKAHAN ILMU

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.

Seorang penuntut ilmu, tentu tidak menginginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Terlebih lagi, jika yang hilang itu adalah keberkahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menambah dekat dengan Allah ta’ala, namun justru sebaliknya, wal ‘iyadzu billah…

Tidak sedikit, kita jumpai para penuntut ilmu syar’i yang berusaha untuk mengkaji kitab para ulama, bahkan bermajelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, perkara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokohnya ilmu dalam diri setiap pribadi muslim, niscaya agamanya akan tertopang landasan yang kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Mukminin dalam bidang hadits, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”

Begitu pula, perkataan Imam Ahlus Sunnah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullahyang sangat terkenal, “Umat manusia sangat membutuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).

Akan tetapi, tatkala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sampai meresap serta tertancap kuat ke dalam lubuk hati, maka justru musibah dan bencana yang ditemui. Tidakkah kita ingat ungkapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Nasrani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah al-Fatihaholeh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jumpai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.

Saudaraku, semoga Allah menjaga diriku dan dirimu… Masih tersimpan dalam ingatan kita, doa yang sepanjang hari kita panjatkan kepada Allah, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka, dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nasrani).” Inilah doa yang sangat ringkas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah pun menyebutnya sebagai doa yang paling bermanfaat, mengingat kandungannya yang sangat dalam dan berguna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimurkai karena mereka berilmu namun tidak beramal. Adapun kaum Nasrani tersesat karena mereka beramal tanpa landasan ilmu. Maka, orang yang berada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.

Dari sinilah, kita mengetahui, bahwa hakekat keilmuan seseorang tidak diukur dengan banyaknya hafalan yang dia miliki, banyaknya buku yang telah dia beli, banyaknya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyaknya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibanggakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu, “Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khas-yah/rasa takut -kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyimrahimahullah).

Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam berjuang menggapai keikhlasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaidrahimahullahu rahmatan wasi’ah).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya setiap amal itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ikhlas, bukanlah ucapan yang terlontar di lidah, huruf yang tertulis dalam catatan, banyaknya harta yang telah kita sumbangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita berdakwah, atau penampilan fisik yang tampak oleh mata. Ikhlas adalah ‘permata’ yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan menjadi sebab terbukanya gerbang ketentraman dan hidayah dari Allah ta’ala. Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82). Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa keikhlasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta’an.

Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kontemporer yang sangat terkenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak menjadi orang yang memburu popularitas. Beliau mengutip ungkapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh zhuhur, “Menyukai ‘ketinggian’ akan mematahkan punggung.”Maknanya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah berfirman (yang artinya), “Berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Ikhlas –wahai saudaraku– … adalah rahasia kesuksesan dakwah nabi dan rasul serta para pendahulu kita yang salih. Berapapun jumlah orang yang tunduk mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun ayahnya  sendiri produsen berhala, meskipun anaknya sendiri menolak perintah Rabbnya, meskipun pamannya sendiri tidak mau masuk Islam yang diserukannya, meskipun tidak ada pengikutnya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan kaum yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)

Kalau kita memang ikhlas –wahai saudaraku– niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita mendapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain… Kalau kita memang ikhlas –wahai saudaraku– maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah memberikan karunia keikhlasan kepada kita...

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi, S.Si.  

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.