Doa, di dalam Islam memiliki kedudukan sangat agung. Doa merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Doa merupakan bukti ketergantungan seorang hamba kepada Rabb Subhanahu wa Ta’ala dalam meraih apa-apa yang bermanfaat dan menolak apa-apa yang membawa mudharat baginya. Doa merupakan bukti keterkaitan seorang manusia kepada Rabb-nya, dan kecondongannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwasannya tiada daya dan upaya melainkan dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Perbanyaklah Doa
Sebagian orang ada yang beranggapan, bahwa dirinya tidak selayaknya banyak meminta kepada Allah. Dia menganggapnya sebagai suatu aib. Menilainya sebagai sikap kurang bersyukur kapada Allah atau bertentangan dengan sifat qana’ah. Akhirnya ia menahan diri tidak meminta kepada Allah, kecuali dalam perkara-perkara yang dia anggap penting dan mendesak. Sedang dalam masalah-masalah yang dianggapnya ringan dan sepele, ia merasa enggan meminta kepada Allah.
Pemahaman seperti ini, jelas merupakan kekeliruan dan suatu kejahilan. Karena doa termasuk jenis ibadah, dan Allah marah jika seorang hamba enggan meminta kepadaNya.
Dalan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
Sesungguhnya doa adalah ibadah. [2]
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
Dan Rabb-mu berfirman: “Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. [al Mu`min/40 : 60].
Doa ini -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala – sangat bermanfaat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللَّهِ بِالدُّعَاءِ
Doa itu bermanfaat bagi apa-apa yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi. Hendaklah kalian memperbanyak berdoa, wahai hamba-hamba Allah.[3]
Seorang muslim, selayaknya banyak berdoa setiap waktu. Karena doa merupakan ibadah yang memiliki kedudukan sangat mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada doa”.[4]
Doa Tidak Pernah Membawa Kerugian
Seseorang yang meninggalkan doa berarti ia merugi. Sebaliknya seseorang yang berdoa, ia tidak akan pernah merugi atas doa yang dipenjatkannya, selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturrahmi. Karena doa yang dipanjatkannya, pasti disambut oleh Allah, baik dengan mewujudkan apa yang dia minta di dunia, atau mencegah darinya keburukan yang setara dengan yang ia minta, atau menyimpannya sebagai pahala yang lebih baik baginya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
Tidak ada seseorang yang berdoa dengan suatu doa, kecuali Allah akan mengabulkan yang ia minta, atau Allah menahan keburukan dari dirinya yang semisal dengan yang ia minta, selama ia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau untuk memutuskan tali silaturrahim. [5]
Oleh karena itu, janganlah seorang hamba merasa keberatan meminta kepada Rabb-nya dalam urusan-urusan dunianya, meskipun urusan tersebut dianggapnya sepele, terlebih lagi dalam urusan akhirat. Karena permintaan itu merupakan bukti ketergantungan yang sangat kepada Allah, dan kebutuhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua urusan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan :
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلْهُ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
Sesungguhnya, barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya. [6]
Adab-adab yang Harus Diperhatikan Dalam Berdoa
Dalam berdoa, ada beberapa perkara dan adab yang harus diperhatikan oleh seseorang, sehingga doanya mustajab.
Pertama, memasang niat yang benar. Seseorang yang berdoa, hendaklah meniatkan dalam doanya tersebut untuk menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menggantungkan kebutuhannya kepadaNya. Karena siapa saja yang mengggantungkan hajatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , niscaya ia tidak akan rugi selama-lamanya.
Kedua, berdoa dalam keadaan bersuci. Cara seperti ini lebih afdhal. Hanya saja, jika seseorang berdoa dalam kondisi tidak berwudhu’, maka hal itu tidak mengapa.
Ketiga, meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menengadahkan telapak tangan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلَا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا
Jika engkau meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka mintalah dengan menengadahkan telapak tangan, dan janganlah engkau memintanya dengan menengadahkan punggung telapak tangan.[7]
Kaifiatnya adalah, dengan mengarahkan telapak tangan ke wajah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [8] Atau dengan cara mengangkat tangan hingga nampak putih ketiaknya (bagian dalam ketiaknya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ إِبِطُهُ يَسْأَلُ اللَّهَ مَسْأَلَةً إِلَّا آتَاهَا إِيَّاهُ
(Tidaklah seorang hamba mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya dan memohon suatu permohonan, kecuali Allah mengabulkan permohonannya itu).[9] Cara seperti menunjukkan ketergantungan seorang hamba kepada Allah, kebutuhannya kepada Allah, dan permohonannya yang sangat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Keempat, memulai dengan mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Cara seperti ini menjadi sebab lebih dekat kepada terkabulnya doa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya dan dia tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala , tidak bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang ini terburu-buru,” kemudian Rasulullah memanggilnya dan bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ
Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia memulainya dengan mengucapkan hamdalah serta puja dan puji kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , kemudian bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setelah itu ia berdoa dengan apa yang ia inginkan. [10]
Kelima, bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika ia meninggalkan shalawat atas Nabi, doanya bisa terhalang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semua doa terhalang, sehingga diucapkan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]
Keenam, memulai berdoa untuk diri sendiri terlebih dahulu. Demikian ini yang diisyaratkan dalam al Qur`an, seperti ayat:
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ
Ya Rabb-ku! Ampunilah aku, dan ibu bapakku …… [Nuh/71 : 28].
Ketujuh, bersungguh-sungguh dalam meminta. Janganlah seseorang ragu-ragu dalam doanya, atau ia mengucapkan pengecualian dengan mengucapkan “jika Engkau berkehendak ya Allah, berikanlah kepadaku ini dan ini”. Doa seperti itu dilarang, karena tidak ada sesuatupun yang dapat memaksa kehendak Allah.
Kedelapan, menghadirkan hati dalam berdoa. Seorang hamba, hendaklah menghadirkan hati, memusatkan pikiran, mentadaburi doa yang ia ucapkan, serta menampakkan kebutuhan dan ketergantungannya kepada Allah. Janganlah ia berdoa dengan lisannya, namun hatinya entah kemana. Karena doa tidak akan dikabulkan dengan cara seperti itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , sementara kalian yakin doa kalian dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan lengah.[12]
Kesembilan, berdoa dengan kata-kata singkat dan padat, serta doa-doa yang ma’tsur. Tidak syak lagi, kata-kata yang paling padat dan paling singkat dan paling agung berkahnya adalah, doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Doa-doa seperti itu banyak terdapat di dalam buku-buku As Sunnah.
Kesepuluh, bertawasul dengan nama dan sifat-sifat Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma-ul husna itu … … [al A’raf/7 : 180].
Atau seseorang bertawasul dengan amal shalih yang telah dia lakukan, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang mashur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa. Atau bertawasul dengan doa orang shalih yang mendoakan untuknya. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini banyak ditunjukkan di dalam al Qur`an maupun Sunnah Nabi.
Kesebelas, memperbanyak ucapan “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلِظُّوا بِيَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Ulang-ulangilah ucapan Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam. [13]
Yaitu selalu ucapkan dan perbanyaklah dalam doa-doa kalian. Karena hal itu merupakan kata-kata pujian yang sangat tinggi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung. Dengan memperbanyak membacanya akan membantu terkabulnya doa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Keduabelas, mencari waktu-waktu yang mustajab dan tempat-tempat yang utama. Ada beberapa waktu dan tempat-tempat yang utama, sebagaimana telah disebutkan di dalam nash-nash. Orang yang berdoa, sebaiknya mencari waktu tersebut dan memperbanyak doa pada waktu-waktu tersebut. Di antara waktu-waktu yang utama dan mustajab adalah, waktu antara adzan dan iqamah, di dalam shalat, setelah selesai mengerjakan shalat-shalat fardhu, pada waktu sore hari, ketika berbuka puasa, di bagian akhir malam, dan sesaat pada hari Jumat -yaitu saat-saat terakhir pada hari Jumat- dan hari-hari di bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, pada hari ‘Arafah, pada waktu mengerjakan haji, di sisi Ka’bah, serta waktu-waktu dan tempat-tempat lainnya yang disebutkan di dalam atsar.
Ketigabelas, memperbanyak doa pada saat-saat lapang. Upaya ini agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan permintaannya pada saat-saat sempit. Karena termasuk hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala mentakdirkan suatu bala (musibah), bahwasanya Allah menyukai mendengarkan rintihan hambaNya kepadaNya. Allah senang melihat para hamba kembali kepadaNya pada saat-saat sempit dan tercekam. Namun apabila seorang insan itu bertadharru’ pada saat-saat ia lapang, maka akan segera dikabulkan baginya permintaan-permintaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكَرْبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَاءِ
Barangsiapa yang suka Allah mengabulkan doanya pada saat-saat sempit dan kesulitan, maka hendaklah ia banyak-banyak berdoa pada saat-saat ia lapang.[14]
Perkara-perkara yang Harus Dihindari Bagi Orang yang Berdoa
Untuk mendukung agar doa seseorang dikabulkan, seseorang harus menghindari beberapa perkara yang dapat menghalangi terkabulnya doa.
Pertama, mengkonsumsi makanan yang haram. Karena ini termasuk perkara yang menghalangi terkabulnya doa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Seorang laki-laki yang panjang perjalanannya, rambutnya acak-acakan dan berdebu, ia mengangkat tangannya ke langit dan mengatakan : “Ya Rabbi, ya Rabbi,” sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan barang yang haram, bagaimana ia akan diterima doanya? [15]
Kedua, terburu-buru dalam meminta dikabulkannya doa. Permintaan yang tergesa-gesa itu dilarang, dan dapat menghalangi terkabulnya doa. Seseorang yang berdoa juga tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sikap terburu-buru bisa dikategorikan sebagai bentuk pendustaan terhadap janji Allah Subhanahu wa Ta’ala , padahal Allah telah berjanji mengabulkan doa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
Akan dikabulkan doa salah seorang di antara kamu selama dia tidak terburu-buru; ia mengatakan “Aku sudah berdoa, namun tidak dikabulkan bagiku”.[16]
Ketiga, berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam berdoa. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ
Berdo’alah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS al A’raf/7 : 55).
Sa’ad Radhiyallahu anhu pernah melihat anak laki-lakinya berdoa, dan ia berkata dalam doanya : “Ya Allah, aku memohon kepadaMu surga, kenikmatannya, kemegahannya, begini dan begini. Dan aku berlindung kepadaMu dari api neraka, dari rantainya, belenggunya, begini dan begini”.
Mendengar doa anaknya tersebut, Sa’ad Radhiyallahu anhu berkata: Wahai anakku, sesunggunya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَيَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ إِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَ الْجَنَّةَ أُعْطِيتَهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ وَإِنْ أُعِذْتَ مِنَ النَّارِ أُعِذْتَ مِنْهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الشَّرِّ
“Akan ada nanti kaum yang melampaui batas dalam berdoa. Jangan sampai engkau masuk ke dalam golongan mereka. Jika engkau diberikan surga, niscaya engkau akan diberikan semua apa yang ada di dalamnya. Jika engkau dihindarkan dari api neraka, niscaya engkau akan dihindarkan darinya dan seluruh keburukannya”. [17]
Keempat, meminta perkara-perkara yang mustahil. Seperti seseorang yang berdoa agar dapat melihat Nabi dalam keadaan terjaga, atau ia berdoa agar dijadikan sebagai malaikat, atau ia berdoa meminta kekuatan, yang dengan kekuatan itu ia dapat mengangkat gunung, atau meminta kepada Allah berupa an nubuwah (kenabian). Karena hal itu tidaklah mungkin. Bahkan kalau ia meyakini diturunkannya nubuwah setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia bisa kafir karena hal itu. Dan permintaan seperti itu juga termasuk bentuk berlebih-lebihan dalam berdoa. Allahu a’lam.
Demikian, mudah-mudahan Allah berkenan memberikan taufiq kepada kita untuk senantiasa berdoa kepadaNya, dan menjadikan doa-doa kita sebagai doa yang mustajab. (Ummu Ihsan)
Billahit taufiq.
______
Footnote:
[1] Diangkat dari kitab Muashu’ah Adab Islami.
[2] HR Ahmad, IV/267; Abu Dawud, 1479 dan at Tirmidzi, 2969 dan dishahihkan olehnya; Ibnu Majah, 3828; al Hakim, I/491 dan dishahihkannya; dan disetujui oleh adz Dzahabi; Ibnu Hibban, 887h/II/124 dalam Kitab al Ihsan. Al Baihaqi dalam asy Syu’ab, 1105 dan Ibnu Abi Syaibah, 29167h/VI/21; al Bukhari dalam Adabul Mufrad, hlm. 105; Ibnu Jarir dalam tafsirnya, no. 1 3038/11; dari Nu’man bin Basyir. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 3407.
[3] HR Tirmidzi, 3048 dan al Hakim, I/493 dari Ibnu Umar. Shahih al Jaami’, 3409.
[4] HR Ahmad, II/362 dan at Tirmidzi, 3370 dan dihasankannya; al Hakim, I/390 dan disetujui oleh adz Dzahabi dan yang lainnya dari Abu Hurairah. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 5392.
[5] Telah disebutkan takhrijnya.
[6] HR at Tirmidzi, 3373 dan Ibnu Majah, 3727 dari Abu Hurairah. Silahkan lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2686.
[7] HR Abu Dawud, 1486 dari Malik bin Yasar; Shahih Abu Dawud, 1318. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang lainnya.
[8] HR ath Thabrani dalam kitab al Kabir, 12234h/11 dari Ibnu Abbas. Dan diriwayatkan dari as Saib bin Khallad. Shahih al Jaami’, 4721.
[9] HR at Tirmidzi, 3603 dari Abu Hurairah. Shahih at Tirmidzi, 2853.
[10] HR Abu Dawud, 1481; an Nasaa-i, 44/3; at Tirmidzi, 3477 dan dishahihkannya, dari Fudhalah bin ‘Ubaid. Silahkan lihat Shahih Abu Dawud, 1314.
[11] HR ad Dailami dalam Musnad al Firdaus, III/4791 dari ‘Ali. Dalam hadits lain diriwayatkan dari Anas. Juga dari ‘Ali secara mauquf yang diriwayatkan ath Thabrani di dalam al Ausath, dan al Baihaqi di dalam asy Syu’ab. Berkata al Haitsami di dalam al Majma’, X/160 : “Para perawinya tsiqat”. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 4523.
[12] HR at Tirmidzi, 3479 dan al Hakim, 493/1 dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at Tirmidzi, 2766.
[13] HR at Tirmidzi, 3525 dan yang lainnya, dari Anas. Lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2797. Dan diriwayatkan juga dari hadits Rabi’ah.
[14] HR at Tirmidzi, 3382; al Hakim, I/544 dan dishahihkannya, dan disetujui oleh adz Dzahabi dari Abu Hurairah. Silahkan lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2693.
[15] HR Muslim, 1015 dari Abu Hurairah.
[16] HR al Bukhari, 6340 dan Muslim, 2735, dari Abu Hurairah.
[17] HR Ahmad, I/172 dan Abu Dawud, 1480, dari Sa’ad. Shahih Abu Dawud, 1313.
Referensi: https://almanhaj.or.id/