3. Halangan Dan Rintangan Dalam Menyusuri As-Shirât Al-Mustaqîm (Jalan Yang Lurus)
Wahai orang yang menempuh jalan lurus ini! Seyogyanya Anda tahu bahwa di hadapan saudara ada rintangan yang siap menghalangi perjalanan saudara dan berupaya menghentikannya. Rintangan tersebut ada tiga yang di dalam surat al-Fâtihah (yang selalu kita baca-red) itu ada petunjuk yang agung dan penuh berkah tentang cara menyelamatkan diri dari ketiga rintangan tersebut. Para ahli ilmu juga sudah sering mengingatkan dan menasehati umat manusia agar berhati-hati supaya tidak terjatuh di dalamnya. Berdasarkan kadar bahayanya, rintangan-rintangan itu bisa diurutkan:
- Syirik, menyekutukan Allâh Azza wa Jalla
- Bid’ah
- Maksiat
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia mengatakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambar satu garis (lurus) untuk kami, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ini adalah jalan Allâh” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggmbar lagi beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya dan mengatakan, “Ini beberapa jalan tercerai berai, di atas setiap jalan ini ada syaitan yang menyeru dan mengajak kepada jalannya,” kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. [Al-An’am/6:153]
Jalan-jalan yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak keluar dari ketiga rintangan di atas. Maksudnya, diantara jalan itu ada yang menggiring umat manusia menuju perbuatan syirik, perbuatan menyekutukan Allâh; Diantara jalan-jalan itu ada yang mengantarkan setiap orang yang memasukinya kearah perbuatan bidah dalam agama Allâh Azza wa Jalla dan ada juga jalan yang mengarahkan setiap orang yang memasukinya kearah perbuatan maksiat dan dosa. Diantara ketiganya, pasti yang paling disukai dan yang paling diutamakan oleh syaitan adalah agar umat manusia memasuki jalan kesyirikan. Apabila syaitan tidak bisa menjerumuskan manusia dalam kesyirikan maka mereka berusaha menjerumuskannya dalam kebid’ahan, bila tidak berhasil bisa juga, maka syaitan akan menjerumuskan manusia dalam maksiat dan begitu selanjutnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan pada sebagian kitabnya bahwa yang sangat ingin dicapai oleh syaitan dalam menyesatkan manusia ada tujuh perkara. Kemudian beliau menyebutkannya secara berurutan satu persatu. Jika syaitan berhasil meraih tujuan yang paling besar (maka, itulah yang diinginkan, namun-red) jika tidak tercapai, maka syaitan akan turun ketingkat berikutnya.
Pertama yang syaitan inginkan dari manusia adalah agar mereka menyekutukan Allâh. Apabila tidak berhasil, maka mereka ingin manusia melakukan perbuatan bid’ah karena bid’ah lebih dicintai syaitan dibandingkan maksiat. Karena pelaku kebid’ahan menyangka dirinya dalam kebaikan saat melakukan kebid’ahannya. Jika dikatakan kepada pelaku kebid’ahan, “Sungguh apa yang kamu lakukan itu adalah kesalahan, ” Maka dia tidak akan terima, karena dia memandang apa yang dia lakukan itu adalah kebenaran. Berbeda dengan orang yang berbuat maksiat jika dia diberi nasehat agar meninggalkan maksiatnya, dia akan merasa dirinya salah dan merasa berdosa, karena itu (terkadang) dia mengatakan, ‘Doakanlah agar aku diberi hidayah untuk bertaubat dan semoga Allâh mengampuni dosa-dosaku.’ Ini berbeda dengan pelaku kebid’ahan apalagi ahli bid’ah, kecuali Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah dan melapangkan dadanya untuk menerima kebaikan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
Sesungguhnya Allâh menutup taubat dari para pelaku kebid’ahan[1]
Perbuatan dosa terbagi menjadi dosa besar dan dosa kecil. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis. [Al-Qamar/54:53]
Maksudnya tertulis atas hamba yang melakukannya dan dia akan melihatnya pada catatan amalnya pada hari kiamat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya”; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorangpun.[Al-Kahfi/18:49]
Jika syaitan tidak bisa menjerumuskan seorang hamba pada dosa besar, dia akan berupaya maksimal untuk menjerumuskannya dalam perbuatan dosa kecil. Jika tidak bisa menjerumuskannya dalam dosa kecil, dia akan berusaha menyibukkan para hamba dengan perkara-perkara mubah supaya si hamba tadi tidak bisa melakukan berbagai amal ketaatan dan ibadah. Jika ini tidak bisa berhasil juga, dia berpindah ke derajat keenam yaitu menyibukkannya dengan perkara yang tidak utama supaya amalan-amalan yang lebih utama luput darinya. Karena agama Allâh dan ketaatan yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla bertingkat-tingkat keutamaannya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ: أَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
Iman ada tujuh puluh cabang lebih dan yang paling utamanya adalah ucapan “Lâ ilâha illallâh” dan paling rendahnya yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan[2]
Jika syaitan tidak berhasil juga menjerumuskan menusia dengan perkara yang keenam, dia akan berpindah kepada perkara yang ketujuh dan ini tidak ada yang bisa selamat darinya dan seandainya ada orang yang bisa selamat tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga selamat darinya, (akan tetapi Beliau pun tetap terkena-red). Urutan ketujuh itu adalah syaitan menggunakan bala tentaranya untuk mengganggu dan menyakiti hamba Allâh. Jika syaitan telah merasa tidak mungkin bisa menyimpangkan hamba dari kebaikan, maka dia akan mendatangkan bala tentaranya untuk menyakiti hamba itu serta menghalanginya dengan berbagai kesulitan di jalan Allâh. Oleh karena itu, kaum Mukminin diperintahkan untuk saling menasehati dalam kesabaran:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.[Al-Ashr/103:3]
dan firman-Nya:
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ
Dan dia (Tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.[Al-Balad/90:17]
Karena gangguan itu sesuai dengan kadar keimanan, semakin kuat keimanan seseorang, maka ganguannya pun akan semakin besar.
Inilah tahapan-tahapan syaitan dalam menjerat dan menjerumuskan seorang hamba. Bacalah tentang ini dalam firman Allâh Azza wa Jalla:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿١٦﴾ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).[Al-A’raf/7:16-17]
Syaitan itu musuh yang bisa melihat kita sementara kita tidak bisa melihatnya, musuh yang sangat sukar (dihadapi). Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. [Al- A’raf/7:27]
Dia menghadangmu di jalan Allâh yang lurus untuk menyesatkan dan menghalangi serta menjauhkanmu darinya lalu menjerumuskanmu hingga terjatuh pada penyimpangan. -Ya Allâh! Kami mohon perlindungan kepada-Mu dari segala tipu daya syaitan-.
Ketiga rintangn di atas yaitu syirik, bid’ah dan maksiat, wajib diwaspadai dan dijauhi oleh kaum Muslimin sejauh-jauhnya dan menjaga diri agar tidak terjatuh dalam ketiga rintangan tersebut. Dia juga harus mengambil petunjuk dalam surat al-Fâtihah atau dalam al-Qur’an secara umum atau petunjuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ada orang yang bertanya kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Beritahulah kami tentang apa itu takwa?” Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Pernahkah kamu melewati jalan yang berduri?” Orang itu menjawab, “Pernah.” Beliau Radhiyallahu anhu berkata tanya lagi, “Apa yang kamu perbuat (saat melewati jalan yang berduri itu-red)?” Dia berkata, “Jika aku melihat ada duri, maka aku akan berjalan ke arah kiri atau kanan dan aku menjauhinya agar aku tidak menginjaknya.” Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Seperti itulah ketakwaan kepada Allâh”
Namun yang harus kita jauhi dalam perkara takwa kepada Allâh Azza wa Jalla bukan sekedar duri di jalanan namun sesuatu yang jauh lebih merusak manusia yaitu perbuatan syirik, bid’ah dan perbuatan maksiat. Jadi, orang yang menempuh jalan Allâh Azza wa Jalla wajib mewaspadai dan menghindarkan diri dari ketiga perkara ini. Sebagian salaf berkata, “Bagaimana seseorang bisa menjaga diri dari sesuatu yang tidak ia ketahui?”
Artinya, jika kita ingin menjaga diri dari ketiga hal tersebut, maka kita wajib mengetahui ketiga hal tersebut. Kita wajib tahu apa itu kesyirikan? Apa itu kebid’ahan? Dan apa itu dosa besar? Tujuannya agar kita menjaga diri darinya.
Banyak orang terjatuh dalam perkara-perkara yang masuk dalam kategori kesyirikan yang jelas serta kekufuran yang nyata, disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap agama Allâh ini. Banyak juga yang terjerat dalam kebid’ahan dan menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap agama ini, seperti itu juga yang terjerumus ke dalam perbuatan maksiat dan dosa. Oleh karena itu, yang pertama kali dituntut dari seorang manusia dalam masalah agama adalah mereka dituntut untuk mencari ilmu sehingga dia bisa mengetahui agamanya, mengetahui kebenaran dan bisa mengenal petunjuk. Jadi, kita harus berilmu sebelum berkata dan berbuat, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allâh dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. [Muhammad/47:19]
Jadi, kita hendaknya mengetahui tiga rintangan atau penghalang ini agar kita bisa mewaspadainya, menjaga diri dan menjaga semua orang yang berada dalam tanggungjawab kita agar tidak terjatuh dan terjerumus dalam ketiga-tiganya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allâh, [Luqman/31:13]
Anggaplah, pada suatu hari jika kita mengatakan kepada anak-anak kita, “Wahai anakku! Janganlah engkau berbuat syirik kepada Allâh!” Lalu si anak bertanya, “Apakah syirik yang dilarang oleh Allâh itu?” Jika seperti itu kejadiannya, apakah pantas kita tidak mengetahui tentang apa itu ke syirikan?! Dari sini kita tahu bahwa mengetahui perkara-perkara ini sangatlah penting dan merupakan suatu keharusan.
Dan umumnya orang yang terjerumus dalam kesyirikan itu disebabkan ketidaktahuannya, terlebih lagi dengan banyaknya syubhat yang bisa menjebak orang-orang yang tidak berilmu, maka jelas sangat berpotensi menyimpangkan manusia dari agama Allâh. Bukankah sebuah musibah dan bencana yang besar, jika didapati diantara orang-orang yang menyatakan dirinya Islam, ada yang mengangkat kedua tangan mereka (untuk berdoa kepada selain Allâh-red), padahal seharusnya berdoa itu hanya kepada Allâh. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan kemudian memanggil, “Wahai fulan! Lalu meminta ini dan itu.
SubhanAllâhu! Dimanakah Allâh? Dimana tauhid? Mana perbuatan berlepas diri dari kesyirikan? Lantas, apa penyebab terjerumusnya orang-orang yang semisal mereka dalam kesyirikan seperti ini? – Semoga Allâh menjaga kita dari perbuatan seperti ini-. Penyebabnya adalah kejahilan atau ketidaktahuan terhadap agama Allâh dan masuknya berbagai subhat yang menyesatkan kepada mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ
Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan pada kalian adalah para pemimpin yang menyesatkan[3]
Apa yang dilakukan para pemimpin yang menyesatkan itu? Mereka menghiasi kebatilan dan membuatnya samar dalam pandangan manusia. Mereka juga menggambarkan kesesatan itu sebagai sebuah hidayah. Akibatnya, banyak orang yang terjerumus dalam berbagai penyimpangan, misalnya kesyirikan, kebid’ahan dan berbagai perbuatan sia-sia serta mengabaikan (ketaatan).
Tidakkah kita tertarik untuk mengetahui apa itu kesyirikan yang merupakan dosa yang paling ditakuti dan dosa yang paling besar itu? Dalam al-Qur’an, Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan bahaya kesyirikan:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. [An-Nisâ’/4:48]
juga firman-Nya:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka pasti Allâh mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.[Al-Mâidah/5:72]
Dan firman-Nya:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ ﴿٦٦﴾ وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah hanya kepada Allâh saja kamu beribadah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. Dan mereka tidak mengagungkan Allâh dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi dia dari apa yang mereka persekutukan. [Az-Zumar/39:65-67]
Apakah orang yang meminta bantuan kepada selain Allâh, atau orang yang memohon kepada selain Allâh dan orang yang mencari bantuan dan pertolongan dari selain Allâh? dan apakah orang yang memohon kepada selain Allâh Azza wa Jalla agar diangkat kesulitannya dan dihilangkan musibahnya pantas dikatakan mengagungkan Allâh dengan pengagungan yang semestinya?
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya? dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? apakah disamping Allâh ada sesembahan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). [An- Naml/27:62]
Maksudnya, sedikit sekali kalian ingat. Seandainya kalian ingat dan berfikir serta merenungi perkara ini, maka kalian tidak akan terjerumus kedalamnya.
Jadi, kesyirikan adalah perkara yang paling berbahaya dan kezhaliman yang paling besar.
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezaliman yang besar. [Lukman/31:13]
Dan kezhaliman apa yang lebih besar daripada kezhaliman memalingkan ibadah dan doa kepada selain Allâh yang maha menciptakan? Dia yang menciptakan; Dia yang memberi rezeki; Dia yang memberi semua kenikmatan, kemudian kepada selain-Nya manusia berdoa dan meminta. Na’udzu billah
Dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Mas’ud z dia berkata, “Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Dosa apa yang paling besar disisi Allâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تَجْعَلَ لِلِّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
Engkau menjadikan tandingan bagi Allâh padahal Allâh yang menciptakanmu[4]
Perhatikanlah dan renungilah sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “padahal Allâh telah menciptakanmu”! Maksudnya, perbuatan Allâh Azza wa Jalla yang menciptakanmu seorang diri, yang menjadikanmu ada dari yang semula tidak ada, itu sudah cukup sebagai dalil atas wajibnya engkau mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam ibadah. Artinya, tidak berdoa kecuali kepada-Nya, tidak meminta pertolongan kecuali kepada-Nya dan tidak bertawakal kecuali kepada-Nya juga tidak meminta pertolongan dan bantuan kecuali dari-Nya serta tidak menjadikan tandingan atau sekutu bagi-Nya, baik tandingan yang berasal dari malaikat yang dekat juga tidak nabi yang diutus dan tidak juga wali atau yang lainnya. Karena ibadah adalah hak Allâh yang menciptakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh, padahal kamu Mengetahui.[Al-Baqarah/2:22]
yaitu ketahuilah oleh kalian bahwa tidak ada pencipta bagi kalian kecuali Allâh Azza wa Jalla .
_____
Footnote:
[1] HR. At-Thabrani dalam al-Ausath, no. 4202. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahîhah, no. 1620
[2] HR. Al-Bukhari, no. 9 dan Muslim, no. 35
[3] HR. Ahmad, 6/441. Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’, no. 1551
[4] HR. Al-Bukhâri, no. 4477 dan Muslim, no. 86
Referensi : https://almanhaj.or.id/11285-menyusuri-as-shirat-al-mustaqim-jalan-yang-lurus.html