Type Here to Get Search Results !

 


MEMPERBANYAK TAKBIR DI 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJAH


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di awal surat Al Fajar,

والفجر وليال عشر

‏Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (1)

Kebanyakan ahli tafsir berpendapat yg dimaksud 10 malam ini adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Dan dalam bahasa Arab, penyebutan malam terkadang juga dimaknai sebagai hari.(2) Jadi tidak hanya malamnya saja.

Ini adalah pendapat sahabat ‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma , Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وَاللَّيَالِي الْعَشْرُ: الْمُرَادُ بِهَا عَشَرُ ذِي الْحِجَّةِ. كَمَا قَالَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَمُجَاهِدٌ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ.

“Malam-malam yang sepuluh maksudnya adalah 10 hari di bulan Dzulhijjah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Zubai, Mujahid, dan tidak sedikit dari para salaf dan yang setelahnya.”(3)

Jika Allah bersumpah dengan nama makhluk-Nya, maka biasanya itu menunjukkan keagungan untuk mahluk tersebut. Oleh karenanya, tidak diragukan lagi keutamaan dan keagungan 10 hari pertama bulan dzulhijjah.

Keagungan dan keutamaanya didukung oleh sabda baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari,

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذالك بشيء.

“Tidak ada hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini” Para sahabat bertanya: “Tidak juga jihad fii sabiilillaah ?” Beliau bersabda, “Iya. Tidak juga jihad fii sabiilillaah (amalan2 hari2 itu lbh baik dr jihad), kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwa raganya kemudian dia tidak pernah kembali lagi (mati syahid).”(4)

Maka dari itu, mari kita perbanyak amalan-amalah shalih di hari-hari ini dengan memperbanyak shalat sunnah, puasa sunnah, memakmurkan masjid, berdoa, membaca Al Qur’an, bersedekah, dan berdzikir kepada Allah.


Takbir, Tahlil dan Tahmid

Termasuk amalan yang disyariatkan untuk dikerjakan di hari-hari awal bulan Dzulhijjah adalah bertakbir, bertahlil dan bertahmid.

Dalilnya adalah firman Allah,

لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.(5)


Ayat diatas bersifat umum, mencakup semua jenis dzikir yang disyariatkan untuk diperbanyak. Adapun dalil khusus yang menjelaskan tentang disyariatkannya bertakbir, bertahlil dan bertahmid di awal-awal bulan Dzulhijjah adalah perbuatan sahabat sebagaimana yang dinukil oleh Imam Bukhari,

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ” وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ: أَيَّامُ العَشْرِ، وَالأَيَّامُ المَعْدُودَاتُ: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ ” وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ: «يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ العَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا»

Berkata Ibnu ‘Abbas, “Dan ingatlah oleh kalian di hari hari yang ditentukkan yaitu hari-hari sepuluh, dan hari-hari yang terbatas yaitu hari-hari tasyriq”, Dan dahulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar ke pasar di hari-hari sepuluh (Dzulhijjah) dan mereka berdua bertakbir, dan orang-orang ikut bertakbir bersama mereka berdua.(6)

Berarti kita dianjurkan untuk memperbanyak takbir dan tahlil dimulai dari awal dzulhijjah sampai dengan akhir hari Tasyriq dengan perincian sebagai berikut:
  1. Takbir Mutlaq: dimulai dari hari pertama Dzulhijjah, yaitu tenggelamnya matahari di hari akhir bulan Dzulqa’dah, sampai dengan hari Tasyriq ke-3. Boleh dikumandangkan kapan pun, setelah shalat, sebelum shalat, pagi, sore malam, di setiap waktu.
  2. Takbir Muqoyyad: yang terikat dengan waktu. Yaitu setelah shalat wajib lima waktu. Dimulai dari waktu terbitnya fajar hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), sampai terbenamnya matahari di akhir hari tasyriq. Dibaca setelah shalat wajib lima waktu setelah membaca istighfar tiga kali dan dzikir
اللّهُم أَنْتَ السَلاَمُ وَمِنْك السَلامُ تَبَاركتَ يَا ذا الجَلالِ وَالإكْرَام.

Adapun lafadz Takbirnya adalah sebagaimana yang sering kita dengar

الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله والله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد

Ini adalah lafadz yang digunakan dalam madzhab Hambali dan Hanafi. Adapun dalam madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah maka lafadz Allahu Akbar di awal takbir sebanyak tiga kali;

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله والله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد

Karena kita sudah masuk di hari-hari awal bulan Dzulhijjah, mari kita perbanyak bertakbir dan bertahlil kepada Allah, di mana pun kita berada dan kapan pun. Entah ketika kita sedang mengendarai kendaraan, berjalan, ketika hendak tidur, setelah shalat, di rumah, di tempat kerja, di pasar, serta di waktu-waktu dan tempat-tempat lainnya.

Wallahu A’lam

Kukuh Abu Yumnaa
____

Catatan Kaki
  1. Qs. Al Fajr: 1-2
  2. Tafsir Juz ‘Amma Syaikh Shalih Al Utsaimin hal. 189
  3. Tafsir Ibnu Katsir juz 8 hal 390
  4. HR. Bukhari dan Tirmidzi (757)
  5. Surat Al Hajj:28
  6. Shahih Bukhari, 20/2
Baca juga: Puasa Arafah ikut wukuf di Arafah atau ikut Pemerintah?



Takbir Muthlaq (Tidak Terikat) dan Takbir Muqayyad (Terikat)
 
Pada Bulan Dzulhijjah

Di antara ibadah yang disyari’atkan dan dianjurkan untuk diperbanyak memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah adalah Takbir. Ibadah ini masih terus berlanjut hingga selesainya hari-hari Tasyriq. Ada dua jenis takbir yang disyariatkan pada hari-hari tersebut, yang disebut dengan Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. Bagaimana itu? Untuk mendapatkan keterangan yang jelas berdasarkan bimbingan ilmu yang benar, kami turunkan secara berseri keterangan para ‘ulama besar dalam masalah ini.

Keterangan Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta` (Komisi Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) [1]
  • Pertanyaan: Bagaimana pendapat anda tentang Takbir Muthlaq pada ‘Idul Adh-ha saja? Apakah terus berlanjut hingga akhir hari ke-13 Dzulhijjah ataukah tidak? Apakah ada perbedaan antara orang yang sedang berhaji dengan yang tidak sedang berhaji?
  • Jawab: Takbir Mutlaq terus berlanjut hingga penghujung hari terakhir hari-hari tasyriq (yakni akhir tanggal 13 Dzulhijjah). Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara orang yang sedang menunaikan ibadah haji dengan yang tidak. Berdasarkan firman Allah :
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ

dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan (Al-Hajj : 28)

dan firman Allah Ta’ala:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ ۚ

Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang tertentu. (Al-Baqarah : 203)

hari-hari yang telah ditentukan adalah 10 hari pertama Dzulhijjah. Sedangkan hari-hari yang tertentu adalah hari-hari Tasyriq. Hal ini dikatakan oleh shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dari beliau.

Al-Bukhari juga berkata, “Dulu shahabat Ibnu ‘Umar dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum keluar ke pasar pada 10 hari pertama Dzulhijjah seraya bertakbir, dan umat manusia pun bertakbir karena takbir beliau berdua.”

Dan dalam Shahih Al-Bukhari secara mu’allaq, “Bahwa dulu Ibnu ‘Umar bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, (juga) setiap selesai shalat wajib, ketika berada di atas pembaringannya, ketika berada di tendanya, ketika duduk, maupun ketika berjalan, pada seluruh hari-hari tersebut.”

Fatwa no. 1185

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`
  1. Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
  2. Wakil Ketua: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
  3. Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan
  4. Anggota: ‘Abdullah bin Mani’
____
  • Pertanyaan: Saya mendengar sebagian orang bertakbir pada hari-hari Tasyriq, mereka bertakbir setiap selesai shalat hingga waktu ‘Ashr Tasyriq hari ke-3 (yakni tanggal 13 Dzulhijjah). Apakah itu benar atau tidak?
  • Jawab: Disyari’atkan pada hari Raya ‘Idul Adh-ha Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. Adapun Takbir Muthlaq dilakukan pada semua waktu (setiap saat) sejak masuknya bulan Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq. Adapun Takbir Muqayyad, dilakukan setiap selesai shalat fardhu, dimulai sejak shalat shubuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir.

Disyari’atkannya takbir tersebut telah ditunjukkan oleh ijma’ dan perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Fatwa no. 10.777

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`
  1. Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
  2. Wakil Ketika: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
  3. Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan

[1] Adalah sebuah lembaga di Kerajaan Saudi ‘Arabia yang mengemban amanah melakukan riset ilmiah dan fatwa-fatwa berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah berdasarkan manhaj para salafush shalih. Duduk di majelis yang mulia ini adalah para ‘ulama besar Ahlus Sunnah, yang memiliki kapasitas keilmuan, ketaqwaan, dan keshalihan yang diterima dan dipercaya oleh umat. Antara lain, Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah (beliau ketika itu sebagai ketua), Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (beliau sebagai ketua sekarang), Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan, dan masih sangat banyak lagi.

Komisi Tetap ini telah banyak fatwa-fatwanya dalam menjawab berbagai problem kentemporer dari berbagai belahan dunia. Fatwa-fatwa mereka sangat dicari dan dibutuhkan oleh umat, karena bobot dan kualitas ilmiah yang sangat tinggi, di samping bobot dan kualitas para ‘ulama yang duduk padanya. Ciri khas yang sangat menonjol adalah komitmen yang tinggi terhadap dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan manhaj para salafush shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, serta para ‘ulama Ahlus sunnah setelahnya. Tidak ada keterikatan – apalagi fanatik – terhadap madzhab tertentu. Hal-hal tersebut di antara yang membuat majelis ini tidak lagi hanya milik Kerajaan Saudi ‘Arabia saja, tapi seakan menjadi milik dunia Islam international.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang komisi fatwa ini silakan kunjungi http://www.alifta.com

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=400#more-400)

Samahatusy Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Kepada Fadhilatusy Syaikh Al-Mukarram ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz hafizhahullah setelah penghormatan dan pemuliaan :

Semoga Allah senantiasa menjaga kami dan anda di atas nikmat Islam. Diiringi dengan pertanyaan tentang kondisi kesehatan anda … semoga Allah tetap menjaga anda terus berada di atas ketaatan kepada-Nya.

Kami memohon fatwa tentang Takbir Muthlaq pada hari Raya ‘Idul ‘Adh-ha. Apakah takbir setiap selesai shalat lima waktu termasuk Takbir Muthlaq ataukah tidak? Apakah itu sunnah, mustahab (dianjurkan), ataukah bid’ah? Karena telah terjadi banyak perdebatan dalam masalah ini.

____

Dari ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz kepada Saudara yang Mulia M-‘A-M waffaqahullah – amin

Surat anda tertanggal 24/2/1387 H telah sampai, washshalakumullah bihudahu, isi kandungannya berupa pertanyaan adalah telah diketahui.

Jawaban atas pertanyaan anda adalah sebagai berikut:

Takbir pada ‘Idul ‘Adh-ha merupakan ibadah yang disyariatkan sejak awal bulan sampai akhir hari ke-13 bulan Dzulhijjah. Berdasarkan firman Allah :

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ

dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan (Al-Hajj: 28)

yaitu 10 hari pertama Dzulhijjah

dan firman Allah Ta’ala:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ ۚ

Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang tertentu. (Al-Baqarah : 203)

Yaitu hari-hari Tasyriq.

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk menikmati makan dan minum, serta hari-hari untuk berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya.

Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Shahih-nya secara mu’allaq dari shahabat Ibnu ‘Umar dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum,

“Bahwa keduanya dulu keluar ke pasar pada 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan bertakbir. Maka umat pun bertakbir dengan takbir kedua shahabat tersebut.”

Dulu ‘Umar bin Al-Khaththab dan anaknya, ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma bertakbir di hari-hari Mina di masjid maupun di kemah, keduanya mengeraskan suaranya sehingga Mina bergetar dengan takbir.

Diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum takbir setiap selesai shalat lima waktu mulai sejak shalat Shubuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat ‘Ashr hari ke-13 bulan Dzulhijjah. Ini berlaku bagi orang yang tidak sedang berhaji.

Adapun orang yang sedang berhaji maka dalam kondisi ihramnya dia menyibukkan diri dengan mengucapkan talbiyah sampai melempar jumrah ‘aqabah pada hari Nahr (hari ke-10 Dzulhijjah). Adapun setelah itu, dia menyibukkan diri dengan takbir. Ia bertakbir pada lemparan pertama ketika melempar jumrah. Jika bertakbir sambir bertalbiyah maka tidak mengapa. Berdasarkan perkataan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

“Dulu seorang bertalbiyah pada hari ‘Arafah, tidak ada yang mengingkarinya. Dan seorang bertakbir, tidak ada yang mengingkarinya.” (HR. Al-Bukhari 970)

Namun yang afdhal (utama) bagi seorang yang berihram adalah mengucapkan talbiyah. Adapun bagi seorang yang tidak berihram yang afdhal adalah bertakbir pada hari-hari tersebut.

Dengan demikian, kita tahu bahwa Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad – menurut pendapat ‘ulama yang paling benar – bertemu pada lima hari, yaitu : Hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), Hari Nahr (10 Dzulhijjah), dan hari-hari Tasyriq (11,12,13 Dzulhijjah).

Adapun hari ke-8 dan sebelumnya hingga awal bulan, takbir padanya adalah Takbir Muthlaq, tidak ada muqayyad padanya berdasarkan ayat-ayat dan riwayat-riwayat di atas.

Dalam kitab Musnad, dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

Tidak ada hari yang lebih mulia di sisi Allah dan tidak ada amalan yang lebih dicintai oleh-Nya pada hari-hari tersebut, dibanding 10 hari pertama (Dzulhijjah) tersebut. Maka perbanyaklah padanya tahlil, takbir, dan tahmid. (HR. Ahmad)

____

Fadhilatusy Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

1. Takbir Muthlaq terdapat pada dua tempat:
  • Pertama: Malam ‘Idul Fithri, sejak terbenam Matahari sampai selesainya shalat ‘Id
  • Kedua: 10 Dzulhijjah, sejak masuk bulan Dzulhijjah sampai waktu fajar Hari ‘Arafah, dan pendapat yang benar masih terus berlanjut hingga hari terakhir hari-hari Tasyriq (yakni hari ke-13). [1]
2. Takbir Muqayyad sejak selesai shalat ‘Idul Adh-ha sampai waktu ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir (hari ke-13)

3. Takbir Gabungan, antara Muthlaq dan Muqayyad, sejak terbit fajar (waktu Shubuh) hari ‘Arafah sampai selesai shalat ‘Idul Adh-ha, dan pendapat yang benar terus berlanjut sampai terbenam Matahari hari Tasyriq paling terakhir. [2]

Perbedaan antara Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad (terikat):
  1. Takbir Muthlaq disyari’atkan setiap waktu tidak hanya setiap selesai shalat fardhu. Jadi pensyari’atannya bersifat mutlak, oleh karena itu dinamakan Takbir Muthlaq.
  2. Adapun Takbir Muqayyad, disyari’atkan hanya setiap selesai shalat fardhu, (dengan catatan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama tentang jenis shalat yang disyari’atkan setelahnya takbir). Jadi pensyari’atannya terikat dengan shalat, oleh karena itu dinamakan dengan Takbir Muqayyad (terikat).
Wallahu a’lam,

[1] Yakni terdapat perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama tentang batas akhir Takbir Muthlaq. Sebagian ‘ulama menyatakan berakhir sampai waktu fajar hari ‘Arafah. Sebagian yang lain berpendapat masih terus berlanjut, baru berakhir pada akhir hari ke-13. Pendapat kedua inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah. (pent)

[2] Yakni terdapat perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama tentang batas akhir Takbir Gabungan antara Muthlaq dan Muqayyad. Sebagian ‘ulama menyatakan berakhir sampai selesainya shalat ‘Idul Adh-ha. Sebagian yang lain berpendapat masih terus berlanjut, baru berakhir pada akhir hari ke-13. Pendapat kedua inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah. (pent)

(http://www.assalafy.org/mahad/?p=401#more-401)




Memahami Lebih Dalam Takbir Mutlak dan Muqayyad pada Hari Raya

Apa itu takbir mutlak dan muqayyad pada hari raya? Berikut tinjauannya dari berbagai kitab fikih Syafii.

Takbir hari raya itu ada dua macam: 

(1) takbir muqayyad
(2) takbir mutlak atau mursal.

Takbir muqayyad: adalah takbir yang dibaca setelah shalat. 

Takbir mutlak atau mursal: adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu. Takbir mutlak adalah takbir yang dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang.

Takbir hari raya adalah syiar kaum muslimin sehingga disyariatkan dikeraskan suara.

Takbir mutlak: disunnahkan diucapkan pada Idulfitri dan Iduladha. Awal waktu takbir mutlak adalah dari tenggelamnya matahari pada malam Id, kemudian berakhir saat imam memulai shalat Id. Sedangkan orang yang berhaji, syiarnya adalah membaca talbiyah pada malam Iduladha.

Dalil bertakbir pada Idulfitri adalah firman Allah Ta’ala,

وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Takbir pada Iduladha disamakan dengan takbir Idulfitri. Namun, takbir malam Idulfitri lebih ditekankan daripada malam Iduladha.

Takbir muqayyad (ketika bakda shalat) tidak disunnahkan pada malam Idulfitri, menurut pendapat ashah. Karena tidak ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini.

Takbir muqayyad disunnahkan setelah shalat terkait Iduladha, ada ijmak (kata sepakat ulama) dalam hal ini. Takbir muqayyad ini dimulai dari Shubuh hari Arafah hingga Ashar hari tasyrik terakhir. Ada dalil dari ‘Umar, ‘Ali, dan Ibnu ‘Abbas tentang hal ini.

Takbir muqayyad disunnahkan diucapkan setelah selesai shalat, baik shalat ada-an (shalat yang dikerjakan pada waktunya), maupun shalat yang luput, baik shalat fardhu maupun nadzar, baik shalat sunnah rawatib, shalat sunnah mutlak, shalat sunnah muqayyad, atau shalat sunnah yang punya sebab seperti shalat tahiyatul masjid. Karena takbir itu syiar yang terkait dengan waktu.

Tidak perlu bertakbir setelah sujud tilawah dan sujud syukur karena keduanya bukan termasuk shalat. Begitu pula tidak perlu bertakbir di luar hari-hari yang disyariatkannya takbir muqayyad untuk shalat fai’tah, shalat yang luput jika diqadha’. Takbir muqayyad hanya khusus pada lima hari (hari Arafah, Iduladha, tiga hari tasyrik).

Jika lupa bertakbir muqayyad bakda shalat, takbir tersebut tetap dilakukan, walau ada jeda waktu yang lama bakda shalat menurut pendapat ashah (paling kuat).

Lihat bahasa dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559.

Di antara dalil yang mensyariatkan takbir pada hari raya adalah firman Allah Ta’ala,

إِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah.” (QS. Al-Baqarah: 200)

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203)

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)

Lihat penyebutan dalil-dalil ini dalam Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imam Asy-Syafii karya Imam Al-‘Amrani, 2:657.


Kapan Membaca Takbir Selesai Shalat, Apakah Dzikir Bakda Shalat Dahulu ataukah Takbir?

Penggabungan antara dzikir bakda shalat dan takbir muqayyad bakda shalat baiknya digabungkan.

Ulama Syafiiyah belakangan menyatakan bahwa takbir muqayyad bakda shalat lebih didahulukan daripada dzikir bakda shalat. Maksudnya adalah jika waktunya takbir muqayyad, maka bakda shalat yang dilakukan adalah takbir dahulu, lalu membaca dzikir bakda shalat.

Dalam Hasyiyah Al-Bujairimi (3:2156) disebutkan,

ﻭَﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُ اﻟﻤُﺮْﺳَﻞِ ﻋَﻦْ ﺃَﺫْﻛَﺎﺭ ِاﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺑِﺨِﻼَﻑِ اﻟﻤُﻘَﻴَّﺪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﻘَﺪِّﻣُﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ، ﻭَﻣِﻦَ اﻟﻤُﺮْﺳَﻞِ اﻟﺘَّﻜْﺒِﻴْﺮُ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﻋِﻴْﺪِ اﻟﻔِﻄْﺮِ ﺧَﻠْﻒَ اﻟﺼَّﻠَﻮَاﺕِ ِﻷَﻥَّ اﻟﻔِﻄْﺮَ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴْﻪِ ﻣُﻘَﻴَّﺪٌ.

“Sebaiknya takbir mursal diakhirkan setelah dzikir bakda shalat. Hal ini berbeda dengan takbir muqayyad yang didahulukan sebelum dzikir bakda shalat. Yang termasuk takbir mursal adalah takbir pada malam Idulfitri setelah shalat lima waktu. Perlu diingat bahwa Idulfitri tidak memiliki takbir muqayyad.”

Hal ini berbeda dengan takbir mutlak yang diakhirkan setelah membaca dzikir bakda shalat. Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin berkata,

وَهَذَا التَّكْبِيْرُ المُرْسَلُ المُطْلَقُ إِذْ لاَ يَتَقَيَّدُ بِصَلاَةٍ وَلاَ غَيْرِهَا وَيُسَنُّ تَأْخِيْرُهُ عَنْ أَذْكَارِهَا

“Takbir ini dinamakan takbir mursal mutlak yang tidak terkait dengan shalat dan selainnya. Takbir ini disunnahkan diakhirkan dari dzikir bakda shalat.” (Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah (Busyral Kariim bi Syarh Masa’il At-Ta’liim), hlm. 441)

Beberapa Catatan tentang Takbir Mutlak dan Muqayyad
  1. Makmum yang masbuk tidaklah bertakbir melainkan setelah selesai menunaikan shalatnya. Karena takbir yang dimaksud dilakukan bakda shalat.
  2. Jika imam melakukan takbir pada waktunya, tetapi tidak dianggap oleh makmum atau imam meninggalkan takbir pada waktu yang dianggap oleh makmum, menurut pendapat ashah, makmum tetap mengikuti apa yang ia yakini dalam hal bertakbir ataukah tidak bertakbir. Makmum tidak perlu mencocoki imam. Karena mengikuti imam itu terputus dengan salamnya imam.
(Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:560).

Takbir hari raya ini dengan menjaharkan suara untuk laki-laki sebagai bentuk syiar. Adapun selain laki-laki (untuk perempuan dan khuntsa–yang berkelamin ganda–), maka tidaklah dengan mengeraskan suara. Jika tidak ada laki-laki bukan mahram, takbir tetap dibaca, tetapi lebih pelan dari laki-laki.

(Lihat Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah (Busyral Kariim bi Syarh Masa’il At-Ta’liim), hlm. 440.)

Takbir terkait Iduladha dilakukan dalam lima hari (hari Arafah, Iduladha, tiga hari tasyrik), termasuk di dalamnya adalah takbir pada malam Id. Pada malam Id, takbir setelah shalat tetap dianjurkan. Ditinjau dari takbir tersebut dibaca bakda shalat, maka disebut takbir muqayyad. Namun, ditinjau dari takbir tersebut dibaca pada malam Id, maka disebut takbir mursal atau mutlak.

(Lihat Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:198).

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan berbuah amal saleh. Hanya Allah yang beri taufik dan hidayah.

_____

Referensi:
  1. Al-Bayaan fii Madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Cetakan keempat, Tahun 1435 H. Abul Husain Yahya bin Abil Khair Saalim Al-‘Amrani Asy-Syafii Al-Yamani. Penerbit Dar Al-Minhaaj.
  2. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  3. Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
  4. Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Al-Iqnaa’ fii Halli Alfaazh Abi Syuja’ lii Al-Khathiib Asy-Syirbiniy. Tahqiq dan Dhabth Alfaazhahu: Sa’id Al-Manduh. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Penerbit Anwar Al-Azhar.
  5. Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin.  Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Syaikh Prof. Dr. Musthafa Dib Al-Bugha. Penerbit Dar Al-Musthafa.
  6. Syarh Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah (Busyral Kariim bi Syarh Masa’il At-Ta’liim). Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin. Penerbit Dar ‘Umar bin Al-Khatthab.