MAKNA DAN KEDUDUKAN SUNNAH NABI
Bukanlah yang dimaksud di sini sunnah dalam ilmu fikih, yaitu perbuatan yang mendapat pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Akan tetapi, sunnah adalah apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang batin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat.
Secara bahasa, sunnah artinya as-sirah (perjalanan) hidup atau thariqah (cara hidup). Dalam Lisaanul ‘Arab disebutkan,
والسُّنَّة السيرة، حسنة كانت أَو قبيحة
“As-Sunnah artinya as-sirah (perjalanan hidup), baik yang bagus maupun yang jelek.”
Dijelaskan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab Irsyadhul Fuhul,
أما لغة : فهي الطريقة المسلوكة ، وأصلها من قولهم : سننت الشيء بالمسن إذا أمررته عليه ، حتى يؤثر فيه سنا أي طريقا . وقال الكسائي : معناها الدوام ، فقولنا : سنة معناه الأمر بالإدامة من قولهم : سننت الماء إذا واليت في صبه . قال الخطابي : أصلها الطريقة المحمودة ، فإذا أطلقت انصرفت إليها ، وقد يستعمل في غيرها مقيدة ، كقوله : من سن سنة سيئة . وقيل : هي الطريقة المعتادة ، سواء كانت حسنة أو سيئة
“Sunnah secara bahasa artinya cara hidup. Jika orang Arab mengatakan ‘sanantu asy-syai’a bil-masni’, maknanya adalah ‘aku menjalaninya hingga tua’. ‘Hatta yuatsira fihi sunnan’, maknanya adalah ‘hingga (perjalanan hidup) itu membuahkan sebuah cara hidup’.
Al Kisa’i mengatakan, ‘Sunnah makanya ad-dawaam (kontinu). Maka makna as-sunnah adalah sesuatu yang dilakukan secara kontinu. Sebagaimana perkataan ‘sunantul ma’a’, yang artinya ‘aku secara kontinu memercikkan air’.
Al-Khathabi mengatakan, ‘as-sunnah artinya cara hidup yang baik. Jika disebutkan secara muthlaq (bersendirian), maka maknanya demikian. Dan terkadang digunakan secara muqayyad (digandengkan) semisal dalam hadis ‘man sanna sunnatan sayyiatan’. Dan sebagian ahli bahasa mengatakan maknanya adalah cara hidup yang sudah jadi kebiasaan, baik itu bagus ataupun buruk.’” [1]
Sedangkan makna sunnah dalam istilah syar’i, adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan,
وأما معناها شرعا : أي في اصطلاح أهل الشرع ، فهي : قول النبي صلى الله عليه وآله وسلم وفعله وتقريره ، وتطلق بالمعنى العام على الواجب وغيره في عرف أهل اللغة والحديث ، وأما في عرف أهل الفقه فإنما يطلقونها على ما ليس بواجب ، وتطلق على ما يقابل البدعة كقولهم : فلان من أهل السنة
“Adapun makna as-sunnah secara syar’i, yaitu dalam istilah para ulama, artinya adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan dimaknai dengan makna umum, baik itu perkara yang wajib atau yang selainnya, menurut ahli bahasa dan ahli hadis. Adapun dalam kebiasaan ahli fikih, yang dimaksud dengan as-sunnah adalah semua ibadah yang tidak wajib. Dan terkadang juga, maksud as-sunnah adalah lawan dari bid’ah, sebagaimana dalam perkataan ulama: Fulan adalah ahlussunnah.” [2]
Maka sunnah yang kami maksudkan di sini adalah sunnah dalam makna perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan sunnah dalam definisi ulama fikih, yaitu segala ibadah yang tidak wajib. Dan masalah yang akan kita bahas ini, adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena ia diperintahkan oleh Nabi, dilakukan oleh Nabi, dan juga disetujui oleh Nabi.
Dari ini kita pahami bahwa sunnah adalah teladan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka di dalamnya tercakup perkara wajib, perkara mustahab (dianjurkan), dan juga terkadang berupa perkara mubah. Oleh karena itu, tidak benar sangkaan sebagian orang yang beranggapan bahwa Al-Qur’an itu yang wajib dan As-Sunnah itu yang mustahab.
Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Banyak orang yang menyangka bahwa yang terdapat dalam Al-Qur’an itulah yang wajib, sedangkan yang ada dalam As-Sunnah yang suci itu adalah yang mustahab (dianjurkan) yang diberi pahala jika melakukannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Pemahaman keliru ini masuk ke tengah masyarakat karena semrawutnya pengertian mengenai makna As-Sunnah, padahal mereka tahu wajibnya menaati perintah Rasul.” [3]
Kedudukan Sunnah Nabi
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang agung dalam Islam karena ia adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Maka wajib untuk memuliakan sunnah Nabi secara umum, mengamalkannya, menaatinya, dan menjadikannya cara beragama serta cara hidup. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, di antaranya:
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an
Dalil-dalil dari Al Qur’an tentang wajibnya mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
Perintah Allah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”” (QS. Al Imran: 32).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya dengan bentuk perintah yang umum, yaitu agar mereka menaati Allah dan menaati Rasul-Nya. Perintah ini mencakup taat dalam masalah iman dan tauhid, dan juga perkara-perkara turunan dari keduanya, baik berupa amalan, perkataan, lahiriah maupun batiniah. Bahkan juga mencakup menjauhi apa yang Allah dan Rasul-Nya larang. Karena menjauhi apa yang dilarang juga termasuk menaati perintah Allah.” [4]
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ di ex مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [5]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam, maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya.” [6]
Adanya ancaman bagi orang yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Di antaranya firman Allah Ta’ala,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” [7]
Ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang orang yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah mensyari’atkan bahwa ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik rahimahullah pun berkata, “Ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir orang itu akan tertimpa fitnah di dunia dan azab yang pedih sebagaimana dalam ayat … (beliau menyebutkan ayat di atas).” [8]
Ketika menjelaskan perkataan Imam Malik rahimahullah ini, Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Fitnah yang dimaksud Imam Malik rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini berhubungan dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena mengedepankan akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah sebagai petunjuk bagi mereka.” [9]
Tercelanya memiliki pilihan lain ketika dalam suatu permasalahan yang sudah ada sunnah Nabi
Di antaranya firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [10]
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak layak bagi seorang mukmin dan mukminah, jika Allah sudah menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya, janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan Rasul-Nya.” [11]
Adanya perintah untuk mengembalikan keputusan kepada Rasulullah ketika ada perselisihan
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [12]
Rujuk kepada keputusan Rasulullah ketika ada perselisihan dijadikan sebagai barometer iman
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [13]
Ditetapkannya Rasulullah sebagai teladan yang sempurna dalam ibadah dan muamalah
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung.” [14]
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [15]
Dalil-Dalil Hadis
Dalil-dalil dari hadits tentang wajibnya berpegang pada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [16]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” [17]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa yang aku larang hendaknya kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaknya kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka banyak bertanya dan karena mereka menyelisihi ajaran nabi-nabi mereka.” [18]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ألا إنِّي أوتيتُ الكتابَ ومثلَهُ معَهُ ، ألا يوشِكُ رجلٌ ينثَني شبعانَ على أريكتِهِ يقولُ : عليكمُ القُرآنَ ، فما وجدتُمْ فيهِ من حلالٍ فأحلُّوهُ وما وجدتُمْ فيهِ من حرامٍ فحرِّموهُ
“Ketahuilah bahwa aku diberikan Al-Qur’an dan sesuatu yang semisalnya (As-Sunnah) untuk membersamainya. Ketahuilah, akan ada orang yang bersandar dalam keadaan kekenyangan di atas dipannya, lalu ia berkata: “Hendaknya kalian berpegang pada Al-Qur’an, yang kalian dapati halal di dalamnya maka halalkanlah, yang kalian dapati haram di dalamnya maka haramkanlah.”” [19]
Perkataan para Ulama
Para ulama ahlussunnah sejak dahulu hingga sekarang memotivasi umat ini untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak mencukupkan diri dengan Al-Qur’an, bahkan mereka menjadikan sunnah Nabi sebagai sumber hukum dan juga pedoman dalam beragama dan pedoman dalam menjalani kehidupan. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,
لم أسمع أحدًا – نسبه الناس أو نسب نفسه إلى علم – يخالف في أن فرض الله عز وجل اتباعُ أمر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، والتسليم لحكمه؛ بأن الله عز وجل لم يجعل لأحد بعده إلا اتباعه، وأنه لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله – صلى الله عليه وسلم -، وأن ما سواهما تبع لهما
“Tidak pernah aku mendengar orang yang disebut ulama atau yang menisbatkan diri sebagai ulama, yang menentang bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan kita ittiba’ (mengikuti) perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menerima segala hukum dari beliau. Dan Allah Ta’ala tidak memberikan kelonggaran untuk siapapun kecuali mereka harus mengikuti Rasulullah. Dan tidak ada perkataan yang wajib ditaati kecuali Kitabullah atau sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang selainnya hanya mengikuti dua hal tersebut.” [20]
Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan,
ليس من أحد إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم
“Tidak ada satu orang pun kecuali perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (maka wajib diambil dan tidak boleh ditinggalkan).” [21]
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan,
لا تقلدني ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا
“Jangan kalian taqlid buta kepadaku! Jangan pula kepada Malik atau Asy-Syafi’i atau Al-Auza’i atau Ats-Tsauri! Namun, ambillah kebenaran yang sesuai dengan sumber pendapat mereka (yaitu sunnah Nabi).” [22]
Imam Ahmad rahimahullah juga mengatakan,
من ردَّ حديث رسول الله فهو على شفا هلكة
“Siapa yang menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia berada dalam jurang kebinasaan.” [23]
Abu Hamzah Al-Bazzar rahimahullah mengatakan,
من علم طريق الحق سهل عليه سلوكه، ولا دليل على الطريق إلى الله إلا متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم في أحواله وأقواله وأفعاله
“Barangsiapa yang mengetahui jalan kebenaran, maka perjalanannya akan mudah. Dan tidak ada petunjuk menuju jalan Allah kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam kehidupan beliau, perkataan beliau, dan perbuatan beliau.” [24]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
الْعِبَادَاتُ مَبْنَاهَا عَلَى الشَّرْعِ وَالِاتِّبَاعِ لَا عَلَى الْهَوَى وَالِابْتِدَاعِ فَإِنَّ الْإِسْلَامَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَصْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ. وَالثَّانِي: أَنْ نَعْبُدَهُ بِمَا شَرَعَهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْبُدَهُ بِالْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ
“Ibadah itu landasannya adalah syariat dan mengikuti sunnah Nabi, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena Islam itu dibangun di atas dua landasan. Pertama, kita menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Yang kedua, kita menyembah Allah dengan apa yang Allah syariatkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita tidak menyembah Allah dengan hawa nafsu dan bid’ah.” [25]
Semoga penjelasan ringkas ini dapat memotivasi kita untuk terus mempelajari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkan dan berpegang teguh dengannya. Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Yulian Purnama
____
Catatan kaki:
[1] Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, 1/131
[2] Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, 1/131-132
[3] Makanatus Sunnah fil Islam, hal. 1
[4] Taisir Karimirrrahman. 128
[5] QS. An-Nisa: 115
[6] Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 2/412
[7] QS. An-Nuur: 63
[8] Al-I’tisham, hal. 174
[9] Al-I’tisham, hal. 174
[10] QS. Al-Ahzab: 36
[11] Taisiir Kariimirrahman, hal. 665
[12] QS. An-Nisa: 59
[13] idem
[14] QS. Al-Qalam: 4
[15] QS. Al-Ahzab: 21
[16] HR. At-Tirmidzi no. 2676. ia berkata, “Hadis ini hasan sahih”
[17] HR. Muslim no. 867
[18] HR. Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337
[19] HR. Abu Daud no.4604, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud
[20] Jima’ul ‘Ilmi (3)
[21] Irsyadus Salik ila Manaqibi Malik, hal. 227, karya Ibnu Abdil Hadi rahimahullah.
Perkataan semisal juga diucapkan oleh Ibnu Abbas ((lihat Al-Qira’ah Khalfal Imam, hal. 213, karya Al-Bukhari), Mujahid (lihat Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhilih, 2/926), Al-Hakam bin Utaibah (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhilih, 2/925) dan para ulama lainnya.
[22] I’lamul Muwaqqi’in (2/302), karya Ibnul Qayyim
[23] Manaqib Al-Imam Ahmad (hal. 249), karya Ibnul Jauzi
[24] Miftah Daaris Sa’adah (1/1/60), karya Ibnul Qayyim
[25] Majmu’ Al-Fatawa (1/80)
Sumber: https://muslim.or.id/67160-makna-dan-kedudukan-sunnah-nabi.html