Definisi:
(السَّحُوْرُ), adalah dengan memfathahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur[1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2]
Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar adalah dengan didhummahkan karena dengan menfathahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan balasan perbuatan, bukan pada makanan.’”[3]
Waktunya:
Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, akhir dari malam sebelum Shubuh, ada yang berkata, ia dari sepertiga malam akhir hingga terbit fajar[4], maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur bagi seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“…Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam[5], yaitu fajar…” [Al-Baqarah/2: 187]
Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”[6]
Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.”[7]
Hukumnya:
Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ.
“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.”[8]
Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ
”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.”[9]
Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.
Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan puasa mereka adalah sahur, karena mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan untuk bersahur.”[10]
Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh seseorang, baik berupa makanan maupun minuman.[11]
Keutamaan Sahur dan Berkahnya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
“Bersahurlah, karena pada makan Sahur itu ada keberkahan.”[12]
Dan diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu[13], ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seseorang untuk makan Sahur seraya bersabda:
هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ
“Kemarilah untuk menyantap makanan yang diberkati.”[14]
Makan Sahur memiliki keberkahan dunia dan akhirat, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata saat menjelaskan keberkahan Sahur, “Keberkahan yang terdapat pada makan Sahur sangatlah jelas sekali, karena ia menguatkan untuk berpuasa dan membuatnya bergairah untuknya serta mendapatkan keinginan untuk menambah puasa oleh karena ringannya kesulitan padanya bagi orang yang bersahur.” Dikatakan: “Sesungguhnya ia mengandung terjaga dari tidur, dzikir dan do’a pada saat itu, dimana waktu tersebut adalah waktu turunnya Malaikat, penerimaan do’a dan istighfar, dan kemungkinan ia mengambil wudhu’ lalu shalat atau terus melanjutkan terjaga untuk dzikir, do’a, shalat atau mempersiapkan diri untuk shalat hingga terbit Fajar.”[15]
Yang benar, bahwa keberkahan meliputi semua itu dan hal-hal lain dari manfaat-manfaat Sahur, baik duniawi maupun ukhrawi, dan bahwa makan Sahur mencakup makanan dan minuman, sedangkan kata kerjanya adalah التَّسَحُّرُ.
Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik adalah, bahwa keberkahan dalam makan Sahur dapat diperoleh dari banyak segi, yaitu mengikuti Sunnah dan menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang buruk yang diakibatkan oleh kelaparan, menjadi sebab bersedekah kepada siapa yang meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan, membuatnya berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat puasa bagi mereka yang melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied[16] berkata, ‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi karena dengan menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang dilakukan), begitu pula bisa saja berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti kekuatan tubuh untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya bagi orang yang melaku-kan puasa.’”[17]
Di antara keutamaan-keutamaan yang ditambah bagi makan Sahur adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya akan bershalawat bagi orang-orang yang makan Sahur, tidak dipungkiri bahwa itu adalah keutamaan yang besar.
Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدْعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يُجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحَّرِيْنَ
“Makan Sahur adalah keberkahan, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun hanya berupa seteguk air, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya bershalawat bagi orang-orang yang bersahur.”[18]
Maka seyogyanyalah bagi seorang Muslim mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya pada masalah ini, hingga memperoleh keberkahannya dan keutamaan-keutamaannya serta manfaat dunia dan akhirat.
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote:
[1] Ash-Shihah (II/679) oleh al-Jauhari, al-Qamuus al-Muhiith (II/528) disusun oleh az-Zawi
[2] An-Nihaayah (II/347) oleh Ibnul Atsir
[3] Ibid, II/347.
[4] Lisaanul ‘Arab (IV/350), dengan sedikit perubahan
[5] Yaitu gelapnya malam dan terangnya siang, seperti yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy bin Hatim Radhiyallahu anhu, lihat Shahih al-Bukhari (II/231) Kitaabush Shaum bab Qaulullaahu Ta’aalaa: وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا….
[6] Shahih al-Bukhari (II/771) Kitaabush Shaum bab Qadru Kam bainas Suhuur wa Shallatul Fajr dan Shahih Muslim (II/771).
[7] Syarhus Sunnah (VI/253) oleh al-Baghawi.
[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/232) Kitaabush Shaum bab Barakatus Suhuur min Ghairi Iijaab liannan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa Ash-haabuhu Waashalu wa lam Yudzkaris Suhuur juga Muslim dalam Shahihnya (II/770) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlus Suhuur, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dan dalam Shahih Ibni Khuzaimah (III/213).
[9] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (II/771) kitab ash-Shiyaam bab Fadhlus Suhuur dari ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhu.
[10] Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (VII/207).
[11] Lihat Fat-hul Baari (IV/140) oleh Ibnu Hajjar
[12] Telah diriwayatkan dalam ash-Shahihain
[13] Beliau adalah al-‘Irbadh bin Sariyah as-Sulami atau Najih, beliau termasuk dari ahli fiqh dan tinggal di Himsh -wilayah Syam-, wafat pada tahun 75 H, lihat Asaadul Ghaabah (III/518), al-Ishaabah (II/266) dan Tahdziibut Tahdziib (VII/174).
[14] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (II/758) Kitaabush Shiyaam bab Man Sammas Sahuural Ghadaa’ dan an-Nasa-i (IV/126) Kitaabush Shiyaam bab ad-Da’wah ilas Sahuur, Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/126), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (III/214) Kitaabush Shiyaam bab Dziktud Dallilin Naas Sahuur Qad Yaqa’a ‘alaihi Ismul Ghadaa’, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (V/194) disusun oleh al-Farisi, al-Albani berkata dalam Misykatul Mashabiih (I/622), “Sanadnya hasan.”
[15] Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (VII/206), dengan perubahan.
[16] Beliau Muhammad bin ‘Ali bin Wahb al-Qusyairi al-Manfaluthi Taqiyuddin Abul Fath, imam, faqih, mujtahid, hafizh, muhaddits, menulis banyak karangan, dikenal dengan nama Ibnu Daqiq al-‘Ied, beliau seorang yang cerdas di zamannya, sangat luas ilmunya, tenang, berwibawa, seorang hafizh yang kuat, menjadi hakim di Mesir. Di antara karyanya: Syarhul ‘Umdah, al-Imaam fil Ahkaam, al-Iqtiraah fii ‘Uluumil Hadiits, wafat pada tahun 702 H. Lihat Tadzkiiratul Huffaazh (IV/1481), Thabaqatul Huffazh (hal. 516), Syadzaa-ratudz Dzahab (VI/5) dan al-A’laam (VI/283).
[17] Fat-hul Baari (IV/140). Lihat Ihkaamul Ahkaam Syarhu ‘Umdatul Ahkaam (II/18) oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied
[18] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/12-44), al-Mundziri berkata dalam at-Targhiib wat-Tarhiib (II/139): “Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang kuat.” Al-Haitsami berkata dalam Majmaa’-uz Zawaa-id (III/150): “Diriwayatkan oleh Ahmad dan di dalamnya ada perawi yang bernama Rafa‘ah, aku tidak tahu ada yang menguatkannya. Dia dan tidak pula ada yang melemahkannya, sedangkan para perawi yang lain adalah shahih.” Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya, al-Ihsaan bi Tartiibi Shahih Ibni Hibban (V/194). Lafazh terakhir dari hadits, إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتِهِ adalah dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
Referensi: https://almanhaj.or.id/
KEBERKAHAN SAHUR
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Maalik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Bersahurlah kalian karena dalam sahur ada keberkahan.”
Takhrij:
Hadits yang mulia ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dalam shahihnya no. 1789 dan Imam Muslim dalam shahihnya no. 1835.
Biografi Perawi Hadits:
Beliau adalah Anas bin Mâlik bin an-Nadhar al-Anshâri al-Khazraji. Beliau Radhiyallahu anhu dibawa Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma pada usia sepuluh tahun menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Kota Madinah seraya berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَسٌ خَادِمُكَ ادْعُ اللَّهَ لَهُ
Wahai Rasûlullâh ini Anas yang akan menjadi khadim (pelayan) Engkau. Maka doakanlah ia !
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuk beliau:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأدْخِلْهُ الجَنَّةَ
Ya Allâh perbanyaklah hartanya dan anaknya serta masukkanlah ia kedalam syurga.
Anas Radhiyallahu anhu menyatakan, “Aku telah mendapatkan keduanya (harta dan anak) dan berharap mendapatkan yang ketiga (masuk syurga). Sungguh telah dikubur dari keturunanku selain cucu-cucuku sejumlah seratus dua puluh lima orang dan kebunku berbuah dua kali dalam setahun.”
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu terus menjadi pelayan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggal di Madinah hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat . Setelah itu beliau Radhiyallahu anhu menetap di kota Bashrah dan wafat disana pada tahun 90 H dan beliau Radhiyallahu anhu termasuk sahabat yang terakhir meninggal disana[1].
Kosa Kata
تَسَحَّرُوا: Makan sahurlah kalian
السُّحُورِ: apabila huruf sinnya didhammahkan maka artinya makan sahur (aktifiasnya); Bila dibaca fathah maka artinya adalah dzat makanan sahurnya.
بَرَكَةً: kebaikan yang banyak dan tetap.
Syarah Hadits:
Dinul Islam adalah din yang adil dan penuh rahmat yang memberikan bagian istirahat dan pendukung kekuatan badan dan memberikan jiwa bagiannya berupa ibadah dan ketaatan. Dalam hadits yang mulia ini, sahabat yang mulia Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang berpuasa untuk makan sahur agar mendapatkan gizi dan tambahan tenaga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sahur memiliki keberkahan dalam rangka memotivasi orang agar melakukannya[2].
Keberkahan sahur juga dijelaskan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمْ اللَّهُ إِيَّاهَا فَلَا تَدَعُوهُ
Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allâh kepada kalian, maka jangan kalian meninggalkannya.[3]
Keberkahan dalam sahur ada yang bersifat agamis dan ada yang bersifat keduniaan
Sahur sebagai suatu berkah yang bersifat agama dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu mengikuti sunnah, mendapatkan pahala dan kekuatan dalam berpuasa dan juga mengandung nilai penyelisihan terhadap ahli kitab.
Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan sahur atas kaum Muslimin dalam rangka membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudriy Radhiyallahu anhu:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.[4]
Demikian juga diantara keberkahan sahur adalah mendapatkan shalawat dari Allâh dan para malaikat, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa‘id al-Khudry Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السُّحُورُ أَكْلَةٌ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allâh Azza wa Jalla dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.[5]
Sedangkan Imam Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan hadits diatas dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dengan lafazh:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Allâh dan para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.[6]
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Keberkahan dalam sahur muncul dari banyak sisi, yaitu (karena) mengikuti sunnah, menyelisihi ahli kitab, memperkuat diri dalam ibadah, menambah semangat beraktifitas, mencegah akhlak buruk yang diakibatkan rasa lapar, menjadi pendorong agar bersedekah kepada orang yang meminta ketika itu atau berkumpul bersamanya dalam makan dan menjadi sebab dzikir dan doa di waktu mustajab[7].
Keberkahan sahur yang bersifat duniawi adalah menikmati makanan dan minuman yang halal yang disukainya dan dapat menguatkan orang yang berpuasa serta menambah semangat untuk melakukan ketaatan selama berpuasa. Demikian juga terjaga kekuatan badan dan semangat aktifitasnya.
Sunnah Mengakhirkannya
Yang sangat perlu diperhatikan dalam sahur ini dan banyak dilupakan kaum Muslimin sekarang adalah disunnahkannya memperlambat sahur sampai mendekati waktu Shubuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , beliau berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
Kami bersahur bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” [8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Ketika memperkuat badan untuk berpuasa dan menjaga semangat beraktifitas padanya termasuk tujuan makan sahur, maka termasuk hikmah adalah mengakhirkannya.[9]
Dalam hadits yang mulia di atas dijelaskan jarak waktu mulai makan sahur dengan adzan shalat Shubuh adalah seukuran orang membaca lima puluh ayat secara sedang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat[10].
Salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Sahl bin Sa’d menceritakan:
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ
Aku makan sahur bersama keluargaku, kemudian aku segera bergegas menuju masjid agar aku bisa bersujud (pada rakaat pertama shalat shubuh) bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. al-Bukhâri no. 1786)
Dengan demikian ketentuan imsak yakni menahan diri dari makan dan minum beberapa saat sebelum terbitnya fajar adalah perkara yang di ada-adakan oleh sebagian kaum Muslimin dan menyelisihi firman Allâh Azza wa Jalla :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. [al-Baqarah/2: 187]
Juga menyelisihi tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau Radhiyallahu anhum .
Para Ulama telah menegaskan bahwa hal tersebut termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama, walaupun dilakukan dengan alasan kehati-hatian dan menjaga diri dari perkara yang haram.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Termasuk kebidahan yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini berupa dikumandangkannya adzan kedua (yaitu) dua puluh menit sebelum fajar di bulan Ramadhan dan memadamkan pelita-pelita yang dijadikan sebagai tanda tidak boleh makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Ini dengan anggapan dari orang yang membuat-buatnya untuk kehati-hatian dalam ibadah dan hal ini tidak diketahui adanya kecuali oleh beberapa orang saja. Hal ini menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan hingga setelah matahari terbenam beberapa waktu untuk memastikanm waktunya dalam anggapan mereka. Lalu mereka mengakhirkan buka puasa dan mempercepat sahur serta menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit sekali kebaikan dari mereka dan banyak pada mereka keburukan. Allâhul musta’an.[11].
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allâh padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, yang artinya, “Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan !”[12]
Hukum Makan Sahur
Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.[13]
b. Larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari meninggalkannya
sebagaimana hadits Abu Sa’id yang terdahulu. Oleh karena itu, al-Hâfidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bâry (3/139) menukilkan ijma’ atas sunnahnya sahur.
Faedah Hadits:
- Perintah makan sahur bersifat sunnah.
- Sahur memiliki keberkahan
- Sahur dan keutamaannya tidak khusus pada satu jenis puasa saja bahkan umum untuk semua jenis puasa.
- Kesempurnaan Islam dalam memperhatikan keadilan
- Bagusnya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyertakan hikmah satu hukum agar mudah diterima dan menampakkan ketinggian ajaran Islam.
- Disunnahkan mengakhirkan makan sahur.
- Jarak antara makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adzan adalah sejarak bacaan lima puluh ayat.
______
Footnote:
[1] Dinukil dari Tanbîhul Afhâm, Ibnu Utsaimin, 3/36
[2] Tanbîhul Afhâm, 3/36
[3] Riwayat an-Nasai no. 2162 dengan sanad yang sahih. Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-nasaa’i dan shahih at-targhib wa at-tarhib 1096
[4] HR Riwayat Muslim.
[5] Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad 3/44 lihat sifat Shaum nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Syeikh Ali Hasan al-Halabi.
[6] Hadits Ibnu Umar ini di hasankan al-Albani dalam Shahîhut Targhîb wat Tarhîb no. 1066
[7] Khulâshatul Kalâm Syarh Umdah al-Ahkâm, hlm. 111
[8] Riwayat Bukhariy dan Muslim
[9] Tanbîhul Afhâm, 3/39
[10] Lihat penjelasannya dalam kitab Tanbîhul Afhâm, 3/39
[11] Dinukil dari Khulâshah al-Kalam, hlm. 118
[12] Fatâwâ Arkânil Islâm Syeikh ibnu Utsaimin
[13] Riwayat al-Bukhariy dan Muslim
Referensi: https://almanhaj.or.id/