Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan RasulNya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Azza wa Jalla, berpegang-teguh kepada al Qur’an dan al Hadits. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta“[Thaha/20 :123-124].
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata: “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca al Qur`an dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat”[1].
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah RasulNya“[2].
Kenyataan Umat
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk mengikuti syari’at dalam keadaan apa saja. Sedangkan syari’at telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al haq, di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al Kitab dan as Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah berkata: “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah al Qur`an dan as Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah generasiku“dst.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, fikiran dan pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang banyak. Maka barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al Kitab dan as Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka”[3].
Rujukan Memahami Nash
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql –hafizhahullah- menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) al Qur`an dan al Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al Kitab dan as Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa[4].
Al Qur`an dan as Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga di antara keduanya, sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara memahami al Kitab dan as Sunnah ialah dengan nash-nash al Kitab dan as Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan al Qur`an sebagai berikut:
- Menafsirkan al Qur`an dengan al Qur`an.
- Menafsirkan al Qur`an dengan as Sunnah.
- Menafsirkan al Qur`an dengan perkataan-perkataan para sahabat.
- Menafsirkan al Qur`an dengan perkataan-perkataan para tabi’in.
- Menafsirkan al Qur`an dengan bahasa al Qur`an dan as Sunnah, atau keumumam bahasa Arab.
Al Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan al Qur`an ialah:
- Al Qur`an ditafsirkan dengan al Qur`an. Karena apa yang disebutkan oleh al Qur`an secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam al Qur`an secara luas di tempat yang lain.
- Jika hal itu menyusahkanmu, maka engkau wajib meruju` kepada as Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi al Qur`an.
- Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dalam hal ini kita meruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al habrul al bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
- Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam meruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al Hasan al Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
- Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa al Qur`an dan as Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan al Qur`an semata-mata hanya dengan fikiran (akal), maka (hukumnya) haram”[5].
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali“[an Nisaa/4:115]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Pen) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya”.[Majmu’ Fatawa, 7/38].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in)“[6].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku“[7].
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para Khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat“[8].
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al Kitab, as Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi Ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al Kitab dan as Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syari’at (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam[9].
Namun ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan[10].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada Allah Azza wa Jalla[11]. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al Kitab dan as Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah[12]. Tetapi, Kelompok al Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan[13].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata meruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al Kitab dan as Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
______
Footnote:
[1] Tafsir ath Thabari, 16/225
[2] Hadits Shahih Lighairihi, HR Malik; al Hakim, al Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13
[3] Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim.
[4] Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan.
[5] Tafsir al Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5
[6] Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya
[7] HR Tirmidzi, no. 2565; al Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24
[8] HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al ‘Irbadh bin Sariyah
[9] Lihat: ar Rusul war Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar; Al Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan
[10] Penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arah dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz.
[11] Lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب
[12] Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M.
[13] Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz
Referensi: https://almanhaj.or.id/