Type Here to Get Search Results !

 


JUAL BELI MUKHADHARAH, HABALAH, TALJI-AH


JUAL BELI MUKHADHARAH

Yaitu menjual buah-buahan dan biji-bijian sebelum masak (matang).

Jual beli ini dilarang oleh syari’at, berdasarkan hadits dalam kitab Shahiih yang datang dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْـعِ الثِّـمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sampai (buah-buahan) tersebut nampak ma-saknya. Beliau melarang penjual maupun pembelinya.”

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ مِنَ الْعَاهَةِ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual sesuatu yang masih bertangkai sampai ia memutih dan aman dari cacat.”

Masaknya buah dapat diketahui dari beberapa hal:

1. Untuk buah kurma tanda masaknya ialah dengan memerah atau menguning, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Melarang menjual buah-buahan sampai ia masak. Dikatakan kepada Anas Radhiyallahu anhu, ‘Apa tanda masaknya buah tersebut?’ Ia menjawab, ‘Yaitu dengan memerah atau menguning.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Untuk buah anggur tanda masaknya, yaitu manis rasanya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَتَمَوَّهَ.

“Melarang menjual anggur sampai anggur tersebut manis rasanya.”

Sedangkan tanda kematangan buah-buahan yang lain ialah buah tersebut nampak matang dan enak untuk dimakan. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تَطِيْبَ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sampai (buah-buahan) tersebut bagus (matang).”

Masuk dalam larangan ini semua jenis buah-buahan.

2. Sedangkan untuk biji-bijian tanda matangnya ialah dengan semakin menua dan memutih, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila dalam sebuah pohon sudah nampak buah-buahan yang sudah masak, maka boleh dijual semuanya.”

Semua hadits-hadits yang sudah disebutkan menunjukkan adanya larangan menjual buah-buahan sebelum matang.


Beberapa catatan penting:

1. Boleh menjual buah-buahan sebelum masak dengan syarat harus dipetik untuk orang yang ingin mengambil manfaat darinya.

Contohnya: Seorang pedagang ataupun yang lainnya membutuhkan anggur yang belum masak atau kurma yang belum masak ataupun buah-buahan lainnya, maka hal itu tidak apa-apa.

2. Apabila seseorang membeli kurma (yang belum masak) dan sebelum dipanen tiba-tiba kurma tersebut tertimpa musibah sehingga memberi mudharat baginya, maka hukumnya si pembeli wajib untuk tidak menerima kurma tersebut dan boleh meminta uangnya kembali dari si penjual.

Contohnya: Buah-buahan yang siap untuk dipanen tertimpa musibah atau bencana yang tidak disebabkan oleh perbuatan manusia seperti cuaca dingin atau angin, diserang hama ataupun penyakit tanaman lainnya sehingga buah-buahan tersebut menjadi rusak, maka dalam kondisi seperti ini si pembeli berhak menarik kembali uangnya dari si penjual atau ia boleh menuntutnya.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنْ بِعْتَ ِلأَخِيْكَ تَمْرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ تَحِلَّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا لِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ.

“Jika engkau menjual kurma kepada saudaramu (sesama muslim), lalu kurma tersebut tertimpa musibah /wabah, maka tidak halal bagimu untuk mengambil (harga) darinya sedikit pun. Karena engkau tidak dibenarkan mengambil harta saudaramu sendiri.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab I’laa-mul Muwaqqi’iin, “Maksud dilarangnya jual beli buah-buahan yang belum masak, yaitu agar tidak terjadi kasus memakan harta si pembeli tanpa hak yang dibenarkan, karena buah-buahan tersebut kemungkinan bisa rusak. Allah telah melarangnya dan Allah pun menguatkan tujuan dari larangan ini dengan memberi pembelaan kepada si pembeli yang barangnya rusak karena terkena musibah setelah terjadinya jual beli yang dibolehkan. Semuanya ini dimaksudkan agar si pembeli tidak merasa dizhalimi dan hartanya tidak dimakan tanpa adanya hak yang dibenarkan.”

JUAL BELI HABALAH

Yaitu seekor unta melahirkan anak unta yang ada dalam kandungannya, kemudian unta yang telah melahirkan itu mengandung lagi.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُوْنَ لَحْمَ الْجَزُوْرِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Orang-orang Jahiliyyah biasa melakukan jual beli daging binatang sembelihan (dan akan dibayar) sampai unta melahirkan anak yang dikandungnya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka.” [HR. Muslim]

Gambarannya yaitu seseorang menjual barang dengan harga yang ditangguhkan sampai unta melahirkan anak yang dikandungnya atau sampai unta mengandung anaknya. Batas waktu pembayaran akan tiba setelah binatang yang dikandung telah dilahirkan.

Hikmah diharamkannya jual beli ini karena mengandung unsur gharar sebab tidak diketahuinya secara jelas waktu pembayarannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَسْلَفَ فِى شَيْئٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ.

“Barangsiapa meminjam atau menghutang sesuatu, maka hendaklah ia menghutangkannya dengan takaran tertentu (yang sudah jelas) hingga batas waktu tertentu.” [HR. Al-Bu-khari]

JUAL BELI TALJI-AH

Makna talji-ah ialah seseorang takut miliknya akan diambil atau dirampas secara zhalim dan semena-mena, lalu ia melakukan kesepakatan kepada seseorang sehingga ia menampakkan bahwa barang itu telah ia beli darinya agar miliknya selamat dari rampasan tersebut.

Kesepakatan mereka berdua untuk tidak melakukan jual beli yang sebenarnya, menyebabkan jual beli seperti ini menjadi bathil apabila keduanya menetapkan talji-ah atau nampaknya keterangan yang menunjukkan hal tersebut.

Jika keduanya berselisih, misalnya salah seorang dari mereka berkata, “Jual beli ini benar-benar jual beli tanpa ada unsur sandiwara,” sedangkan yang lainnya berkata, “Jual beli ini hanya sandiwara saja,” maka jual beli ini boleh namun harus disertai sumpah bagi yang mengingkarinya.

Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jual beli talji-ah adalah jual beli yang bathil, dan inilah madzhab al-Hanabilah, karena kedua orang yang melakukan akad tidak bermaksud melakukan jual beli, maka tidak sah akad dari mereka berdua. Hukum mereka berdua seperti dua orang yang sedang bercanda.

Madzhab Syafi’iyyah memandang sahnya jual beli ini, karena rukun-rukun dan syarat-syaratnya telah sempurna.

Pendapat yang aku (penulis) condong kepadanya ialah pendapat yang menyatakan bathilnya jual beli ini, karena orang pertama hanya bermaksud menjaga hartanya kepada orang lain dan keduanya pun sepakat untuk itu. Ketika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka akan menjadi jual beli yang sebenarnya dengan disertai sumpah bagi yang mengingkari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ.

“Mendatangkan bukti adalah kewajiban bagi orang yang mengklaim (menggugat) sedangkan sumpah adalah kewajiban bagi orang yang mengingkarinya.”

Jual beli ini akan sah jika keduanya menjalankan jual beli ini di antara keduanya berdasarkan kesepakatan jual beli setelah hilangnya ketakutan.

[Disalin dari Kitab Al-Buyuu’: Al-Jaa-izu minhaa wa Mamnuu’ Penulis Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, Judul dalam Bahasa Indonesia Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang, Penerjemah Ruslan Nurhadi, Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M]