Type Here to Get Search Results !

 


HUKUM MEMBACA TA'AWUDZ KETIKA SHALAT


Tulisan ini akan membahas seputar hukum yang berkaitan dengan bacaan ta’awudz ketika shalat.

Lafadz-lafadz bacaan ta’awudz
Terdapat beberapa lafadz untuk doa ta’awudz, yaitu:

Pertama, membaca:

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan mayoritas ahli qira’ah menilai bahwa lafadz inilah yang paling afdhal berdasarkan surat An-Nahl ayat 98,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98)

Kedua, membaca:

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar dan Maha mengetahui dari setan yang terkutuk.”

Imam Ahmad, Al-A’masy, Al-Hasan bin Shalih, Nafi’, Ibnu ‘Amir dan Al-Kisai rahimahumullahu Ta’ala menilai bahwa lafadz inilah yang paling afdhal.

Ketiga, membaca:

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar dan Maha mengetahui dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha mendengar dan Maha mengetahui.”

Lafadz ini diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ats-Tsauri, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushilat [41]: 36)

Keempat, membaca:

أَستعيذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Lafadz ini dipilih oleh Ibnu Sirin dan Hamzah Az-Zayyaat.

Kelima, membaca:

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ، وَنَفْخِهِ، وَنَفْثِهِ

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar dan Maha mengetahui dari setan yang terkutuk, dari gangguannya, dari tiupannya dan dari semburannya.”

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi berkata, “Setiap lafadz tersebut memiliki atsar (riwayatnya), sehingga perkara ini longgar (boleh memilih mana saja, pent.).”

Lihat pembahasan lafadz-lafadz di atas dalam Shifat Shalat Nabi (hal. 89-90), karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi dan Shahih Fiqh Sunnah (1: 332), karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.

Hukum membaca doa ta’awudz

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum membaca ta’awudz ketika shalat. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Di antara ulama kontemporer yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah adalah Syaikh Masyhur Hasan Salman (Al-Qaulul Mubiin, hal. 109).

Sebagian ulama yang lain, di antaranya adalah ‘Atha’, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullahu Ta’ala, menyatakan bahwa hukum membacanya adalah wajib. (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 331)

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98)

Ayat di atas menunjukkan perintah untuk meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala ketika hendak membaca Al-Qur’an. Dan sebagaimana kita ketahui dalam ilmu ushul fiqh bahwa hukum asal perintah adalah wajib.

Dari dua pendapat di atas, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan sunnah. Hal ini karena terdapat dalil yang memalingkan perintah Allah Ta’ala dalam surat An-Nahl ayat 98 dari hukum asal wajib menjadi sunnah (dianjurkan).

Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah-tengah kami dan saat itu beliau dalam keadaan tidur ringan (tidak nyenyak). Lantas beliau mengangkat kepala dan tersenyum. Kami pun bertanya, “Mengapa Engkau tertawa, wahai Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Baru saja turun kepadaku suatu surat.” Lalu beliau membaca,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَر

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS. Al-Kautsar: 1-3).” (HR. Muslim no. 400)

Dalam kisah turunnya surat Al-Kautsar di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Kautsar tanpa membaca ta’awudz terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa hukum membaca ta’awudz sebelum membaca Al-Qur’an tidak sampai derajat wajib. Wallahu Ta’ala a’lam.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan sunnah.” (Shifat Shalat Nabi, hal. 90)

Membaca doa ta’awudz dengan lirih

Hukum asal membaca doa ta’awudz adalah dibaca dengan suara lirih (sirr). Hal ini karena tidak pernah dikabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membaca doa tersebut dengan keras (jahr). Demikian pula, tidak terdapat riwayat dari para khulafaur rasyidin bahwa mereka mengeraskan bacaan doa tersebut ketika shalat.

Akan tetapi, diperbolehkan bagi imam untuk sesekali mengeraskan bacaan tersebut dalam rangka memberikan contoh atau pengajaran kepada para makmum. (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 332)

Apakah bacaan ta’awudz disyariatkan untuk dibaca di setiap raka’at?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa doa ta’awudz cukup dibaca di raka’at pertama, dan tidak perlu diulang di raka’at-raka’at berikutnya. Sedangkan para ulama yang lainnya menganjurkan untuk membaca doa ta’awudz di setiap raka’at sebelum membaca Al-Qur’an.

Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim berkata, “Sisi pendalilan (dianjurkannya membaca setiap raka’at) adalah bahwa ayat di atas menunjukkan (menuntut) diulangnya doa ta’awudz setiap kali mengulang bacaan Al-Qur’an. Ketika terdapat jeda (pemisah) antara dua bacaan Al-Qur’an (antara rakaat pertama, ke dua, dan seterusnya, pent.) dengan ruku’, sujud, dan semisalnya, maka disyariatkan untuk membaca doa ta’awudz.” (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 332)

Syaikh Masyhur Hasan Salman hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Yang tampak (baca: dzahir) adalah disyariatkannya membaca doa isti’adzah di setiap raka’at, berdasarkan cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98)

Inilah pendapat terkuat dalam madzhab Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm.” (Al-Qaulul Mubiin, hal. 109)

Bulughul Maram – Shalat: Cara Baca Ta’awudz dalam Shalat Lengkap dengan Arti dan Kandungannya

Bagaimana cara membaca ta’awudz dalam shalat dan kapan membacanya? Kali ini bisa digali ilmu dari hadits Bulughul Maram.

Bacaan Ta’awudz dalam Shalat

Hadits #273

وَنَحْوُهُ عَنْ أَبي سَعِيدٍ مَرْفُوعاً عِنْدَ الْخَمْسَةِ.

وَفِيهِ: وَكَانَ يَقُولُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ: «أَعُوذُ بِالله السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ، وَنَفْخِهِ، وَنَفْثِهِ».

Hadits yang serupa dari Abu Sa’id Al-Khudri secara marfu’ yang diriwayatkan oleh imam yang lima, disebutkan di dalamnya, “Beliau biasanya setelah takbir membaca:

“A’UDZU BILLAHIS SAMII’IL ‘ALIIM MINASY SYAITHOONIR ROJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIH (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari gangguan setan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan syair atau sihirnya).” [HR. Abu Daud, no. 775; Tirmidzi,no. 242; An-Nasai, 2:132; Ibnu Majah, no. 804; Ahmad, 8:51. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini memiliki penguat dari hadits Jubair bin Muth’im, ‘Umar bin Al-Khatthab, Abu Umamah, Ibnu Mas’ud, dan selainnya. Namun, dalam sanadnya ada kritikan. Al-Qur’an sendiri menyebutkan lafaz ta’awudz tanpa tambahan seperti di hadits ini].

Penjelasan mengenai bacaan ta’awudz di atas:

Ta’awudz artinya melarikan diri dari sesuatu yang ditakuti kepada sesuatu yang bisa memberikan perlindungan.

Syaithon adalah isim mufrad dari jenis syayathin. Syaithon berasal dari kata syathona yang berarti ba’uda (jauh). Karena setan itu jauh dari kebenaran dan kebaikan, sifatnya itu durhaka.

Ar-rojiim mengikuti wazan fa’iilun bermakna maf’uulun, yaitu marjuumun (dilempar). Setan disebut demikian karena ia dilempar saat mencuri berita, atau makna lainnya adalah dilempar dengan laknat (terkena laknat), tidak mendapatkan rahmat. Ar-rojiim bisa pula bermakna faa’ilun, roojimun (melempar), yang berarti setan itu melemparkan kesesatan pada manusia, menghiasi mereka dengan kesesatan, dan menyukai kerusakan pada mereka.

Hamz artinya muutah yaitu sejenis gila dan kesurupan. Setan disebut demikian karena setan itu jadi sebab seseorang menjadi gila dan kesurupan.

Nafkh artinya kibr (sombong) yaitu setan itu membisik pada manusia hingga ia merasa dirinya itu di atas, akhirnya merendahkan yang lain.

Nafts artinya syi’ir (syair) karena seperti sesuatu yang disemburkan oleh manusia dari mulutnya. Setan itu membuat para penyair menyanjung, mencela, mengagungkan, dan merendahkan bukan pada tempatnya. Nafts juga dapat diartikan dengan sihir sebagaimana maksud dari turunnya ayat,

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

“Dan dari kejahatan tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (QS. Al-Falaq: 4)

Faedah hadits:

Hadits ini jadi dalil mengenai syariat membaca ta’awudz sebelum membaca surah dengan lafaz seperti dalam hadits.
Hukum bacaan ta’awudz adalah sunnah sebelum membaca surah dalam shalat maupun di luar shalat. Inilah pendapat jumhur ulama.

Maksud membaca ta’awudz sebelum membaca surah adalah di rakaat pertama, bukan dibaca pada saat mau atau sebelum takbiratul ihram. Karena bacaan ta’awudz maksudnya adalah untuk qiro’ah (membaca surah), bukan maksudnya untuk mengerjakan shalat.

Itulah yang dimaksud dengan firman Allah,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

Tujuan membaca ta’awudz ketika mulai membaca surah adalah untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan agar ia menjauh dari hati orang yang membaca kitabullah, sehingga si pembaca Al-Qur’an mudah mentadaburi, memahami makna, serta mengambil manfaat dari Al-Qur’an.

Lafaz ta’awudz bisa dengan tiga bentuk:

(a) A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHOONIR ROJIIM, 

(b) A’UDZU BILLAHIS SAMII’IL ‘ALIIM MINASY SYAITHOONIR ROJIIM, 

(c) A’UDZU BILLAHIS SAMII’IL ‘ALIIM MINASY SYAITHOONIR ROJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIH. 

Semua lafaz ini ada dalilnya. Kaidah yang patut diingat, “Ibadah yang dalilnya menjelaskan berbagai variasi, maka bisa diamalkan yang ini dan yang itu secara bergantian. Mengamalkan secara bergantian itu baik.”

Ta’awudz hanya dibaca di rakaat pertama, tidak diulang setiap rakaat. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Imam Syafii.
 
Terkait hukum fikih ta’awudz:

1. Ta’awudz itu dibaca sirr walaupun di shalat jahriyah (Maghrib, Isya, Shubuh).

2. Disunnahkan membacanya pada setiap rakaat menurut pendapat resmi madzhab Syafii. Namun, ada pendapat juga yang menyuruh dibaca pada rakaat pertama saja.’

3. Disunnahkan membaca taawudz ketika di luar shalat saat membaca Al-Qu’ran.

4. Membaca ta’awudz itu bagian dari sunnah hay’ah, jika ditinggalkan, tidak perlu sujud sahwi.

Penulis: 
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  
___

Referensi:
  1. Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:28-29.
  2. Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Dr. Muhammad Musthofa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan.


Manhajus Salikin: Sifat Shalat Nabi, Membaca Ta’awudz dan Basmalah

Sekarang kita lihat lanjutan Sifat Shalat Nabi yang dibahas oleh Syaikh As-Sa’di. Dan ada tambahan penjelasan ulama mengenai hal ini.

Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,

ثُمَّ يَتَعَّوَذُ وَيُبَسْمِلُ

“Kemudian membaca ta’awudz dan basmalah.

Membaca Ta’awudz

Setelah membaca doa istiftah, disunnahkan membaca ta’awudz secara sirr (lirih) pada awal shalat ketika memulai qiraah (membaca surah).

Ta’awudz yang bisa dibaca,

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

“A’UDZU BILLAHIS SAMII’IL ‘ALIIM, MINASY SYAITHOONIR ROJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIH (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari gangguan setan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela–atau syair atau sihirnya–).” (HR. Abu Daud, no. 775 dan Tirmidzi, no. 242. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan sanad hadits ini hasan. Pengertian “min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih“, lihat KitabShifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah, hlm. 104. Lihat pula catatan kaki dalam Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin, 1:212).

Bisa pula mencukupkan ta’awudz dengan membaca,

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM (artinya: aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).” Hal ini berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan membaca ta’awudz baik di dalam maupun di luar shalat ketika memulai membaca Al-Quran,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98). (Lihat Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah, hlm. 101).

Ta’awudz dibaca pada rakaat pertama sebelum memulai membaca surah setelah membaca doa istiftah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika seseorang meninggalkan membaca ta’awudz di rakaat pertama, maka  hendaklah ia membacanya di rakaat kedua.” (Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdahkarya Ibnu Taimiyah, hlm. 97).

Menurut ulama dalam madzhab Syafi’i, ta’awudz dibaca setiap rakaat. Ini pendapat dalam madzhab Syafi’i yang dinilai lebih kuat. Lihat At-Tibyan, hlm. 85.

Membaca Basmalah

Basmalah baiknya tidak dikeraskan (sirr atau lirih), bacaannya,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa membuka shalatnya dengan takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim, no. 498).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas dalam ‘Umdah Al-Ahkam, beliau berkata, “Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah tidaklah dijahrkan (dikeraskan).” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 161).

Juga dalil lainnya adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim‘.”(HR. Muslim, no. 399).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surah Al-Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak dikeraskan).” (Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hlm. 105).

Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc  

 _____

Referensi:
  1. At-Tibyan fii Adab Hamalah Al-Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1426 H. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Tahqiq: Abu ‘Abdillah Ahmad bin Ibrahim Abul ‘Ainain. Penerbit Maktabah Ibnu ‘Abbas.
  2. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  3. Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah. Cetakan pertama, tahun 1429 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul ‘Ashimah.
  4. Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Cetakan ketiga, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath-Tharifi. Penerbit Maktabah Darul Minhaj.
  5. Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  6. Syarh Umdah Al-Ahkam. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Darut Tauhid.