Type Here to Get Search Results !

 


HADIAH MURID KEPADA DOSEN ATAU GURU

 

Pertanyaan

Bolehkah memberi hadiah untuk guru di sekolah atau dosen di kampus ketika masih menjadi murid atau mahasiswa?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Dari Abu Humaid As Sa’idi radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

هَدايا العُمَّالِ غُلولٌ

“Hadiah untuk pegawai adalah ghulul (harta khianat)” (HR. Ahmad no.23601, Al-Bazzar no.3723, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no.7021). 

Ghulul dalam hadits ini maknanya adalah harta yang didapatkan dari sikap khianat atau melanggar amanah. Disebutkan dalam ‘Umdatul Qari :

قال ابن الأثير: الغلول هو الخيانة في المغنم، والسرقة في الغنيمة قبل القسمة، وكل من خان في شيء خفية فقد غل، وسميت غلولا

“Ibnu Atsir mengatakan: Ghulul adalah khianat dalam ghanimah dan mencuri harta ghanimah sebelum dibagikan (oleh ulil amri). Dan semua yang berkhianat dalam segala sesuatu maka ia telah melakukan ghulul” (Umdatul Qari, 15/6).

Hadits di atas asalnya berlaku untuk pegawai negara. Karena hadits di atas diriwayatkan dengan lafadz lain:

هدايا الأمراءِ غُلولٌ

“Hadiah untuk para pemimpin negara adalah ghulul (harta khianat)”.

Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan:

لأنها لا تكون إلا لأجل خيانة في ما إليهم من الأعمال، فإذا أهدي العامل للأمير أو أهدي الرعية للعامل فهو لبيت المال كما سلف ولا يحل للعامل قبولها لكن إن قبلها صارت لبيت المال

“Karena hadiah tersebut tidaklah diberikan kecuali karena pelanggaran amanah yang mereka lakukan dalam pekerjaan. Maka jika pemimpin negara diberi hadiah oleh pegawainya, atau pegawai negara diberi hadiah oleh rakyatnya, maka harta tersebut milik Baitul Mal sebagaimana yang terjadi di zaman salaf. Tidak halal bagi sang pegawai negara untuk menerimanya. Namun jika ia terima hadiah tersebut, harus diserahkan ke Baitul Mal” (At-Tanwir Syarah Al-Jami’ Ash-Shaghir, 11/19).

Demikian juga hadiah kepada pegawai jika untuk melakukan perkara yang termasuk pelanggaran amanah, maka ia termasuk risywah. Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لعنةُ اللَّهِ علَى الرَّاشي والمُرتَشي

“Laknat Allah terhadap orang yang memberi suap dan menerima suap” (HR. Ibnu Majah no. 1885, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Oleh karena itu terlarang secara mutlak bagi pegawai negara apapun bidang pekerjaannya untuk menerima hadiah dari rakyat atas pekerjaan yang ia lakukan. Dikuatkan juga dengan hadits Adi bin Umairah Al-Kindi radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ استَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مَخِيطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا، يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan, lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau yang lebih berharga dari itu, maka itu adalah ghulul (harta khianat) yang akan ia pikul pada hari kiamat” (HR. Muslim no. 3415).

Dalam hadits ini disebutkan “yang kami tugaskan”, maksudnya ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berupa tugas negara. 

Dari Buraidah Al-Aslami radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

“Barang siapa yang kami pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu ia mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut, maka apapun yang ia dapatkan (hadiah atau tips) dari pekerjaan tersebut itulah yang disebut ghulul (hadiah khianat)” (HR. Abu Daud no.2943, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits di atas berlaku bagi pegawai negeri maupun pegawai swasta ketika hadiah atas pekerjaan yang ia lakukan, yang diberikan bisa menyebabkan pelanggaran amanah. Karena terdapat dalam hadits yang lain

Syaikh Dr. Khalid Al-Mushlih hafizhahullah menjelaskan:

فهذهِ النصوصُ بمجموعِها تدلُ على أنَّ الأصلَ في الهدايا التي تمنحُ للعمالِ والموظفينَ سواءٌ أكانُوا في القطاعِ العامِ كموظفِي الدولةِ، أمْ في القطاعِ الخاصِ كموظفِي الشركاتِ والمؤسساتِ، المنعُ والتحريمُ بذلًا وقبولًا … ولا غرْوَ فإنَّ قبولَ تلكَ الهدايا منْ أكبرِ أسبابِ ضياعِ الأمانةِ وفتحِ بابِ الاتجارِ بمصالحِ الناسِ، والإخلالِ بالواجباتِ والتورطِ في أنواعِ الفسادِ الإداريِّ والوظيفيِّ

“Nash-nash di atas secara keseluruhannya menunjukkan bahwa hukum asalnya hadiah yang diberikan kepada pekerja dan pegawai, baik pegawai yang mengurusi urusan orang banyak seperti pegawai negeri, maupun pegawai yang mengurusi urusan khusus seperti pegawai swasta dan yayasan, maka haram untuk memberi mereka hadiah dan haram untuk menerimanya … dan tidak diragukan lagi bahwa menerima hadiah-hadiah tersebut termasuk sebab yang terbesar terjadinya pelanggaran amanah dan membuka pintu komersialisasi pelayanan masyarakat, pelanggaran kewajiban, dan membawa kepada berbagai macam kerusakan dalam manajemen dan tanggung jawab” (Website: Syaikh Khalid Al Mushlih).

Namun jika hadiah yang diberikan tersebut kepada pegawai swasta dan tidak ada potensi timbul kezaliman serta pelanggaran amanah, dan atas izin dari atasan, maka dibolehkan. 

Syaikh Abdurrahman Al-Barrak menjelaskan:

لا يجوز إعطاء العامل هذه الزيادة لأنها تعتبر رشوة منك للعامل حتى يعطيك من الخدمة أو الطعام أكثر مما يعطي غيرك ممن لا يدفع له هذه الزيادة ، وليس للعامل أن يخص أحداً بمزيد خدمة ، وعليه أن يعامل الناس معاملة واحدة . لكن .. إذا انتفت من هذه الزيادة شبهة الرشوة أو المحاباة فإنه لا حرج فيها حينئذ. كما لو قصدت بها الإحسان إلى هذا العامل الضعيف المحتاج وأنت لن تتردد على هذا المطعم

“Tidak boleh memberikan hadiah kepada pekerja berupa uang tip, karena ini termasuk risywah (uang suap). Walaupun ia memberikan bonus makanan atau bonus pelayanan, maka Anda tetap tidak boleh memberikan uang tip tersebut. Dan tidak boleh seorang pegawai mengkhususkan pelayanan kepada pelanggan tertentu. Wajib baginya untuk melayani semua pelanggan dengan kadar pelayanan yang sama. Namun jika tidak ada potensi risywah dan kecenderungan hati dari uang tip ini, maka tidak mengapa mengambilnya. Sebagaimana jika Anda bermaksud untuk berbuat baik kepada pegawai ini, dikarenakan ia orang miskin yang membutuhkan dan Anda bukan orang yang bolak-balik ke restoran tersebut”.

(Dinukil dari Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.82497).

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

قال أحمد في رواية مهنا: إذا دفع إلى رجل ثوبا ليبيعه، ففعل، فوهب له المشتري منديلا، فالمنديل لصاحب الثوب

“Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Jika seorang pegawai toko menjual baju kepada pembeli. Kemudian setelah itu pembeli menghadiahkan sapu tangan untuk pegawai, maka sapu tangan tersebut adalah milik si pemilik toko” (Al-Mughni, 5/82).

Oleh karena itu uang tip dengan syarat-syarat di atas juga diharuskan atas persetujuan pemilik perusahaan. Karena uang tip tersebut pada asalnya adalah milik si pemilik perusahaan. Kesimpulannya, hadiah atau uang tip boleh diambil jika terpenuhi:

  1.     Bukan pegawai negeri
  2.     Tidak ada potensi zalim, kecondongan pada pelanggan tertentu dan pelanggaran amanah
  3.     Diizinkan oleh perusahaan.

Hadiah Murid kepada Guru di Sekolah 

Jika melihat penjelasan di atas, maka terlarang bagi guru yang berstatus pegawai negara untuk menerima hadiah dalam bentuk apapun dari murid atau wali murid.

Adapun guru yang berstatus pegawai swasta, Syaikh Abdullah bin Jibrin dalam kumpulan fatwa beliau seputar pendidikan, beliau ditanya tentang hukum guru menerima hadiah dari murid. Beliau menjawab, “Menurut saya, hendaknya tidak menerima hadiah demikian. Sehingga bisa menjauhkan diri dari prasangka-prasangka, lebih menyelamatkan diri dan lebih menjauhkan diri dari pilih kasih dan kezaliman. Walaupun hadiah tersebut sedikit dan nilainya kecil, seperti pena, buku tulis, penghapus, dan semisalnya. Apalagi jika nilainya besar, seperti jam tangan, buku bacaan, atau pakaian. Lebih utama tidak menerimanya walaupun merasa aman dirinya tidak akan pilih kasih dan tidak akan zalim kepada anak-anak murid. Karena jiwa kita itu secara intuitif akan mencintai orang yang berbuat baik kepada kita, dan akan timbul prasangka buruk dari orang lain. Sehingga jika sang murid yang memberikan hadiah tadi mendapat nilai bagus atau diberi penghargaan oleh guru, orang-orang akan menyangka bahwa itu disebabkan oleh hadiah yang pernah ia berikan. Atau ketika sang murid telat hadir atau absen, kemudian gurunya memaafkannya, orang-orang akan menyangka bahwa itu disebabkan oleh hadiah yang pernah ia berikan” (Al-Ajwibah Al-Fiqhiyah alal Asilah At-Ta’limiyah At-Tarbawiyah, hal. 96).

Maka hukum asalnya terlarang murid atau wali murid memberikan hadiah kepada guru atau dosen di sekolah dan guru atau dosen terlarang menerimanya. Karena dua alasan:

1. Menutup potensi kezaliman, pilih kasih dan suap.

2. Menutup potensi adanya tuduhan kepada sang guru 

Namun Syaikh Abdullah bin Jibrin di kitab yang sama memberikan toleransi untuk beberapa model hadiah berikut:

1. Yang nilainya sangat kecil. Seperti murid memboncengkan gurunya naik kendaraan, atau membawakan barangnya, atau membawakan sendalnya, ketika memang ada kebutuhan.

2. Pelayanan sebagai pemuliaan kepada sang guru, seperti mengutamakan sang guru untuk duduk di depan dalam majelis, memberikan tempat duduknya untuk sang guru, pujian kepada sang guru dan semisalnya.

3. Hadiah yang biasa diberikan secara adat, seperti hadiah ketika sang guru menikah, ketika sang guru kelahiran anak dan semisalnya dengan nilai yang wajar.

4. Hadiah dalam rangka membalas hadiah dari gurunya, ketika sebelumnya sang guru memberikan hadiah.

(Diringkas dari kitab Al-Ajwibah Al-Fiqhiyah alal Asilah At-Ta’limiyah At-Tarbawiyah, hal. 96 – 97).

Bagaimana jika Hadiah Diberikan oleh Seluruh Murid dan di Akhir Tahun?

Pernah ditanyakan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz, “Salah seorang saudari kita bertanya bolehkah guru menerima hadiah dari banyak murid? Jika tidak boleh, apakah boleh hadiah diberikan setelah selesai tahun ajaran dan telah selesai pembagian rapor?”

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:

الذي ينبغي للمعلمة ترك قبول الهدايا؛ لأنها قد تجرها إلى الحيف، وعدم النصح في حق من لم يهد والزيادة في حق المهدية والغش

Hendaknya para guru tidak menerima hadiah yang demikian. Karena itu terkadang membawa kepada sikap pilih kasih, dan tidak ada semangat untuk memberi nasehat kepada yang tidak memberi hadiah. Dan lebih semangat memberi nasehat kepada yang memberi hadiah saja. Dan berpotensi timbul kecurangan.

فالأحوط للمؤمنة في هذا أن لا تقبل الهدية من الطالبات بالكلية؛ لأن ذلك قد يفضي إلى ما لا تحمد عقباه، والمؤمن يحتاط لدينه ويبتعد عن أسباب الريبة والخطر

Yang lebih hati-hati hendaknya guru yang beriman kepada Allah tidak menerima hadiah dari muridnya secara mutlak. Karena perbuatan demikian akan membawa kepada perkara yang tidak diinginkan akibatnya. Orang yang beriman itu berhati-hati menjaga agamanya dan meninggalkan sebab-sebab yang dapat menimbulkan keraguan dan bahaya. 

أما بعد انتقالها من المدرسة إلى مدرسة أخرى فلا يضر ذلك

Adapun memberi hadiah kepada guru ketika guru sudah pindah untuk mengajar di sekolah lain, maka ini tidak berbahaya.

(Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/22672)

Syaikh Abdullah bin Jibrin pernah ditanya, “Bolehkan guru menerima hadiah yang merupakan patungan dari semua murid di kelas?”.

Syaikh Abdullah bin Jibrin menjawab:

أرى أن ذلك يدخل في المنع فالعلة المخوفة موجودة حيث إن تلك الهدية تقع منها موقعًا كبير أو صغيرًا ويكون من آثاره تغاضيها عن الطالبات أو حميتها لهن أو منحهن فوق حقهن من الدرجات

Menurut saya perbuatan demikian termasuk yang dilarang. Karena illah yang dikhawatirkan tetap ada. Sebab hadiah tersebut, baik kecil maupun besar, di antara pengaruhnya akan timbul toleransi terhadap kesalahan murid dan membela kesalahan mereka, atau memberikan nilai kepada mereka melebihi hak mereka.

لكن إذا انتهين من المرحلة وعرفن فراق هذه المعلمة جازت الهدية مكافأة على نصحها وإخلاصها في العمل ولزوال المحذور. والله أعلم

Namun jika sang murid sudah lulus dan berpisah dari sang guru, maka boleh memberikan hadiah kepada guru sebagai balas jasa atas nasehatnya selama ini dan keikhlasannya dalam mengajar, dan ini dibolehkan karena sudah hilang bahaya yang dikhawatirkan. Wallahu a’lam.

(Sumber: https://cms.ibn-jebreen.com/fatwa/home/view/3432).

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. 

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Sumber: https://konsultasisyariah.com/