Type Here to Get Search Results !

 


ANJURAN UNTUK MENIKAH


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ ، قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan).Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad (I/378, 424, 425, 432); Al-Bukhâri (no. 1905, 5065, 5066);  Muslim (no. 1400); At-Tirmidzi (no. 1081); An-Nasa-i (VI/56, 57); Ibnu Majah (no. 1845); Ad-Darimi (II/132); Al-Baihaqi (VII/77).

KOSA-KATA HADITS

    مَعْشَر : yaitu kelompok yang mencakup suatu sifat. Seperti sekolompok para pemuda, sekelompok orang tua, sekelompok wanita, dan sebagainya.
    اَلشَّبَاب : jamak dari شَابٌّ (syâbbun), yaitu orang yang sudah memasuki usia baligh sampai usia umur 40
    اَلْبَاءَة : yaitu jima’. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama berbeda pendapat tentang makna al-bâ-ah di sini menjadi dua pendapat…pendapat yang paling benar dari keduanya ialah bahwa al-bâ-ah secara bahasa ialah al-jima’ (kemampuan untuk bersetubuh)… sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa maknanya ialah biaya pernikahan.”[1]

Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullah berkata, ”Tidak mengapa memahami kata al-bâ-ah dengan pengertian yang lebih umum, sehingga maksud dari al-bâ-ah ialah kemampuan untuk berjima’ dan biaya pernikahan.”[2]

Yang dimaksud dengan al-bâ-ah dalam hadits ini ialah bersetubuh dan mencakup pula kemampuan untuk mengeluarkan biaya pernikahan berupa nafkah, mahar, dan selainnya.[3]

    أَغَضُّ : dari kata kerja غَضَّ (ghadhdha), dikatakan غَضَّ طَرَفَهُyaitu merendahkan, menghalangi dan menjaga matanya dari semua yang tidak halal dilihat.
    أَحْصَنُ : dari kata kerja حَصَنَ, yaitu melindungi.
    اَلْوِجَاء : asalnya yaitu meremukkan biji pelir, ada yang mengatakan meremukkan pangkalnya dan biji pelirnya tetap ada seperti sedia kala agar hilang syahwatnya untuk berjima’. Maksudnya di sini, yaitu bahwa puasa dapat mengurangi syahwat dan menjaga diri dari keburukan syahwat.[4]

SYARAH HADITS

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk segera menikah agar mereka tidak terjebak dalam kubangan maksiat, tidak menuruti hawa nafsu dan syahwatnya. Karena banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan.

Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu , (لَنَا) “Kepada kami,” yaitu kami para pemuda, sekumpulan para shahabat yang masih belia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan para pemuda karena mereka memang butuh untuk diarahkan dan terkadang para pemuda juga memiliki pemikiran pendek, syahwat mereka lebih besar daripada orang yang sudah tua.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ

Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah
Al-Bâ-ah mencakup kemampuan badan dan kemampuan harta. Karena seorang pemuda jika ia tidak memiliki kemampuan fisik, maka ia tidak membutuhkan nikah. Dan jika ia memiliki kemampuan badan tetapi tidak memiliki harta, maka ia tidak memiliki kemampuan untuk menikah.

Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa makna al-istithâ’ah (kemampuan) di sini yaitu kemampuan harta saja, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ

Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa)

Keterangan ini menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan badan, tetapi ia tidak memiliki harta.

 Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (فَلْيَتَزَوَّجْ) “Maka menikahlah,” ini merupakan jawaban dari (مَنْ) “Barangsiapa”, oleh karena itu, kalimat falyatazawwaj diawali dengan dengan huruf fa’.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

Lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa pernikahan itu bisa memperbanyak anak, walaupun nikah itu memang bisa lebih memperbanyak anak, karena keinginan terbesar bagi kebanyakan pemuda yaitu apa yang dapat membuat mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan faidah yang agung, yaitu memperbanyak anak, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada para pemuda, dan yang paling penting bagi mereka adalah kedua hal tersebut.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (أَغَضُّ لِلْبَصَرِ) lebih menundukkan pandangan
Yaitu pernikahan itu sangat membantu untuk bisa menundukkan pandangan. Masalah ini telah teruji, bahwa seseorang jika sudah menikah, maka ia akan menundukkan pandangannya dari melihat wanita yang bukan mahramnya. Adapun sebelum menikah, maka dikhawatirkan ia akan terus melihat kepada wanita, karena Allâh Azza wa Jalla memberikan tabiat seperti itu kepada mereka. Tetapi jika ia memiliki iman yang kuat, maka itu akan mencegahnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka.Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [an-Nûr/24:30]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ) “dan lebih membentengi farji (kemaluan)”
Dinamakan اَلْحِصْنُ (benteng) karena pernikahan bisa menjaga yang ada di dalamnya dari perkara-perkara yang haram, serta mencegah manusia dari berbuat keji. Karena itulah jika seseorang melihat wanita yang membuat ia menjadi takjub, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk mendatangi isterinya.[5]

Diriwayatkan dari Jâbir Radhiyallahu anhu :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً، فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيْئَةً لَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: (إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي ْصُوْرَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي ْنَفْسِهِ).

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita, kemudian Beliau mendatangi isterinya, Zainab, yang sedang menyamak kulit, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesaikan hajatnya dan keluar menuju para shahabatnya, kemudian bersabda, ‘Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam bentuk setan dan membelakangi dalam bentuk setan. Maka jika seseorang dari kalian melihat wanita, hendaklah dia mendatangi isterinya, karena itu dapat menolak apa yang terlintas dalam jiwanya.’”[6]

Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan al-Qur’ân dan as-Sunnah sebagai sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.

Shahabat Anas bin Mâlik  Radhiyallahu anhu berkata, “Telah bersabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدِ اسْتَـكْمَلَ نِصْفَ الْإِيْمَـانِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِـي النِّصْفِ الْبَاقِى.

Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allâh dalam memelihara yang separuhnya lagi.[7]

Imam al-Munâwi rahimahullah berkata, ”Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi takwa ke dalam dua bagian ; satu  bagian (dapat diraih) dengan menikah dan satu bagian lagi dengan selainnya. Abu Hâtim berkata, ’Secara umum yang menguasai agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya, dan salah satu dari keduanya itu dapat dicukupi dengan menikah.’”[8]

Dalam lafazh yang lain disebutkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِـحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ اللهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِـي الشَّطْرِ الثَّانِىْ.

Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allâh dengan wanita (istri) yang shalihah, maka sungguh Allâh telah membantunya untuk melaksanakan separuh agamanya.Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allâh dalam menjaga separuhnya lagi.[9]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ، وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا، وَيَقُوْلُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ ،فَإِنِّـيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menikah dan melarang membujang[10] dengan larangan yang keras, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Nikahilah wanita penyayang dan subur. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya ummatku di hadapan para Nabi pada hari Kiamat.’”[11]

Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat Radhiyallahu anhu datang bertanya kepada istri-istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka. Salah seorang dari mereka mengatakan, “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat yang lain berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-lamanya….” Ketika hal itu terdengar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya bersabda:

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّـيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّـي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِـيْ فَلَيْسَ مِنِّـيْ.

Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh, sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allâh dan paling takwa kepada-Nya di antarakalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka(tidak berpuasa), aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai Sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.[12]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلنِّـكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَـمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِـيْ فَلَيْسَ مِنِّـيْ ، وَتَزَوَّجُوْا ،فَإِنِّـيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ ، وَمَنْ لَـمْ يَـجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ.

Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa enggan melaksanakan Sunnahku, ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh ummat. Barangsiapa memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).”[13]

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تَزَوَّجُوْا ، فَإِنِّـيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَلَا تَكُوْنُوْا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى

Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku akanmembanggakan banyaknya jumlah kalian kepadaummat-ummat lainnya pada hari Kiamat. Dan janganlah kalian menyerupai para pendeta Nasrani.”[14]

Orang yang mempunyai akal dan bashirah (hati) tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Sesungguhnya, hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak memiliki makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani, yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Diri-diri mereka selalu berada dalam pergolakan melawan fitrahnya. Kendati pun ketakwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lambat laun akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan, kecuali jika ada sebab yang syar’i, seperti adanya penyakit atau lainnya, maka kita serahkan kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan apabila ada yang berkata bahwa ada Ulama yang tidak menikah, maka kita tidak mengetahui alasan mereka sedangkan yang menjadi tolok ukur dan teladan kita adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum.

Jadi orang yang enggan menikah, baik itu laki-laki atau wanita, mereka sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan biologis maupun spiritual. Bisa jadi mereka bergelimang dengan harta, namun mereka miskin dari karunia Allâh Azza wa Jalla .

Islam menolak sistem ke-rahib-an (kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan, sikap itu berarti melawan Sunnah dan kodrat Allâh yang telah ditetapkan bagi makhluk-Nya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang yang jahil (bodoh). Karena, seluruh rezeki telah diatur oleh Allâh Azza wa Jalla sejak manusia berada di alam rahim.

Manusia tidak akan mampu menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allâh Azza wa Jalla , misalnya ia mengatakan: “Jika saya hidup sendiri gaji saya cukup, akan tetapi kalau nanti punya istri gaji saya tidak akan cukup!”

Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan al-Qur’ânul Karîm dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menikah, dan seandainya mereka faqir niscaya Allâh Azza wa Jalla akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya.

Allâh Azza wa Jalla menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang menikah, dalam firman-Nya:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allâh akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [an-Nûr/24:32]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang janji Allâh Azza wa Jalla tersebut melalui sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْـمُجَاهِدُ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ ، وَالْـمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ الْأَدَاءَ ، وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ.

Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allâh: (1) mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allâh), (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.”[15]

Para Salafush Shalih sangat menganjurkan untuk menikah dan mereka benci membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Carilah karunia (kecukupan) dengan menikah.” Lalu beliau membaca ayat:

إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

… Jika mereka miskin, Allâh akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” [an-Nûr/24:32][16]

Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu pernah berkata, “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah. Aku ingin pada malam-malam yang tersisa bersama seorang istri yang tidak berpisah dariku.”[17]

Dari Sa’id bin Jubair rahimahullah, ia berkata:

قَالَ لِـيْ ابْنُ عَبَّاسٍ : هَلْ تَزَوَّجْتَ ؟ قُلْتُ : لَا ، قَالَ: فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً.

“Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Beliau kembali berkata, ‘Nikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah yang paling banyak istrinya.’”[18]

Ibrahim bin Maisarah rahimahullah berkata, “Thâwus berkata kepadaku, ‘Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau kejahatan (banyaknya dosa).’”[19]

Thâwus rahimahullah juga berkata, “Tidak sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.”[20]

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, ”Perumpamaan orang yang belum menikah ialah seperti pohon yang ditiup angin yang berada di tengah padang pasir yang dibolak-balikkan oleh angin seperti ini dan seperti itu.”[21]

Mudah-mudahan bagi laki-laki dan wanita yang belum menikah dimudahkan Allâh Azza wa Jalla untuk mendapatkan jodoh yang shalih dan shalihah, serta dimudahkan untuk segera menikah. Dan mereka harus yakin bahwa Allâh Azza wa Jalla pasti akan menolong hamba-Nya yang ingin menjaga dirinya dengan menikah.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ) “Dan barangsiapa yang tidak mampu,”
Yakni yang tidak memiliki harta untuk menikah, maka hendaklah ia berpuasa.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (بِالصَّوْمِ) “berpuasa,” yaitu hendaklah ia berpuasa.

Yang dimaksud dengan shaum di sini yaitu tidak makan dan minum dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Yaitu shaum yang syar’i, bukan shaum secara bahasa, karena sebuah kaidah mengatakan bahwa perkataan seseorang itu dilihat dari ‘urf (adat/kebiasaan). Maka jika perkataan tersebut datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dihukumi sesuai syar’i, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pembawa syari’at. Adapun jika perkataan datang dari orang biasa, maka dihukumi dengan makna secara bahasa.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : (فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ) “karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
Yakni bahwa puasa dapat menahan syahwatnya, jadi seseorang tidak lelah karenanya.

Apabila seseorang belum mampu untuk menikah, maka hendaklah ia berpuasa, bersabar, berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla , dan ikhtiar mencari rezeki untuk mencukupi biaya pernikahan. Dan kepada kaum Muslimin hendaknya membantu saudaranya yang tidak mampu dengan harta, sedekah, dan zakat agar ia dapat melaksanakan akad nikah yang sederhana serta sesuai dengan syari’at Islam. Apabila belum mampu, maka seorang Muslim wajib menjaga dirinya sampai Allâh memberi kecukupan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“…Jika mereka miskin, Allâh akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [an-Nûr/24:32]

Seorang Muslim wajib yakin bahwa Allâh Azza wa Jalla pasti membantu, menolong, memberi rezeki, serta mencukupi hamba-hamba-Nya yang taat dan bertakwa kepada-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“… Barangsiapa bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberi-nya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya…” [ath-Thalâq/65:2-3]

FAWAA-ID
  1.     Bagusnya pengarahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dimana Beliau mengarahkan perkataan tersebut kepada orang yang paling berhak.
    Pemuda yang memiliki kemampuan untuk menikah, maka wajib baginya untuk segera menikah.
    Bagusnya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasannya kepada ummatnya.
    Wajibnya menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.
    Haramnya melihat kepada wanita yang bukan mahram.
    Menjauhkan segala yang dapat menyebabkan melihat kepada sesuatu yang diharamkan dan terjatuh pada perbuatan zina.
    Nikah termasuk nikmat Allâh yang sangat agung, karena Allâh mensyari’atkannya kepada hamba-hamba-Nya. Di dalamnya terdapat manfaat dan maslahat yang sangat banyak.
    Di antara manfaat nikah yaitu menjaga diri dari perbuatan zina serta mendapatkan keturunan yang shalih dan shalihah.
    Nikah termasuk sunnahnya para Nabi dan sunnah Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
    Hendaknya seorang pemberi nasihat dan da’i mengarahkan orang yang diajak bicaranya dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan sesuai dengan keadaan mereka.
    Termasuk rahmat Allâh kepada hamba-Nya yaitu menjauhkan mereka dari segala hal yang buruk dan haram. Dan jika Allâh mengharamkan sesuatu,seperti zina, liwath (homo), onani, maka Allâh memberikan gantinya dengan yang lebih baik, yaitu pernikahan.
    Sebaiknya seseorang tidak meminjam harta atau berhutang untuk biaya menikah, karena akan membawa pada kehinaan dan kesulitan dalam hidupnya.
    Mencegah kerusakan semampunya dengan sesuatu yang mungkin untuk dilakukan. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikah, barangsiapa yang tidak mampu, maka beliau menunjukkan jalan yang lain, yaitu berpuasa.
    Puasa ini untuk sementara, yang nantinya dia wajib menikah.
    Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya memberi mahar dan nafkah kepada isteri.
    Istimnaa’ (onani), liwath (homoseks), dan zina hukumnya haram dalam Islam.
    Haramnya pacaran.

Penulis: 
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
MARAAJI’:

    Kutubussittah
    Fat-hul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, cet. Darul Fikr-Beirut.
    Syarah Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi.
    Fat-hu Dzil Jalâli wal Ikrâm, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. I, Madaarul Wathn, th. 1434 H.
    Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, cet. V, Maktabah al-Asadi, th. 1423 H.
    Tuhfatul Kirâm Syarh Bulûghil Marâm, Muhammad bin Luqman as-Salafi, cet. I, Daarud Da’i, th. 1421 H.
    Panduan Keluarga Sakinah, cet. IX, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.

_______

Footnote:

[1] Syarah Shahîh Muslim (IX/173).
[2] Fat-hul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (IX/109).
[3] Tuhfatul Kirâm Syarh Bulûghil Marâm (hlm. 495)
[4] Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm (V/214-215).
[5] Fat-hu Dzil Jalâli wal Ikraam bi Syarh Bulûghil Marâm (XI/6-8), Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[6]  Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Abu Dâwud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/470-471).
[7] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7643, 8789). Syaikh al-Albani rahimahullah menghasankan hadits ini, lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 625).
[8] Faidhul Qadiir (VI/134).
[9] Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 976) dan al-Hakim dalam al–Mustadrak (II/161) dan dishahihkan olehnya, juga disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (II/404, no. 1916)
[10] Imam as-Sindi Vberkata, “اَلتَّـبَـتُّـل ‘At–Tabattul’ (membujang) ialah memutuskan hubungan dengan wanita dan sengaja tidak menikah dengan tujuan agar (fokus) beribadah kepada Allah.” [Lihat Hasyiah as-Sindi ‘alaa Sunan an-Nasa-i (VI/58)].
[11] Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/158, 245), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 4017-at-Ta’lîqatul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban) dan Mawâriduzh Zham’ân (no. 1228), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 5095), al-Baihaqi (VII/81-82) dan adh-Dhiyaa’ dalam al-Ahâdîts al-Mukhtarah (no. 1888, 1889, 1890), dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Hadits ini ada syawâhid (penguat)nya dari Shahabat Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu anhu  yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (VI/65-66), al-Baihaqi (VII/81), al-Hakim (II/ 162) dan dishahihkan olehnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 1784).
[12] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 5063), Muslim (no. 1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-i (VI/60) dan al-Baihaqi (VII/77) dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu
[13] Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 1846) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2383)
[14] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/78) dari Shahabat Abu Umâmah Radhiyallahu anhu. Hadits ini memiliki beberapa syawahid (penguat). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1782).
[15] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251, 437), an-Nasa-i (VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655), Ibnu Majah (no. 2518), Ibnul Jarud (no. 979), Ibnu Hibbân (no no. 4019-at-Ta’lîqatul Hisân) dan al-Hakim (II/160, 161), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”
[16] Mushannaf ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10385), lihat juga Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (no. 16146).
[17] Mushannaf ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10382), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16144) dan Majma’uz Zawâ-id (IV/251).
[18] Atsar shahih: Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 5069) dan al-Hâkim (II/160).
[19] Mushannaf ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10384), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/6, no. 16142), dan Siyar A’lâmin Nubalâ (V/48).
[20] Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16143) dan Siyar A’lamin Nubala’ (V/47).
[21] Mushannaf ‘Abdurrazzaq (no. 10386).