Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Mukadimah
Sebelum membahas tentang akidah Qodariyah, penulis ingin menjelaskan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan.
Pembahasan tentang takdir adalah pembahasan tentang hikmah Allah ﷻ dalam menjalankan takdir-Nya, dan ini adalah rahasia Allah ﷻ. Tugas kita hanyalah sebatas beriman bahwasanya semua yang terjadi, baik ataupun buruk, itu semua telah ditakdirkan oleh Allah ﷻ, tidak lebih dari itu. Nabi Muhammad ﷺ ketika ditanya oleh malaikat tentang iman, beliau ﷺ berkata pada rukun yang ke enam,
وتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيْرِهِ وشَرِّهِ
“Engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”([1])
Inilah tugas kita terhadap takdir yaitu mengimaninya. Adapun dibalik daripada itu tentang hikmah dari perbuatan Allah ﷻ, seperti mengapa Allah ﷻ menciptakan ini dan itu, maka hal tersebut adalah urusan Allah ﷻ. Terkadang Allah ﷻ buka sebagian hikmah sehingga kita dapat mengetahuinya, dan seringnya hikmah tersebut tidak kita ketahui. Pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa Allah ﷻ menciptakan keburukan, iblis, Firaun, Abu Jahal, dan yang lainnya? ini semua di luar kemampuan akal manusia, dan jelas akal tidak akan mampu memikirkannya.
Para ulama menjelaskan bahwa akal manusia itu sama seperti indra yang ada pada diri manusia. Sebagaimana indra memiliki keterbatasan seperti mata, hidung, telinga, dan yang lainnya, maka begitu pun akal ia juga memiliki keterbatasan.
Kita yakin bahwa keterbatasan indra kita tidak menafikan sesuatu yang tidak bisa dijangkau. Contoh seperti virus covid-19 atau virus-virus lainnya yang ada di kehidupan ini. Walaupun tidak terlihat oleh mata kita tetapi kita tetap yakin bahwa virus-virus tersebut ada. Ketidakmampuan kita untuk melihat virus-virus tersebut tidak menjadikan kita meniadakan adanya virus-virus tersebut.
Begitu pun dengan akal, banyak hal yang tidak bisa dipikirkan oleh akal. Walaupun begitu bukan berarti hal-hal tersebut hakikatnya tidak ada, ada tetapi akal manusia saja yang tidak mampu menangkap atau menjangkaunya.
Jika kita memperhatikan sejarah ilmu, ilmu itu didapati secara sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur. Hal ini bisa dilihat dengan adanya penemuan-penemuan tentang ilmu yang ilmu-ilmu tersebut tidak diketahui oleh orang-orang terdahulu. Ini menunjukkan akal manusia memiliki keterbatasan. Allah ﷻ membuka secara perlahan tentang ilmu-ilmu kepada orang-orang di saat ini yang mana tidak diketahui oleh orang-orang terdahulu. Yang menakjubkan, ternyata ilmu-ilmu yang begitu hebatnya terlihat oleh mata manusia di saat ini dan juga ilmu-ilmu yang akan Allah ﷻ buka untuk manusia dikemudian hari hingga hari kiamat tetap saja Allah ﷻ sebut dengan ilmu yang sedikit. Allah ﷻ berfirman,
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra: 85)
Jika dianalogikan, akal manusia layaknya sebuah gelas dan ilmu Allah ﷻ layaknya air di lautan. Bagaimana mungkin gelas bisa menampung banyaknya air di lautan. Oleh karenanya tidak akan mungkin akal manusia bisa memikirkan atau mencerna tentang segala sesuatu, terlebih ilmu yang memang Allah ﷻ rahasiakan yaitu takdir, tentu akal manusia tidak akan mampu.
Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah menjelaskan bahwa seseorang yang semakin dalam membahas takdir maka dia seperti melihat matahari, semakin lama dia menatap matahari maka matanya akan semakin sakit, semakin dalam dia membahas takdir maka dia semakin bingung.([2])
Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah dalam kitabnya syarah Al-Arbain An-Nawawiyah menukil perkataan Abul Mudzoffar As-Sam’ani rahimahullah yang menyebutkan bahwasanya barang siapa yang berusaha menggunakan akalnya untuk memikirkan takdir maka ia tidak akan merasa puas.([3])
Inilah poin yang harus dipahami, bahwa manusia tidak diperintahkan untuk mempertanyakan tentang takdir mengapa Allah ﷻ berbuat begini dan begitu, pintu mengenai hal ini telah Allah ﷻ tutup. Allah ﷻ berfirman,
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan.” (QS. Al-Anbiya: 23)
Tugas manusia adalah mengimani bahwa Allah ﷻ telah menakdirkan segalanya, baik itu takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Hal ini sangat penting untuk dipahami, sebab awal terjerumusnya Qodariyah dalam penyimpangannya adalah karena mereka menyelisihi poin ini yaitu menggunakan akal dalam memahami takdir.
Di zaman Nabi Muhammad ﷺ, jika ada yang berbicara tentang takdir maka Nabi Muhammad ﷺ tegur. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِذَا ذُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا
“Dan apabila disebutkan tentang takdir maka tahanlah diri kalian (untuk berbicara).” ([4])
Dalam hadits yang lain Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan suatu ketika Nabi Muhammad ﷺ keluar menemui kami yang pada saat itu kami sedang berdiskusi tentang takdir. Nabi Muhammad ﷺ pun marah hingga wajahnya memerah seolah-olah dikeluarkan dari pipinya biji delima seraya berkata,
أبهذا أُمرتُم؟، أمْ بهذا أُرسلتُ إليكُم؟ إنما هلكَ من كان قبلكُم حينَ تنازَعوا في هذا الأمرِ، عَزَمْتُ عليكُم ألا تنازَعوا فيهِ
“Apakah yang seperti ini kalian diperintahkan, atau yang seperti ini aku diutus kepada kalian? Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa ketika mereka berselisih dalam masalah ini (takdir). Aku tegaskan pada kalian, untuk tidak berselisih dalam masalah takdir.”([5])
Oleh karenanya jika mencermati kondisi para salaf dalam hal ini, akan kita dapati mereka sangat benar-benar mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi telah ditakdirkan oleh Allah ﷻ.
Seorang tabiin yaitu Abul Aswad Ad-Duali rahimahullah menceritakan bahwasanya suatu ketika ‘Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu bertanya kepadaku, “Bagaimana menurutmu, apakah perilaku dan jerih payah kaum muslimin sekarang ini karena adanya takdir yang telah ditentukan sejak dulu atas mereka, ataukah karena mereka mengamalkan ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka dan mereka sadar atas hujah yang akan menuntut mereka?([6]) Saya (Abul Aswad) menjawab, “Itu karena takdir yang telah ditentukan sejak dahulu atas mereka”. ‘lmran bin Hushain radhiallahu ‘anhu bertanya lagi, “Bukankah yang demikian itu suatu kezaliman?” Abul Aswad berkata, “Saya sangat terkejut dengan pertanyaan itu,” lalu saya katakan, ‘Segalanya adalah ciptaan Allah ﷻ dan Allah ﷻ yang menguasainya, Allah ﷻ tidak akan diminta pertanggung jawaban mengenai apa yang Dia perbuat, tetapi manusia pasti akan dimintai pertanggung jawaban. ‘lmran bin Hushain radhiallahu ‘anhu berkata kepada saya, “Wahai Abul Aswad, semoga Allah ﷻ memberimu rahmat. Sebenarnya saya tidak bermaksud bertanya kepadamu melainkan hanya untuk menjaga pikiranmu. Pada suatu hari ada dua orang laki-laki dari suku Muzainah datang kepada Rasulullah ﷺ dan bertanya, ‘Ya Rasulullah ﷺ, menurut engkau apakah perilaku dan usaha kaum muslimin sekarang ini karena sudah suratan takdir yang telah ditetapkan sejak dahulu atau karena mereka mengamalkan ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka dan mereka sadar atas hujah yang akan menuntut mereka (bukan dari takdir)?’ Rasulullah ﷺ menjawab,
لَا، بَلْ شيءٌ قُضِيَ عليهم وَمَضَى فيهم، وَتَصْدِيقُ ذلكَ في كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَنَفْسٍ وَما سَوَّاهَا فألْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا}
“Tidak, tetapi apa yang mereka sedang kerjakan merupakan suratan takdir yang telah ditetapkan (Allah ﷻ) sejak dahulu dan berlaku kepada mereka, dan hal ini telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dalam firman Allah ﷻ (yang artinya), ‘Dan demi jiwa serta penyempurnaannya/penciptaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan jalan ketakwaan (QS. Asy-Syams: 8-7).”([7])
Dalam hadits ini jelas Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa semua yang terjadi telah ditakdirkan oleh Allah ﷻ, dan kita tidak mengetahui takdir tersebut. Tugas kita adalah tunduk terhadap penjelasan Nabi Muhammad ﷺ, beriman bahwa segala yang terjadi telah ditakdirkan oleh Allah ﷻ. Dengan ini, kita bisa bersabar jika mendapat musibah, dan juga kita tidak merasa ujub ketika mendapat kenikmatan, sebab hal tersebut telah ditakdirkan oleh Allah ﷻ.
Dari Abdul Wahid bin Sulaim ia berkata, “Aku berkata kepada ‘Atha bin Abi Rabah, ‘Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya penduduk Basrah membicarakan tentang takdir (menolak takdir). ‘Atha bin Abi Rabah berkata, “Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” Aku (Abdul Wahid) menjawab, “iya”. ‘Atha bin Abi Rabah berkata, “Bacalah surat Az-Zukhruf”. Maka Abdul Wahid kemudian membacanya sampai pada ayat
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam ummul kitab (Lauḥul maḥfuẓ) di sisi Kami, benar-benar (bernilai) tinggi dan penuh hikmah” (QS Az-Zukhruf : 4).
‘Atha bin Abi Rabah berkata, “Tahukah engkau apa itu ummul kitab?” Aku (Abdul Wahid) menjawab, “Allah ﷻ yang lebih mengetahuinya.” ‘Atha bin Abi Rabah berkata, “ummul kitab (Lauḥul maḥfuẓ) adalah kitab yang Allah ﷻ telah tulis padanya sebelum Allah ﷻ menciptakan langit dan bumi. Padanya dituliskan bahwasanya Firaun termasuk penghuni neraka, di dalamnya juga telah dituliskan firman Allah ﷻ di dalam Al-Qur’an yang artinya, ‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia.”
Kemudian ‘Atha bin Abi Rabah berkata, “Aku bertemu dengan Al-Walid bin Ubadah bin Shamid dan aku berkata kepadanya, ‘Apa wasiat ayahmu (Ubadah bin Shamid radhiallahu ‘anhu) ketika dia akan meninggal dunia?’.” Al-Walid bin Ubadah bin Shamid berkata, “Ayahku (Ubadah bin Shamid radhiallahu ‘anhu) memanggilku kemudian berkata, ‘Wahai putraku bertakwalah kepada Allah ﷻ. Ketahuilah engkau tidak akan bertemu dengan Allah ﷻ sampai engkau beriman kepada Allah ﷻ dan beriman kepada takdir yang baik dan buruk. Jika engkau meninggal dalam keadaan tidak beriman tentang hal ini maka engkau akan masuk ke dalam neraka. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ القَلَمَ، فَقَالَ: اكْتُبْ، فَقَالَ: مَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبِ القَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ
“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ﷻ ciptakan adalah pena. Allah ﷻ berfirman kepada pena, ‘Tulislah’. Pena berkata, ‘Apa yang aku tuliskan’. Allah ﷻ berfirman, ‘Tulislah takdir apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi selamanya’.” ([8])
Peringatan Nabi Muhammad ﷺ terhadap Qodariyah
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ، إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ، وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ
“Qodariyah adalah Majusi umat ini. jika mereka sakit janganlah kalian menjenguk mereka, dan jika mereka meninggal janganlah kalian menghadiri jenazah mereka.”([9])
Mengapa Qodariyah dikatakan Majusi umat ini? secara sederhana, Majusi meyakini dua pencipta, yaitu Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan. Tuhan cahaya adalah Tuhan yang menciptakan kebaikan-kebaikan, adapun Tuhan kegelapan adalah Tuhan yang menciptakan keburukan-keburukan.
Qodariyah meyakini bahwa Allah ﷻ hanya menghendaki dan menciptakan kebaikan, adapun keburukan Allah ﷻ tidak menghendaki dan tidak menciptakannya.([10]) Karena keburukan terjadi, berarti di sana ada pencipta selain Allah ﷻ yang menciptakan keburukan tersebut. Maka konsekuensi dari ini adalah adanya dua Tuhan, yaitu Tuhan pencipta kebaikan dan tuhan pencipta keburukan. Penyimpangan ini terjadi karena mereka menggunakan akal dalam memahami takdir. Dari sisi inilah Qodariyah disamakan dengan Majusi, sebab keduanya meyakini adanya dua pencipta.
Sejarah Qodariyah
Qodariyah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Qodariyah ekstrem (غُلَاةُ القَدَرِيَّةِ) yang mana mereka dikafirkan oleh para ulama dan Qodariyah tidak ekstrem (Muktazilah) mereka tidak dikafirkan.
Qodariyah ekstrem (غُلَاةُ القَدَرِيَّةِ)
Qodariyah ekstrem dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani, kemudian setelah itu diikuti oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Keduanya menolak ilmu Allah ﷻ yang azali, sebagaimana perkataan mereka,
الأَمْرُ أُنُفٌ
“Semua yang terjadi tanpa ditetapkan dalam ilmu Allah .”([11])
Maksudnya adalah Semua yang terjadi tanpa ditetapkan dalam ilmu Allah ﷻ yang sebelumnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa Ma’bad Al-Juhani terjerumus dalam pemikiran ini karena terpengaruh oleh akidah Majusi,([12]) dan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa karena terpengaruh oleh akidah Nasrani.([13]) Yang jelas pemikiran ini muncul di zaman Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma sebagaimana disebutkan dalam hadits.([14])
Munculnya pemikiran ini pada asalnya karena tujuan yang baik yaitu untuk bisa menjelaskan keadilan Allah ﷻ. Namun karena salah dalam menjalankan akal akhirnya kesimpulan yang mereka dapati adalah suatu kesalahan yang fatal yaitu Allah ﷻ tidak akan dikatakan adil kecuali dengan menolak ilmu Allah ﷻ. Logika mereka, Allah ﷻ hanya menciptakan manusia, kemudian Allah ﷻ tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh manusia. Sebab jika Allah ﷻ tahu ternyata ada sebagian manusia melakukan keburukan berarti Allah ﷻ tidak adil dalam penciptaan-Nya, seharusnya Allah ﷻ berbuat adil dengan menjadikan seluruh manusia berbuat baik tidak keburukan. Karena keyakinan ini, akhirnya Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi dikafirkan oleh banyak para ulama, sebab konsekuensi dari keyakinan ini adalah mengingkari banyak hadits-hadits tentang pencatatan takdir di Lauhul mahfuz.([15]) Oleh karenanya kedua tokoh ini mati dengan cara yang tragis yaitu mereka di salib karena kufur mereka terhadap takdir. Ma’bad disalib di Damaskus([16]), adapun Ghailan di Syam.([17])
Para ulama ketika menjelaskan tentang mazhab ini mereka menyatakan bahwa kelompok ini telah punah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya Fath Al-Baari dan juga An-Nawawi rahimahullah di dalam Syarah Shahih Muslim.([18]) Adapun mazhab yang tersebar di saat ini adalah pemikiran mazhab Qodariyah tidak ekstrem (Muktazilah).
Sejarah Qodariyah tidak ekstrem (Muktazilah)
Dikisahkan suatu ketika di majelis Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah ada seseorang menanyakan tentang hukum pelaku dosa besar menurut Ahlusunah. Ketika Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berpikir untuk menjawab tiba-tiba salah seorang murid Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah yaitu Washil bin ‘Atha berkomentar dengan mengatakan, “Menurutku pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi di tengah-tengah antara kafir dan mukmin (فِي مَنْزِلَة بَيْنَ مَنْزِلَتَيْنِ).” Akhirnya Washil bin ‘Atha pun i’tazala (keluar) dari majelis, maka sejak itulah mereka disebut dengan Muktazilah.
Washil bin ‘Atha kemudian diikuti oleh ‘Amr bin Ubaid yang ia merupakan seorang yang cerdas, perawi hadits, murid dari Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, dan dia dikenal dengan seorang yang sangat zuhud sampai-sampai orang-orang pada saat itu teperdaya karena zuhudnya([19]). Setelah itu berkembanglah mereka sampai akhirnya mereka memiliki pemikiran Qodariyah.([20])
Orang-orang Muktazilah di zaman ini mereka sangat bangga dengan penamaan Muktazilah kepada mereka. Hal ini karena menurut mereka di dalam Al-Qur’an Allah ﷻ memuji mereka seperti firman Allah ﷻ,
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau sembah selain Allah ﷻ.” (QS. Maryam: 48)
Adapun penamaan Qodariyah, Muktazilah tidak setuju jika nama tersebut disematkan kepada mereka. Sebab mereka memahami bahwa Nabi Muhammad ﷺ di dalam haditsnya mencela Qodariyah.([21]) Mereka sebutkan bahwa yang pantas dikatakan Qodariyah adalah para penganut Jabariyah atau Ahlusunah. Hal ini dibantah oleh para ulama dengan penjelasan bahwa merekalah Qodariyah yang sebenarnya, sebab mereka mengatakan bahwa takdir tidak di tangan Allah ﷻ tetapi di tangan manusia, manusia melakukan apa yang dikehendakinya tanpa campur tangan Allah ﷻ.
Inilah awal sejarah dari kemunculan Qodariyah dan mereka adalah Muktazilah yang pada awalnya mereka belum berbicara tentang takdir hanya sebatas tentang status pelaku dosa besar, kemudian berkembang sehingga memiliki pemikiran Qodariyah.
Tokoh-tokoh Qodariyah
Tokoh-tokoh Qodariyah terbagi menjadi dua, yaitu tokoh-tokoh Qodariyah Basrah dan Baghdad.
Tokoh-tokoh Qodariyah Basrah
- Washil bin ‘Atha. Wafat pada tahun 131 H.
- ‘Amr bin Ubaid. Wafat pada tahun 144 H.
- Abu Hudzail Al-‘Allaf. Wafat pada tahun 235 H.
- An-Nadzam. Wafat pada tahun 231 H.
- Al-jahidz. Wafat pada tahun 256 H.
- Abu ‘Ali Al-Jubbai (bapak tiri Abul Hasan Al-Asy’ari). Wafat pada tahun 303 H.
- Abu Hasyim al-Jubbai. Wafat pada tahun 321 H
Tokoh-tokoh Qodariyah Baghdad.
- Bisyr bin al-Mu’tamir. Wafat pada tahun 210 H.
- Ahmad bin Abi Duad. Wafat pada tahun 240 H.([22]).
- Abu Husain Al-Khoyyaath. Wafat pada tahun 290 H.
Setelah itu datang para pengusung pemikiran muktazilah belakangan, di antara mereka yang tersohor adalah Abdul Jabbar Al-Hamdani yang wafat pada tahun 415 H([23]) dan Az-Zamakhsyari yang wafat pada tahun 538 H([24]).
Syubhat-Syubhat Qodariyah
Asal syubhat Qodariyah adalah mereka tidak mau mengatakan semua perbuatan hamba adalah ciptaan Allah ﷻ dalam rangka untuk menyatakan Allah ﷻ itu adil. Hal ini karena logika mereka tidak bisa menerima jika semua perbuatan hamba adalah ciptaan Allah ﷻ, sebab hamba juga berbuat keburukan. Tetapi yang menyedihkan mereka malah terjatuh kepada suatu perkara yang lebih parah, yaitu ingin menjelaskan bahwa Allah ﷻ itu adil tetapi malah terjerumus kepada perkataan bahwa Allah ﷻ itu tidak pantas menjadi Tuhan. Oleh karenanya Imam Ibnu Abil ‘Izz mengatakan tentang mereka,
كَالْمُسْتَجِيرِ مِنَ الرَّمْضَاءِ بِالنَّارِ
“Mereka layaknya orang yang ingin berlindung dari pasir yang panas dengan api yang panas.”([25])
Syubhat Pertama,
Syubhat Qodariyah dibangun di atas penyamaan Allah ﷻ dengan makhluk dari sisi tindakan atau perbuatan.([26]) Seseorang jika menyuruh orang lain dengan memukul dan menyiksanya maka perbuatan tersebut adalah zalim. Maka menurut mereka Allah ﷻ pun demikian, tidak adil jika Allah ﷻ menciptakan sebagian manusia berbuat kebaikan kemudian masuk ke dalam surga dan sebagian manusia yang lain Allah ciptakan berbuat keburukan kemudian masuk ke dalam neraka. Intinya, mereka mengiaskan Allah ﷻ dengan manusia.
Bantahan:
- Pertama: Kias dibangun di atas illah (kesamaan). Jika ada dua hal yang memiliki illah yang sama maka keduanya dihukumi hukum yang sama. Contoh, kias antara kurma dan beras dalam membayar zakat. Keduanya memiliki illah yang sama yaitu sama-sama makanan pokok dan sama-sama dapat disimpan.
Di sini, mereka ingin mengiaskan Allah ﷻ dengan manusia. Tentu kias ini adalah kias yang batil, sebab semua makhluk adalah milik Allah ﷻ ([27]). Seandainya Allah melakukan pada ciptaanNya tanpa hikmah pun maka pada hakekatnya merupakan hak Allah karena makhluk adalah milik Allah dan ciptaan Allah. Tentu ini berbeda dengan manusia yang antara manusia satu dengan yang lainnya tidak ada kepemilikan. Apalagi jika Allah berbuat kepada makhlukNya dengan penuh hikmah, karena diantara nama Allah adalah Al-Hakiim (Yang Maha Bijak/Hikmah).
- Kedua: Kias ini adalah kias yang batil karena hakikat (hikmah yang sesungguhnya) tidak diketahui (rahasia Allah ﷻ). Lantas bagaimana mungkin bisa dikiaskan dengan perbuatan makhluk. Seharusnya kalau Qodariyah ingin mengiaskan Allah ﷻ dengan makhluk (atau ingin mengatakan Allah ﷻ zalim jika menakdirkan perbuatan hamba) maka Qodariyah harus tahu dulu hikmah dari Allah ﷻ menciptakan keburukan, setelah itu baru menghukumi Allah adil atau zalim. Tentunya hal ini tidak mungkin bisa diketahui oleh manusia([28]).
Adapun Ahlussunnah, maka mereka meyakini terjadinya segala sesuatu di alam semesta ini pasti ada hikmah di balik itu. Allah ﷻ Maha bijak dalam menghadapi hal tersebut dan Allah ﷻ Maha adil. Namun yang menjadi permasalahan adalah kemampuan akal tidak mampu untuk memahami hikmah-hikmah tersebut seluruhnya, hanya sebagian hikmah saja yang Allah ﷻ tampakkan sehingga diketahui. Walaupun begitu penulis kembali tegaskan, Ahlusunah yakin bahwa pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian([29]).
Adapun Qodariyah, mereka meyakini Allah ﷻ tidak menakdirkan keburukan. Kita katakan, Allah ﷻ tidak menakdirkan keburukan secara murni tetapi Allah ﷻ menghendaki hikmah atau kebaikan di balik keburukan tersebut. Maka dari sisi ini (hikmah kejadian) mengiaskan Allah ﷻ dengan makhluk dari segi perbuatan adalah kias yang batil([30]).
- Ketiga: Demikian juga Qodariyah hanya mengkiaskan Allah pada salah satu makhluk, sehingga kemaslahatan hanya ditinjau pada satu makhluk saja, bukan pada makhluk secara keseluruhan. Ini adalah kesalahan karena mereka tidak membedakan antara kemaslahatan umum degan kemaslahatan person yang bisa jadi kemaslahatan person tersebut mengakibatkan munculnya kerusakan yang umum dan bertentangan dengan kemaslahatan umum([31]).
Syubhat Kedua
Menyatakan Allah ﷻ menciptakan hamba dan perbuatannya berkonsekuensi Allah ﷻ zalim. Harusnya keburukan tidak dikehendaki Allah ﷻ dan tidak diciptakan Allah ﷻ (Allah ﷻ tidak ikut campur dalam perbuatan hamba).
Bantahan:
Sebagaimana telah lalu, Qodariyah hanya dibolehkan menghukumi perbuatan Allah jika mereka telah mengetahui hikmah dari Allah menciptakan keburukan. Jika mereka tidak tahu tujuan dan hikmah dari Allah ﷻ menciptakan keburukan maka mereka tidak boleh menjustifikasi takdir Allah ﷻ sebagai kezaliman([32]).
Selain itu, konsekuensi dari pernyataan ini lebih parah yaitu seakan-akan menyatakan Allah ﷻ bukan Tuhan atas segalanya, sebab berarti di sana ada kejadian yang terjadi bukan karena kehendak Allah ﷻ dan juga ada ciptaan bukan ciptaan Allah ﷻ.
Syubhat ketiga,
Makhluk menciptakan perbuatannya sendiri atas kehendaknya.([33])
Bantahan:
Secara logika jelas bahwa pencipta tahu tentang apa yang ia ciptakan. Seorang penemu tahu tentang apa yang ia temukan dan apa yang ia buat. Karenanya Allah ﷻ berfirman,
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ، أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan) dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Mulk : 13-14)
Maksudnya adalah karena yang menciptakan manusia adalah Allah ﷻ maka Allah ﷻ tahu semua tentang perbuatan, perkataan yang disembunyikan, bahkan segala isi hati manusia.
Berdasarkan keyakinan Qodariyah -bahwasanya manusia menciptakan perbuatannya sendiri- maka seharusnya manusia mengetahui semua apa yang ia lakukan dan perbuat. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Sebagai contoh :
- Pertama: Seseorang ketika tidak sadar (tidur) terkadang ngigau, dan melakukan hal-hal yang di luar kesadarannya. Kita tanyakan kepada mereka (Qodariyah), hal tersebut terjadi adalah ciptaan Allah ﷻ atau ciptaan orang itu sendiri?
- Kedua : Betapa sering sebagian anggota tubuh manusia bergerak sementara manusianya sendiri tidak merasakannya apalagi menghendakinya, terlebih lagi mengaturnya !. Contoh saja jantung yang terus berdetak, sementara manusia tidak tahu akan detakan tersebut, berapa kecepatannya dan tekanannya.
- Ketiga: Seseorang mengetahui ada gerakan yang di bawah kontrolnya (الْحَرَكَاتُ الِاخْتِيَارِيَّةُ) dan ada gerakan di luar kontrolnya (الْحَرَكَاتُ الاِضْطِرَارِيَّةُ) seperti ketika ia terjatuh dari tangga, atau tangan dan tubuhnya gemetar sendiri karena kedinginan, atau bulu kuduk berdiri ketika ketakutan, dan lain-lain. Apakah jika demikian berarti sebagian gerakannya adalah ciptaannya (yaitu gerakan yang di bawah kontrolnya) sementara yang di luar kontrolnya adalah ciptaan Allah? Atau ciptaan siapa?
Syubhat keempat
Jika Allah ﷻ yang telah menakdirkan semua perbuatan hamba, lantas sebagian hamba ternyata ditakdirkan melakukan kemaksiatan, lalu Allah ﷻ menghukum mereka dengan neraka maka ini merupakan perbuatan zalim dari Allah ﷻ terhadap makhluk.
Bantahan:
Logika menyatakan bahwa seseorang mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Logika juga menyatakan bahwa manusia benar-benar melakukan perbuatannya secara hakiki dan tidak terpaksa. Manusia memiliki kehendak untuk memilih dan memiliki qudrah (kemampuan) untuk beraktivitas. Jika secara akal dan kenyataan menunjukkan bahwa manusia adalah pelaku perbuatannya secara hakiki maka jelas ia telah berhak untuk mendapatkan balasan akibat perbuatannya, baik maupun buruk.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_____
([1]) HR. Muslim No. 8.
([2]) Lihat: Ushul Ad-Diin ‘inda Abi Hanifah (521).
([3]) Lihat: Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah (39).
([4]) HR. ‘Abdurrazzaq, Al-Amali Fi Atsari As-Shahabah No. 51, At-Thabarani, Al-Mu’jamu Al-Kabir, No. 1427. Berkata Syaikh Al-Albani: “diriwayatkan dari jalur Ibnu Mas’ud, Tsauban, Ibnu ‘Umar, Thawus, radhiallahu ‘anhum ajma’in secara mursal, dan semuanya diriwayatkan dengan sanad yang daif. Akan tetapi, satu dengan yang lainnya saling menguatkan”. (Lihat: Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah No.34).
([5]) HR. Tirmidzi No. 2133, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani.
([6]) Maksudnya tidak ditakdirkan.
([7]) HR. Muslim No. 2650.
([8]) HR. Tirmidzi No. 2155, dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([9]) HR. Abu Daud No. 4691, dan dinyatakan sahih oleh An-Nawawi.
([10]) Mereka meyakini bahwa Allah ﷻ hanya sekadar menciptakan manusia, setelah itu manusia dibiarkan oleh Allah ﷻ untuk menjalankan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Allah ﷻ. Analoginya seperti seseorang yang membuat jam, kemudian setelah jadi jam tersebut akan berjalan dengan sendirinya. Jadi Qodariyah mengingkari bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah ﷻ (karena perbuatan hamba ada yang buruk), mereka katakan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan hamba itu sendiri. konsekuensinya berarti di dunia ini ada sesuatu yang terjadi bukan karena kehendak Allah ﷻ dan juga bukan ciptaan Allah ﷻ.
([11]) Majmu’ Al-Fatawa (8/150).
([12]) Lihat: Majmu Fatawa (7/384).
([13]) Lihat: Al-Ibanah Al-Kubra (2/298).
([14]) Lihat: HR. Ibnu Hibban No. 168, dan dinyatakan sahih oleh Al-Arnauth.
([15]) Lihat: Asy-Syari’ah Al-Aajuri (2/958).
([16]) Lihat: Tarikh Al-Islam Karya Adz-Dzahabi (6/202).
([17]) Lihat: Mukhtashar Tarikh Dimasyqi (20/239).
([18]) Lihat: Fath Al-Baari (1/119) dan Syarah An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim (1/154).
([19]) Ketika ‘Amr bin Úbaid mengikuti Wahsil bin Átho maka Washil kagum dengan Ámr, akhirnya Washil menikahkan Ámr dengan saudarinya.
Ámr bin Úbaid meriwayatkan hadits dari Abul Áliyah, Abu Qilabah, dan Al-Hasan al-Bashri. Ketika beliau memperjuangkan madzhab muktazilah dan qodariyah maka orang-orangpun meninggalkan riwayatnya.
Khalifah al-Ábaasi Abu Ja’far al-Manshur sangat mengagumi Ámr bin Úbaid, bahkan ia pernah berkata :
كُلُّكُم يَمْشِي رُوَيْد … كُلُّكُم يَطْلُبُ صَيْد…غَيْرَ عَمْرِو بن عُبَيْد
“Kalian semuanya berjalan dengan perlahan…kalian semuanya mengejar buruan (yaitu mencari dunia)…kecuali Ámr bin Úbaid”.
Adz-Dzahabi mengomentari dengan berkata, اغْترَّ بِزُهْدِهِ وَإِخْلاَصِهِ، وَأَغفلَ بِدْعَتَهُ “Ia (Khalifah al-Manshur) terpedaya dengan zuhudnya dan ikhlashnya, namun lalai dari bidáhnya”
Ámr bin Úbaid memiliki beberapa tulisan diantaranya kitab الْعَدْلُ, التَّوْحِيْدُ dan الرَّدُّ على الْقَدَرِيَّةِ (maskudnya adalah bantahan terhadap ahlus sunnah yang menetapkan taqdir). Ia wafat tahun 144 H (Lihat Siar A’laam An-Nubalaa 6/104-105)
([20]) Lihat: Majmu’ Al-Fatawa (8/151).
([21]) Lihat: HR. Abu Daud No. 4691, dan dinyatakan sahih oleh An-Nawawi.
([22]) Ahmad bin Abi Duad adalah orang yang memprovokasi khalifah pada saat itu untuk memenjarakan Imam Ahmad rahimahullah karena tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan Imam Ahmad rahimahullah pernah berdebat dengannya saat di penjara. Keyakinan Ahmad bin Abi Duad dari sisi Al-Al-Asma’ Wa Ash-Shifat adalah Jahmiyah, dan dari sisi takdir adalah Qodariyah.
([23]) Dia lahir di Afghanistan, adapun Hamdan adalah nisbah kepada sebuah kota di Iran. Ia memiliki buku yang berjudul Al-Mugnhi Fi Abwab At-Tauhid wal Al-‘Adl dan Syarah Al-Ushul Al-Khamsah (Penjelasan tentang Lima Landasan),
Adapun yang dimaksud oleh Muktazilah dengan lima landasan akidah (Al-Ushul Al-Khamsah) adalah sebagai berikut :
Untuk mengetahui penjelasan lebih detail tentang 5 pondasi pemikiran mereka ini, silahkan merujuk kepada Syarh al-Ushul al-Khamsah karya Al-Qadhi Abdul Jabbar Al-Mu’tazili.
Tauhid, maksudnya adalah menolak seluruh sifat-sifat Allah ﷻ.
Adil, maksudnya adalah menolak takdir Allah ﷻ.
Manzilah Baina Manzilatain (status di antara dua status), maksudnya adalah tidak kafir dan tidak mukmin.
Al-Wa’d (janji) dan Al-Wa’id (ancaman), maksudnya adalah pelaku dosa besar kekal di neraka. Maksud mereka adalah bahwa Allah c wajib menghukum setiap hamba yang bermaksiat, dan bahwa Allah c wajib menepati janji-Nya serta ancaman-Nya dengan mengekalkan para pelaku al-kaba’ir (dosa-dosa besar) di Neraka.
Amar makruf nahi mungkar, maksudnya adalah wajibnya memberontak dan mengangkat senjata kepada pemerintah yang fasik.
([24]) Yaitu sang mufassir yang tersohor dengan kitab tafsirnya الْكَشَّافُ عَنْ حَقَائِقِ غَوَامِضِ التَّنْزِيْلِ
([25]) Syarah Akidah Tahawiyah (1/321).
([26]) Ibnu Taimiyyah berkata :
وَالْقَدَرِيَّةُ مُشَبِّهَةُ الْأَفْعَالِ: قَاسُوا أَفْعَالَ اللَّهِ عَلَى أَفْعَالِ خَلْقِهِ، وَعَدْلَهُ عَلَى عَدْلِهِمْ، وَهُوَ مِنْ أَفْسَدِ الْقِيَاسِ
“Al-Qodariyah adalah musyabbihah al-Afáal, yaitu mereka mengkiaskan afáal (perbuatan-perbuatan) Allah kepada perbuatan-perbuatan makhlukNya, mengkiaskan keadilanNya dengan keadilan makhlukNya, dan ini merupakan qias yang paling rusak” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah 3/153)
Padahal pada sisi yang lain mereka menolak sifat-sifat Allah ﷻ karena tidak mau menyamakan Allah ﷻ dengan makhluk. Ibnul Qoyyim berkata :
جَمَعَتِ الْمُعْتَزلَةُ الْقَدَرِيَّةُ بَيْنَ التَّعْطِيْلِ فِي الصِّفَاتِ وَالتَّشْبِيْهِ فِي الْأَفْعَالِ فَهُمْ مُعَطِّلَةٌ مُشَبِّهَةٌ
“Al-Muktazilah Al-Qodariyah telah mengumpulkan antara men-ta’thiil (menolak) sifat-sifat Allah dengan mentasybiih (menyamakan) perbuatan-perbuatan Allah (dengan perbuatan makhluk). Maka mereka adalah Muátthilah sekaligus Musyabbihah” (Miftaah Daar As-Sa’adah 2/49)
([27]) Ibnu Hajar berkata :
الْمُعْتَزِلَةَ قَاسُوا الْخَالِقَ عَلَى الْمَخْلُوقِ وَهُوَ بَاطِلٌ لِأَنَّ الْمَخْلُوقَ لَوْ عَاقَبَ مَنْ يُطِيعُهُ مِنْ أَتْبَاعِهِ عُدَّ ظَالِمًا لِكَوْنِهِ لَيْسَ مَالِكًا لَهُ بِالْحَقِيقَةِ وَالْخَالِقُ لَوْ عَذَّبَ مَنْ يُطِيعُهُ لَمْ يُعَدَّ ظَالِمًا لِأَنَّ الْجَمِيعَ مِلْكُهُ فَلَهُ الْأَمْرُ كُلُّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَلَا يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ
“Al-Muktazilah mengkiaskan Pencipta dengan makhluk, dan ini adalah qias yang batil, karena seandainya makhluk menghukum pengikutnya yang taat kepadanya maka ia dianggap telah berbuat dzolim karena secara hakikat ia tidak memiliki pengikutnya tersebut. Adapun Pencipta jika mengadzab orang yang taat kepadaNya maka tidak dianggap dzolim karena seluruh makhluk adalah milikNya, maka segala perkara adalah di bawah kekuasaanNya, Ia melakukan apa yang Ia kehendaki, dan Ia tidak ditanya atas apa yang Ia lakukan”(Fathul Baari 13/449)
Peringatan:
Jawaban seperti ini adalah jawaban yang dilontarkan oleh para penolak sifat hikmah, sehingga dengan menjawab seperti ini mereka seakan-akan menyatakan bahwa Allah berbuat tanpa hikmah akan tetapi hanya berdasarkan kehendak. Yang benar bahwasanya Allah menciptakan dengan hikmah yang kembali kepada Allah (yang memiliki sifat hikmah) dan juga hikmah tersebut kembali kepada makhluk-mekhluk ciptaanNya. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim di Syifaa’ al-Áliil hal 249)
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَمَنْ قَالَ إنَّهُ لَا يَخْلُقُ شَيْئًا بِحِكْمَةِ وَلَا يَأْمُرُ بِشَيْءِ بِحِكْمَةِ؛ فَإِنَّهُ لَا يُثْبِتُ إلَّا مَحْضَ الْإِرَادَةِ الَّتِي تُرَجِّحُ أَحَدَ الْمُتَمَاثِلَيْنِ عَلَى الْآخَرِ بِلَا مُرَجِّحٍ كَمَا هُوَ أَصْلُ ابْنِ كُلَّابٍ وَمَنْ تَابَعَهُ وَهُوَ أَصْلُ قَوْلَيْ الْقَدَرِيَّةِ وَالْجَهْمِيَّة
“Siapa yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan sesuatupun dengan hikmah, dan tidak memerintahkan sesuatupun dengan hikmah, maka ia tidak menetapkan bagi Allah kecuali (Allah menciptakan dan memerintahkan) hanya sekedar kehendak semata, yang kehendak tersebut merajihkan (menguatkan) salah satu diantara dua hal yang sama tanpa ada sebab penguat. Sebagaimana ini adalah asal akidah Ibnu Kullab dan yang mengikutinya, dan ini juga asal akidah salah satu pendapat Qodariyah dan Jahmiyah” (Majmu’ al-Fatawa 8/432)
([28]) Lihat Majmu’ al-Fatawa 8/432
([29]) Sebagaimana telah lalu penjelasannya tentang di antara hikmah diciptakannya Iblis.
([30]) Ibnul Qoyyim berkata, “Tentu telah diketahui bahwasanya Allah telah mengetahui diantara hambaNya ada yang akan melakukan kekufuran, kedzoliman, dan kekafiran, dan Allah mampu untuk tidak menciptakan mereka, serta mempu untuk menjadikan seluruh hambaNya menjadi satu model yang Allah sukai, demikian juga Allah mampu untuk menghalangi mereka dari perbuatan dzolim sebagian mereka. Akan tetapi hikmah Allah yang tinggi enggan untuk melakukan itu semua, bahkan hikmahNya mengkonsekuensikan untuk menciptakan/mengadakan mereka sebagaimana kondisi mereka sekarang.
Allah menciptakan jiwa-jiwa dengan berbagai model. Ada model yang ingin kebaikan semata yaitu jiwa para malaikat, dan ada jiwa yang ingin keburukan saja yaitu para syaitan, dan ada jiwa yang menghendaki keduanya yaitu jiwa-jiwa manusia….model ketiga ini tergantung sifat yang mendominasi, siapa yang sifat baiknya mendominasi maka diikutkan dengan model pertama, dan siapa yang keburukannya mendominasi maka diikutkan pada model kedua. Jika hikmah (Allah) mengkonsekuensikan adanya model ketiga maka lebih utama untuk adanya wujud model kedua.
Qudroh Allah, keperkasaanNya, dan hikmahNya menkonsekuensikan untuk menciptakan perkara-perkara yang saling berlawanan baik dalam sisi dzat, sifat, dan perbuatan…. Allah telah menciptakan makhlukNya dengan bervariasi yang menunjukan akan sempurnanya kekuasaan dan rububiyahNya. Maka merupakan kejahilan dan kesesatan terbesar seseorang berkata, “Kenapa ciptaan Allah semuanya tidak satu model saja, sehingga alam semesat semua di atas, atau semua adalah cahaya, atau semua adalah hewan, atau semuanya malaikat?”. Telah terbetik dalam khayalan yang rusak bahwasanya yang lebih utama dan lebih sempurna, dan datang betikan-betikan pikiran yang rusak bahwasanya sesuatu yang tidak mungkin adalah kesempurnaan” (Syifaa’ al-‘Alil hal 248, pada bab ke 22).
([31]) Lihat Minhaaj As-Sunnah An-Nabawiyah 6/396 dan juga penjelasan Ibnul Qoyyim di Syifaa’ al-‘Aliil hal 248-249
([32]) Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“…dan meskipun pada penciptaan jiwab-jiwab (yang buruk ini) merupakan keburukan akan tetapi itu merupakan keburukan yang parsia dibandingkan dengan kebaikan yang bersifat umum yang merupakan sebab diciptakannya jiwa-jiwa buruk tersebut. Maka adanya jiwa-jiwa yang buruk tersebut lebih baik daripada ketiadaannya. Jika Allah tidak menciptakan jiwa-jiwa yang seperti itu tentu dalam alam wujud ada yang kurang serta terluputkannya hikmah-hikmah dan kemaslahatan-kemaslahatan yang agung yang hanya bisa terwujud dengan adanya jiwa-jiwa yang buruk tersebut.
Karenanya ketika para malaikat mempermasalahkan diciptakannya manusia (Adam dan keturunannya) dan mereka berkata,
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah” (QS Al-Baqoroh : 30)
Maka Allah menjawab mereka dengan menjelaskan bahwa pada penciptaan manusia adanya hikmah-hikmah dan maslahat-maslahat yang para malaikat tidak mengetahuinya.
Jika para malaikat tidak mengetahui adanya hikmah-hikmah dan kemaslahatan-kemaslatan pada penciptaan manusia yang akan melakukan kerusakan di bumi dan menumpahkan darah, maka tentu selain malaikat lebih utama untuk tidak mengetahuinya. Maka penciptaan manusia tersebut bagian dari sempurnanya hikmah, rahmat, dan kemaslahatan. Jika adanya manusia melazimkan adanya keburukan maka keburukan tersebut tenggelam dalam benyaknya kebaikan dibalik penciptaannya. (Syifaa’ al-‘Alil hal 249-250)
Setalah itu Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa perkaranya sebagaimana terik matahari, angin yang berhembus, hujan dan salju yang turun, tentu ada keburukannya jika ditinjau dari para musafir yang kepanasan dan tertempa angin yang kencang, akan tetapi di balik itu sangat banyak kemaslahatan dan adanya matahari dan hembusan angin serta turunnya hujan -yang telah diketahui bersama-.
Bahkan betapa banyak kenikmatan dan kebahagiaan yang terbungkus dengan kesusahan dan kesengsaraan, akan tetapi jika ditempuh kesulitan dan kesengsaraan tersebut maka akan berakhir dengan kebahagiaan. Kesempurnaan lezatnya makanan dan minuman baru dirasakan ketika mengalami pahitnya rasa lapar dan dahaga. Kelezatan ilmu baru dirasakan setelah melalui letihnya menuntut ilmu.
Sebaliknya betapa banyak kesengsaraan yang tertutupi dengan kelezatan kemaksiatan. Jika seseorang merasakan kelezatan-kelezatan kemaksiatan tersebut maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan-kesengsaraan. Jika seluruh orang cerdas berkumpul untuk menggambarkan alam yang lebih baik dari alam yang sekarang yang diciptakan Allah maka mereka tidak akan mampu. Alam yang diciptakan Allah inilah yang sempurna dengan berbagai varian ciptaannya yang menyimpan beribu-ribu hikmah dan kemaslahatan. Allah berfirman :
صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu (QS An-Naml : 88)
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat (pada ciptaan Allah) dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah (QS Al-Mulk : 4)
(Lihat Syifaa’ al-‘Alil hal 250-251)
([33]) Syubhat inilah yang dibantah oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Khalqu Af‘al Al-‘Ibad (perbuatan hamba ciptaan Allah ﷻ).
Sumber: https://bekalislam.firanda.net/