Apa Hukum Jual Beli Kredit?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana hukumnya kalau kita menyewakan atau menjual barang dengan harga beda? Misalnya untuk sewa 1 bulan = 100.000 dan sewa 2 minggu = 70.000. Serta untuk menjual barang cash = 100.000, kredit selama 2 bulan @ 70.000. Bagaimana hukum keduanya (sewa atau beli harga beda)? Kalau hukumnya haram, bagaimana sebaiknya? Jazakallah atas petunjuknya,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah, shalwat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Langsung saja, masalah hukum perkreditan yang ditanyakan di sini insya Allah boleh, walaupun terjadi perbedaan harga, asalkan transaksinya jelas. Ketika pembeli pergi membawa barang, telah ada kepastian pilihan harga yang ia ambil.
Untuk lebih lanjutnya bisa baca artikel yang telah saya tulis tentang hkum jual beli kredit.
Wassalamu’alaikum
HUKUM PERKREDITAN
Macam-Macam Praktek Perkreditan
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (HR. Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim) ([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallahu Ta’ala a’alam bisshowab.
___
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri (Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia)
Jual Beli Kredit
Pertanyaan
Assalamu’alaikum
Ustadz yang dirahmati Allah. Saya seorang ibu yang mempunyai 2 orang putri, sebelum menikah saya bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Setelah mempunyai momongan saya tidak diizinkan oleh suami bekerja di luar rumah. Tapi saya dibolehkan buka usaha di rumah. Yang ingin saya tanyakan adalah:
Apakah boleh saya punya usaha mengkreditkan barang elektronik dan alat-alat rumah tangga? Kalau boleh berapa persenkah keuntungan yang boleh saya ambil?
Kalau ada teman atau tetangga yang meminjam uang pada saya, padahal saya tahu orang tersebut termasuk orang yang sulit untuk mengembalikan pinjamannya. Kalau saya bilang nggak ada, tapi saya punya, bagaimana menghadapi orang seperti itu. Agar hatinya tidak tersinggung, dan apakah berbohong untuk tidak menyakiti hati orang lain itu berdosa?
Demikian, atas jawabannya saya ucapkan Jazakumullahu khoiron
Wassalamu’alaikum
Jawab:
Demikianlah sepatutnya seorang istri patuh dan berbakti kepada suami dengan mentaati perintah dan bimbingan suami. Kami salut dengan kepatuhan dan keinginan untuk membantu suami dengan kembali kerumah. Sebab siapa lagi yang akan menjaga benteng pembinaan anak-anak yang tersisa kalau bukan sang ibu. Apalagi di zaman kiwari seperti ini, anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya yang sama-sama mencari penghidupan di luar rumah. Hingga akhirnya pembantu rumah tangga dijadikan penjaga mereka. Oleh karena itu mudah-mudahan saudari bisa menjadi contoh muslimah lainnya untuk kembali ke rumah menjaga benteng tersebut.
Tentang pertanyaan saudari di atas tentang usaha mengkreditkan barang elektronik dan alat rumah tangga, maka hal ini kembali kepada masalah jual beli kredit dalam tinjauan Islam. Memang para ulama berselisih pendapat tentang hukum jual beli kredit, namun yang rojih adalah boleh dengan syarat tidak ada tambahan pembayaran apabila pembayaran angsurannya terlambat. Inilah yang disampaikan Departeman Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Negara Saudi Arabia (Ar Riasah Al’amah li Idaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta) dalam fatwanya menjawab pertanyaan: Ada orang yang menjual mobil dengan kredit dan ada keuntungan tambahan tertentu dari harganya (yang kontan) namun keuntungan tersebut bertambah dengan keterlambatan pembayaran angsuran dari waktu pembayaran yang (disepakati). Apakah cara seperti ini diperbolehkan atau tidak? Mereka menjawab dengan pernyataan:
Apabila orang yang menjual mobil atau sejenisnya sampai tempo tertentu dengan harga tertentu atau waktu tertentu dengan angsuran tertentu yang pemberi kredit tidak melewati batas yang telah ditentukan dari harganya, maka tidak mengapa. Namun bila kredit yang telah terfahami dari pertanyaan bertambah dengan keterlambatan pembayaran angsuran dari waktu yang disepakati dengan nilai tertentu, maka itu tidak boleh dengan ijma kaum muslimin, karena itu sama dengan riba jahiliyah.[1]
Demikian juga fatwa dari komite umum untuk fatwa di Departemen Wakaf dan Urusan Islam di Kuwait (Al Hai’at Al Amah lil Fatwa bi Wizarat Al Auqaaf wal Syu’un Al Islamiyah bil Kuwait) atas pertanyaan:Bagaimana menurut syariat jual beli dengan tempo. Apakah diperbolehkan oleh syari’at bila di sana ada harga barang yang dijual dengan cash (kontan) dan ada harga untuk barang yang sama yang dijual dengan kredit? Mereka menjawab:tidak apa-apa harga jual kredit lebih tinggi dari harga jual cash (kontan) dan penjual boleh mencari keuntungan yang ia inginkan dengan cara hitungan ekonomi.[2]
Dengan demikian saudari boleh melakukan usaha tersebut dan bebas dalam mencari keuntungannya tidak ada ketentuan berapa persen keuntungannya. Namun perlu diingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
“Semoga Allah merahmati orang yang mudah apabila menjual dan bila membeli serta bila menagih hutang.” (HR. Al Bukhori)
Yang mudah dan kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.
Sedangkan berbohong untuk menolak orang berhutang, ini tentu terlarang karena masuk dalam kategori dusta. Namun hendaknya bila mendapatkan jenis orang seperti itu hendaknya ditolak dengan baik-baik dan katakan kami tidak memberi hutang kepada anda. Bila ia bertanya tentang sebabnya maka dilihat, bila ia akan baik dengan dijelaskan sebabnya sehingga ia dapat memperbaiki darinya kembali maka jelaskan dan bila tidak maka baiknya katakan kepadanya itu hak prerogative kami.
Memang terkadang kita harus tegas tanpa harus kasar menyikapi tipe orang seperti itu dan harus bijak menentukan keputusan memberi atau tidak memberi. Jangan lupa juga bila memberi hutang kepada orang lain harus dengan perjanjian hitam di atas putih agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari.
Mudah-mudahan jawaban singkat ini bermanfaat bagi kita semua.
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
____
Footnotes:
[1] Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, edisi 6 Ar Riasah Al’amah li Idaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta wad Dakwah wal Irsyad hal. 270, bulan Rabi’ Al Tsani-Jumada 1,2 -1403.
[2] Majalah Al Syari’at wa Dirasat Al Islamiyah hal 264, tahun pertama edisi satu bulan Rajab 1414H. diterbitkan Universitas Kuwait.
____
Keterangan:
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli kredit, dan pendapat yang insya Allah lebih kuat/rajih adalah BOLEH, dengan syarat tidak ada tambahan pembayaran apabila pembayaran angsurannya terlambat. Dan realitanya, banyak sekali praktek jual beli kredit yang ada sekarang ini (terutama di negara kita) TIDAK SESUAI dengan syariah Islam, oleh karena itu seyogyanya kita sebagai seorang muslim harus meneliti dan mencermati setiap akad yang akan kita jalankan.
Berikut ini kami kutip sebagian dari tulisan ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. tentang Jual Beli Kredit:
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Jual Beli Kredit Tetapi Status Belum Menjadi Milik Penjual
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Perlu dicermati bahwa ada sebagian perusahaan yang bila seseorang datang untuk membeli suatu keperluan seperti peralatan rumah tangga, mobil, rumah dan sebagainya, ia membelikan keperluan tersebut kemudian menjualnya kepada orang tersebut secara kredit plus bunga darinya padahal barang tersebut belum menjadi milik perusahaan itu. Atau trik lainnya, perusahaan tadi menyuruh orang tersebut membelinya sendiri kemudian ia membayarkan harganya terlebih dahulu berdasarkan kwitansi lalu mengambil bunga dari orang ini, bagaimana hukum jual-beli seperti ini?
Jawaban:
Sebagaimana telah diketahui, bahwa siapa saja yang meminjam sejumlah 100.000 riyal, misalnya, untuk kemudian melunasinya secara angsuran (kredit) plus 8% untuk setiap angsurannya dan presentase ini semakin bertambah atau bisa juga tidak bertambah manakala temponya diperpanjang (jatuh tempo), maka ini adalah bagian dari riba, yaitu Riba Nasi’ah dan Fadhl. Hal ini semakin buruk manakala persentase tersebut semakin bertambah bila temponya diperpanjang, dan ini adalah riba Jahiliyah yang telah dilansir oleh Allah dalam firmanNya:
“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”. [Ali-Imran : 130-132]
Seperti telah diketahui bawha pengelabuan (menyiasati secara licik) terhadap transaksi seperti ini sama artinya mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, berbuat makar dan berkhianat terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui pandangan mata yang khianat (pandangan yang terlarang seperti melihat kepada wanita bukan mahram, -pent) dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Demikian pula, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah tidak akan dapat menjadikannya halal hanya sekedar lahiriyahnya saja yang halal sementara tujuannya haram. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah ini hanya akan menjadikannya bertambah buruk, karena si pelakunya telah terjatuh kedalam dua larangan:
Pertama: Menipu, makar dan mempermainkan hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua: Kerusakan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang diharamkan dan didapat dengan cara pengelabuan tersebut, sebab akibat dari pengelabuan itu berarti kerusakan tersebut menjadi semakin terealisir. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah berarti keterjerumusan ke dalam hal yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Dengan begitu, si pelakunya berarti telah menyerupai mereka dalam hal itu. Oleh karenanya pula, dalam sebuah hadits disebutkan:
“Artinya: Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kamu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) siasat licik”. [Ibnu Baththah dalam kitabnya Ibthalul Hiyal hal. 24, lihat juga Irwa’ul Ghalil 1535]
Sebagaimana dimaklumi oleh orang yang mau merenung dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa siapa yang mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli mobil, “pergilah ke pameran mobil dan pilihlah mobil yang adan inginkan, saya akan membelinya dari pameran mobil itu kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”, atau mengatakan kepada seseorang yang ingin membeli tanah, “pergilah ke pemilik usaha property dan pilihlah tanah yang anda inginkan, saya akan membeli darinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.
Atau dia mengatakan kepada orang yang ingin mendirikan bangunan dan membutuhkan besi, “pergilah ke toko alat-alat bangunan (material) si fulan dan pilihlah jenis besi yang anda sukai, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”. Atau mengatakan kepada orang yang sama tetapi membutuhkan semen, “pergilah ke toko alat-alat bangunan si fulan dan pilihlah jenis semen yang anda inginkan, saya akan membelinya kemudian menjualnya kepada anda dengan penangguhan secara kredit”.
Saya tegaskan, sebagaimana telah diketahui oleh orang yang mau merenung, bersikap adil (objektif) dan dapat melepaskan dirinya dari kungkungan hawa nafsu, bahwa transaksi seperti ini adalah termasuk pengelabuan terhadap riba. Hal ini, karena pedagang yang membeli barang tadi, dari semula tidak bermaksud untuk membelinya dan tidak pernah terpikirkan di otaknya untuk membelinya. Demikian pula, dia tidak pernah membelinya untuk si pencari barang tersebut karena ingin berbuat baik kepadanya, tetapi dia membelinya karena tergiur oleh nilai tambah yang didapatnya dari proses penangguhan (kredit) tersebut. Oleh karena itulah, setiap kali tempo diperpanjang, maka bertambah pula prosentase bunganya.
Sebenarnya hal ini sama seperti ucapan seseorang, “Saya pinjamkan kepadamu harga dari semua barang-barang ini plus ribanya sebagai imbalan dari penangguhan (kredit) akan tetapi saya juga akan memasukkan barang di sela kedua hal tersebut”. Dalam hal ini, telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bawhasanya dia pernah ditanyai tentang seorang yang menjual sutera dari orang lain seharga seratus kemudian menjulannya seharga lima puluh? Beliau menjawab, “Itu sama saja dengan beberapa dirham plus beberapa dirham secara berlebih (riba) termasuk di sela-sela keduanya sutera tersebut.”
Ibn Al-Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Tahdzibus Sunan (V : 103), “Pengharaman terhadap riba seperti ini adalah berdasarkan makan (esensi) dan hakikat (substansi)nya, sehingga ia tidak akan surut berlaku dikarenakan perubahan nama dalam teknis penjualannya.” –selesai ucapan beliau-
Bila membandingkan antara masalah jual-beli Inah dengan masalah tersebut, anda akan mendapatkan hukum masalah tersebut lebih dekat kepada pengelabuan terhadap riba ada sebagian gambaran yang ada dalam masalah Inah, sebab Inah tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli fikih bahwa (gambarannya): seorang menjual barang kepada seseorang dengan harga tangguh (kredit) kemudian membeli lagi darinya secara cash (kontan) dengan harga yang kurang dari itu padahal ketika menjualnya,si penjual terkadang tidak berniat untuk membelinya. Sekalipun demikian, hal itu tetap haram baginya. Ucapan si penjual yang suka mengelabui, “saya tidak memaksanya untuk mengambil barang yang telah saya belikan untuknya”, tidaklah dapat mentolerir (kebolehan) transaksi seperti ini.
Hal tersebut, karena sebagaimana telah diketahui bahwa seorang pembeli tidak mencari barang tersebut kecuali karena dia memang membutuhkannya dan dia tidak akan membatalkan niat untuk membelinya. Tentunya, kita tidak pernah mendengar ada seseorang yang membeli barang-barang dengan cara seperti itu (secara kredit) membatalkan niatnya untuk membelinya sebab seorang pedagang yang suka mengelabui seperti itu sudah mempertimbangkan untung ruginya bagi dirinya dengan mengetahui pasti bahwa si pembeli tersebut tidak akan membatalkan niatnya, kecuali bila dia mendapatkan cacat pada barang tersebut atau criteria yang disebutkan kepadanya ternyata kurang.
Jika ada yang mengatakan, “Bilamana tindakan seperti ini termasuk pengelabuan untuk melakukan riba, apakah ada jalan lain yang dapat ditempuh sehingga tindakan seperti ini dapat bermanfaat tanpa harus melakukan pengelabuan terhadap riba?”
Jawabannya, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berkat hikmah dan rahmatNya tidak pernah mengunci pintu-pintu maslahat bagi para hambaNya. Jadi, bila dia mengharamkan sesuatu atas mereka karena terdapat kemudharatannya, maka Dia akan membukakan pintu-pintu bagi mereka yang mencakup semua maslahat tanpa menimbulkan kemudharatan.
Jalan yang terbebas dari tindakan seperti itu adalah dengan adanya barang-barang tersebut pada si pedagang, lalu dia menjualnya kepada para pembeli dengan harga tangguh (kredit), sekalipun dengan tambahan harga atas harga kontan (cash).
Saya kira, tidak ada pedagang besar (konglomerat) yang tidak mampu membeli barang-barang yang dia lihat prosfektif untuk diserbu para konsumen untuk kemudian menjualnya dengan harga yang dia tentukan sendiri. Dengan demikian, dia akan mendapatkan keuntungan yang dia inginkan plus terbebas dari tindakan pengelabuan untuk melakukan riba. Bahkan barangkali dia malah mendapatkan pahala di akhirat kelak bila diniatkan untuk memberikan kemudahan kepada orang-orang yang tidak mampu membelinya dengan harga kontan (cash). Bukankah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah besabda:
“Artinya: Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang tergantung kepada apa yang dia niatkan.” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Bad’il Wahyi (1), Muslim, kitab Al-Imarah (1907)]
Terkait dengan apa yang disinggung oleh si penanya bahwa perusahaan tersebut membebankan kepada pembeli agar membeli barang yang diinginkan: jika melalui hak itu, ia (perusahaan tersebut) ingin agar si pembeli tersebut menjadi perantaranya, maka inilah masalah yang telah kita bicarakan di atas. Dan jika yang diinginkan oleh perusahaan tersebut adalah membeli barang tersebut untuk kepentingan sendiri, maka ini namanya Qardlun Jarra Naf’an (pinjaman yang diembel-embeli tambahan). Dan ini tidak ada masalah lagi bahwa ia adalah jelas-jelas riba.
[Fatawa Mu’ashirah, hal. 47-52,dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit ]
____
Keterangan:
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli kredit, dan pendapat yang insya Allah lebih kuat/rajih adalah BOLEH, dengan syarat tidak ada tambahan pembayaran apabila pembayaran angsurannya terlambat. Dan realitanya, banyak sekali praktek jual beli kredit yang ada sekarang ini (terutama di negara kita) TIDAK SESUAI dengan syariah Islam, oleh karena itu seyogyanya kita sebagai seorang muslim harus meneliti dan mencermati setiap akad yang akan kita jalankan.
Berikut ini kami kutip sebagian dari tulisan ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. tentang Jual Beli Kredit:
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Penjawab: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Sumber: https://konsultasisyariah.com/