Type Here to Get Search Results !

 


HUKUM JUAL-BELI EMAS NON TUNAI

Jual Beli Emas secara Kredit

Berikut ini adalah jawaban dari pertanyaan yang disampaikan di milis pm-fatwa@yahoogroups.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya, yang telah dijawab oleh Ustadz Muhammad Arifin bin Badri, M.A., pembina komunitas pengusaha muslim ini.

Pertanyaan:

Saya ingin menanyakan apakah boleh bila saya membeli barang jarak jauh (barang seperti minyak dan emas yang harganya naik turun). Contoh, saya membeli 10 gram emas pembayaran dilakukan secara transfer, namun karena kendala jarak dan waktu maka barang tersebut belum saya ambil (kami sudah saling mengenal), kemudian beberapa hari kemudian sebelum barang sempat saya ambil, harga barang sudah naik, saya jual kembali dengan pengikatan harga melalui telpon (saya putuskan mengikat harga penjualan lewat telpon, karena hargannya memang setiap jam ada perubahan). Namun pihak sana tidak langsung mentransfer uang penjualan saya tsb. sebelum saya datang ketempat itu untuk membawa bukti transfer uang pembelian saya beberapa hari sebelumnya sekaligus saya menerima bukti pembelian dan penjualan. Apa jual beli seperti ini diperbolehkan?

Jawaban:

Jual Beli Emas secara Kredit

Perlu dibedakan antara jual beli emas/valas dengan jual beli barang lainnya.

Bila barang yang dijual-belikan adalah emas & valas, maka proses jual belinya harus mengindahkan dua ketentuan berikut:

Transaksi dilakukan dengan cara kontan, sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan pada saat terjadi akad transaksi, dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walau hanya sejenak.

Barang yang menjadi obyek akad barter harus sama jumlah dan takarannya, misalnya satu kilo emas lama ditukar dengan satu emas baru, tidak ada perbedaan dalam hal takaran atau timbangan, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang. Atau uang Rp. 1.000.000,- dalam pecahan uang Rp 100.000,- ditukar dengan pecahan Rp 10.000,- maka jumlahnya harus sama Rp 1 juta ditukar dengan Rp 1 juta tidak boleh ada yang dilebihkan atau dikurangi.

  • Pertama: Bila barter dilakukan antara dua komoditi yang sama, misalnya: emas dengan emas (dinar dengan dinar) atau rupiah dengan rupiah, maka akad barter/valas tersebut harus memenuhi dua persyaratan:

Contoh lain: seseorang memiliki 10 gram perhiasaan emas yang telah lama atau ia pakai emas 24 karat, dan ia menginginkan untuk menukarnya dengan perhiasan emas yang baru atau emas 21 karat. Bila akad dilakukan dengan cara barter (tukar-menukar), maka ia harus menukarnya dengan perhiasan emas seberat 10 gram pula, tanpa harus membayar tambahan. Bila ia membayar tambahan, atau menukarnya dengan perhiasaan seberat 9 gram, maka ia telah terjatuh dalam riba perniagaan, dan itu adalah haram hukumnya.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا تبيعوا الذهب بالذهب، إلا مثلا بمثل ولا تشفو بعضها على بعض، ولا تبيعوا الورق بالورق إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائبا بناجز ا

“Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau menjual/membarterkan emas dengan emas, melainkan sama-sama (beratnya) dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau membarterkan perak dengan perak malainkan sama-sama (beratnya), dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau menjual sebagian darinya dalam keadaan tidak ada di tempat berlangsungnya akad perniagaan dengan emas atau perak yang telah hadir di tempat berlangsungnya akad perniagaan.“ (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini dengan tegas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua persyaratan di atas, yaitu barter dengan cara kontan dan dalam timbangan yang sama beratnya.

Jalan keluarnya bagi orang yang hendak menukarkan perhiasan emasnya yang telah lama ia pakai dengan perhiasan yang baru, agar ia tidak terjatuh kedalam akad riba, adalah ia terlebih dahulu menjual perhiasaan lamanya dengan uang, dan kemudian ia membeli perhiasaan baru yang ia kehendaki, dengan hasil penjualan tersebut, baik dengan harga yang lebih mahal atau lebih murah. Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah berikut:

استعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم رجلا على خيبر، فجاءه بتمر جنيب، فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم  أكلُّ تمر خيبر هكذا؟ فقال: لا، والله يا رسول الله، إنا لنأخذ الصاع من هذا، بالصاعين، والصاعين بالثلاثة، فقال رسول الله فلا تفعل، بع الجمع بالدراهم، ثم ابتع بالدراهم جنيبا

وفي رواية: قال رسول الله أَوِّهْ عين الربا، لا تفعل، ولكن إذا أردت أن تشتري التمر فبعه ببيع آخر ثم اشتر به

“Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar, kemudian pada suatu saat ia datang menemui beliau dengan membawa korma dengan mutu terbaik, maka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bertanya kepadanya: “Apakah seluruh korma daerah Khaibar demikian ini? “ia menjawab: Tidak, sungguh demi Allah ya Rasulullah, sesungguhnya kami membeli satu takar dari korma ini dengan dua takar (korma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau lakukan, juallah korma yang biasa dengan uang dirham, kemudian belilah dengan uang dirham tersebut korma dengan mutu terbaik tersebut.”

Dan pada riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aduh, (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan, akan tetapi bila engkau hendak membeli korma (dengan mutu baik) maka juallah korma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian belilah dengan (uang) hasil penjualannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

  • Kedua : Bila barter dilakukan antara dua barang yang berbeda jenis, misalnya emas dijual dengan uang kertas, uang rupiah indonesia dengan dolar US, maka boleh untuk melebihkan salah satu barang dalam hal jumlah, akan tetapi pembayaran/penyerah-terimaan barang tetap harus dilakukan dengan cara kontan, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد رواه مسلم

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, korma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Bila macam/jenis barang berbeda, maka silahkan engkau membarterkannya dengan cara sesuka hatimu, bila hal itu dilakukan dengan cara kontan.” (HRS Muslim)

Bila barang yang diperjual belikan adalah selain emas, perak dan mata uang (valas), maka ada satu hal yang harus diperhatikan, yaitu tidak menjual kembali barang yang telah kita beli sebelum barang tersebut kita pindahkan dari tempat penjual.

Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari/mencegah terjadinya praktek akal-akalan dalam melanggar hukum-hukum riba. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه

“Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhu berikut:

عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا،

فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث

ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى. رواه أبو داود والحاكم

“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: Janganlah engkau jual minyak itu ditempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melarang dari menjual kembali barang ditempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)

Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, diantaranya ialah: karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air, dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut. Dan sudah barang tentu kejadian ini sangat merugikan pihak pembeli kedua.

Hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ

“Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: Bagaimana kok demikian? Ia menjawab: Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.” (Riwayat Bukhary dan Muslim)

Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar -misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).” Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.

Dengan demikian, anda tidak dibenarkan menjual kembali barang yang telah anda beli tersebut, sebelum anda mengeluarkan/membawa pergi barang tersebut dari tempat penjual. Adapun masalah pembayaran anda yang belum lunas kepada penjual pertama, maka itu tidak menjadi masalah atau penghalang bagi anda untuk menjual kembali barang itu, selama anda telah membawa pergi barang itu dari tempat penjual.

Wallahu a’alam bisshawab, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Pertanyaan:

Bagaimana dengan keuntungan yang sudah saya dapatkan apa boleh dinikmati? termasuk keuntungan beberapa hari yang lalu yang belum saya ambil baik uang hasil penjualan plus keuntungannya ini, mengingat saya belum sempat kesana untuk menunjukkan bukti transfer uang saat saya membeli sebelum saya menjualnya lagi ke penjual tsb. (Beberapa waktu yang lalu sebenarnya saya sempat menanyakan ke salah satu ustad perihal ini, yang saya tangkap, membeli kemudian kalau ingin menjualnya harus mengambil barangnya dulu adalah SEBISA MUNGKIN, jadi waktu itu saya menganggap mungkin MAKRUH dalam artian kalau dalam kasus tertentu dibolehkan, tapi dengan membaca jawaban diatas JELAS tidak bolehnya)

Jawaban:

Untuk yang sudah lalu sebelum bapak mengetahui hukum permasalahan ini, insyaAllah tidak masalah untuk dinikmati. Adapun yang belum sempat diambil, maka lebih baik dan lebih selamatnya bila keuntungannya disedekahkan kepada fakir-miskin.

Pertanyaan:

Dalam jual beli emas (batangan) ini harga selalu berubah2, bila saya ingin membeli dan mendapati harga yg bagus,bolehkah saya ikat harga dulu lewat telpon kemudian beberapa jam kemudian asal tidak lewat 1 hari baru saya bayar dan ambil barang? karena kalau saya ke sana dulu boleh jadi harganya tambah naik. Demikian pula menjualnya, ikat harga dengan telpon dulu lalu pada hari yang sama menyerahkan emas itu ke penjual tsb

Jawaban:

Dalam penjualan emas, perak, atau mata uang maka penjualan hanya dapat dilakukan dengan cara kontan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada jawaban saya yang terdahulu.

Akan tetapi anda dapat menempuh solusi berikut: Anda dapat membuat penawaran/komitmen/janji untuk membeli dengan harga yang berlaku kala itu melalui telepon atau yang semisal, akan tetapi belum mengadakan akad jual beli. Dan setalah mengadakan penawaran ini anda segera mendatangai pemilik barang untuk mengadakan akad jual-beli dengan penawaran yang telah dibicarakan via telepon. Ingat, ketika penawaran via telepon belum ada akad jual beli, sehingga kita tidak melanggar ketentuan yg telah dijelaskan pd jawaban sebelumnya. Sebagai konsekwensinya, masing-masing dari penjual & pembeli karena belum terikat memiliki kebebasan penuh untuk membatalkan penawaran tersebut. Dengan solusi ini, anda telah mendapatkan janji/komitmen dari penjual emas untuk disisihkan sejumlah emas yang anda pesan, sehingga ketika anda tiba ditempat pembeli anda mendapatkan barang yang anda inginkan alias tidak kehabisan stok barang. Akan tetapi resikonya, bila ternyata ketika anda telah tiba ditempat penjual, harga emas telah berubah, maka penjualpun memiliki hak untuk menaikkan harga. Jawaban ini selaras dengan fatwa anggota tetap komite fatwa kerajaan saudi arabia fatwa no: 3931.

Pertanyaan:

Bila jawaban pertanyaan ke-2 di atas boleh, apa boleh pembayaran dilakukan lewat transfer kemudian barang diambil beberapa hari kemudian? (Dalam penjelasan ustadz diatas sepertinya sudah disebutkan tapi mohon maaf saya belum paham benar).

Jawaban:

Jelas dari jawaban diatas, bahwa dalam penjualan emas dan perak hanya ada satu cara, yaitu penjualan dilakukan dengan kontan, pembayaran kontan dan barang juga diserahkan seketika.

Akan tetapi ada solusi yang dapat ditempuh, yaitu, dengan mentrasfer pembayaran emas secara lunas (seluruh harga emas yang dibeli tanpa ada yang terhutang), lalu emas yang telah dibeli dititipkan kepada penjual hingga anda berkesempatan mengambilnya.

Pertanyaan:

Bolehkah saya memanfaatkan tabungan saya dengan membeli emas tsb. dengan memanfaatkan naik turunnya harga daripada ditaruh di bank yang syarat dengan RIBA, apa itu dianggap spekulasi atau bisa dianggap investasi meski hanya beberapa hari?

Jawaban:

Boleh anda menginvestasikan uang anda dalam bentuk emas, sehingga bila harga emas naik anda kembali menjual emas anda, dan bila pada kemudian hari harga emas kembali turun, anda membelinya lagi untuk selanjutnya menantia harga emas naik dan menjualnya kembali, demikian seterusnya. Ini adalah salah satu bentuk perniagaan yang dibenarkan dalam Islam. Tentunya pada setiap akad jual atau beli anda harus mengindahkan ketentuan pembayaran kontan, sebagaimana telah dijelaskan pada jawaban sebelumnya.

Pertanyaan:

Bicara masalah bank, apabila kita menyimpan uang di bank syariah yang independen katakan Muamalat, bolehkah saya menikmati uang bagi hasilnya (Jujur saya masi ragu dengan ini sehingga saya pilih jual beli emas daripada menaruh uang di bank)

Jawaban:

Perbankan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syari’at dan yang ada di negri kita, -setahu saya- hingga saat ini hanya sebatas nama saja, akan tetapi hakikatnya tidak jauh beda dengan perbankan konvensional. Oleh karena itu, menurut hemat saya, apa yang anda lakukan tepat sekali, semoga Allah Ta’ala memberkahi usaha anda dan melimpahkan kemudahan serta hidayahnya kepada anda dan keluarga.

Wallahu a’alam bisshowab.

Muhammad Arifin bin Badri, M.A.

Sumber: https://konsultasisyariah.com/

Beli Emas dengan Cek, Bolehkah?

Pertanyaan:

Apakah boleh dalam pembelian atau penjualan menggunakan cek yang dapat dicairkan di salah satu bank? Perlu diketahui bahwa nominasi yang tertera dalam cek benar-benar dapat dicairkan dengan utuh di bank yang dimaksud, terlebih-lebih ia (pembeli) tidak dapat membawa uang tunai tatkala ia hendak membeli, tidak juga penjual dapat menerimanya dari pembeli bila ia membeli beberapa jumlah emas batangan, terlebih-lebih kadangkala jumlah uangnya mencapai jutaan reyal, sehingga bila ia membawanya, ia khawatir akan keselamatan diri atau uangnya.

Jawaban:

Tidak mengapa hal yang demikian, karena jual-beli dengan cek, hukumnya sama dengan menerima uang kontan, bila cek tersebut telah disahkan oleh pihak bank.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 13/493, fatwa no. 9564).

Adapun selain keenam komoditi tersebut, maka diperselisihkan oleh para ulama, apakah dapat diberlakukan padanya hukum riba perniagaan sebagaimana halnya keenam komoditi di atas atau tidak.

Para ulama ahlu zhahir (Ibnu Hazem dan lainnya) berpendapat, bahwa hukum riba perniagaan hanya berlaku pada keenam komoditi yang disebutkan pada hadits di atas, adapun selainnya, maka tidak berlaku padanya hukum riba perniagaan. Berdasarkan ini, mereka berpendapat bahwa selain keenam komoditi tersebut boleh untuk dibarterkan dengan cara apapun, baik dengan pembayaran kontan atau dihutang, dengan melebihkan salah satu barang dalam hal timbangan atau dengan timbangan yang sama (baca al-Muhalla oleh Ibnu Hazem, 8/468).

Adapun jumhur ulama, di antaranya ulama keempat madzhab berpendapat bahwa hukum riba perniagaan berlaku pula pada komoditi lain yang semakna dengan keenam komoditi tersebut.

Walau demikian, mereka berbeda pendapat tentang makna penyatu antara keenam komoditi tersebut dengan komoditi lainnya:

  • Pendapat Pertama: Makna (alasan) berlakunya riba pada emas dan perak ialah karena keduanya ditimbang, sedangkan alasan pada keempat komoditi lainnya ialah karena ditakar. Dengan demikian, setiap komoditi yang diperjual belikan dengan di timbang atau ditakar, maka berlaku padanya hukum riba perniagaan. Pendapat ini merupakan madzhab ulama Hanafi dan Hambaly (baca al-Mabsuth oleh as-Sarakhsi, 12/113 dan Bada’ius Shanaa’i oleh al-Kasany 4/401, al-Mugjhny oleh Ibnu Qudamah).
  • Pendapat Kedua: Alasan berlakunya riba perniagaan pada emas dan perak ialah karena keduanya adalah alat untuk berjual-beli, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena komoditi tersebut merupakan makanan pokok yang dapat disimpan. Dengan demikian, setiap yang menjadi alat untuk berjual-beli, baik itu terbuat dari emas dan perak atau selainnya, maka berlaku padanya hukum riba perniagaan. Demikian juga halnya setiap makanan pokok yang dapat disimpan, seperti beras, jagung, sagu dan lainnya berlaku padanya hukum riba perniagaan, dengan dasar qiyas kepada keenam komoditi yang disebutkan dalam hadits di atas. Ini adalah pendapat ulama madzhab Maliki (baca al-Muqaddimat al-Mumahhidaat, 2/13 dan Bidayatul Mujtahid, 7/182-183).
  • Pendapat Ketiga: Alasan berlakunya riba pada emas dan perak, karena keduanya adalah alat untuk jual beli, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena kempat komoditi tersebut merupakan bahan makanan. Dengan demikian, setiap yang dimakan berlaku padanya hukum riba perniagaan, baik sebagai makanan pokok atau tidak. Dan ini adalah pendapat ulama madzhab Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal (baca al-Bayan oleh al-Umraany 5/163-164, Raudhatut Thalibin oleh an-Nawawi 3/98, Mughnil Muhtaj oleh as-Syarbini 2/22, al-Mughny oleh Ibnu Qudamah 6/56, dan al-Inshaf oleh al-Murdawi 12/15-16).
  • Pendapat Keempat: Alasan berlakunya riba pada emas dan perak, karena keduanya adalah alat untuk jual beli, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena kempat komoditi tersebut merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Dengan demikian, bahan makanan yang diperjualbelikan dengan cara dihitung tidak berlaku padanya hukum riba perniagaan. Dan ini merupakan pendapat ketiga yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal, dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (baca al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/56, asy-Syarhul Kabir oleh Abul Faraj Ibnu Qudamah 12/12, dan al-Fatawa al-Kubra 5/391).
  • Pendapat Kelima: Alasan berlakunya riba pada emas dan perak, karena keduanya adalah emas dan perak (alasan atau ‘illah semacam ini dinamakan dalam ilmu ushul fiqih dengan ‘illah qashirah, yaitu suatu makna yang hanya ada pada hal yang disebutkan dalam dalil saja, atau yang diistilahkan dalam pembahasan qiyas dengan sebutan al-Aslu), baik sebagai alat untuk jual beli (dengan demikian di-qiyas-kan dengan keduanya setiap alat jual beli yang dikenal luas oleh umat manusia, dan pada zaman sekarang, uang kertas dan logam merupakan pengganti dinar dan dirham, sehingga berlaku padanya hukum uang dinar dan dirham) atau tidak, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena kempat komoditi tersebut merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (baca asy-Syarhul Mumti’, 8/390).

Kelima pendapat di atas memiliki alasan dan dalilnya masing-masing, dan para ulama ahli fiqih telah membahasnya dengan panjang lebar, lengkap dengan diskusi ilmiyyah yang telah mereka abadikan dalam karya-kaya mereka. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya tidak akan menyebutkan dalil masing-masng pendapat. Akan tetapi, saya hanya akan menyebutkan dalil pendapat yang saya anggap paling kuat, yaitu pendapat kelima.

Adapun dalil bahwa alasan berlakunya hukum riba perniagaan pada emas dan perak yaitu karena keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai alat jual beli atau tidak, adalah hadits berikut:

عن فضالة بن عبيد رضي الله عنه قال : اشتريت يوم خيبر قلادةً باثني عشر ديناراً، فيها ذهب وخرز، ففصلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر دينارا، فذكرت ذلك للنَّبي صلّى الله عليه و سلّم فقال: لا تباع حتى تفصل.

وفي رواية: ثم قال لهم رسول الله للنَّبي صلّى الله عليه و سلّم (الذهب بالذهب وزنا بوزن) رواه مسلم

Dari Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu ia mengisahkan, “Pada saat peperangan Khaibar, aku membeli kalung seharga dua belas dinar, padanya terdapat emas dan permata, kemudian aku pisahkan, ternyata aku berhasil mengumpulkan lebih dari dua belas dinar, maka aku sampaikan kejadian itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Kalung tersebut tidak boleh diperjualbelikan, hingga dipisah-pisahkan.’

Pada riwayat lain disebutkan: “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, ‘Emas dengan emas harus sama dalam timbangannya.’” (HR. Muslim).

Pada kisah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hukum riba perniagaan pada penjualan emas yang ada pada kalung tersebut, padahal kalung adalah perhiasaan dan bukan alat untuk jual beli.

Pemahaman ini lebih dikuatkan oleh hadits,

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال: (نهى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم أن يباع الذهب بالذهب تبره وعينه إلا وزنا بوزن والفضة بالفضة تبرها وعينها إلا مثلا بمثل، وذكر الشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح كيلا بكيل فمن زاد أو إزداد فقد أربى. (رواه النَّسائي والطَّحاوي والدَّارقطني والبيهقي وصححه الألباني)

“Dari sahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan emas dengan emas, baik berupa batangan atau berupa mata uang dinar melainkan dengan cara sama timbangannya, dan perak dengan perak, baik berupa batangan atau telah menjadi mata uang dirham melainkan dengan cara sama timbangannya. Dan beliau juga menyebutkan perihal penjualan gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam dengan cara takarannya sama. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.” (HR. An-Nasa’i, ath-Thahawi, ad-Daraquthny, al-Baihaqy dan dishahihkan oleh al-Albany).

Adapun dalil bahwa alasan berlakunya hukum riba perniagaan pada keempat komoditi lainnya yaitu karena sebagai bahan makanan yang ditimbang atau ditakar adalah penggabungan antara berbagai dalil yang berkaitan dengan permasalahan ini, di antaranya hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu di atas dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

الطعام بالطعام مثلا بمثل. رواه مسلم

“Bahan makanan (dijual) dengan bahan makanan, harus sama dengan sama.” (HR. Muslim).

Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

لذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى. رواه مسلم

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran / timbangannya) sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim).

Dengan menggabungkan beberapa dalil di atas dan juga dalil-dalil lainnya yang tidak disebutkan disini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan keempat komoditi tersebut sebagai bahan makanan yang ditakar atau ditimbang merupakan alasan berlakunya hukum riba perniagaan padanya. Dengan demikian, setiap bahan makanan yang diperjualbelikan dengan cara ditimbang atau ditakar, maka berlaku padanya hukum riba perniagaan. Wallahu a’lam bish-shawab (bagi yang ingin mengetahui keterangan ulama tentang permasalahan lebih lanjut, silahkan merujuk kitab-kitab fiqih pada setiap madzhab).

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA. –hafizhahullah–

Sumber: https://konsultasisyariah.com/

Beli Emas Virtual Antam

Ustadz di butik emas antam kita bisa beli emas virtual, jd kita tidak beli fisik emasnya, tapi kita mnyerahkan uang ke butik emas  sejumlah gram yg kita mau beli dg harga di bawah fisik emas, ada administrasinya pertahun, bedanya dg tabungan di bank, dia nilai rupiahnya mengikuti berat emas yg kita beli. klebihannya dia bisa diuangkan sewaktu2 sesuai kebutuhan kita tdk harus seluruhnya. apa itu diperbolehkan mnrt hukum syar’i?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian dari syarat jual beli emas adalah harus dilakukan secara tunai, dari tangan ke tangan.

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ ، يَدًا بِيَدٍ ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika emas dibarter dengan emas, perak dengan perak, gandum halus dengan gandum halus, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka takarannya harus sama dan harus tunai. Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.” (HR. Muslim 2970)

Anda bisa perhatikan kalimat yang terakhir,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.”

Ketika kita beli emas, berarti terjadi pertukaran uang dengan emas. Dan ini dua benda ribawi yang berbeda, namun satu kelompok, dan dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan harus dilakukan secara tunai.

Kembali kepada kasus di atas,

Ada dua pendekatan untuk kasus di atas,

[1] Membeli emas secara virtual berarti membeli emas secara tidak tunai, dalam arti uangnya diserahkan sekarang, sementara emasnya belum ada (tertunda).

Uang (tunai) <==> Emas (tertunda)

Ketika transaksi ini dilakukan, berarti melanggar hadis Ubadah bin Shamit di atas, dan itu termasuk bentuk riba nasiah.

Malik bin Aus radhiyallahu ‘anhu bercerita, bahwa beliau pernah mendatangi kerumunan beberapa orang, lalu aku sampaikan, “Siapa yang mau menukarkan dirhamnya? Ini saya punya dinar.”

Di sana ada Thalhah bin Ubaidillah yang ketika itu berada di dekat Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sahabat Thalhah  merespon, “Tunjukkan emasmu, sini saya bawa dulu. Jika nanti pembantuku datang, akan saya serahkan dirhamku.”

Mendengar ini, Umar langsung mengingatkan,

كَلَّا، وَاللهِ لَتُعْطِيَنَّهُ وَرِقَهُ، أَوْ لَتَرُدَّنَّ إِلَيْهِ ذَهَبَهُ

Tidak boleh seperti itu, demi Allah, kamu harus serahkan perakmu (dirham) sekarang, atau kamu kembalikan emas itu kepadanya. (HR. Muslim 1586)

Dalam kejadian di atas, Umar mengingkari praktek yang dilakukan Sahabat Malik dengan Sahabat Thalhah, ketika mereka melakukan tukar menukar emas dengan perak secara tidak tunai. Dimana Malik bin Aus menyerahkan emasnya, sementara Thalhah menyerahkan peraknya setelah pembantunya datang. Ada penundaan di sana, dan itu dilarang.

[2] Hakekat transaksi ini adalah utang piutang, namun ada kelebihan.

Misalnya, harga emas saat ini adalah 700rb/gr. Lalu anda menyetorkan uang ke butik emas senilai 7jt, sehingga dicatat telah memiliki emas 10gr. Tiga bulan berikutnya, harga emas 750rb/gr. Lalu anda setor lagi senilai 6jt, sehingga tercatat membeli emas 8gr. Total emas anda 18gr. Selang setahun, harga emas naik menjadi 800rb/gr. Kemudian anda mengambilnya dalam bentuk uang.

Uang yang akan anda terima adalah 14.400.000. Padahal yang anda setorkan senilai 7jt + 6jt = 13jt. Selisih 1.400.000 adalah riba utang piutang, dan bukan selisih jual beli emas, karena tidak ada emasnya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Sumber: https://konsultasisyariah.com/