Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Termasuk perkara penting yang layak bagi kita bersama untuk mengetahuinya dan betapa sering kita melalaikannya yaitu tentang dosa-dosa lisan. Terutama di zaman sekarang ini, di mana banyak hal yang dapat memancing kita untuk berbicara. Misalnya seperti urusan politik, membicarakan politik adalah perkara yang menarik dan menyenangkan, namun sering kali ketika kita berkomentar tentang politik hanya sekadar latah dan ikut-ikutan tanpa disertai dalil atau bukti-bukti. Terkadang kita membangun Al-Wala’ dan Al-Bara’ di atas politik tersebut, sedangkan semua komentar kita, baik berupa ucapan maupun tulisan tentang itu akan dihisab oleh Allah ﷻ pada hari kiamat kelak.
Di antara hal lain yang membuat kita terpancing untuk berbicara adalah urusan selebriti. Banyak orang mudah berkomentar dan membicarakan artis Fulan atau Fulan. Tidak kalah menariknya juga ketika berkomentar berkaitan masalah agama, dengan hadirnya media sosial banyak sekali masalah agama yang dibicarakan, sehingga terkadang seseorang berbicara tentang kebenaran dan kebatilan seenaknya sendiri, padahal ini semua termasuk dalam dosa-dosa lisan.
Sesungguhnya lisan merupakan nikmat dari Allah ﷻ, sebagaimana firman Allah ﷻ,
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ، وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9)
Di antara nikmat yang Allah ﷻ ingatkan kepada manusia adalah nikmat lisan dan sepasang bibir sehingga manusia mampu berbicara. Oleh karenanya, jika kita menggunakan nikmat ini dengan sebaik-baiknya, maka lisan ini sangat mudah untuk mengantarkan kita masuk ke dalam surga. Namun, jika ternyata lisan ini tidak kita gunakan pada tempatnya, maka lisan ini sangat mudah untuk mengantarkan seseorang untuk masuk ke dalam neraka Jahanam. Maka dari itulah lisan juga disebut dengan ذَاتُ حَدَّيْن ‘yang memiliki dua mata’, artinya lisan bisa mengantarkan seseorang kepada kebaikan dan bisa juga mengantarkan kepada keburukan.
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa lisan dapat mengantarkan kepada kebaikan, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’id radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الجَنَّةَ
“Barang siapa yang menjamin apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisannya) dan antara kedua pahanya (kemaluannya), niscaya aku jamin baginya surga.”([1])
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad ﷺ, beliau bersabda,
إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ
“Sungguh ada seorang hamba yang mengucapkan satu perkataan yang diridai Allah, tanpa terpikirkan dampaknya, namun Allah mengangkatnya beberapa derajat.”([2])
Bisa saja kalimat tersebut adalah hal sepele, namun memberikan keberkahan yang luar biasa, sehingga Allah ﷻ mengangkatnya hingga beberapa derajat. Selain itu, diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Muhammad ﷺ, beliau bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim yang baik adalah yang orang Islam lainnya selamat dari keburukan lisan dan tangannya.”([3])
Orang yang bisa menjaga lisan, maka dia akan mudah masuk ke dalam surga. Bukankah dengan lisan, kita bisa membaca Al-Quran, berdakwah, beramar makruf nahi mungkar, mengucapkan ‘kalimatutthayyibah’ (kata-kata yang baik), mengucapkan hal yang bisa menyenangkan hati orang tua, saudara maupun teman-teman? Banyak kebaikan yang bisa diucapkan oleh lisan. Maka barang siapa yang menggunakannya dengan baik, tentu akan menjadi ladang pahala yang besar baginya. Sebaliknya, jika dia tidak menggunakannya dengan baik dan tidak pada tempatnya, maka sangat berbahaya. Oleh karenanya, ketika Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ, “Wahai Nabi Allah! Apakah kita akan disiksa disebabkan perkataan yang kita ucapkan?” Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz! Bukankah yang menyebabkan manusia terjerumus ke dalam neraka di atas wajah atau hidung mereka, kecuali akibat lisan-lisan mereka’.” ([4])
Hadits ini menjadi isyarat bahwasanya salah satu sebab yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam neraka adalah karena lisannya([5]). Demikian pula ketika Rasulullah ﷺ ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, maka Nabi Muhammad ﷺ menjawab,
وَمَا أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّارَ؟ قَالَ الْأَجْوَفَانِ: الْفَمُ وَالْفَرْجُ
“Dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan’.”([6])
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sungguh ada seorang hamba yang mengucapkan satu perkataan yang dimurkai Allah, tanpa terpikirkan dampaknya, namun Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahanam.”([7])
Dari sekian banyak dalil yang menjelaskan tentang akibat-akibat buruk dari lisan, maka hendaknya setiap orang selalu menjaga lisannya dan tidak terpancing dengan hal-hal yang mudah membuatnya untuk berkomentar.
Secara umum, dosa lisan dibagi menjadi dua, yaitu:
Berbicara dengan batil atau dosa (الْكَلَامُ بِالْبَاطِل). Pelakunya disebut dengan شَيْطَانٌ نَاطِقٌ ‘setan yang berbicara’.
Mendiamkan kebatilan (السُّكُوْتُ عَنِ الْبَاطِل). Pelakunya disebut dengan شَيطَانٌ أَخْرَص ‘setan bisu’. Pelakunya merasa bahwa yang penting dia selamat dan merasa senang. Kedua hal ini sama-sama tercela. ([8])
Macam-macam dosa lisan
1. Berkaitan dengan agama (hak Allah ﷻ)
Di antara dosa yang timbul dari perkataan yang berkaitan dengan agama adalah:
- Berbicara tentang agama tanpa ilmu
Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dan (mengharamkan) kamu berkata-kata atas nama Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Di dalam masalah ini, Ibnu Al-Qayyim memiliki buku yang berjudul إِعْلَامُ الْمُوَقِّعِيْنَ عَنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, menjelaskan tentang orang yang berfatwa atau berbicara tentang agama. Barang siapa yang berfatwa atau berbicara tentang agama, berarti dia berbicara atas nama Allah ﷻ. Setiap kali seseorang menghukumi suatu perkara tanpa didasari dengan ilmu, namun ternyata apa yang dia tetapkan tidak benar, maka pada hakikatnya dia telah berbicara tentang agama Allah ﷻ tanpa ilmu([9]). Tentu saja, ini adalah hal yang berbahaya, karena Allah ﷻ memberikan ancaman di dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu berkata-kata atas nama Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Di dalam ayat tersebut, Allah ﷻ menyebutkan macam-macam dosa, di antaranya adalah berkata atas nama Allah ﷻ tanpa didasari ilmu([10]). Tentu saja, hal ini sangat membahayakan khususnya pada zaman sekarang. Dengan banyaknya media sosial, banyak orang berkomentar tentang agama, membantah, mengkritik, dan bahkan mengejek. Oleh karenanya, hendaknya setiap orang waspada akan hal tersebut.
- Berdusta atas nama Nabi Muhammad ﷺ.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah radhiallahu ‘anhu, beliau mendengar bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama salah seorang biasa. Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.”([11])
Berdusta atas nama Nabi Muhammad ﷺ tidak sama dengan berdusta atas nama orang lain. Jika kita berdusta atas nama orang lain, maka tidak ada keterkaitannya dengan agama. Akan tetapi, jika kita berdusta atas nama Nabi Muhammad ﷺ, bahwa beliau bersabda begini atau begitu, maka orang akan menganggap bahwa itu adalah agama, dan dia akan meyakini dan mengamalkannya. Oleh karenanya, berdusta atas nama Nabi Muhammad ﷺ termasuk dosa besar, sebagaimana ancaman beliau ﷺ,
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.”
Sabda Nabi Muhammad ﷺ ini menunjukkan bahwa seakan-akan tidak ada tempat yang lain bagi orang yang berdusta atas nama beliau ﷺ kecuali hanya neraka. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bahwa pelakunya akan lama disiksa di dalam neraka Jahanam. Meskipun pelakunya tidak dianggap terjerumus di dalam kekufuran, tetapi sejatinya dia telah melakukan dosa besar, sehingga membuatnya bertahan lama di dalam neraka Jahanam([12]). Oleh karenanya, hendaknya setiap orang berhati-hati ketika menjumpai hadits-hadits palsu, jangan sampai dia menyebarkannya dan menyampaikannya kepada orang lain, kecuali dia hendak menjelaskan status dari hadits tersebut.
Selayaknya ini menjadi perhatian yang serius, karena banyak hadits palsu yang tersebar di antara orang-orang, entah dengan sepengetahuan mereka ataupun tidak. Jika mereka tidak tahu, semoga Allah ﷻ mengampuninya, namun bagi orang yang mengetahuinya, hendaknya dia mengingatkan tentang hadits tersebut. Seperti perkataan-perkataan masyhur yang beredar,
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
“Carilah ilmu, meskipun sampai negeri Cina.” ([13])
اِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
“Ikhtilafnya umatku adalah rahmat.”([14])
لَوْلَاكَ لَمَا خَلَقْتُ الْأَفْلَاكَ
“Seandainya bukan karenamu, maka Aku tidak menciptakan alam semesta.”([15])
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيْمَانِ
“Mencintai negeri adalah sebagian dari iman.”([16])
Semua perkataan-perkataan di atas tidak boleh disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Banyak sekali hadits-hadits palsu yang tersebar, bahkan Ibnu Al-Jauzi menulis sebuah buku berjudul ‘Al-Maudhuat’, berisi banyak sekali hadits-hadits maudhu’ ‘palsu’.
Di antara sebab adanya hadits-hadits palsu adalah karena banyaknya perawi-perawi yang berdusta. Termasuk di antaranya adalah perawi yang berdusta untuk mendukung mazhabnya, seperti perawi Syiah. Oleh karenanya, setiap orang harus waspada bahwa tidak semua perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ itu harus disebarkan, karena dikhawatirkan kita ikut menyebarkan kedustaan atas nama Nabi Muhammad ﷺ. Tentu saja, ini merupakan bahaya yang terdapat pada lisan maupun tulisan.
- Bersumpah dengan selain Allah ﷻ.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, ‘Aku mendengar Nabi Muhammad ﷺ bersabda’,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barang siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka dia telah berbuat syirik.”([17])
Misalnya ketika seseorang berkata, وَالْكَعْبَةِ ‘Demi Ka’bah’ atau وَالنَّبِيِّ ‘Demi Nabi’, maka bentuk sumpah yang seperti ini tidak diperbolehkan, karena bersumpah dengan selain nama Allah ﷻ termasuk bentuk perbuatan syirik.
- Mencela zaman.
Berdasarkan riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْر
“Janganlah mencela zaman, karena Allah adalah Pencipta zaman.”([18])
Zaman tidak pantas untuk dicela, karena ia adalah tempat bergulirnya waktu dan kejadian-kejadian, dan zaman tidak mampu berbuat apa-apa. Barang siapa yang mencela zaman, secara tidak langsung dia telah mencela Allah ﷻ, karena Allah ﷻ yang telah menciptakan zaman([19]). Sejatinya, yang pantas dicela adalah penghuni zaman tersebut, yaitu manusia. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
نَعِيبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا … وَمَا لِزَمَانِنا عَيْبٌ سِوَانَا
“Kita mencela zaman, sedangkan aib itu ada pada diri kita. Tidak ada aib pada zaman kecuali kita.”([20])
Jadi, barang siapa yang mencela zaman, sejatinya dia telah mencela Allah ﷻ.
- Menyebut orang munafik sebagai sayid (pemimpin baik).
Nabi Muhammad ﷺ melarang kepada setiap orang muslim mengagung-agungkan orang munafik sebagai sayid, pemimpin atau orang baik. Oleh karenanya, hendaknya bagi setiap muslim selalu waspada akan hal ini. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ، فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah kalian berkata kepada orang munafik sayid (tuan), karena jika ia menjadi tuan, sungguh kalian telah membuat Rabb b murka.”([21])
- Mengatakan مَا شَاءَ اللَّهُ وَ شِئْتَ ‘karena kehendak Allah dan kehendakmu’.
Menyamakan kehendak Allah ﷻ dengan kehendak manusia tidaklah diperbolehkan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا حَلَفَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ شِئْتَ
“Jika salah seorang dari kalian bersumpah, janganlah berkata, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, tetapi katakanlah, ‘Atas kehendak Allah, kemudian kehendakmu’.”([22])
Secara umum, banyak perkara-perkara yang tidak diperbolehkan dilakukan oleh lisan jika dikembalikan kepada bab Tauhid.
2. Berkaitan dengan orang lain
Di antara dosa-dosa lisan berkaitan dengan orang lain adalah:
- Gibah
Gibah adalah dosa besar. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Barang siapa yang berbuat gibah terhadap saudaranya, maka sama saja dia telah memakan daging saudaranya sendiri. Tentu saja manusia tidak suka memakan daging saudaranya sendiri. Bagaimana bisa kita menggibahi teman kita sendiri? Itu seperti teman kita meninggal dunia, lalu jadi bangkai, kemudian kita makan dagingnya. Tentu saja, kita tidak akan suka memakannya. Jangankan bangkai manusia, bangkai hewan saja kita tidak suka memakannya, bahkan melihatnya pun tidak suka. Jangankan daging manusia yang tidak jadi bangkai, jika sudah jadi bangkai dan membusuk, apakah kita masih mau memakan daging saudara sendiri? Jadi, barang siapa yang mau melakukan gibah, hendaknya dia berpikir terlebih dahulu bahwa sejatinya orang yang hendak dia gibah merupakan saudaranya sendiri, tidakkah dia teganya memakan bangkai saudaranya? Oleh karenanya, gibah adalah dosa besar.
Disebutkan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ، قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ، وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Pada saat peristiwa Isra’ aku melewati suatu kaum, di mana mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga sedang menggaruk-garuk wajah dan dada mereka, lalu aku berkata, ‘Siapa mereka, Wahai Jibril?’, Jibril berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan bangkai daging manusia dan menodai kehormatan mereka.”([23])
Kita tidak boleh melakukan gibah, baik kepada kawan, orang tua, istri, suami, ulama, para ustadz, tidak boleh bagi kita menggibahinya. Hendaknya kita selalu berusaha menjaga lisan.
Secara hukum asal, gibah hukumnya haram, tetapi dibolehkan dalam kondisi darurat dan jika terdapat kemaslahatan. Namun jika hanya untuk sekedar melampiaskan kejengkelan, atau untuk bumbu pembicaraan, atau dalam rangka untuk menjadikan majelis terdapat sesuatu yang lucu, sehingga mengharuskan untuk berbuat gibah terhadap orang lain, maka yang seperti ini tidak boleh. Jika ada yang perlu kita bicarakan mengenai kejelekan orang lain dalam rangka untuk mencari kemaslahatan, maka ini tidak ada masalah. Misalnya ketika mendapati kesalahan dari saudara kita, lalu kita bertanya kepada orang terdekatnya bagaimana tentang si Fulan? Jika dia punya salah, maka bagaimana caranya kita menasihati dia? Maka yang seperti ini boleh dilakukan. Contoh yang lain, ketika kita mengobrol dengan saudara kita membicarakan tentang ibu, ayah atau saudara kita yang lain, maka ini tidak apa-apa, karena tujuannya adalah mencari maslahat([24]).
Intinya, jika terdapat maslahatnya, maka tidak mengapa. Akan tetapi, hukum asal gibah adalah haram. Maka dari itu, hendaknya setiap orang waspada dengan perbuatan tersebut. Bahkan, Imam An-Nawawi rahimahullah lebih ketat dalam hal ini, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“(Gibah adalah) engkau berbicara tentang saudaramu apa yang dia tidak sukai.”([25])
Imam An-Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa gibah mencakup seluruhnya, semua yang diceritakan berkaitan dengan saudara kita dan dia tidak suka untuk diceritakan, maka ini termasuk gibah. Misalnya ketika seseorang berkata kepada kawannya tentang seseorang, ’Dia itu adalah laki-laki yang baik, tapi istrinya cerewetnya luar biasa’, tentu ini merupakan gibah, karena jika dia tahu bahwa istrinya dikatakan cerewet, pasti dia tidak akan suka. Begitu juga jika dikatakan, ‘Dia itu adalah laki-laki yang baik, tetapi anaknya jorok sekali’, membicarakan anaknya yang seperti ini pun juga tidak diperbolehkan. Misalnya yang lain juga adalah ketika membicarakan tentang mobilnya, ‘Mobilnya butut’ atau yang semisalnya, ini juga tidak boleh([26]).
Gibah bertingkat-tingkat. Berbuat gibah terhadap orang jauh tidak sama dengan gibah terhadap orang dekat. Berbuat gibah terhadap orang dekat tidak sama dengan gibah terhadap orang yang memiliki jasa besar kepada kita. Dosa gibah tentang suami atau istri lebih buruk daripada gibah terhadap orang lain, sebagaimana dosa gibah terhadap ustadz atau ulama lebih buruk dari pada gibah terhadap orang lain.
- Namimah
Namimah adalah mengadu-domba di antara manusia. Berdasarkan firman Allah ﷻ
هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ
“Suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah.” (QS. Al-Qalam: 11)
Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Tukang namimah tidak masuk surga.”([27])
Hadits ini berisi ancaman besar dari Nabi Muhammad ﷺ kepada pelaku namimah. Dosa dari perbuatan namimah sangat besar. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa orang yang melakukan namimah tidak masuk surga([28]).
Selain itu, namimah merupakan di antara sebab azab kubur. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ melewati dua kuburan, lalu beliau ﷺ bersabda,
أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Sesungguhnya dua penghuni kuburan sedang diazab, tidak keduanya diazab karena perkara besar (yang mereka bisa tinggalkan tapi mereka remehkan). Adapun salah satunya diazab, karena suka mengadu-domba, sedangkan yang lain tidak bersuci dari air kencingnya.”([29])
Ibnu Abdil Barr menyebutkan, dari Yahya bin Abi Katsir berkata bahwasanya namimah mampu merusak dalam waktu yang sebentar apa yang tidak bisa dirusak oleh penyihir selama setahun([30]). Orang yang suka namimah, dia bisa merusak kebaikan atau jalinan kasih sayang di antara dua kelompok atau di antara dua orang hanya sebentar. Mungkin dia bisa membuat namimah selama 1-2 jam atau 1-2 minggu antara dua orang, hingga keduanya pun saling membenci dengan kebencian yang luar biasa dan saling bermusuh-musuhan. Hal ini adalah hal yang tidak bisa dilakukan oleh penyihir meskipun dalam waktu setahun. Jadi, dari sini kita paham bahwasanya dampak namimah sangat luar biasa.
Hubungan antara namimah dengan gibah adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, yaitu kalau namimah, عَلَى جِهَةِ الإِفْسَادِ ‘tujuannya untuk mengadu domba’, baik dengan cara gibah maupun terang-terangan. Bisa jadi seseorang ketika melakukan gibah juga bermaksud untuk mengadu domba, maka inilah yang dimaksud dengan namimah. Oleh karenanya, gibah yang bertujuan mengadu domba, berarti dia telah melakukan dosa gibah dan dosa namimah. Adapun gibah, tujuannya tidak harus mengadu domba. ([31]) Banyak orang yang melakukan gibah, tetapi niatnya tidak untuk mengadu domba, melainkan hanya dalam rangka untuk melampiaskan isi hatinya saja. Mungkin dia hasad dengan seseorang, lalu menceritakannya kepada orang lain. Bisa jadi karena dia merasa dongkol dan kalah bersaing dengannya, sehingga ia berusaha menjatuhkan orang tersebut. Bisa juga karena bumbu pembicaraan, supaya bertambah seru tema yang dibicarakan dengan gibah tersebut.
Gibah itu lezat, dan majelis yang paling lezat adalah majelis gibah, sebagaimana kemaksiatan seperti khamar, zina, gibah, musik dan sebagainya juga lezat. Ini semua merupakan kelezatan, dan di antaranya adalah gibah. Oleh karenanya, acara televisi yang paling disenangi adalah acara gibah, terutama dalam menggibahi selebriti, sedangkan penonton yang paling banyak adalah ibu-ibu. Hal ini tidak lain dikarenakan gibah itu sendiri mendatangkan kelezatan.
- Pemilik dua wajah (ذُو الْوَجْهَيْنِ)
Orang yang bermuka dua disebut juga dengan munafik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الوَجْهَيْنِ، الَّذِي يَأْتِي هَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ، وَهَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ
“Sesungguhnya orang yang paling buruk adalah orang yang mendatangi satu kaum dengan wajah tertentu dan datang kepada yang lain dengan wajah yang lain pula.”([32])
Termasuk dosa besar adalah ketika seseorang bermuka dua dan tidak memiliki pendirian di dalam berbicara. Kepada Si A dia mengatakan satu perkataan, lalu kepada Si B dia mengatakan perkataan lain yang berbeda kepada Si A, atau bahkan akan berbeda lagi jika dia berkata kepada Si C maupun Si D, sehingga orang lain menjadi bingung. Maka yang demikian ini termasuk dosa besar. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa hal ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk dari namimah([33]).
Bisa jadi seseorang pergi kepada Si A seakan-akan memusuhi Si B, namun ketika dia pergi kepada Si B seakan-akan dia memusuhi Si A. Perbuatannya ini menunjukkan bahwa seakan-akan memiliki dua wajah, karena perbuatannya bertujuan dalam rangka untuk mengadu domba atau yang semisalnya. Tentu saja, ini adalah perbuatan tercela. Hendaknya seorang mukmin bersikap dan berbicara dengan tegas dan bijak, jangan sampai dia plin-plan dalam berbicara kepada orang lain. Ini merupakan perbuatan dosa dan tidak diperbolehkan, karena bisa jadi perbuatannya itu termasuk ke dalam namimah.
- Dusta (الْكَذِبُ)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Hati-hatilah dengan dusta, sesungguhnya dusta mengantarkan kepada kefajiran, dan sesungguhnya kefajiran menghantarkan kepada neraka Jahanam. Seorang lelaki senantiasa berdusta dan sengaja berdusta sampai dicatat disisi Allah sebagai pendusta.”([34])
Seseorang yang sering berdusta, maka dia dicap oleh Allah ﷻ sebagai pendusta, dan sampai mati dia akan berdusta terus-menerus, karena telah menganggap hal itu sepele. Di mana-mana sering berbicara dusta, dia merasa tidak ada masalah baginya berkata dusta, sehingga menjadi sesuatu yang biasa. Sama seperti seseorang yang misalnya berbuat zina, pada kali pertama dia akan merasa takut dengan dosa. Namun, ketika telah melakukannya berkali-kali, maka dia akan menjadi terbiasa. Begitulah keadaan orang yang melakukan perbuatan dosa, dan di antaranya adalah berbohong.
Secara umum, dusta adalah dosa. Bentuknya bermacam-macam, di antaranya adalah:
- Saksi Palsu
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الكَبَائِرِ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ، وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ، أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ ” فَمَا زَالَ يَقُولُهَا، حَتَّى قُلْتُ: لاَ يَسْكُتُ
“‘Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa-dosa besar?’, kami berkata, ‘Mau wahai Rasulullah’, beliau ﷺ bersabda, ‘Syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua’. Beliau ﷺ duduk yang sebelumnya bersandar, lalu bersabda, ‘Hati-hati! Berkata dusta dan saksi palsu. Hati-hati! Berkata dusta dan saksi palsu’, beliau senantiasa mengulanginya hingga aku berkata bahwa beliau tidak diam (mengatakan hal tersebut)’.”([35])
Tidak diperbolehkan bagi setiap muslim bersaksi palsu dalam rangka untuk menjatuhkan orang lain atau untuk memenangkan yang lain. Menjadi saksi palsu juga hukumnya adalah dosa besar([36]). Oleh karenanya, janganlah menganggapnya sepele. Bahkan, jika kita harus bersaksi untuk perkara yang benar, meskipun kita murka kepadanya, maka kita harus bersaksi dengan saksi yang jujur. Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)
- Pura-pura bermimpi sesuatu, padahal tidak benar
Dosa perbuatan ini lebih besar daripada dusta biasa. Dusta di alam sadar masih lebih ringan daripada dusta tentang mimpi. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ، وَلَنْ يَفْعَلَ
“Barang siapa yang mengaku-ngaku mimpi tentang sesuatu, padahal dia tidak melihatnya, maka pada hari kiamat kelak dia diperintahkan untuk mengikatkan dua butir gandum, sedangkan dia tidak akan mampu.”([37])
Hadits tersebut menjelaskan ancaman bagi orang mengaku bermimpi tentang sesuatu tetapi sejatinya dia sama sekali tidak melihatnya, maka pada hari kiamat dia akan disiksa sambil diperintahkan untuk mengikatkan dua butir gandum. Ini artinya siksaan baginya sangatlah panjang([38]).
Kenapa berdusta tentang mimpi lebih parah daripada berdusta tentang suatu kejadian di alam nyata? Karena berdusta tentang kejadian di mimpi ini ada kaitannya dengan pembenaran. Selain itu, karena disebutkan bahwa di antara tanda-tanda kenabian yang masih tersisa adalah mimpi. Jika seseorang berkata ‘Tadi malam saya bermimpi ada rembulan jatuh’. Tentu orang yang mendengar langsung mengira bahwa yang bercerita adalah orang saleh, karena mimpi bertemu rembulan. Begitu pula jika seseorang berkata, ‘Saya bermimpi bertemu dengan Syaikh Fulan, atau sahabat ini, atau mimpi bertemu Nabi’. Tentu orang yang mendengar akan menganggap bahwa yang bercerita adalah orang spesial.
Hendaknya setiap muslim hati-hati dalam bersikap. Tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk mengarang dalam mimpi, hukumnya adalah haram. Bahkan, para ulama mengatakan bahwa perbuatan itu lebih parah daripada dia bercerita bohong bahwa dia telah bertemu seseorang di suatu tempat. Seseorang yang berdusta tentang kejadian alam nyata lebih ringan daripada berdusta tentang kejadian alam mimpi. Alasannya adalah karena mimpi memang terkadang ada pengagungan terhadap pelakunya atau menjadi isyarat atau ilham dari Allah ﷻ dan yang semisalnya([39]).
- Menyebarkan isu dusta
Disebutkan di dalam hadits yang masyhur tentang orang-orang diazab dalam alam barzakh, di antaranya adalah tentang seorang yang mulutnya dirobek sampai ke belakang, kemudian dikembalikan lagi, setelah itu dirobek lagi dan sembuh lagi, terus menerus sampai hari kiamat. Ketika Nabi Muhammad ﷺ bertanya, ‘Siapa orang itu?,’ maka dikatakan kepada beliau ﷺ,
أَمَّا الَّذِي رَأَيْتَهُ يُشَقُّ شِدْقُهُ، فَكَذَّابٌ يُحَدِّثُ بِالكَذْبَةِ، فَتُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الآفَاقَ
“Adapun orang yang engkau lihat dirobek rahangnya adalah seorang pendusta yang membuat isu dusta, kemudian dibawa dan disebarkan hingga penjuru dunia.”([40])
Perbuatan ini sangat berbahaya bagi orang-orang yang sibuk dan bermain-main di media sosial, terutama pembawa berita, wartawan televisi dan berbagai macamnya. Hendaknya setiap muslim berhati-hati dalam membuat berita. Bisa jadi, karena masalah politik mendorong seseorang untuk membuat cerita bohong dalam rangka menutupi keburukannya. Pada hari kiamat kelak dia akan mendapatkan ancaman yang pedih. Jangankan pada hari kiamat, di alam barzakh pun dia sudah merasakan kebinasaan. Seseorang yang telah membuat isu dusta kepada orang-orang, maka dia akan mempertanggung jawabkannya pada hari kiamat. Bayangkan, jika yang menjadi isu dusta tersebut mencapai berjuta-juta orang, tentu akan bertambah mengerikan azab yang akan dia dapatkan pada hari kiamat.
Hendaknya setiap orang selalu berhati-hati, karena perkara ini sering terjadi. Penulis sering sampaikan ketika mengisi di salah satu stasiun televisi pada bulan Ramadan, jika kita sengaja berdusta di bulan Ramadan, maka pahala puasa kita tidak diterima oleh Allah ﷻ. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh dengan puasanya menahan makanan dan minumannya.”([41])
Ada salah seorang dari stasiun televisi mengatakan bahwa dia disuruh membuat berita dusta. Jika demikian, maka pahala semua orang yang terlibat dalam kedustaan tersebut tidak diterima oleh Allah ﷻ. Bisa jadi salah satu dari mereka mengetahui dosa tersebut, namun karena ikut-ikutan dalam menyebarkan dusta itu, maka dia pun ikut terlibat dalam kedustaan tersebut. Jika dikeluarkan dari pekerjaan pun, maka sejatinya itu lebih baik daripada dia selalu berbuat dusta hingga tersebar ke seluruh penjuru dunia dan mengakibatkannya terjerumus dalam ancaman Nabi Muhammad ﷺ.
- Mengaku nasab palsu
Maksud dari mengaku nasab palsu misalnya adalah ketika seseorang berbicara di depan orang bahwa ‘Saya adalah anaknya Fulan’ atau ‘Saya dari keturunan darah biru atau keturunan ningrat atau raden’ dan hal yang serupa. Jika kenyataan tersebut tidak benar, maka tidak diperbolehkan dan pelakunya berdosa. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan dari Sa’d radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa yang mengaku nasab kepada selain ayahnya, padahal dia tahu bahwa dia tidak dari ayah tersebut, maka surga haram baginya.”([42])
Barang siapa yang mengaku bahwa ‘Saya adalah anaknya Si Fulan’ atau ‘Saya keturunannya Si Fulan’ atau ‘Saya dari kabilah Fulan’ atau ‘Saya dari suku Fulan’, padahal dia tahu bahwa dia tidak dari suku tersebut, maka surga haram baginya. Misalnya yang lain adalah ketika seseorang mengaku bahwa dia orang Jawa, padahal dia adalah orang Bugis, maka perbuatan ini tidak dibolehkan.
Hukumnya mengakui nasab palsu adalah haram([43]), karena kita tahu bahwa masyarakat menghormati nasab. Apalagi ketika seseorang mengaku keturunan dari suku tertentu untuk mengambil harta warisan atau yang lain, maka perbuatan tersebut semakin menambah dosa. Mengaku keturunan orang yang bukan bapaknya saja hukumnya haram, apalagi setelah itu ada hal-hal yang diharamkan yang dia ambil seperti mengambil harta warisan dan yang lainnya.
- Cerita dusta agar orang tertawa
Berdusta untuk menyenangkan dan membuat orang lain tertawa merupakan perkara yang tidak diperbolehkan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah bagi orang yang dia berbicara, lalu berdusta untuk membuat orang lain tertawa, celaka baginya, celaka baginya.”([44])
Tidak boleh bagi kita berbohong dengan mengarang cerita agar orang lain tertawa. Apalagi, hal itu digunakan sebagai sarana untuk dakwah, agar orang lain senang atau tertawa. Berbohong pada bidang yang bukan dakwah saja kita dilarang, apalagi berbohong sebagai sarana dakwah. Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan “celaka” sampai tiga kali. Oleh karenanya, sengaja berdusta untuk menyenangkan dan membuat orang lain tertawa hukumnya haram dan tidak boleh([45]). Ini menunjukkan buruknya dusta. Dusta untuk membuat orang lain senang saja tidak boleh, apalagi dusta dalam rangka menzalimi orang lain.
- Sumpah palsu untuk mengambil hak orang lain
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
الكَبَائِرُ: الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ، وَاليَمِينُ الغَمُوسُ
“Dosa-dosa besar adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh jiwa dan sumpah yang menenggelamkan.”([46])
Disebut dengan sumpah yang menenggelamkan karena sumpah itu menenggelamkan orang ke dalam neraka Jahanam. اليَمِينُ الغَمُوسُ merupakan sumpah yang bertujuan untuk mengambil hak orang lain. Sebagaimana riwayat yang lain dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma ketika bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang apa itu اليَمِينُ الغَمُوسُ, maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَمَا اليَمِينُ الغَمُوسُ؟ قَالَ: الَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ
“Seseorang yang dengan sumpahnya tersebut mengambil harta seorang muslim, sedangkan dia berdusta.”([47])
Bahkan dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa ada salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ,
وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“‘Meskipun sesuatu yang ringan, wahai Rasulullah?’ beliau ﷺ bersabda, ‘Meskipun setangkai kayu arak (siwak)’.”([48])
Lihatlah, mengambil siwak orang lain saja membuat masuk neraka, apalagi bersumpah untuk mengambil tanah orang lain.
- An-Najsy (النَّجْشُ)
Berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَلاَ تَنَاجَشُوا
“Janganlah kalian saling berbuat najsy.”([49])
Najsy adalah ucapan-ucapan bohong untuk melariskan dagangan([50]). Misalnya si A berjualan suatu barang, tetapi barang tersebut tidak terlalu menarik. Karena tidak ada yang membelinya, lalu dia memanggil temannya B, C, D, untuk pura-pura mau membeli bahwa barangnya bagus dan murah, sedangkan di tempat lain mahal. Padahal yang mereka ucapkan adalah kebohongan, maka perbuatan ini termasuk ke dalam dosa.
Sama halnya seperti di dalam sebuah iklan, di mana seorang wanita menjadi bintang iklan sampo, lalu dia mengatakan, ‘Dengan sampo ini rambut saya menjadi hitam’. Padahal, sebelum memakai sampo itu rambutnya sudah hitam. Lagi pula rambutnya hitam bukan karena sampo itu, tapi karena perawatan dari salon, sehingga membuat rambutnya menjadi bagus. Jadi, najsy adalah kata-kata bohong untuk melariskan suatu barang dan ini tidak diperbolehkan.
- Janji bohong
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga, di antaranya: jika dia berbicara berdusta, jika berjanji menyelisihi dan jika diberikan amanah berkhianat.”([51])
Hendaknya setiap orang yang beriman berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke dalam tanda-tanda orang munafik.
- Menuduh orang lain berzina tanpa bukti (الْقَذْفُ)
Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang menjaga diri dan yang beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nur: 23)
Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah, harta dan harga diri kalian adalah haram.”([52])
Setiap muslim tidak boleh menuduh orang lain berzina. Tidak diperbolehkan bagi kita, laki-laki dan perempuan untuk menuduh orang lain berzina([53]). Misalnya, kita mengatakan, ‘Fulan itu adalah pezina’ atau ‘Laki-laki itu adalah buaya, berapa banyak wanita menjadi korbannya’ atau ‘Laki-laki itu homo’ atau ‘Itu wanita lesbian’, maka ini tidak diperbolehkan, karena ini berkaitan dengan harga dirinya dan hukumnya haram.
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 4)
Jika ada seseorang yang menuduh orang lain berzina, maka hendaknya dia membawa empat orang saksi. Akan tetapi, jika dia tidak mampu mempunyai empat orang saksi, maka Allah ﷻ memerintahkan agar dicambuk sebanyak 80 kali.
- Mengejek (السُّخْرِيَّة)
Setiap muslim tidak boleh mengejek muslim lainnya, karena itu termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Seandainya seseorang berselisih dengan orang lain, hendaknya dijelaskan secara baik dan tidak perlu mengejek atau merendahkannya. Hendaknya saling berbicara secara ilmiah. Jangan sampai, hanya karena gara-gara berbeda pendapat akhirnya menimbulkan saling mengejek di luar hal yang semestinya, dan kita tahu bahwa tidak diperbolehkan menghadapi kebatilan dengan kebatilan.
Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (QS. Al-Hujurat: 11)
Di dalam firman Allah ﷻ tersebut terdapat peringatan kepada orang-orang yang beriman agar tidak saling mengejek, karena bisa jadi orang yang diejek itu lebih baik dari yang mengejek. Kenyataannya pun demikian. Kebanyakan yang diejek lebih baik daripada yang mengejek. Kenapa demikian? Para ulama menjelaskan, yaitu karena yang mengejek biasanya memiliki keangkuhan dan kesombongan([54]). Padahal kita tahu bahwa jika ada kesombongan sebesar zarah pun di dalam hari seorang yang beriman, maka Allah ﷻ tidak menyukainya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji zarah.”([55])
Keangkuhan inilah yang biasanya menyebabkan seseorang mengejek dan merendahkan orang lain.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk, jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim.”([56])
Jangan sampai kita terjerumus dalam hal mengejek orang lain. Apalagi dengan menyebutkan gelar atau laqab yang tidak benar. Jika kita diberi laqab, maka hendaknya dibiarkan saja, janganlah kita membalas dengan laqab yang serupa atau dengan laqab yang mengejek. Hendaknya kita tetap sabar, jangan sampai kita membalasnya dengan ejekan-ejekan yang tidak benar.
- Berdebat di atas kebatilan
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah yang suka berdebat di atas kebatilan.”([57])
Terkadang di dalam suatu perdebatan, dijumpai seseorang yang sudah mengetahui kesalahan dirinya, tetapi tetap keras kepala dan berusaha mencari jalan keluar yang tak berujung([58]). Jika kita salah dalam berdebat, maka hendaknya kita mengakui kesalahan kita. Terus mempertahankan kebatilan dengan perdebatan adalah hal yang dibenci sekali oleh Allah ﷻ. Oleh karenanya, hendaknya setiap orang selalu berhati-hati di dalam berdebat.
Demikianlah, terkadang karena kesombongan dan keangkuhan sehingga seseorang tidak mau kalah berdebat di depan umum. Jika memang tidak mau kalah di depan umum lebih baik tidak usah berdebat. Jika kita salah, lalu ada yang menegur kita meskipun dia musuh kita, maka hendaknya kita mengakui kesalahan kita dan jangan membela kesalahan kita, karena hal ini dibenci oleh Allah ﷻ. Bahkan termasuk perbuatan dosa. Jangan sampai orang lain menyebut diri kita sebagai ‘Si Keras kepala’. Jika seseorang disebut dengan sebutan demikian, maka orang lain akan tahu bahwa dia sering kali salah dalam perdebatan, tetapi masih selalu membela diri dari kesalahannya. Ini merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah ﷻ.
- Memuji orang lain secara berlebihan
Memuji orang lain secara berlebihan tidaklah diperbolehkan, apalagi dalam rangka mencari muka atau pujian orang lain. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ﷺ mendengar seseorang memuji temannya secara berlebihan, maka beliau ﷺ menegurnya seraya bersabda,
قَطَعْتُمْ ظَهْرَ الرَّجُلِ
“Kau telah mematahkan tulang punggung orang tersebut (dengan pujianmu).”([59])
Selain itu, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ، فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ
“Jika kalian melihat orang yang sukanya memuji, lemparkan pasir di wajahnya.”([60])
Pujian-pujian yang berlebihan ini dilarang, karena akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan riya’ dan ‘ujub([61]). Bisa saja, sebelumnya dia telah berniat ikhlas, lalu berubah menjadi hancur gara-gara pujian yang ditujukan kepadanya. Bisa saja, dia sudah bersikap tawadu’, namun berubah menjadi sombong dan angkuh gara-gara pujian yang diarahkan kepadanya. Banyak sekali penjilat-penjilat seperti ini. Siapa pun orangnya, entah gurunya, bosnya atau temannya, semuanya dia jilat, sehingga seakan-akan gurunya tidak pernah salah. Hal seperti inilah yang perlu diperhatikan. Banyak orang teperdaya gara-gara murid-muridnya yang rusak, atau pengikutnya yang menjadi penjilat dan mencari keuntungan dibaliknya.
Maka dari itu, tidak perbolehkan memuji orang lain secara berlebihan. Jika kawan kita melakukan kesalahan, maka hendaknya kita menegurnya. Jika kita mempunyai guru yang berbuat kesalahan, maka hendaknya kita memberitahukannya, bukan malah dipuji-puji. Apabila seseorang yang tidak memiliki kesalahan saja, kita tidak boleh memujinya secara berlebihan, apalagi kalau dia berbuat kesalahan, lalu kita memujinya? Pujian itu bisa membuat orang berubah dari ikhlas menjadi riya’, dari tawadhu menjadi ujub kemudian menjadi sombong.
- Mencaci-maki (السَّبّ)
Jika seseorang saling bermusuhan dengan orang lain, maka hendaknya tidak perlu mencaci-maki. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Jika dua orang saling caci-maki, maka dosa seluruh yang diucapkan oleh keduanya ini kembali kepada yang pertama kali mencaci-maki, kecuali kalau yang dizalimi melampaui batas.”([62])
Misalnya Si A dan Si B saling mencaci-maki. Orang yang pertama kali mencaci-maki adalah si A, kemudian Si B membalas caciannya, maka semua dosanya kembali kepada si A. Kondisinya berubah, jika si B berbuat zalim, yaitu dia memaki dengan makian yang lebih besar daripada makian si A, maka yang kelebihannya itu diserahkan kepada si B. Akan tetapi, kalau balasannya masih setimpal, maka seluruh dosanya berkumpul kepada Si A. Maka dari itu, hendaknya seseorang berusaha untuk menjaga lisannya.
Di antara bentuk mencela adalah mencela kedua orang tua. Sebagaimana hadits riwayat Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ
“Sesungguhnya di antara dosa besar yang paling besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya. Dikatakan, ‘Wahai Rasulullah! Bagaimana seorang mencaci-maki kedua orang tuanya?’, beliau ﷺ bersabda, ‘Seseorang mencaci-maki ayah temannya, lalu temannya mencaci-maki ayahnya juga.”([63])
3. Berkaitan dengan diri sendiri
Di antaranya adalah:
Beramar makruf nahi mungkar kepada orang lain, namun dirinya sendiri tidak mengerjakannya
Disebutkan di dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ([64]) أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Seseorang didatangkan pada hari kiamat, lalu dilemparkan ke dalam neraka, lalu ususnya keluar di dalam neraka, lalu dia berputar-putar seperti keledai yang berputar-putar menggiling biji-bijian, lalu penduduk neraka berkumpul di sekitarnya, lalu mereka berkata, ‘Wahai Fulan, kenapa dirimu? Bukankah engkau memerintahkan kebaikan kepada kami dan melarang kami dari kemungkaran?’, dia berkata, ‘Aku dahulu memerintahkan kebaikan kepada kalian, namun aku sendiri tidak mengerjakannya, dan aku melarang kalian dari kemungkaran, namun aku sendiri melanggarnya’.”([65])
Ini menjadi peringatan keras bagi orang-orang yang gemar memberikan nasihat kepada orang lain, tetapi dia sendiri tidak mengerjakannya. Oleh karenanya, hendaknya dia berusaha keras mengerjakan apa yang telah dia ucapkan. Segala nasihat apa pun yang telah dia sampaikan, baik berupa perkataan maupun tulisan, maka itu paling utama untuk dirinya sendiri sebelum orang lain. Ketika seseorang sudah berusaha untuk mengerjakan kebaikan dan menghindari larangan, ternyata masih terjerumus ke dalam kemaksiatan dan larangan, maka hendaknya dia beristighfar kepada Allah ﷻ. Akan tetapi jika setiap kali dia memberikan nasihat, memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran, dia sendiri melanggarnya, maka sejatinya perbuatannya sangat membahayakan bagi dirinya sendiri.
Beramar makruf nahi mungkar mampu membuat seseorang meraih derajat tinggi di surga, tetapi bisa juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka Jahanam. Oleh karenanya, bagi orang yang gemar memberikan nasihat kepada orang lain, terutama orang yang berkecimpung dalam bidang dakwah atau dai, di mana dahulu ketika di dunia sering memberikan nasihat, baik melalui ceramah, tulisan, atau media sosial dan lain sebagainya, agar selalu berhati-hati dengan nasihat atau apa pun yang telah dia sampaikan kepada orang lain. Selain itu, jangan sampai seperti apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ,
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang yang bergaya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka seakan-akan dia memakai dua pakaian kedustaan.”([66])
- Membeberkan rahasia ranjang.
Berdasarkan riwayat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sungguh, di antara orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang mendatangi istrinya dan dia pun mendatanginya, kemudian menyebarkan rahasia istrinya kepada orang lain.”([67])
Hadits ini memberikan ancaman keras kepada setiap orang yang menceritakan hubungan ranjangnya dengan istrinya. Perkara pribadi suami dan istri sudah seharusnya dirahasiakan dan tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Jika disebarkan, maka perbuatan ini termasuk dosa besar, karena ini adalah masalah rahasia antara suami-istri dan menjadi amanah dari keduanya yang tidak boleh dibongkar oleh siapa pun. Jadi, sama sekali tidak diperbolehkan menceritakan masalah ranjang, entah perkara baik maupun perkara buruk([68]).
Hadits ini, selain berlaku bagi kaum laki-laki, berlaku juga bagi kaum perempuan. Seorang perempuan tidak boleh mengatakan, ‘Suamiku jika di ranjang begini dan begitu’. Bahkan, sebagian perempuan atau istri mengejek suami mereka, hingga terjadi pertengkaran di antara mereka, akibatnya sang istri membeberkan rahasia ranjang mereka kepada orang lain. Tentu saja, ini menjadi perkara yang sangat memalukan dan menjadi aib bagi keluarga. Selain itu, perbuatan ini merupakan dosa besar. Betapa banyak kaum perempuan yang terjerumus ke dalam dosa ini. Jika sekedar cerita masalah ranjang tidak diperbolehkan, apalagi sampai divideokan, lalu dimasukkan ke dalam media sosial hingga tersebar, maka perbuatan ini semakin menambah dosa besar.
Di samping itu, hadits ini menjadi dalil bahwasanya tidak diperbolehkan bagi orang yang sengaja mendengar cerita ranjang orang lain, apalagi menontonnya. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan amanah atau rahasia orang lain.
- Membongkar aib sendiri setelah ditutup oleh Allah ﷻ.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى([69]) إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Seluruh umatku diampuni, kecuali Al-Mujahirin. Sesungguhnya termasuk perbuatan mujaharah adalah seseorang melakukan perbuatan buruk pada malam hari, kemudian pada saat pagi hari, sedangkan Allah telah menutupi perbuatannya, lalu dia berkata, ‘Wahai Fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu’. Padahal saat malam itu Rabb-nya telah menutupinya, tapi di pagi hari dia membukanya.”([70])
Di antara makna ‘mujaharah’ adalah melakukan kemaksiatan secara terang-terangan. Seperti orang yang telah meminum khamar, menyanyi, membuka aurat atau berzina, lalu memberitakan kepada orang lain atau bahkan merekam dengan video, lalu menyebarkannya. Dia tidak malu-malu menceritakan perbuatannya itu kepada orang lain, bahkan merasa bangga dengan menampakkan secara terang-terangan di depan umum.
Inilah yang disebut dengan Al-Mujahirin, yaitu orang yang menampakkan kemaksiatan dengan terang-terangan, sedangkan dia tidak malu-malu dilihat dan diperhatikan orang lain dengan kemaksiatan tersebut([71]). Akan tetapi, di antara salah satu bentuk ‘mujaharah’ (menampakkan perbuatan dosa) yaitu seorang yang bermaksiat di malam hari, padahal Allah ﷻ telah menutup aibnya, namun pada saat tiba pagi hari dia menceritakannya kepada orang lain.
Ketika di malam hari dia bermaksiat, entah apa saja kemaksiatan yang dia lakukan, entah dia melihat yang haram, atau berhubungan dengan wanita haram atau laki-laki yang tidak baik, atau meminum khamar atau narkoba, atau yang lainnya. Dari kemaksiatannya tersebut, Allah ﷻ sudah menutup aibnya, namun ternyata dia menceritakannya kepada orang lain. Tidak ada yang mengetahui aibnya kecuali Allah ﷻ, tetapi dia sendirilah yang menceritakan kepada orang lain. Perbuatan yang seperti ini tidak diampuni oleh Allah ﷻ, karena sejatinya Allah ﷻ sudah menutup aibnya, tetapi dia sendiri mengumbarnya. Oleh karenanya, hendaknya seseorang selalu berhati-hati.
Ketahuilah bahwa ketika kita bercerita tentang dosa kita dalam rangka sedih atau menyesal itu tidak diperbolehkan. Maka bagaimana lagi jika dalam rangka membanggakannya? Tentu lebih tidak diperbolehkan. Oleh karenanya perkara yang lebih parah adalah ketika seseorang memamerkan kemaksiatannya. Terkadang ada orang yang dengan sangat bangga memamerkan wanita-wanita yang pernah tidur dengannya. Dia tidak sadar akan perzinaan yang telah dia lakukan. Yang demikian tidak ada faedahnya sama sekali. Untuk pamer maksiat? Untuk apa memamerkan perzinaan? Oleh karenanya, hendaknya setiap orang waspada, kalau dia melakukan maksiat, janganlah menceritakannya kepada siapa pun. Hendaknya dia menutupinya dan tidak menceritakannya kepada orang lain, karena hal itu merupakan kemaksiatan yang Allah ﷻ tidak menyukainya. Allah ﷻ sudah menutupinya, maka jangan membongkar dosa yang telah kita lakukan.
- Mencela demam
Disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دَخَلَ عَلَى أُمِّ السَّائِبِ أَوْ أُمِّ الْمُسَيِّبِ فَقَالَ: مَا لَكِ؟ يَا أُمَّ السَّائِبِ أَوْ يَا أُمَّ الْمُسَيِّبِ تُزَفْزِفِينَ؟ قَالَتْ: الْحُمَّى، لَا بَارَكَ اللهُ فِيهَا، فَقَالَ: «لَا تَسُبِّي الْحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ، كَمَا يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيد
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ menjenguk Ummu As-Saaib atau Ummu Al-Musayyib, lalu beliau ﷺ bertanya, ‘Wahai Ummu As-Saaib atau Ummu Al-Musayyib, ada apa denganmu, badanmu bergetar?’, maka dia berkata, ‘Demam, Allah tidak memberkahi demam ini’, lalu beliau ﷺ menegurnya, ‘Janganlah engkau mencela demam, sesungguhnya demam itu menghilangkan dosa-dosa anak Adam, sebagaimana alat seorang pandai besi menghilangkan karat besi’.”([72])
Rasulullah ﷺ menegur seorang sahabiyah (sahabat wanita) agar tidak mencela demam, sebab Allah ﷻ yang telah menakdirkan, Allah ﷻ yang memberikan sakit, seharusnya yang dikatakan adalah,
لاَ بَأْسَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Semoga (penyakit yang menimpa) menggugurkan dosa-dosa, jika Allah menghendakinya.”([73])
Ini mengajarkan kepada kita bahwa hendaknya kita sabar dalam menghadapi musibah. Kalau kita sakit, janganlah kita mencela penyakit tersebut. Kalau demam saja tidak boleh dicela, apalagi penyakit-penyakit lain yang besar? Tentu lebih tidak boleh lagi. Maka jangan kemudian orang yang terkena penyakit, lantas dia marah. Kemarahannya menunjukkan bahwa dia tidak rida dengan keputusan Allah ﷻ. Kalau dia marah-marah dan memaki sakit yang dia hadapi, maka penyakit tersebut bisa jadi tidak menghapuskan dosa-dosanya, bahkan dia akan semakin terpuruk dan semakin berdosa di sisi Allah ﷻ. Oleh karenanya, hendaknya kita berhati-hati, jangan sampai kita melakukan dosa dengan mencela penyakit yang kita rasakan. Sebab jika demam saja bisa menghapuskan dosa-dosa, apalagi penyakit-penyakit yang lain yang lebih berbahaya.
- Meratapi mayat
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ
“Bukan dari golongan kami orang terkena musibah, menampar-nampar pipinya, merobek-robek bajunya dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliah.”([74])
Di antara perbuatan ini adalah niyahah. Abu Malik radhiallahu ‘anhu meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertobat sebelum kematiannya, maka akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan mengenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.”([75])
Niyahah adalah sebuah perbuatan dosa besar dan diharamkan([76]). Oleh karenanya, seorang lelaki maupun wanita (kebanyakan adalah wanita), jika ditimpa musibah, entah anaknya, suami atau istrinya meninggal, maka janganlah dia teriak-teriak meratapi.
Berbeda dengan agama lain yang justru ratapan kepada mayat menunjukkan bahwa dia sangat cinta kepada orang yang meninggal tersebut. Agama Islam tidak mengajarkan demikian. Islam mengajarkan kita bersabar. Menangis boleh, tetapi kalau teriak-teriak meratapi, maka hal ini tidak boleh. Ini semua, hukumnya adalah haram dan termasuk ke dalam dosa besar, karena ini tidak berkaitan dengan orang lain, tetapi termasuk dosa-dosa lisan yang berkaitan dengan diri sendiri.
- Menyanyi sambil diiringi musik
Seperti yang banyak terjadi pada zaman sekarang ini, di mana seseorang bermain sebuah aplikasi bernama Tik-Tok di dalam gawai, menggunakan musik dan bernyanyi sendiri. Subhanallah, perkara ini membuat argo dosanya berjalan terus. Maka dari itu, hendaknya setiap orang selalu waspada, karena musik adalah dosa besar. Tidak boleh seseorang bernyanyi dengan musik-musik. Perbuatan ini diharamkan oleh Allah ﷻ.
- Nasihat dan Penutup
Penulis mengingatkan bahwa:
Hukum tulisan sama dengan hukum lisan
Setiap muslim hendaknya selalu berhati-hati di dalam menulis maupun berucap. Dosa ini bisa jadi bersumber dari ucapan, rekaman suara, atau bisa jadi dengan tulisan, baik di dalam komentar misalnya, atau di status, atau di berita, ini juga sama, yaitu sama-sama bisa menjadi ladang dosa.
Di antara cara-cara untuk menghindari ini semua adalah:
Yakin bahwa setiap perkataan kita dicatat oleh malaikat.
Allah ﷻ berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata yang diucapkan pun melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)
Ini semua ada pertanggung jawabannya. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari lisan manusia, kecuali ada pertanggungjawabannya. Oleh karenanya, hendaknya kita selalu berhati-hati dalam menulis atau berbicara.
Tidak sibuk dengan urusan orang lain
Ingatlah sabda Nabi Muhammad ﷺ,
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara keelokan Islam seseorang adalah meninggalkan yang bukan urusannya.”([77])
- Jangan sibuk dengan urusan orang.
Jika Anda adalah seorang pedagang, maka sibuklah dengan perdagangan. Kalau Anda herbalis, maka sibuklah dengan jualan herbal. Janganlah berbicara ke sana kemari dan tidak ada manfaatnya. Kalau Anda adalah seorang dai, janganlah berbicara sesuatu yang di luar kemampuan Anda, entah berbicara tentang kesehatan, kedokteran, kimia, atau semua yang bukan ranah Anda. Jadi, masing-masing sibuk dengan urusannya dan meninggalkan perkara-perkara yang bukan urusannya.
- Hati-hati sebelum berbicara
Hendaknya kita menjaga lisan kita agar kita tidak menyesal. Disebutkan di dalam hadits bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah aku nasihat yang ringkas’, maka beliau ﷺ bersabda,
إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعِ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاسِ
“Jika engkau hendak shalat, maka shalatlah seakan-akan seperti orang yang hendak meninggalkan dunia ini. Janganlah engkau berbicara dengan ucapan yang engkau akan minta uzur dikemudian hari dan berputus asalah dari apa yang ada di tangan manusia.”([78])
Artinya, Rasulullah ﷺ mengajarkan seseorang untuk memikirkan apa yang hendak dia ucapkan. Jangan sampai suatu saat dia meminta maaf. Sebelum Anda minta maaf, pikirkan saat ini juga agar Anda tidak perlu minta maaf di kemudian hari. Itu berlaku kepada kita semua, baik ketika berbicara kepada orang lain, anak buah, pimpinan, suami dan istri. Berusahalah untuk berhati-hati, janganlah kita mengucapkan perkataan yang akhirnya nanti kita membutuhkan untuk meminta maaf atas perkataan tersebut. Selain itu, jangan pernah berharap dari manusia, namun tetap berharap kepada Allah ﷻ.
Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: امْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ
“‘Wahai Rasulullah, apa itu keselamatan?’, beliau ﷺ bersabda, ‘ Jagalah lisanmu dan lapangkanlah rumahmu’.” ([79])
Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan agar kita menjaga lisan, tidak asal berbicara atau menulis. Selain itu, beliau ﷺ juga memerintahkan agar menjadikan rumah kita lapang, artinya adalah betah untuk di rumah. Hadits ini sekaligus menjadi isyarat agar kita tidak suka ikut campur urusan orang lain, tidak ingin tahu urusan orang. Biarkanlah rumah Anda menjadi rumah yang lapang, tenteram, sibuklah dengan istri dan anak. Hal ini lebih penting.
_____
Footnote:
([1]) HR. Bukhari No. 6474.
([2]) HR. Bukhari No. 6478.
([3]) HR. Bukhari No. 10.
([4]) HR. Ahmad No. 22016 dan Tirmizi No. 2616, hadits hasan sahih.
([5]) Lihat: Fath Al-Baari, karya Ibnu Hajar, (11/309).
([6]) HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, No. 294 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani.
([7]) HR. Bukhari No. 6478.
([8]) Lihat: I’lam Al-Muwaqqi’in, karya Ibnu Al-Qayyim, (2/121).
([9]) I’lam Al-Muwaqqi’in, karya Ibnu Al-Qayyim, (2/126).
([10]) Lihat: Tafsir As-Sa’di, (1/287).
([11]) HR. Bukhari, No. 1291.
([12]) Lihat: Al-Minhaj Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (1/69).
([13]) Al-Albani menyatakan bahwa hadits tersebut batil. [Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah, No. 416 (1/600)].
([14]) Al-Albani menyatakan bahwa hadits tersebut لَا أَصْلَ لَهُ ‘Tidak ada asalnya’ . [Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah, No. 57 (1/141)].
([15]) Al-Albani menyatakan bahwa hadits tersebut palsu [Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah, No. 282 (1/450)].
([16]) Al-Albani menyatakan bahwa hadits tersebut palsu [Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah, No. 36 (1/110)].
([17]) HR. Abu Dawud, No. 3251 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([18]) HR. Muslim No. 2246.
([19]) Lihat: Al-Istidzkar, (8/553)
([20]) Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, (1/141).
([21]) HR. Abu Dawud No. 4977 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani dan disebutkan juga di dalam Al-Adab Al-Mufrad No. 760.
([22]) HR. Ibnu Majah, No. 2117 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([23]) HR. Ahmad No. 13340 dan Abu Dawud No. 4878 dengan sanad sahih.
([24]) Lihat: Al-Minhaj Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (16/142) dan Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (10/473).
([25]) HR. Muslim No. 2589.
([26]) Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (10/481).
([27]) HR. Muslim No. 105. Di dalam riwayat yang lain disebutkan,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Qattat tidak masuk surga.”
نَمَّامٌ dan قَتَّاتٌ memiliki makna yang sama ‘tukang adu domba’. Perbedaannya adalah jika Nammam secara langsung hadir di tengah orang-orang, lalu bercerita ke sana kemari untuk mengadu domba. Adapun Qattat, dia hanya sekedar mendengar isu, kemudian pergi menyampaikan berita kepada si A dan si B untuk mengadu domba, sehingga A dan B pun bertengkar. [Lihat: Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (10/473)]
([28]) Lihat: Al-Minhaj Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (2/113)
([29]) HR. Bukhari No. 216 dan Muslim No. 292.
([30]) Lihat: Fath Al-Majid Syarh Kitab At-Tauhid, (1/292).
([31]) Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (10/473).
([32]) HR. Bukhari No. 7179 dan Muslim No. 2526.
([33]) Fath al-Baari , karya Ibnu Hajar, (10/475).
([34]) HR. Muslim No. 2607.
([35]) HR. Bukhari, No. 5976.
([36]) Lihat: Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (1/319).
([37]) HR. Bukhari No. 7042.
([38]) Lihat: Mirqah Al-Mafatih, karya Mulla Al-Qari, (7/2853).
([39]) Lihat: Mirqah Al-Mafatih, karya Mulla Al-Qari, (7/2853).
([40]) HR. Bukhari No. 1386.
([41]) HR. Bukhari No. 1903.
([42]) HR. Bukhari No. 6766.
([43]) Lihat: Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (12/54).
([44]) HR. Abu Dawud No. 4990.
([45]) Lihat: Mirqah Al-Mafatih, karya Mulla Al-Qari, (7/3037).
([46]) HR. Bukhari No. 6675.
([47]) HR. Bukhari No. 6920.
([48]) HR. Muslim No. 137.
([49]) HR. Bukhari No. 2723.
([50]) Lihat: Fath Al-Baari, karya Ibnu Hajar, (4/355).
([51]) HR. Bukhari No.33 dan Muslim No. 59.
([52]) HR. Bukhari No. 1739 dan Muslim No. 1679.
([53]) Lihat: Fath Al-Baari, karya Ibnu Hajar, (12/181).
([54]) Lihat: Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (10/464).
([55]) HR. Muslim No. 91.
([56]) HR. Muslim No. 2564.
([57]) HR. Bukhari No. 2457.
([58]) Lihat: Al-Minhaj Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (16/219).
([59]) HR. Bukhari No. 6060 dan Muslim No. 3001.
([60]) HR. Muslim No. 3002.
([61]) Lihat: Fath Al-Baari , karya Ibnu Hajar, (10/478).
([62]) HR. Muslim No. 2587.
([63]) HR. Bukhari No. 5973.
([64]) تَنْدَلِقُ : Keluar dengan cepat dan tiba-tiba. [Lihat: Mirqah Al-Mafatih, (8/3211)]
([65]) HR. Bukhari, No. 3267.
([66]) HR. Bukhari No. 5129 dan Muslim No. 2129.
([67]) HR. Muslim No. 1437.
([68]) Lihat: Al-Minhaj Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (8/10).
([69]) مُعَافًى berasal dari kata الْعَافِيَة ‘selamat’, sedangkan kelazimannya adalah [69]) مُعَافًى berasal dari kata الْعَافِيَة ‘selamat’, sedangkan kelazimannya adalah الْعَفْوُ ‘diampuni’. Jadi maknanya adalah selamat dari neraka dan diampuni oleh Allah ﷻ.
([70]) HR. Bukhari, No. 6069.
([71]) Lihat: Al-Minhaj Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (18/119).
([72]) HR. Muslim, No. 2575.
([73]) HR. Bukhari No. 3616.
([74]) HR. Bukhari No. 1294.
([75]) HR. Muslim No. 934.
([76]) Lihat: Al-Minhaj Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, (2/138).
([77]) HR. Tirmizi No. 2317, Ibnu Majah No. 3976 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([78]) HR. Ahmad No. 23498 dan Ibnu Majah No. 4171 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.
([79]) HR. Ahmad No. 22235, Tirmizi No. 2406 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani
Sumber: https://bekalislam.firanda.net/