Type Here to Get Search Results !

 


BENARKAH ASY-SYU'ARO ADALAH SURAT PEMUSIK?

 

Apakah Surat Asy-Syu’ara Disebut Juga Surat Pemusik?

Pertanyaan:

Ada seorang ustadz yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah surat pemusik dan Hassan bin Tsabit adalah pemusik di sisi Nabi. Apakah ini benar?

Jawaban:

Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi, ash-shalatu wassalamu ‘ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du.

Jelas ini merupakan kekeliruan dan penyimpangan. Karena Asy-Syu’ara (الشعراء) artinya para penyair, bentuk jamak dari asy-sya’ir (الشاعر) yaitu penyair. Penyair tentu berbeda dengan pemusik, sya’ir berbeda dengan musik. 

Dalam kitab Mu’jamul Wasith disebutkan :

الشِّعرُ : كلام موزون مُقفَّى قصدًا

“Sya’ir adalah kalimat-kalimat yang memiliki wazan (pola) dan disusun dengan qafiyah (rima) secara sengaja”.

Demikian juga dalam kitab Lisanul Arab disebutkan :

والشِّعْرُ: منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن والقافية

“Sya’ir adalah perkataan yang tersusun, yang didominasi oleh wazan (pola) dan qafiyah (rima) sehingga ia menjadi indah”.

Pantun dan puisi adalah contoh syair dalam bahasa Indonesia.

Adapun musik, dalam bahasa Arab disebut dengan al-ma’azif atau al-‘azf, yaitu alat-alat musik yang dimainkan. 

Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/230) berkata:

العَزْف: اللَّعِب بالمَعَازِف، وَهِيَ الدُّفوف وغَيرها مِمَّا يُضْرَب

“Al-‘azf adalah memainkan alat musik semisal duff (rebana) dan semacamnya yang ditabuh”

Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/484) berkata:

وآلات المعازف: من اليراع والدف والأوتار والعيدان

“Alat ma’azif yaitu yaraa’ (klarinet), duff (rebana), autar (sitar), ‘idaan (semacam gitar)”

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (10/46) berkata:

وفي حواشي الدمياطي، المعازف: الدفوف وغيرها مما يضرب به

“Dalam kitab Al-Hawasyi karya Ad-Dimyathi, al-ma’azif maknanya duff dan sejenisnya yang ditabuh”.

Dalam kitab Lisanul Arab disebutkan:

فهو ضَرْب من الطَّنابير ويتخذ أَهل اليمن وغيرُهم، يجعل العُود مِعْزفاً

“Ma’azif adalah memainkan thanbur (semacam gitar) yang biasa digunakan oleh orang Yaman dan semisalnya. Mereka biasa membuat alat musik dari kayu”.

Ringkas kata, ma’azif adalah alat-alat musik yang dimainkan, baik ditabuh, ditiup, dipetik, dan semisalnya.

Dari sini jelas sudah perbedaan antara sya’ir dengan musik. Sya’ir adalah perkataan yang berpola dan berima, baik diiringi musik atau tidak. Musik adalah permainan alat musik, baik mengandung sya’ir atau tidak. Terkadang musik dimainkan tanpa mengandung lirik sama sekali, seperti musik instrumental. Sehingga sya’ir dan musik adalah dua hal yang berbeda.

Oleh karena itu, tidak benar menyebut surat Asy-Syu’ara dengan surat musik. Dan tidak kami ketahui kitab-kitab bahasa Arab yang menyebutkan bahwa syi’r (الشِّعرُ) dengan ma’azif (المعازف) itu sama. 

Juga tidak kami dapati ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa surat Asy-Syu’ara dengan istilah surat musik. Ini pernyataan yang nyeleneh, yang belum ada pendahulunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا بِهِ أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Akan datang di akhir zaman, beberapa orang dari umatku yang bicara sesuatu yang tidak pernah didengar sebelumnya (yang aneh-aneh) oleh kalian atau kakek moyang kalian. Maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka” (HR. Ahmad no. 8267, dihasankan oleh Syu’aib Al-Arnauth).

Imam Ahmad bin Hambal sering berkata kepada murid-murid beliau:

إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ

“Jangan sampai engkau berkata-kata dalam suatu masalah agama, yang engkau tidak memiliki imam yang mendahuluimu” (Siyar A’lamin Nubala’, 11/296).

Dan penyataan seperti ini termasuk penyimpangan dalam agama. Karena musik diharamkan dalam agama. Sehingga tidak layak menyebut salah satu surat dari Al-Qur’an dengan surat musik. Ini merupakan perendahan terhadap Al-Qur’an.

Demikian juga, sahabat yang mulia, Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu, yang merupakan salah satu penyair Nabi. Beliau pernah mengatakan :

قَدْ كُنْتُ أُنْشِدُ، وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ

“Aku juga pernah bersyair dan ketika itu ada seorang yang lebih utama darimu (yaitu Nabi shallallahu‘alaihi wasallam)” (HR. Bukhari no. 3212 dan Muslim no. 2485).

[UAH suka merendahkan orang lain dan berkata ngawur dan tetap ngeyel ketika dikritik secara ilmiah! Tonton video dibawah ini..]


Maka tidak layak menyebut Hassan bin Tsabit radhiyallahu’anhu dengan sebutan pemusik di sisi Nabi. Ini merupakan perendahan terhadap beliau.

Dan pernyataan seperti ini nampak sebagai sebuah retorika untuk menghalalkan musik dalam Islam. Seolah-olah musik itu perkara yang boleh bahkan mulia dalam Islam, sehingga (diklaim) ada surat musik dalam Al-Qur’an dan ada pemusik di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh ini sebuah pengelabuan dan tipu daya terhadap umat.

Padahal musik telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dalam hadits dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحريرَ والخَمْرَ والمَعَازِفَ

“Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighah jazm).

Haramnya musik adalah pendapat ulama 4 mazhab bahkan ada 20 orang ulama yang menukil ijma’ (kesepakatan) akan haramnya musik. 

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. 

Washallallahu ’ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi wa sallam.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom

Sumber: https://konsultasisyariah.com/

ASY-SYU'ARA' BUKAN PEMUSIK!

Bismillah…

Dalam sebuah video yang tersebar luas, Ustadz Adi Hidayat menafsirkan sebuah nama surat di Al Quran yaitu surat Asy-Syu’ara’ sebagai surat pemusik, dan ayat yang ada di dalamnya yang menyinggung para penyair “Asy-Syu’ara’ maksudnya pemusik. Ayat tersebut adalah:

Keabsahan Hadis Tentang Haramnya Musik

Nabi Mengabarkan, Akan Ada yang Menghalalkan Musik dan Khamr

Cara Menafsirkan Al Quran yang Benar Seperti Apa?

 وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ ‎

‏ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ ‎

وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ‎‏

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ

الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ 

‎“Penyair-penyair itu diikuti oleh setan (jin dan manusia). Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan membela diri sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS. Asy-Syu’ara’: 224-227)

Berikut tanggapannya:

Memaknai Asy-Syu’ara’ dengan pemusik tidaklah tepat. Alasannya adalah sebagai berikut:

  • Pertama, tidak ada rujukan kitab tafsir atau ulama ahli tafsir klasik (salaf) maupun kontemporer (kholaf) yang memaknai Asy Syu’ara dengan pemusik. Sehingga memaknai Asy-Syu’ara sebagai pemusik adalah penafsiran yang baru muncul di zaman ini, di Indonesia.

Di saat sebuah pemahaman tafsir tidak ditemukan pendahulunya dari para ulama atau ahli, utamanya penafsiran dari para salafus sholih yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, secara kaca mata manhaj (metode) beragama menunjukkan kekeliruan. Menafsirkan surat Asy-Syu’ara’ sebagai pemusik adalah kekeliuran yang amat fatal, tidak pernah dapat ditemukan tafsiran dari para ahli tafsir yang diakui di zaman khalaf, apalagi salaf (para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai rujukan.

[Ternyata rujukan UAH adalah kitabnya orang Syiah! Tonton video dibawah ini!]


Di dalam hadis dari sahabat Jundub bin Junadah -radhiyallahu’anhu- disebutkan bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dengan tegas menafsirkan Al-Quran dengan pendapat pribadi yang tidak ada pendahulunya dari para salaf,

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“Siapa yang berbicara tentang ayat Al Quran dengan pendapat pribadinya, maka dia telah kerilu meskipun ternyata kebetulan benar.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Yakni salah secara metode, meskipun ternyata kebetulan kesimpulannya benar bersesuaian dengan penafsiran para ulama salaf, ia tetap dihukumi berdosa, karena memahami Al Quran dengan metode yang salah. Terlebih jika pemahamannya ternyata keliru, seperti penafsiran Asy-Syu’ara’ dengan pemusik, ini jauh lebih fatal.

Di dalam hadis yang lain Nabi mengingatkan dengan lebih tegas!

Disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhuma- bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

“Siapa yang berbicara tentang ayat Al Quran dengan pendapat pribadinya, maka siapkanlah tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi, beliau menilai hadis ini Hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- menerangkan hadis ini:

فمن قال في القرآن برأيه، فقد تكلف ما لا علم له به، وسلك غير ما أُمِر به، فلو أنه أصاب المعنى في نفس الأمر، لكان قد أخطأ، لأنه لم يأتِ الأمر من بابه، كمن حكم بين الناس على جهل فهو في النار، وإن وافق حكمه الصواب.

“Siapapun yang menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya sendiri, maka ia telah membebani dirinya dengan beban yang tidak dia ketahui ilmunya, dan menempuh jalan yang tidak diperintahkan kepadanya. Sekalipun dia tepat dalam memahami maknanya, dia tetaplah keliru karena dia tidak datang dari pintu yang benar. Hal ini bagaikan orang yang memutuskan perkara di antara manusia tanpa ilmu, maka dia akan di neraka, meskipun keputusannya tepat.” (Majmu’ Al-Fatawa: 13/371).

  • Kedua, musik dan syair dua hal yang berbeda meskipun kerapkali bersandingan.

Memaknai syair sebagai musik sama saja memaksakan dua hal yang bukan sinonim atau dua benda yang berbeda, meskipun kedua hal ini sering bersandingan. Seperti yang menafsirkan teh adalah air putih, atau air putih adalah teh, karena kedua benda ini sering bersatu. Tentu saja ini pemahaman yang keliru.

Salah seorang penyair, sastrawan arab terkemuka yang sangat dikenal di dunianya; Ibnu Rasyiq (1) di dalam kitabnya Al-‘Umdah mengatakan,

الموسيقى حلة الشعر.. فإن لم يلبسها طويت

“Musik adalah pakaian syair/puisi. Jika tidak dipakaikan musik, maka ia akan terlipat (tidak dibaca/terabaikan).”

Di dalam baitnya ini, Ibnu Rasyiq mengungkapkan bahwa musik adalah pakaiannya syair. Artinya fungsinya terhadap syair sebagai pelengkap atau penghias. Andaikan syair tanpa musikpun tetap sah untuk disebut syair. Ini menunjukkan bahwa musik dan syair adalah dua hal yang berbeda meskipun sahabat dekat.

Dan pujangga akan selalu disebut pujangga, tak akan pernah orang bodohpun menyebutnya pemusik. Seperti kita mengenal Chairil Anwar, W.S Rendra dan Taufik Ismail sebagai pujangga tanah air. Namun tak pernah seorangpun menyebut mereka sebagai pemusik.

Sebenarnya dua hal ini amat mudah dibedakan. Tidak bisa mewakili satu sama lain untuk menafsirkan.

[UAH dikritik oleh seorang pakar dan pengajar sastra Arab! Tonton video dibawah ini..]

    Kenapa jadi ribet begini ya????

    • Ketiga, secara prespektif makna bahasa arab juga tidak tepat.

    Asy-Syu’ara’ الشعراء merupakan bentuk jamak dari kata Asy-Syaai’r الشاعر, artınya orang yang melantunkan syair. Adapun syair dalam makna bahasa arab definisinya adalah,

    كلام موزون مُقفَّى قصدًا

    “Kata-kata yang diucapkan dengan penuh perhitungan dan niat yang baik.”

    Adapun menurut pengertian para ahli mantiq, syair adalah,

    قول مؤلَّف من أمور تخييلية، يقصد به الترغيب أو التنفير، كقولهم: الخمر ياقُوتة سيالة، والعَسَل قئُ النحْل

    “Kata-kata yang terdiri dari khayalan, dimaksudkan untuk menggugah atau menakut-nakuti, seperti pepatah: ‘Anggur adalah mutiara yang mengalir, dan madu adalah muntahan lebah.'” (sumber: Mu’jam Al-Ma’ani)

    Coba kita perhatikan definisi di atas, dengan gamblang memaknai syair sebagai kata-kata. Dan kita semua paham apa itu kata-kata kan? Yaitu ungkapan yang diucapkan oleh lisan, bukan suara yang muncul dari alat musik. Musik itu adalah suara atau irama yang muncul dari alat musik.

    Bahkan andaikan dipaksakan berdalih bahwa bahasa Indonesia yang kurang mewakili makna sesungguhnya dari kata Asy-Syu’ara’, tapi ya ngga sejauh itu juga pak Ustadz! Jika dipahami bahwa musik menjadi salahsatu unsur syair, apakah bijak memaknai sesuatu dengan salahsatu unsur yang membentuknya? Misalnya saat Anda ditanya:

    “apa itu air?”

    Anda menjawab “air adalah oksigen.”

    Apakah jawaban seperti ini jawaban yang pintar dan benar? Dengan alasan bahwa oksigen merupakan salahsatu unsur air.

    Tentu saja keliru kann?!

    Bahkan andaikan jawaban ini dipilih oleh anak TK dalam soal pilihan ganda, tetap akan dinilai salah oleh gurunya.

    Rasanya tak berlebihan jika ada yang menafsirkan air dengan oksigen, itu lebih pintar, walaupun sama-sama keliru. Karena oksigen adalah unsur pokok di dalam air, jika tidak ada oksigen maka tak akan ada wujud air. Adapun musik di dalam syair, bukanlah unsur pokok, ia hanya unsur pelengkap atau pemercantik saja. Sebagaimana yang diterangkan di dalam bait Ibnu Rasyiq di atas. Tidak adanya musik, tidak akan menyebabkan tidak adanya wujud syair. Akantetapi tidak adanya oksigen, akan meneyabkan tidak adanya wujud air. Sehingga menafsirkan air sebagai oksigen itu Jain lebih pintar daripada menafsirkan syair dengan musik. Kendati demikian, apa ada orang yang menilai memaknai air dengan oksigen itu benar?! Atau ia tak perlu mengklarifikasi dan mengakui bahwa ia telah keliru?!

    Wallahul muwaffiq…

    Penulis: Ahmad Anshori

    ____

    (1) Ibn Rusyaiq (390-463 H) adalah seorang sastrawan, penyair, dan kritikus sastra Arab terkemuka dari Kairouan, Tunisia. Ia dikenal dengan karyanya yang luas dalam bidang linguistik, retorika, dan kritik sastra. Karyanya yang paling terkenal adalah Kitab Al-‘Umdah fi Shina’ah al-Shi’r wa Naqdih (العمدة في صناعة الشعر ونقده) “Referensi tentang Karya Puisi dan Kritiknya”. Buku ini ditulis pada rentang tahun 412 H – 425 H.

    Sumber: https://remajaislam.com/

    Tambahan oleh ustadz Muhammad Abduh Negara

    Argumen kehalalan musik, kalau dikalangan ulama klasik, bisa dibaca penjelasannya imam Ibnu Hazm Al-Andalusi. Kalau dikalangan kontemporer bisa dibaca karyanya Syaikh Yusuf Al-Qardhawi.

    Saat ini, banyak yang blunder saat membahas "kehalalan musik". Ada yang tidak merinci persoalan, antara menyanyi dan memainkan alat musik.

    Ada yang "maksa" membuat potongan-potongan nukilan yang tidak tepat (kesalahan atau ketidak amanahan dalam penukilannya, bisa diketahui oleh orang yang mampu mengakses turats/kitab-kitab rujukan), yang mengesankan para ulama pengikut 4 madzhab banyak yang membolehkan alat musik. Padahal tidak samar dikalangan ulama.

    Terakhir ada yang blunder, dengan mengatakan surah Asy-Syu'ara sebagai "surah para Pemusik". Ini jelas bukan sabqul lisan (tergelincir lidah) atau salah ingat, tetapi salah konsep, karena maksa dalam berargumen.

    Saya merekomendasikan karya Ibnu Hazm dan Yusuf Al-Qardhawi, baik bagi yang pro keharaman alat musik, maupun yang pro kehalalannya. Minimal untuk memperkaya wawasan fikihnya. Memahami dhawabith (kebolehannya) bagi yang membolehkannya, dan melatih berargumen dan berdalil secara tertata, tidak asal terabas saja.

    Sumber: https://www.portal-islam.id/2024/04/argumen-kehalalan-musik-dan-heboh-surah.html?m=1#google_vignette

    Akibat fatwa UAH dan tradisi ngaNU