مِنَ الشِّرْكِ الاِسْتِعَاذَةُ بِغَيْرِ اللهِ
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada
bab sebelumnya penulis membawakan beberapa bentuk kesyirikan seperti
menyembelih untuk selain Allah yang secara dzhahir merupakan amal
perbuatan tubuh, kemudian bernadzar untuk selain Allah yang berkaitan
dengan perkataan. Pada bab ini penulis membawakan kesyirikan isti’adzah
(meminta perlindungan) kepada selain Allah yang secara dzhahir berkaitan
dengan hati. Meskipun Isti’adzah terkadang terucap dengan perkataan.
الاِسْتِعَاذَةُ Isti’adzah adalah mashdar dari kata kerja اِسْتَعَاذَ ista’aadza yang maknanya طَلَبُ الْعَوْذِ
yaitu memohon perlindungan, wazannya (timbangan kata kerjanya) adalah
istaf’ala yang pada umumnya menunjukan thalab (permintaan). Sama seperti
اِسْتَغَاثَ istaghaatsa yang maknanya طَلَبُ الْغَوْثِ thalabul ghauts yaitu meminta pertolongan dalam kondisi terdesak, اِستَعَانَ ista’ana yang maknanya طَلَبُ الْعَوْنِ thalabul ‘aun yaitu meminta pertolongan.
Isti’adzah
atau memohon perlindungan kepada Allah merupakan ibadah yang sangat
mulia. Sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa ayat di dalam Al-Quran,
Allah berfirman:
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan
jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS Fushshilat : 36)
Pada
ayat di atas Allah memerintahkan agar memohon perlindungan kepada
Allah. Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam beberapa ayat di dalam
Al-Quran, Allah berfirman:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh’.” (QS Al-Falaq : 1)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia’.” (QS An-Naas : 1)
وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan’.” (QS Al-Mu’minun : 97)
Sehingga
Isti’aadzah kepada Allah adalah ibadah. Apabila seseorang
beristi’aadzah kepada makhluk pada perkara yang mereka tidak mampu atau
kepada makhluk yang ghaib maka hal itu adalah kesyirikan.
Secara umum, Isti’adzah terbagi menjadi dua:
- Isti’adzah billah (memohon perlindungan kepada Allah) maka itu adalah ibadah dan bukti
- Isti’adzah bi ghairillah (memohon perlindungan kepada selain Allah), hukumnya terbagi menjadi dua:
- Boleh, yaitu pada perkara yang dimampui oleh makhluk. Seperti : meminta perlindungan kepada polisi dari kejahatan orang yang jahat.
- Syirik, yaitu seperti meminta sesuatu yang tidak dimampui oleh makhluk seperti kepada mayat atau meminta perlindungan pada yang ghaib seperti kepada jin.
Penulis menyebutkan 2 dalil.
Dalil Pertama :
Firman Allah ﷻ :
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Bahwa
ada beberapa orang laki-laki dari manusia yang meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki dari jin, maka jin-jin itu hanya menambah dosa
dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6).
Penulis
membawakan dua dalil yang menunjukkan bahwa Isti’aadzah kepada selain
Allah merupakan kesyirikan. Dalil pertama firman Allah:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Bahwa
ada beberapa orang laki-laki dari manusia yang meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki dari jin, maka jin-jin itu hanya menambah dosa
dan kesalahan.” (QS Al-Jin : 6)
Al-Hafidz Ibnu Katsir didalam tafsirnya berkata,
أَي
: كُنَّا نَرَى أَنَّ لَنَا فَضْلًا عَلَى الْإِنْسِ لِأَنَّهُمْ كَانُوا
يعوذون بنا إِذَا نَزَلُوا وَادِيًا أَوْ مَكَانًا مُوحِشًا مِنَ البراري
وغيرها، كما كانت عَادَةُ الْعَرَبِ فِي جَاهِلِيَّتِهَا يَعُوذُونَ
بِعَظِيمِ ذَلِكَ الْمَكَانِ مِنَ الْجَانِّ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِشَيْءٍ
يَسُوؤُهُمْ، كَمَا كَانَ أَحَدُهُمْ يَدْخُلُ بِلَادَ أَعْدَائِهِ فِي
جِوَارِ رَجُلٍ كَبِيرٍ وَذِمَامِهِ وَخَفَارَتِهِ… وَقَالَ السُّدِّيُّ:
كَانَ الرَّجُلُ يَخْرُجُ بِأَهْلِهِ فَيَأْتِي الْأَرْضَ فَيَنْزِلُهَا
فَيَقُولُ: أَعُوذُ بِسَيِّدِ هَذَا الْوَادِي مِنَ الْجِنِّ أَنْ أُضَرَّ
أَنَا فِيهِ أَوْ مَالِي أَوْ وَلَدِي أَوْ ماشيتي
“Yaitu
para jin berkata, “Kami memandang bahwa kami punya jasa kepada manusia,
karena mereka meminta perlindungan kepada kami jika mereka singgah di
lembah atau tempat yang angker seperti padang terbuka atau yang lainnya
sebagaimana kebiasaan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, ketika hendak
menempati atau melewati suatu tempat, mereka meminta perlindungan kepada
jin terbesar penghuni daerah itu agar tidak mengganggu mereka,
sebagaimana salah seorang dari mereka masuk ke daerah musuh dengan
perlindungan dan jaminan keamanan dan penjagaan dari seorang pemuka di
antara mereka…
As-Suddy
berkata, “Adalah seseorang keluar bersama keluarganya menuju suatu
tempat lalu mereka singgah di situ, maka sang lelaki berkata, “Aku
berlindung kepada jin pemimpin lembah ini agar aku tidak mendapat
kemudorotan atau mengenai hartaku atau anakku atau hewan tungganganku”
([1])
Al-Qurthubi berkata:
وَالْمُرَادُ
بِهِ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَهُ مِنْ قَوْلِ الرَّجُلِ إِذَا نَزَلَ
بِوَادٍ: أَعُوذُ بِسَيِّدِ هَذَا الْوَادِي مِنْ شَرِّ سُفَهَاءِ
قَوْمِهِ، فَيَبِيتُ فِي جِوَارِهِ حَتَّى يُصْبِحَ
“Yang
dimaksud adalah apa yang dahulu mereka (Arab Jahiliyyah) melakukannya,
dimana seseorang jika singgah di suatu lembah maka ia berkata, “Aku
berlindung kepada pemimpin lembah ini dari kejahatan kaumnya yang
bodoh”. Maka iapun bermalam dalam perlindungan sang jin hingga pagi
hari” ([2]).
Muqootil berkata:
كَانَ
أَوَّلُ مَنْ تَعَوَّذَ بِالْجِنِّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، ثُمَّ
مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ، ثُمَّ فَشَا ذَلِكَ فِي الْعَرَبِ، فَلَمَّا جَاءَ
الْإِسْلَامُ عَاذُوا بِاللَّهِ وَتَرَكُوهُمْ
“Yang
pertama kali meminta perlindungan kepada jin adalah suatu kaum dari
penduduk Yaman, kemudian dari Suku Bani Hanifah, kemudian tersebar di
kalangan Arab. Tatkala datang Islam maka mereka berlindung kepada Allah
dan meninggalkan para jin” ([3])
Inilah
salah satu bentuk kesyirikan yang kaum Jahiliyyah dulu sering lakukan,
jika mereka melewati lembah maka mereka meminta perlindungan kepada
jin-jin tersebut. Pada asalnya hanya dilakukan oleh sebagian kaum namun
lama kelamaan akhirnya tersebar di kalangan bangsa Arab. Dan demikianlah
kesyirikan-kesyirikan yang lainnya, pada asalnya hanya dilakukan oleh
segelintir orang namun akhirnya tersebar luas.
Tentang makna فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
para ulama terbagi menjadi dua dalam menafsirkannya. Pertama, maknanya
yaitu menambah ketakutan bagi manusia. Kedua, maknanya yaitu menambah
kesombongan bagi para jin. Para jin semakin senang melihat manusia takut
kepada mereka dan meminta perlindungan kepada mereka. Hal ini banyak
disaksikan di dunia nyata, terlebih di tanah air. Sebagian orang ketika
melihat batu besar atau pohon yang tinggi yang diyakini keramat, mereka
kemudian memberinya sesajen lalu memohon kepada kepala jinnya agar para
jin penunggunya tidak mengganggu mereka. Berlindung kepada jin seperti
contoh ini merupakan perbuatan kesyirikan
Qotadah berkata:
فَزادُوهُمْ رَهَقاً أَيْ إِثْمًا وَازْدَادَتِ الْجِنُّ عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ جَرَاءَةً
فَزَادُوهُمْ رَهَقًا Yaitu mereka manusia semakin berdosa dan para jin semakin berani kepada manusia” ([4])
Kemudian diantara dalil lain yang menunjukan haramnya meminta tolong kepada jin adalah firman Allah:
وَيَوْمَ
يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُم مِّنَ
الْإِنسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُم مِّنَ الْإِنسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ
بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ
النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۗ إِنَّ
رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
“Dan
(ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah
berfirman), ‘Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak
menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan
manusia, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah
dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai
kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman,
‘Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali
kalau Allah menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’am : 128)
Adapun
At-Thobari dalam tafsirnya menukil perkataan Ibnu Juraij tentang tafsir
ayat di atas dibawakan kepada makna dari surat al-Jin ayat 6. Ibnu
Juraij berkata:
كَانَ
الرَّجُلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَنْزِلُ الْأَرْضَ فَيَقُولُ: أَعُوذُ
بِكَبِيرِ هَذَا الْوَادِي فَذَلِكَ اسْتِمْتَاعُهُمْ، … وَأَمَّا
اسْتِمْتَاعُ الْجِنِّ بِالْإِنْسِ…مَا يَنَالُ الْجِنُّ مِنَ الْإِنْسِ
مِنْ تَعْظِيمِهِمْ إِيَّاهُمْ فِي اسْتِعَاذَتِهِمْ بِهِمْ، فَيَقُولُونَ:
قَدْ سُدْنَا الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
“Dahulu
lelaki di zaman Jahiliyah singgah di suatu tempat lalu berkata, “Aku
berlindung kepada jin pembesar/penguasa lembah ini”, maka itulah
kesenangan yang diperoleh manusia dari jin…Adapun kesenangan yang
diperoleh jin dari manusia… yaitu pengagungan manusia terhadap para jin
tatkala manusia meminta perlindungan kepada para jin. Maka para jin
berkata, “Sungguh kita telah menguasai jin dan manusia” ([5])
Perhatikanlah!, Meskipun kepala jin tatkala mendengar permohonan mereka asalnya dia
akan mampu memenuhi permintaan mereka, lalu memerintahkan anak buahnya
agar tidak mengganggu mereka, akan tetapi tetap saja perbuatan tersebut
adalah kesyirikan, karena orang-orang tersebut berlindung kepada sesuatu
yang ghaib. Dan meminta pertolongan kepada suatu yang ghoib -selain
Allah- adalah kesyirikan.
Selain
itu jin juga bermacam-macam, tidak semuanya muslim, ada jin kafir, jin
Hindu, jin Budha, jin Ateis, bahkan jin yang muslim pun ada yang
berakidah menyimpang sebagaimana halnya manusia. Demikian juga sekalipun
jin muslim -sebagaimana manusia- ada diantara mereka yang suka
berdusat, terlebih lagi syaithan yang suka berdusta, meskipun sesekali
benar tapi hukum asalnya tabiat mereka adalah pendusta. Sebagaimana
dalam sebuah hadits ketika syaithan mengajari Abu Hurairah ayat kursi,
Nabi bersabda:
أَمَا
إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ
ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ لاَ، قَالَ : ذَاكَ شَيْطَانٌ
“Adapun
dia kala itu berkata benar, namun asalnya dia pendusta. Engkau tahu
siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?”
“Tidak”, jawab Abu Hurairah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Dia adalah setan.” ([6])
Lebih
dari itu, pada umumnya jin tidak ingin membantu manusia kecuali dengan
timbal balik, yaitu manusia harus membayar mahar kepada jin tersebut.
Mahar yang dimaksud seperti darah binatang, atau kepala binatang.
Hakikatnya itulah bentuk ketundukan dan itulah yang dicari oleh jin.
Ketundukan kepada jin merupakan kelezatan baginya, jin sama sekali tidak
membutuhkan harta manusia. Jin hanya butuh ketundukan dan pengagungan
dari manusia. Disitulah letak kesyirikannya.
Diantara
dalil tidak bolehnya meminta tolong kepada jin adalah Rasulullah
sendiri tidak pernah meminta tolong kepada jin. Ketika kalung ‘Aisyah
hilang maka Nabi tidak pernah meminta tolong kepada jin. Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam butuh pasukan yang banyak saat perang Badar
melawan kaum musyrikin, Nabi tidak pernah meminta bantuan Jin.
Dalil-dalil di atas menunjukan tidak bolehnya seseorang minta tolong kepada jin.
Sangat
disayangkan di tanah air kita, banyak tersebar fenomena seseorang yang
punya khadam, dia merasa mempunyai jin yang dikuasinya dan bisa
diperintah olehnya. Padahal hakikatnya dialah yang dikuasai oleh jin,
karena jin pasti meminta syarat-syarat, yang jika dituruti maka dia
telah terjatu ke dalam kesyirikan.
Dalil Kedua:
Khaulah binti Hakim menuturkan: “aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
((مَنْ
نَزَلَ مَنْـزِلاً فَقَالَ أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ
شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْحَلَ مِنْ مًنْـزِلِهِ
ذَلِكَ))
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, lalu ia berdo’a:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku
berlindung dengan kalam Allah yang maha sempurna dari kejahatan semua
mahluk yang Ia ciptakan”, maka tidak ada sesuatupun yang membahayakan
dirinya sampai dia beranjak dari tempatnya itu.” (HR. Muslim).
Penulis
membawakan hadits ini seakan-akan ingin memberitahu para pembaca bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam punya solusi untuk berlindung dari
keburukan-keburukan makhlukNya. Jika orang-orang Arab jahiliyah mereka
memohon perlindungan kepada kepala Jin, maka Nabi mengajarkan doa ini
untuk berlindung kepada Allah dari keburukan para makhluk-Nya.
Apabila
seseorang melewati lembah, melewati padang pasir, atau tempat-tempat
lainnya, maka hendaknya dia berdoa dengan doa yang diajarkan Nabi:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalam Allah yang Maha sempurna dari kejahatan semua mahluk yang Ia ciptakan”
Maka tidak ada sesuatupun yang akan membahayakan dirinya sampai dia beranjak dari tempat itu.
Hadits
ini juga menjadi dalil bahwa kalamullah bukanlah makhluk tetapi sifat
Allah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin
mengajarkan agar berlindung dengan makhluk-Nya, dimana telah dimaklumi
bahwasanya berlindung dengan makhluk adalah kesyirikan. Sehingga manusia
boleh saja bersumpah dengan Al-Quran karena bersumpah dengan sifat
Allah hukumya tidak mengapa. Yang tidak diperbolehkan adalah bersumpah
dengan makhluk. Nabi bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik.” ([7])
Kalamullah bisa ditinjau dari dua hal:
- Pertama, ditinjau dari sisi asalnya, yaitu pada asalnya sifat kalamullah itu qadim atau azali, artinya sifat kalam-Nya telah menyertai keazalian Dzat Allah, bukan sifat yang muncul kemudian. Hal ini sama halnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, seperti sifat mendengar-Nya, sifat melihat-Nya, dan sifat-sifat lainnya, semua sifat-sifat ini telah menyertai keazalian zat Allah. Atau dengan kata lain Dzat Allah yang azali adalah Dzat yang memiliki sifat-sifat yang azali juga diantaranya sifat kalaam (berbicara).
Hal
ini berbeda dengan manusia, pada saat dilahirkan manusia belum dapat
berbicara, barulah kemudian seiring bertambahnya umurnya dan selalu
mendengarkan pembicaraan orang-orang di sekelilingnya akhirnya dia dapat
berbicara. Ada yang bisa berbicara di usia 2 tahun, ada yang di usai 4
tahun. Intinya sifat berbicara itu datang setelah melalui beberapa
tahapan, bukan lahir kemudian langsung bisa berbicara. Sehingga semakin
cepat seorang manusia bisa berbicara maka semakin sempurna ia. Seperti
mukjizat Nabi Isa ‘alaihis salam yang diberi kemampuan langsung bisa
berbicara setelah dilahirkan. Allah berfirman:
فَأَشَارَتْ
إِلَيْهِ ۖ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا،
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
“Maka
Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan
berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?’; erkata Isa,
‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan
Dia menjadikan aku seorang Nabi’.” (QS Maryam 29-30)
Inilah
salah satu kelebihan Nabi Isa dibanding manusia-manusia lain. Akan
tetapi Nabi Isa itu dahulu tidak ada kemudian ada. Dan bahkan pendapat
yang benar bahwasanya Nabi Isa setelah bisa berbicara tatkala masih
kecil maka beliau tidak terus berbicara hingga dewasa, akan tetapi
beliau hanya berbicara sementara waktu untuk menjelaskan bahwa beliau
seorang Nabi dan menjelaskan kesucian ibunya -Maryam- yang dituduh
berzina. Setelah itu beliau menjadi seperti bayi biasa kembali yang
tidak berbicara.
Adapun Allah sejak azali sudah ada dan sudah mampu berbicara.
Adapun
sekte Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa Allah terdiri atas Dzat dan
Sifat, dimana Dzat-Nya azali namun Sifat-Nya adalah makhluk yang tidak
azali. Seandainya sifat-sifat Allah seperti mendengar, melihat,
berbicara dan sifat lainnnya itu azali berarti Tuhan itu berbilang,
karena diantara sifat utama Tuhan adalah azali, tidak ada yang boleh
azali kecuali Dzat Tuhan. Mereka membayangkan bahwa Dzat terpisah dari
sifat. Dan yang merupakan Tuhan adalah DzatNya semata. Maka jika
ditetapkan ada 2 sifat yang azali seperti sifat Mendengar dan sifat
Melihat, maka Tuhan itu ada 3 yaitu Tuhan Allah, Tuhan Mendengar, dan
Tuhan Melihat.
Tentu
ini adalah logika yang aneh. Pemahaman seperti ini muncul karena
terpengaruh oleh ilmu filsafat. Sehingga dari situlah Mu’tazilah
mayakini Al-Quran itu makhluk yang tidak azali, karena Al-Qur’an adalah
perkataan (pembicaraan) Allah, yaitu sifat Allah, sementara sifat-sifat
Allah adalah makhluk. Adapun Ahlussunnah, mereka meyakini bahwa Allah
itu azali beserta sifat-sifatNya diantaranya sifat berbicara-Nya.
- Kedua, kalamullah ditinjau dari sisi topik/isi pembicaraannya atau kapan Allah berbicara?, maka sifat berbicara Allah itu haadist (baru terjadi), artinya Allah akan berbicara jika Dia berkehendak. Allah bisa berbicara sejak zaman azali, tetapi kapan Allah berbicara itu terserah Allah, dan itulah tanda kesempurnaan dari sifat berbicara. Semisal firman Allah di dalam Al-Quran:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir’.” (QS Al-Kafirun : 1)
Maka
perkataan ini difirmankan oleh Allah pada zaman Nabi Muhammad dan bukan
pada zaman Nabi Musa. Begitupula ketika terjadi dialog antara Allah dan
Nabi Musa sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Quran:
وَمَا
تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ، قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ
عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ
“Apakah
itu yang di tangan kananmu, hai Musa?; Berkata Musa, ‘Ini adalah
tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” (QS Thaha :
17-18)
Maka
perkataan ini difirmankan oleh Allah pada zaman Nabi Musa dan bukan
pada zaman Nabi Adam. Sehingga dari sisi topik kalam itu adalah sesuatu
yang baru. Jika diistilahkan:
الْكَلَامُ قَدِيْمٌ النَّوْعِ حَدِيْثُ الْاَحَدِ
“Kalamullah secara asalnya adalah qadim tetapi topiknya adalah baru”
Kemudian Kalamullah itu tidak ada batasnya dan tidak ada habisnya. Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi:
قُل
لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ
قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah,
‘Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula)’.” (QS Al-Kahfi: 109)
Allah juga berfirman dalam surat Luqman:
وَلَوْ
أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن
بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya
tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Luqman : 27)
Sifat
kalamullah tidak ada ujungnya. Kalamullah bukan hanya Al-Quran,
Al-Quran hanyalah bagian dari kalamullah, begitupun dengan kitab-kitab
suci samawi yang lain (seperti Taurot, Zabur, dan Injil).
Al-Qurthubi
ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Kabar (hadits) ini
shahih dan merupakan ucapan yang jujur. Kami telah mengetahui akan
kebenarannya secara dalil dan secara praktek. Semenjak aku mendengarnya
aku selalu membacanya dak aku tidak pernah tertimpa apapun sampai aku
pernah meninggalkannya. Suatu hari di suatu kota aku disengat
kalajengking pada malam hari. Lalu aku merenungkan mengapa bisa
demikian, ternyata aku lupa membaca doa tersebut.”([8])
Kandungan bab ini:
- Penjelasan tentang maksud ayat yang ada dalam surat Al Jin.
- Meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik.
- Hadits tersebut di atas, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama, merupakan dalil bahwa kalam Allah itu bukan makhluk, karena minta perlindungan kepada makhluk itu syirik.
- Doa ini sangat utama walaupun singkat.
- Sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dunia, baik dengan menolak kejahatan atau mendatangkan keberuntungan tidak berarti sesuatu itu tidak termasuk syirik.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______
([1]) Tafsir Ibnu Katsir 8/252
([2]) Tafsir Al-Qurthubi 19/10
([3]) Tafsir Al-Qurthubi 19/10
([4]) Tafsir Ibnu Katsir 8/252
([5]) Tafsir At-Thobari 9/556
([6]) HR Bukhari no. 2311
([7]) HR Ibnu Abi Hatim
([8]) Futuhat Rabbaniyah, Ibnu Allan, 3/100
TERMASUK KESYIRIKAN BERISTIGHOTSAH KEPADA SELAIN ALLAH ATAU BERDO’A KEPADA SELAIN ALLAH
مِنَ الشِّرْكِ أَنْ يَسْتَغِيْثَ بِغَيْرِ اللهِ أَوْ يَدْعُو غَيْرَهُ
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Salah
satu bentuk kesyirikan adalah beristighasah atau berdoa kepada selain
Allah. Istighootsah adalah meminta pertolongan tatkala dalam kondisi
sangat mendesak, ia lebih khusus dari pada al-istiáanah yang berarti
meminta pertolongan secara mutlak([1]).
Pembahasan
ini adalah pembahasan yang sangat penting, mengingat betapa banyaknya
syubhat dalam masalah ini. Dan diantara kesyirikan yang banyak dilakukan
adalah berkaitan dengan doa. Padahal kesyirikan dalam berdoa merupakan
puncak dari kesyirikan. Allah berfirman:
وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ
إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ وَإِذَا
حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ
كَافِرِينَ
“Dan
tiada yang lebih sesat dari pada orang yang memohon kepada
sesembahan-sesembahan selain Allah, yang tiada dapat mengabulkan
permohonannya sampai hari kiamat dan sembahan-sembahan itu lalai dari
(memperhatikan) permohonan mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada
hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan
mengingkari pemujaan mereka.” (QS Al-Ahqaf : 5-6)
Ayat
ini menunjukan bahwa puncak kesyirikan adalah berdoa kepada selain
Allah. Karena doa adalah ibadah yang teragung. Nabi bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.”([2])
Dalam
aktivitas doa akan tampak sikap kerendahan dan kehinaan dari seorang
hamba. Dan diantara makna ibadah secara bahasa adalah kerendahan dan
kehinaan, sehingga jika ditujukan untuk Allah maka Allah akan
menyukainya.
Oleh
karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuat sebuah kaidah,
“Semakin seseorang merasa rendah dan merasa butuh di hadapan Allah maka
akan semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah.” Ia berkata:
وَالْعَبْدُ
كُلَّمَا كَانَ أَذَلَّ لِلَّهِ وَأَعْظَمَ افْتِقَارًا إلَيْهِ
وَخُضُوعًا لَهُ: كَانَ أَقْرَبَ إلَيْهِ، وَأَعَزَّ لَهُ، وَأَعْظَمَ
لِقَدْرِهِ، فَأَسْعَدُ الْخَلْقِ: أَعْظَمُهُمْ عُبُودِيَّةً لِلَّهِ
“Dan
seorang hamba semakin ia menghinakan dirinya kepada Allah dan semakin
menunjukan kebutuhannya dan ketundukannya kepada Allah maka ia akan
semakin dekat dengan Allah dan semakin mulia di sisi Allah serta semakin
tinggi kedudukannya. Maka orang yang paling bahagia adalah orang yang
paling tinggi peribadatannya kepada Allah” ([3])
Seorang
hamba yang sedang bersujud maka ia berada pada puncak kehinaan dan
kerendahan diri di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, maka saat itu pula
hamba tersebut akan sangat dekat kepada Allah. Hal ini bersesuaian
dengan sabda Nabi:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu.” ([4])
Hal
ini karena gerakan sujud merupakan saat dimana seorang hamba meletakkan
bagian paling terhormat dari anggota tubuhnya yaitu kepalanya ke tempat
yang paling rendah dimana ia bersujud. Maka saat itu pula lah doa
menjadi mudah untuk dikabulkan.
Secara umum doa artinya permohonan. Para ulama membagi doa menjadi dua:
- Pertama, doa ibadah yang maksudnya adalah semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lainnya. Allah berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan
sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah
kamu berdoa (menyembah/beribadah kepada) seseorangpun di dalamnya di
samping (menyembah) Allah.” (QS Al-Jin : 18)
Diantara
maksud berdoa dalam ayat ini adalah doa ibadah yaitu “Janganlah kaum
beribadah kepada seorangpun selain Allah”. Selain itu, Nabi bersabda
bahwasanya, الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ “Doa itu adalah ibadah.” Sehingga segala macam ibadah disebut doa, begitu pula sebaliknya.
- Kedua, doa masalah atau doa permohonan, sebagaimana yang dikenal oleh kaum muslimin secara umum, jika mereka berkata “berdo’a” maka maksud mereka adalah bukan ibadah secara umum tapi do’a secara khusus yaitu memohon atau meminta sesuatu kepada Allah.
Lafadz-lafadz
doa yang datang dalam Al-Quran ataupun Hadits Nabi terkadang maknanya
adalah doa ibadah, terkadang pula maknanya adalah doa masalah, dan
keduanya-duanya harus ditujukan kepada Allah semata. Sehingga ada kaidah
yang menyatakan bahwasanya doa masalah mengandung doa ibadah, dan doa
ibadah melazimkan doa masalah.
Ibnu Taimiyyah berkata:
فَعُلِمَ
أَنَّ النَّوْعَيْنِ مُتَلَازِمَانِ فَكُلُّ دُعَاءِ عِبَادَةٍ
مُسْتَلْزِمٌ لِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ. وَكُلُّ دُعَاءِ مَسْأَلَةٍ
مُتَضَمِّنٌ لِدُعَاءِ الْعِبَادَةِ. وَعَلَى هَذَا فَقَوْلُهُ: {وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إذَا
دَعَانِ} يَتَنَاوَلُ نَوْعَيْ الدُّعَاءِ. وَبِكُلِّ مِنْهُمَا فُسِّرَتْ
الْآيَةُ. قِيلَ: أُعْطِيهِ إذَا سَأَلَنِي. وَقِيلَ: أُثِيبُهُ إذَا
عَبَدَنِي
“Maka
diketahui bahwasanya kedua model doa ini (doa ‘ibadah dan doa mas’alah)
adalah dua perkara yang saling melazimi. Setiap doa ibadah melazimkan
doa mas’alah. Dan setiap doa mas’alah mengandung do’a ibadah. Dengan
dasar ini maka firman Allah :
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” (QS Al-Baqoroh : 186)
mencakup
dua jenis doa. Dan ayat ini ditafsirkan dengan kedua jenis doa
tersebut. Ditafsirkan “Aku mengabulkannya jika ia memnita kepadaKu”, dan
ditafsirkan “Aku memberinya pahala jika ia beribadah kepadaKu”. ([5])
Sehingga
setiap dia berdoa dengan doa masalah maka saat itu pula dia sedang
beribadah kepada Allah. Sebaliknya setiap dia berdoa dengan doa ibadah
seperti ketika dia sedang shalat, atau berpuasa, atau ibadah-ibadah
lainnya maka saat itu dia akan menginginkan agar ibadah yang
dilakukannya dapat diterima oleh Allah, dan itu merupakan doa masalah.
Diantara
doa masalah adalah isti’adzah dan istighatsah. Isti’adzah adalah doa
memohon agar Allah menolak datangnya kesusahan sedangkang istighatsah
adalah doa memohon agar Allah menghilangkan kesusahan yang telah
menimpanya.
Dan istighatsah terbagi menjadi dua, yaitu istighatsah kepada Allah dan istighatsah kepada makhluk.
Kemudian
istighatsah kepada makhluk terbagi lagi menjadi dua, yaitu pada perkara
yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah dan pada perkara yang
secara umum makhluk mampu melakukannya. Contoh istighatsah pada perkara
yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah seperti meminta anak,
meminta dilapangkan rezeki, meminta dihilangkan dari penderitaan dan
kesempitan jiwa, dan hal lainnya. Istighatsah seperti ini tergolong
sebagai syirik akbar. Adapun pada perkara yang secara umum makhluk mampu
melakukannya, maka ini terbagi lagi menjadi dua kemungkinan dan
kedua-duanya boleh. Kemungkinan pertama ternyata makhluk tersebut mampu,
kemungkinan kedua ternyata tidak mampu. Kedua kemungkinan ini hukumnya
boleh, sebagai contoh seseorang yang sakit lalu pergi ke dokter dan
ternyata sang dokter mampu menyembuhkan, atau di lain kesempatan sang
dokter tersebut tidak mampu menyembuhkannya, dua kasus ini bukanlah
kesyikiran. Contoh lain, seseorang yang tenggelam lalu dia berusaha
meminta tolong kepada orang di sekelilingnya yang ternyata tidak mampu
berenang, maka hal ini bukanlah termasuk kesyirikan karena asalnya
secara umum manusia mampu untuk berenang. Sehingga tidak otomatis
meminta tolong kepada manusia pada hal yang tidak dimampuinya secara
serta merta menjadikan hal tersebut syirik.
Allah menyebutkan kisah Nabi Musa di dalam Al-Quran tentang istighatsah yang boleh dilakukan. Allah berfirman:
وَدَخَلَ
الْمَدِينَةَ عَلَىٰ حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا
رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَٰذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَٰذَا مِنْ عَدُوِّهِ ۖ
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ
فَوَكَزَهُ مُوسَىٰ فَقَضَىٰ عَلَيْهِ ۖ قَالَ هَٰذَا مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ
“Dan
Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka
didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang
seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya
(kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan
kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa
meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata, ‘Ini adalah
perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan
lagi nyata (permusuhannya)’.” (QS Al-Qhashash: 15)
Nabi
Musa tidak bermaksud untuk membunuhnya, akan tetapi orang yang dipukul
oleh Nabi Musa itu adalah orang lemah sehingga dia meninggal begitu
saja. Pada ayat ini dijumpai bentuk istighatsah yaitu seorang laki-kali
dari Bani Israil yang meminta tolong kepada Nabi Musa dan pada saat itu
Nabi Musa mengiyakan permintaannya.
Dalam bab ini penulis membawakan 5 dalil.
Dalil Pertama:
Firman Allah ﷻ:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan
janganlah kamu memohon/berdo’a kepada selain Allah, yang tidak dapat
memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu, jika
kamu berbuat hal itu maka sesungguhnya kamu dengan demikian termasuk
orang-orang yang dzalim (musyrik).” (QS. Yunus: 106)
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ
يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ
عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Dan
jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi
kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan
kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya
dan Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)
Ayat
ini pada asalnya ditujukan kepada Nabi, yaitu “Dan janganlah kamu
(Wahai Muhammad) memohon/berdoa kepada selain Allah” ([6]).
Ibnu Áthiyyah berkata:
وَهَذَا
الأَمْرُ وَالْمُخَاطَبَةُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا كَانَتْ هَكَذَا فَأَحْرَى أَنْ يَتَحَرَّزَ مِنْ ذَلِكَ غَيْرُهُ
“Dan
perintah ini serta pembicaraan ditujukan kepada Nabi shallallahu álaihi
wasallam. Jika perkaranya demikian maka selain beliau lebih utama untuk
waspada” ([7])
Sisi
pendalilan dari dalil pertama ini adalah bahwasanya orang yang berdoa
kepada selain Allah maka ia termasuk orang yang dzolim, yaitu kafir .
Ayat-ayat yang semakna dengan ini diantaranya firman Allah:
فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
Maka
janganlah kamu (yaitu Muhammad) menyeru (menyembah) tuhan yang lain di
samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab
(QS As-Syuároo: 213)
وَلَا
تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ
هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Janganlah
kamu (yaitu Muhammad) berdoa di samping (berdoa kepada) Allah tuhan
apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala
penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (QS Al-Qoshos :
88)
Ayat-ayat
ini menegaskan jika seandainya Nabi shallallahu álaihi wasallam -orang
yang termulia di alam semesta ini- berdoa kepada selain Allah maka Nabi
akan termasuk orang yang musyrik dan akan diadzab oleh Allah. Lantas
bagaimana dengan selain Nabi?.
Ini
juga isyarat bahwa jika Nabi saja harus berdoa maka tentu ia tidak
pantas untuk diminta dan ditujukan kepadanya doa. Hal ini sebagaimana
Nabi Isa yang -bahkan dalam injil- disebutkan juga berdoa, maka tidak
pantas orang-orang nashoro berdoa kepada Nabi Isa álaihis salam.
Adapun firman Allah
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ
يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ
عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Dan
jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi
kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan
kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya
dan Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)
Maka
ayat ini menunjukan bahwa hanya Allah-lah yang Maha Esa (bersendirian)
dalam mengatur alam semesta, yang mempu menghilangkan kemudorotan dan
yang mendatangkan kebaikan, tidak ada yang bisa menolak keputusan Allah.
Jika perkara demikian maka hanya Allah-lah yang berhak untuk ditujukan
kepadanya doa.
Semakna dengan ayat ini firman Allah:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ
اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ
هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ
يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan
sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka
terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika
Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika
Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah
bertawakkal orang-orang yang berserah diri (QS Az-Zumar: 38)
مَا
يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا
يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Apa
saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak
ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh
Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Fathir : 2)
Kenyataan
yang menyedihkan kita dapati sebagian orang yang memiliki
keyakinan-keyakinan terhadap orang-orang shalih yang sudah meninggal dan
menghuni kuburan. Mereka meyakini bahwa para penghuni kubur tersebut
bisa mendatangkan manfaat atau menolak kemudorotan meskipun dengan dalih
bahwa itu semua dengan izin Allah. Padahal Allah sama sekali tidak
pernah memberi izin dan kekuasaan kepada para penghuni kuburan untuk
memberi manfaat dan menolak mudorot.
Mereka
orang-orang shalih yang disembah ketika masih hidup mereka selalu dalam
kondisi membutuhkan agar mereka mendapatkan manfaat dan dijauhkan dari
kemudorotan. Demikian pula setelah mereka meninggal dunia maka mereka
tetap membutuhkan kepada Allah agar mereka diringankan hisab mereka,
agar mereka dirahmati Allah, agar mereka ditingkatkan derajatnya di
sisiNya. Demikian pula mereka membutuhkan kepada orang-orang yang masih
hidup agar mendoakan mereka agar mereka diampuni dan dinaikan
derajatnya. Jika mereka adalah para nabi maka mereka juga membutuhkan
kepada orang-orang yang masih hidup untuk bersholawat dan bersalam
kepada mereka.
Karenanya
Nabi mendoakan para sahabat yang mati syahid, padahal kedudukan mereka
tinggi di sisi Allah. Dan Nabi menyuruh para shahabat yang masih hidup
untuk mendoakan para shahabat yang mati syahid.
Beliau berkata kepada para sahabatnya -tentang para sahabat yang mati syahid dalam perang mu’tah:
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا
حَتَّى لَقُوا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ
فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي
طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا أَشْهَدُ لَهُ
بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّى أُصِيبَ شَهِيدًا
فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ
وَلَمْ يَكُنْ مِنْ الْأُمَرَاءِ هُوَ أَمَّرَ نَفْسَهُ فَرَفَعَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُصْبُعَيْهِ وَقَالَ
اللَّهُمَّ هُوَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِكَ فَانْصُرْهُ فَيَوْمَئِذٍ سُمِّيَ
خَالِدٌ سَيْفَ اللَّهِ
“Maukah
kuberitahukan kepada kalian tentang tentara kalian para pejuang ini,
sesungguhnya mereka pergi hingga menemui musuh, lalu Zaid mati syahid,
maka mintakanlah ampunan untuknya -orang-orang pun memintakan ampunan
untuknya- kemudian bendera diambil Ja’far bin Abu Thalib kemudian
memerangi musuh hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid,
maka mintakanlah ampunan untuknya, kemudian bendera diambil ambil
‘Abdullah bin Rawahah, ia meneguhkan kaki hingga mati syahid, aku
bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya,
kemudian bendera diambil alih oleh Khalid bin Al Walid, ia bukan
termasuk pemimpin yang ditunjuk, namun ia mengangkat dirinya sebagai
pemimpin.”
Kemudian
Rasulullah ﷺ mengangkat dua jari beliau dan bersabda: “Ya Allah! Dia
adalah salah satu pedangMu, berilah ia kemenangan”. ([8])
Dalil Kedua:
إِنَّ
الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ
إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Sesungguhnya
mereka yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki
kepadamu, maka mintalah rizki itu kepada Allah dan sembahlah Dia (saja)
serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu sekalian
dikembalikan.” (QS. Al Ankabut: 17 )
Sisi
pendalilan dari ayat ini adalah bahwasanya yang berhak untuk dimintai
rizki hanyalah Allah semata. Karenanya dalam ayat ini firman Allah
عِنْدَ اللَّهِ (kepada Allah) didahulukan dari pada firman Allah
الرِّزْقَ (rizki), yang ini menunjukan pembatasan. Yaitu hanya kepada
Allah-lah kalian meminta rizki. Berbeda jika Allah menyatakan “Mintalah
rizki kepada Allah” maka ini bisa saja dipahami boleh meminta rizki
kepada selain Allah. Akan tetapi dalam ayat ini Allah berfirman
“Mintalah kepada Allah rizki”, yang ini memberikan faidah
pembatasan([9]). Jika hanya Allah yang memberi rizki maka hanya
Allah-lah yang berhak untuk diibadahi dan berhak untuk ditujukan doa
kepadaNya.
Dalil Ketiga:
وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ، وَإِذَا
حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ
كَافِرِينَ
“Dan
tiada yang lebih sesat dari pada orang yang memohon kepada
sesembahan-sesembahan selain Allah, yang tiada dapat mengabulkan
permohonannya sampai hari kiamat dan sembahan-sembahan itu lalai dari
(memperhatikan) permohonan mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada
hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan
mengingkari pemujaan mereka.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)
Ayat
ini menunjukan bahwa tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang
berdoa kepada selain Allah. Ini menunjukan bahwa syirik “berdoa kepada
selain Allah” adalah syirik yang paling terparah, karena pelakunya
adalah orang yang paling tersesat. Hal ini ditinjau dari dua hal :
Pertama:
Doa adalah ibadah yang paling dicintai oleh Allah, karena pada doa
nampak kehinaan seorang hamba kepada “Pencipta”nya. Maka jika seseorang
menyerahkan ibadah yang paling dicintai oleh Pencipta kepada selain
pencipta maka ia adalah orang yang paling tersesat.
Kedua:
Bagaimana bisa seseorang berdoa kepada makhluk yang semisalnya yang
tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih lagi jika ternyata makhluk tersebut
sudah meninggal dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana bisa yang
meminta berdoa kepada yang diminta yang lebih lemah dan lebih tidak
mampu dari yang meminta. Maka kesesatan apakah yang lebih sesat dari
pada hal ini?.
Terlabih
lagi konteks dari ayat ini dikhususkan kepada orang-orang yang
menyembah atau berdoa kepada orang-orang yang sudah meninggal dan
menjadi mayat, bukan kepada patung dan berhala([10]).
Dalil Keempat:
أَمَّنْ
يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ
خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau
siapakah yang mengabulkan (do’a) orang-orang yang dalam kesulitan di
saat ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang
menjadikan kamu sekalian menjadi khalifah di bumi? Adakah sesembahan
(yang haq) selain Allah? Amat sedikitlah kamu mengingat-(Nya).” (QS. An
Naml: 62)
Pada
ayat ini Allah berdalil dengan pengakuan kaum musyrikin terhadap
rububiyah Allah, yaitu mereka mengakui bahwa hanya Allah yang
mengabulkan doa mereka tatkala mereka terdesak, dan hanya Allah yang
menghilangkan penderitaan mereka. Mereka mengetahui ini semua. Hal ini
sebagaimana firman Allah:
فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
Maka
apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke
darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS Al-Ánkabut
: 65)
Karenanya
Allah berhujjah dengan pengakuan mereka terhadap rububiyah Allah untuk
uluhiyahNya, sehingga di akhir ayat Allah berfirman أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ “Adakah sesembahan (yang haq) selain Allah?”
Yang
menyedihkan bahwasanya sebagian penyembah kubur di zaman sekarang ini
kondisinya lebih parah dari pada sebagian kaum musyrikin zaman
jahiliyah. Jika kaum musyrikin zaman jahiliyah dalam kondisi terdesak
mereka mengikhlaskan doa mereka hanya kepada Allah, maka sebagian
penyembah kubur di zaman sekarang justru dalam kondisi terdesak mereka
mengikhlaskan doa mereka kepada wali-wali dan orang-orang shalih yang
mereka sembah. Sebagian mereka ada yang dalam kondisi terdesak berkata,
“Ya Ali (Asy-Syadzili)…”, yang satu berkata, “Wahai Abdul Qodir
(al-Jailaani)…”, yang lain berkata, “Ya Ibnu Úlwaan…”, ada yang
berkata, “Ya al-Badawi…”, ada yang berkata, “Ya al-Husain…”, dll. Bahkan
sebagian mereka begitu parahnya sampai meminta kepada orang-orang
shalih ini agar timbangan kebajikan mereka lebih berat pada hari kiamat,
agar masuk surga dan selamat dari neraka, agar dikokohkan tatkala
ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir, dan permintaan-permintaan
lainnya yang tidak bisa mengabulkannya kecuali Allah([11]). Allah telah
berfirman kepada NabiNya shallallahu álaihi wasallam:
أَفَمَنْ حَقَّ عَلَيْهِ كَلِمَةُ الْعَذَابِ أَفَأَنْتَ تُنْقِذُ مَنْ فِي النَّارِ
Apakah
(kamu hendak merubah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan azab
atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang yang berada dalam api
neraka? (QS Az-Zumar : 19)
Yaitu
engkau (Muhammad) tidak mampu melakukannya([12]). Siapapun yang telah
ditetapkan masuk neraka maka Nabi tidak bisa menyelamatkannya, dan
siapapun yang telah ditetapkan tersesat maka Nabi tidak bisa memberi
hidayah kepadanya([13]).
Untuk
melariskan kesyirikan betapa banyak cerita-cerita yang tidak jelas yang
dibuat. Cerita bahwa si fulan tatkala sakit lalu pergi ke kuburan wali
maka iapun sembuh, dan cerita-cerita lainnya. Semua dalil ditinggalkan
lalu bersandar kepada cerita yang tidak jelas kebenarannya. Kalaupun
benar maka bukan merupakan dalil untuk boleh melakukannya. Jika boleh
berdalil dengan cerita, maka betapa banyak orang yang cerita bahwa ia
sembuh karena ke dukun, barang yang hilang kembali lagi karena ke dukun,
ia sembuh karena ke tukang sihir. Bahkan betapa banyak kaum kafir yang
mengaku setelah berdoa kepada sesembahan mereka lantas dikabulkan
keinginan mereka. Apakah ini dalil bahwa boleh melakukan kekufuran?.
Dalil Kelima:
Imam
At-thabrani dengan menyebutkan sanadnya meriwayatkan bahwa: “pernah ada
pada zaman Rasulullah ﷺ seorang munafik yang selalu menyakiti
orang-orang mu’min, maka salah seorang di antara orang mu’min berkata:
“marilah kita bersama-sama memohon perlindungan kepada Rasulullah ﷺ
supaya dihindarkan dari tindakan buruk orang munafik ini”, ketika itu
Rasulullah ﷺ menjawab:
((إِنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ))
“Sesungguhnya aku tidak boleh dimintai perlindungan, hanya Allah sajalah yang boleh dimintai perlindungan”.
Hadits
ini dhoíf karena pada sanadnya ada Ibnu Lahiáh, sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawakan
kepada makna “beradab” dalam perkataan yang berkaitan dengan tauhid.
Karena istighotsah yang disebutkan dalam hadits adalah pada perkara yang
dimampui oleh Nabi, yaitu untuk menangkap orang munafiq, atau untuk
menghukumnya, atau untuk menghilangkan gangguannya.
Istighotsah kepada selain Allah
Ibnul
Qoyyim berkata, “Diantara bentuk syirik adalah meminta kebutuhan kepada
mayat-mayat, beristighotsah dengan mereka dan mengarahkan hati kepada
mereka. (وَهَذَا أَصْلُ شِرْكِ الْعَالَمِ)
Ini adalah asal kesyirikan di alam ini. Sesungguhnya mayat telah
terputus amalnya. Ia tidak bisa memberikan manfaat dan kemudorotan
kepada dirinya sendiri, apalagi kepada orang yang memohon kepadanya dan
meminta dipenuhi hajatnya, atau meminta agar sang mayat memberi syafaat
untuknya kepada Allah agar dipenuhi hajatnya…. Sesungguhnya mayat
membutuhkan orang lain (yang masih hidup) untuk mendoakannya, memohon
rahmat untuknya, memohon ampunan baginya. Sebagaimana Nabi washiatkan
kepada kita jika kita menziarahi kuburan kaum muslimin agar kita memohon
rahmat bagi mereka, dan memohon keselamatan dan ampunan bagi mereka.
Namun orang-orang musyrik membalikan perkaranya” ([14])
Demikianlah
kondisi sebagian orang yang melakukan istighotsah kepada selain Allah,
kepada para wali dan kaum shalihin yang telah meninggal dunia.
Tingkatan Istighatsah Kepada Selain Allah
Berdoa memohon hajat kepada mayat.
Di sisi kuburan sang mayat
Pada perkara ini terdapat dua pelanggaran sehingga termasuk perbuatan kesyirikan;
Pertama, meminta hajat kepada mayat padahal mayat tidak mampu mengabulkannya.
Kedua, meyakini mayat memiliki kemampuan mengabulkan permohonan hajat dengan cara yang ghaib
Jauh dari kuburan sang mayat
Pada perkara ini terdapat tiga pelanggaran sehingga termasuk perbuatan kesyirikan;
Pertama, meminta hajat kepada mayat padahal mayat tidak mampu mengabulkannya.
Kedua, meyakini mayat memiliki kemampuan mengabulkan permohonan hajat dengan cara yang ghaib.
Ketiga, meyakini mayat tersebut maha mengetahui dan maha mendengar.
Berdoa memohon kepada yang masih hidup tetapi orangnya ghaib (tidak hadir di hadapan orang yang memohon).
Memohon pada perkara yang mampu dilakukan oleh orang tersebut
(seandainya dia hadir). Maka yang seperti ini juga merupakan kesyirikan
karena meyakini dia maha mendengar.
Memohon pada perkara yang tidak mampu dilakukan oleh orang
tersebut (seandainya dia hadir). Seperti minta disembuhkan dari
penyakitnya padahal dia bukan seorang dokter. Maka ini lebih parah dari
yang pertama.
Berdoa memohon kepada yang hidup dan hadir pada perkara yang tidak
mampu dilakukannya kecuali Allah. Seperti seseorang yang meminta kepada
gurunya agar dimudahkan rezekinya, maka ini merupakan kesyirikan.
Berdoa memohon kepada mayat agar mendoakannya kepada Allah. Seperti
seseorang yang datang ke kuburan wali lalu berdoa kepadanya agar wali
tersebut memohonkan hajat orang tadi kepada Allah.
– Meminta doa kepada mayat tetapi jauh dari kuburan si mayat. Maka
yang seperti ini adalah syirik karena meyakini mayat tersebut maha
mengetahui dan maha mendengar.
– Meminta doa kepada mayat di sisi kuburannya si mayat. Maka yang seperti ini diperselisihkan oleh para ulama.
Pertama,
sebagian ulama mengatakan bahwa ini adalah kesyirikan menimbang bahwa
meminta kepada mayat itu sendiri sudah merupakan ibadah. Dan demikianlah
bentuk kesyirikan kaum musyrikin zaman Jahiliyyah sewaktu mereka
meminta syafaat kepada mayat, kata sebagian ulama. Pendapat ini
dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah dalam beberapa pembahasan.
Kedua,
hukumnya bidah dan mengantarkan kepada kesyirikan namun belum sampai
derajat syirik. Karena dia tidak meminta atau beribadah langsung kepada
sang mayat namun dia hanya meminta tolong dengan perantaraan si mayat.
Lebih dari itu, terdapat khilaf di kalangan para ulama apakah si mayat
masih bisa mendengar orang yang datang kepadanya atau tidak, meskipun
demikian tetap saja si mayat tidak akan bisa mendoakan, dan sangat
berbahaya karena bisa menjadi sarana pengagungan terhadap mayat. Inilah
pendapat yang lebih kuat, sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah dalam satu
konteks pembahasan, demikian pula dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, Syaikh bin Baz, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahumullah.
Meskipun tidak sampai derajat syirik tetapi hal ini sangat berbahaya
karena sangat mudah mengantarkan kepada kesyirikan.
Syubhat dan Bantahannya
Sekelompok
orang yang membolehkan beristighatsah kepada selain Allah mempunyai
dalil-dalil atau yang lebih tepatnya syubhat-syubhat yang bisa membuat
samar kaum muslimin. Namun pada umumnya syubhat-syubhat tersebut secara
umum terbagi menjadi dua:
Pertama, bersumber dari dalil yang tidak shahih
Syubhat yang dilontarkan dengan memakai dalil yang tidak shahih mudah untuk dipatahkan, dari dua sisi:
Pertama : Jika dalil tidak shahih maka tidak bisa dijadikan dalil, apalagi dalam permasalahan aqidah.
Kedua:
Kita membantah mereka dengan kadiah mereka sendiri yaitu “Masalah
aqidah tidak bisa dibangun diatas hadits ahad, meskipun shahih. Akan
tetapi harus dibangun di atas hadits yang mutawatir”. Berdasarkan kaidah
mereka ini, maka jika hadits shahih yang ahad saja tidak bisa diterima
untuk membangun permasalahan aqidah, apalagi hadits-hadits yang dhoíf.
Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi, tidak hanya sekedar berdalil
dengan hadits-hadits yang dhoíf, bahkan berdalil dengan kisah-kisah dan
cerita-cerita yang tidak bisa dibuktikan validitasnya.
Kedua, bersumber dari dalil yang shahih
Adapun
syubhat-syubhat yang muncul dari dalil yang shahih, maka hal itu
disebabkan tidak lain karena mereka salah paham dalam sisi
pendalilannya. Karena patut diketahui bahwa dalam pengamalan dalil, ada
dua kaidah umum yang harus diperhatikan yaitu;
Pertama, dalil tersebut harus dipahami dengan pemahaman (penjelasan) para salaf atau
Kedua, salaf pernah mempraktikkan pemahaman tersebut.
Apabila dua kaidah tersebut tidak terpenuhi maka amalan tersebut tidak benar.
Beberapa Syubhat dan Bantahannya
Syubhat Pertama,
diantara syubhat yang dilontarkan oleh mereka adalah keyakinan bahwa
meskipun Nabi telah meninggal dunia akan tetapi hakikatnya beliau masih
hidup, sehingga boleh-boleh saja datang ke kuburan Nabi lalu meminta
agar Nabi mendoakan.
Syubhat
ini bisa dibantah dari dua sisi; Sisi pertama, apakah ada sahabat atau
para salaf yang memahami dalilnya seperti itu; atau sisi kedua, apakah
ada sahabat atau para salaf yang melakukan amalan seperti itu.
Seandainya amalan tersebut dituntunkan niscaya para sahabat akan
berbondong-bondong mendatangi kuburan Nabi karena banyaknya permasalahan
yang dihadapi oleh mereka, namun ternyata tidak ada riwayat bahwa
mereka pernah mendatangi kuburan Nabi. Dan seandainya amalan seperti itu
lebih afdhal, tentu saja para salaf akan lebih bersemangat untuk
melakukannya. Berbeda halnya ketika Nabi masih hidup, banyak sahabat
yang datang langsung kepada beliau meminta agar beliau mendoakannya,
atau meminta pengarahan dan petunjuk dari beliau.
Bahkan
dijumpai sebagian orang yang mengamalkan shalawat-shalawat atau
dzikir-dzikir tertentu yang diyakininya sebagai dzikir yang diajarkan
langsung oleh Nabi melalui gurunya yang bertemu langsung dengan Nabi
pada zaman-zaman ini. Maka sesungguhnya ini adalah bentuk khurafat yang
berbahaya, karena dapat melazimkan bahwa Nabi masih hidup dan dapat
bertemu dengan manusia, dapat mendoakan, dan dapat menghadiri
acara-acara kaum muslimin. Seandainya Nabi masih hidup niscaya akan
banyak nukilan-nukilan dari para sahabat bahwa Nabi mengunjungi mereka
kembali. Yang benar adalah Nabi tidak pernah keluar dari kuburannya
kecuali pada hari kiamat kelak, karena kematian Nabi Muhammad adalah
sesuatu yang nyata. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu berkata -ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat-
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ
كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ
“Barangsiapa
yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan
barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan
tidak akan mati.”([15])
Pemahaman
akan bolehnya meminta tolong kepada mayat sesungguhnya bersumber dari
kesalahpahaman dalam memahami dalil-dalil. Diantara dalil tersebut
adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran, Allah
berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah: 154)
Demikian juga firman Allah:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali
Imran : 169)
Mereka
memahami dua dalil tersebut bahwa yang mati syahid itu sesungguhnya
masih hidup. Sehingga konsekuensinya adalah mereka statusnya sama
seperti orang yang hidup, boleh meminta kepadanya agar mendoakan atau
boleh meminta tolong kepadanya sebagaimana kepada orang hidup. Sehingga
yang mati syahid saja masih hidup apalagi seorang Rasulullah yang lebih
tinggi derajanya dari mereka.
Pemahaman
seperti ini adalah pemahaman yang batil, tidak pernah ada dari kalangan
sahabat yang datang ke pemakaman para syuhada perang Uhud lalu meminta
kepada mereka. Justru sebalikya para sahabat itu datang ke pemakaman
tersebut dalam rangka untuk mendoakan para syuhada tersebut, dan bukan
sebaliknya. Rasulullah juga tidak pernah mengajarkan meminta-minta
kepada para syuhada, dan Rasulullah tidak pernah mengisyaratkan
sedikitpun apabila beliau wafat nanti agar para sahabat mendatangi
pemakaman beliau. Justru sebaliknya Nabi shallallahu álaihi wasallam
mengajarkan kepada para sahabat yang masih hidup untuk mendoakan para
sahabat yang telah mati syahid.
Bantahan terhadap cara pendalilan mereka tersebut dari dua sisi berikut:
- Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal sangatlah banyak. Diantaranya, Allah berfirman:
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن
مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ
عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ
الشَّاكِرِينَ
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik
ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran:
144)
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS Az-Zumar: 30”)
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ ۖ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
“Kami
tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu
(Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS
Al-Anbiya: 34)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS Al-‘Ankabut : 57)
Sehingga ada banyak sekali dalil yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad juga meninggal dunia.
Berdasarkan
dua dalil (yang mereka pakai) yang menyatakan bahwa Allah menetapkan
kehidupan bagi orang yang mati syahid, lalu dibandingkan dengan
dalil-dalil yang mengisyaratkan bahwa Nabi telah meninggal, maka
seakan-akan terdapat kontradiksi diantara dua sisi pendalilan tersebut.
Ada kehidupan yang dinafikan namun ada pula yang ditetapkan. Namun
sebagaimana diketahui bahwa ayat-ayat di dalam Al-Quran tidak akan
mungkin kontradiksi satu sama lain. Sehingga komprominya adalah
kehidupan yang ditetapkan pada dalil yang menetapkan kehidupan berbeda
dengan kehidupan yang dinafikan pada dalil-dalil akan kematian Nabi.
Oleh karena itu, para ulama mengatakan:
اَلْحَيَاةُ الْمُثْبَتَةُ غَيْرُ الْحَيَاةِ الْمَنْفِيَّةِ
“Kehidupan yang ditetapkan dalam dalil-dalil tidak sama dengan kehidupan yang dinafikan oleh dalil-dalil.”
Adapun kehidupan yang ditetapkan di dalam dalil-dalil disebut dengan الْحَيَاةُ الْبَرْزَخِيَّةُ yaitu kehidupan alam barzakh, sedangkan kehidupan yang dinafikan disebut dengan الْحَيَاةُ الدُّنْيَوِيَّةُ yaitu kehidupan di alam dunia.
Telah
dimaklumi bahwa alam itu ada tiga jenis yaitu alam dunia, alam barzakh,
dan alam akhirat. Alam barzakh tidak boleh disamakan dengan alam dunia
sebagaimana tidak boleh disamakan antara kehidupan akhirat dengan
kehidupan barzakh ataupun kehidupan dunia, karena ketiga-tiganya
merupakan alam yang berbeda satu sama lain.
Dan diantara dalil yang menunjukkan bahwa kehidupan yang dimaksudkan adalah alam barzakh adalah firman Allah
وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ
“tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah : 154)
Al-Baidhowi berkata:
وَهُوَ
تَنْبِيْهٌ عَلَى أَنَّ حَيَاتَهُمْ لَيْسَتْ بِالْجَسَدِ وَلاَ مِنْ
جِنْسِ مَا يُحَسُّ بِهِ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ، وَإِنَّمَا هِيَ أَمْرٌ لاَ
يُدْرَكُ بِالْعَقْلِ بَلْ بِالْوَحْيِ
“Dan
ini adalah untuk mengingatkan bahwa kehidupan mereka bukanlah dengan
jasad dan bukan dengan sejenis apa yang bisa dirasakan seperti
hewan-hewan, akan tetapi ia adalah kehidupan yang tidak bisa dicerna
dengan akal, akan tetapi dengan wahyu” ([16])
Karenanya
orang-orang yang masih hidup menyangka mereka (para syuhada’) telah
mati, karena kehidupan para syuhada’ tidak bisa dirasakan oleh
orang-orang yang masih hidup.
Imam Adz-Dzahabi berkata,
وَهُوَ
حَيٌّ فِي لَحْدِهِ، حَيَاةَ مِثْلِهِ فِي البَرزَخِ الَّتِي هِيَ أَكمَلُ
مِنْ حَيَاةِ سَائِرِ النَّبِيِّينَ، وَحَيَاتُهُم بِلاَ رَيْبٍ أَتَمُّ
وَأَشرَفُ مِنْ حَيَاةِ الشُّهدَاءِ الَّذِيْنَ هُم بِنَصِّ الكِتَابِ:
{أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِم يُرْزَقُوْنَ}، وَهَؤُلاَءِ حَيَاتُهُم الآنَ
الَّتِي فِي عَالِمِ البَرْزَخِ حَقٌّ، وَلَكِنْ لَيْسَتْ هِيَ حَيَاةَ
الدُّنْيَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ، وَلاَ حَيَاةَ أَهْلِ الجَنَّةِ مِنْ كُلِّ
وَجْهٍ
“Dan
Rasulullah shallallahu álaihi wasallam hidup di kuburnya dengan
kehidupan yang semisalnya di barzakh, dimana kehidupannya lebih sempurna
dari kehidupan seluruh nabi-nabi yang lain. Dan kehidupan mereka -tanpa
diragukan- adalah lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan kehidupan
para syuhada yang mereka dengan nash al-Qurán “mereka itu hidup disisi
Tuhannya dengan mendapat rezeki” (QS Ali Imran : 169). Kehidupan mereka
sekarang yang ada di alam barzah adalah benar adanya. Akan tetapi
kehidupan tersebut bukanlah kehidupan dunia dari segala sisinya, dan
tidak juga seperti kehidupan para penghuni surga dari segala sisi.”
([17])
Kedua,
jika ditinjau dari dalil yang mereka pakai yaitu surat Ali Imran ayat
169 yang mereka jadikan dalil sebagai bukti bahwa para syuhada masih
hidup. Maka disana terdapat lafadz عِندَ رَبِّهِمْ (di sisi Rabbnya). Terdapat dua tafsiran terhadap lafadz tersebut:
Al-‘Indiyyah Al-Haqiqiyah, yaitu mereka benar-benar di sisi Allah secara hakiki. Secara jasad ada di kuburan tetapi ruh mereka ada di sisi Allah.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab shahihnya, dari Masruuq rahimahullah beliau berkata :
سَأَلْنَا
عَبْدَ اللهِ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: {وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ
قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ
يُرْزَقُونَ} قَالَ: أَمَا إِنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ:
«أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ، لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ
بِالْعَرْشِ، تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ، ثُمَّ تَأْوِي
إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ، فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمُ
اطِّلَاعَةً»، فَقَالَ: ” هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا؟ قَالُوا: أَيَّ شَيْءٍ
نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا، فَفَعَلَ
ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ
يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا، قَالُوا: يَا رَبِّ، نُرِيدُ أَنْ
تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ
مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا “
“Kami
bertanya kepada Ibnu Masud tentang firman Allah pada surat Ali Imran
ayat 169, “Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.” Ibnu Masud menjawab, “Sesungguhnya kami pernah
menanyakan hal yang sama kepada Nabi, lalu beliau bersabda, “Ruh-ruh
mereka (para syuhada) berada di dalam lubang burung hijau, mereka punya
sangkar-sangkar bergantungan di bawah Arsy. mereka terbang di surga
dengan bebas menurut kehendaknya, kemudian kembali pada sangkar-sangkar
tersebut. Allah melihat keadaan mereka, lalu berfirman, “Apakah kalian
menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apakah yang kami inginkan lagi,
bukankah kami terbang dengan bebas di dalam surga ini menurut kehendak
kami?” Allah melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. Setelah mereka
merasakan bahwa diri mereka tidak dibiarkan oleh Allah melainkan harus
meminta, maka berkatalah mereka, “Wahai Tuhan kami, kami menginginkan
agar Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad kami, sehingga kami
dapat terbunuh lagi demi membela jalan-Mu sekali lagi.” Setelah Allah
melihat bahwa mereka tidak mempunyai keperluan lagi, maka barulah mereka
ditinggalkan.” ([18])
Sehingga
apabila ditafsirkan dengan tafsiran pertama ini maka tidak mungkin
setiap saat bisa meminta kepada mereka, karena posisi mereka jauh dari
sisi manusia dan mereka sibuk beterbangan kesana kemari. Sehingga tidak
sempat untuk mendengarkan permintaan-permintaan orang yang meminta
kepada mereka. Para sahabat juga ketika ingin meminta tolong kepada
Nabi, mereka hanya meminta tolong ketika Nabi ada di sisi mereka. Jika
Nabi jauh atau tidak sedang di sisi mereka maka mereka tidak meminta
tolong. Hal itu berlaku ketika Nabi masih hidup, maka terlebih lagi
ketika Nabi telah meninggal dunia.
Karenanya
tidak seorang muslimpun memandang boleh untuk meminta pertolongan
kepada Nabi Ísa álaihis salam padahal beliau masih hidup, hal ini karena
Nabi Ísa diangkat di atas di sisi Allah. Dan tidak seorangpun dari kaum
muslimin yang berpendapat bahwa boleh meminta kepada Nabi Ísa padahal
beliau masih hidup, bagaimana lagi meminta kepada orang yang sudah
meninggal dan jauh?!
Al-‘Indiyyah Al-Majaziyyah,
yaitu sebenarnya dan hakikatnya mereka telah meninggal dan tidak hidup,
hanya saja menurut penilaian Allah mereka masih hidup di sisi Allah
mereka masih hidup. Hal ini karena pahala mereka begitu banyak dan terus
berkesinambungan disebabkan dampak dari jihad mereka terus
berkesinambungan. Dengan demikian seakan-akan mereka masih hidup, namun
pada hakikatnya mereka telah meninggal. Jika lafadz tersebut ditafsirkan
dengan tafsiran ini, maka lebih tidak diperbolehkan untuk meminta
kepada mereka, karena yang namanya mayat tidak mungkin diajak bicara,
apalagi dimintai tolong. Namun pendapat pertama yang lebih kuat bahwa
mereka para syuhada benar-benar hidup akan tetapi kehidupan alam
barzakh.
Peringatan:
Dalil-dalil
yang datang tentang kehidupan barzakhiyah hanya datang tentang dua
jenis manusia yaitu syuhada’ dan para nabi. Adapun para syuhada
berdasarkan QS Al-Baqoroh: 154 dan QS Ali Imran: 169. Adapun kehidupan
barzakhiyah bagi para nabi berdasarkan sabda Nabi:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ
“Para Nabi itu hidup dalam kuburan mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.” ([19])
Dalam hadits yang lain Nabi juga bersabda,
مَرَرْتُ – عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ
“Aku
melewati Nabi Musa pada malam ketika aku diisra’kan di al-Katsib
al-Ahmar, dan Nabi Musa dalam keadaan shalat di kuburnya” ([20]).
Adapun
kehidupan barzakhiyah bagi orang-orang shalih dan para wali Allah
(selain para nabi dan para syuhada’) maka tidak ada dalilnya secara
khusus. Karenanya menetapkan bahwa orang-orang shalih masih hidup di
kuburan mereka dengan mengqiaskannya kepada kehidupan barzakhiyah para
syuhada maka merupakan qias yang tidak tepat. Karena kedudukan para
syuhada’ lebih tinggi dari keumuman para shalihin ([21]). Sementara
orang-orang yang sering didatangi kuburannya dan dijadikan tempat
meminta kebanyakannya adalah kuburan orang-orang yang dianggap shalih
dan bukan para syuhada’.
Syubhat kedua, syubhat selanjutnya yang mereka lontarkan adalah dari firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64. Allah berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ
أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوا أَنفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“Dan
Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’ : 64)
Mereka
berdalilkan dengan ayat ini dan berkata bahwa ayat ini umum mencakup
saat Nabi masih hidup dan setelah Nabi meninggal dunia. Sehingga
disyariatkan datang ke kuburan Nabi meminta agar Nabi memohonkan ampunan
kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa kita.
Membantah cara pendalilan mereka dapat ditempuh dengan empat cara:
- Pertama, ayat ini untuk kejadian khusus dan tidak bisa diqiyaskan serta diberlakukan secara umum.
Sekilas
jika ayat tersebut dicermati maka seakan-akan syarat diterimanya taubat
adalah datang kepada Nabi agar memohonkan ampunan kepada Allah. Namun
apabila ditelaah lebih lanjut dalam hadits-hadits Nabi dan amalan-amalan
para sahabat maka tidak akan didapati para sahabat jika berdosa maka
mereka mendatangi Nabi lalu meminta agar Nabi memohonkan ampunan untuk
mereka. Melainkan para sahabat akan bertaubat sendiri kepada Allah
secara langsung.
Dari
sini para ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah kejadian khusus,
karena ayat ini berkaitan dengan perilaku suatu kaum yang tidak beradab
terhadap Nabi. Sebagaimana pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan
tentang perilaku mereka yang berhukum kepada thaghut padahal Nabi ada di
tengah-tengah mereka. Allah berfirman:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى
الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ
أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa
: 60)
Berdasarkan
ayat ini, ada dua dosa yang telah mereka lakukan yaitu tidak berhukum
dengan Nabi dan tidak menaati perintah Allah untuk berhukum dengan Nabi.
Oleh karena itu, jika mereka ingin bertaubat Allah mensyaratkan agar
mereka datang kepada Nabi karena telah berbuat adab yang buruk kepada
Nabi. Sehingga ayat ini berlaku khusus dan tidak bisa diberlakukan
secara umum. ([22])
- Kedua, dalam ayat tersebut terdapat lafadz إِذْ yang bermakna “ketika” yaitu kejadian yang telah berlalu, dan tidak menggunakanإِذَا yang bermakna “ketika” pada kejadian yang berulang-ulang.
- Ketiga, dalam ayat tersebut Allah mengatakan جَاءُوكَ yaitu datang kepada Nabi langsung, tidak dengan lafadz جَاءُوْ إِلَى قَبْرِكَ yaitu datang kepada kuburan Nabi. Ini adalah isyarat bahwa ayat ini berkaitan dengan Nabi yang masih hidup.
- Keempat, dalam ayat tersebut Allah mengungkapkan “mereka” dengan dhamir (kata ganti), sedangkan kata ganti tidak bisa diberlakukan secara umum. Sehingga Allah memaksudkan “mereka yang berbuat dzhalim” yaitu mereka-mereka yang berhukum dengan thaghut di saat Nabi masih hidup.
Oleh
karena itu, ayat tersebut (An-Nisa’ : 64) dikhususkan untuk suatu kaum
di saat Nabi masih hidup. Lebih dari itu, tidak ada dalil lain yang
mendukung yang menyatakan bahwa orang yang bersalah harus datang ke
kuburan Nabi. Para sahabat juga ketika melakukan dosa sepeninggal Nabi,
tidak ada yang pernah mendatangi kuburan Nabi lantas meminta kepada Nabi
agar memohonkan ampunan kepada Allah. Jika mendatangi kuburan Nabi
untuk memohong kepada Nabi beristighfar merupakan kebaikan, tentu para
sahabat yang lebih utama dan lebih semangat untuk melakukannya.
Selain
mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Quran, mereka juga berdalilkan
dengan hadits-hadits Nabi untuk melegalkan syubhat mereka. Diantara
dalil yang dipakai untuk membolehkan beristighatsah dan berdoa kepada
para Nabi dan mayat lainnya.
Dalil Pertama, hadits Nabi:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ
“Para Nabi itu hidup dalam kuburan mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.” ([23])
Dalam hadits yang lain Nabi juga bersabda,
مَرَرْتُ – عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ
“Aku
melewati Nabi Musa pada malam ketika aku diisra’kan di al-Katsib
al-Ahmar, dan Nabi Musa dalam keadaan shalat di kuburnya” ([24]).
Mereka
mengatakan bahwa jika Nabi dan para Nabi yang lain masih hidup apalagi
mereka masih shalat maka diperbolehkan meminta doa kepada mereka.
Hal ini bisa dibantah dari beberapa sisi:
- Pertama, bahwa kehidupan tersebut adalah kehidupan barzakh yang tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, sebagaimana kehidupan di alam mimpi tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, begitu pula kehidupan setelah kiamat tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia (sebagaimana telah lalu penjelasannya)
- Kedua, shalat yang mereka lakukan bukanlah karena beban taklif sebagaimana ketika di dunia. Mereka melakukan shalat bukan karena diperintahkan oleh Allah tetapi mereka melakukannya adalah untuk merasakan kelezatan dengan shalat tersebut, sebagaimana apa yang dilakukan oleh penduduk surga mereka bertasbih kepada Allah demi untuk merasakan kelezatan.
Nabi bersabda:
يَأْكُلُ
أَهْلُ الْجَنَّةِ فِيهَا، وَيَشْرَبُونَ وَلَا يَتَمَخَّطُونَ، وَلَا
يَتَغَوَّطُونَ، وَلَا يَبُولُونَ، وَيَكُونُ طَعَامُهُمْ ذَلِكَ جُشَاءً،
وَيُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ، وَالْحَمْدَ كَمَا يُلْهَمُونَ النَّفَسَ
“Penghuni
surga makan di surga dan mereka minum, namun mereka tidak beringus,
tidak buang air besar, dan tidak buang air kecil. Dan makna mereka
menjadi sendawa. Dan mereka diilhamkan untuk bertasbih dan bertahmid
sebagaimana mereka diilhamkan untuk bernafas” ([25])
- Ketiga : Selain itu, keadaan mereka yang shalat dan berdoa kepada Allah tidak lantas melazimkan diperbolehkan bagi kita untuk berdoa kepada mereka, karena kelaziman tersebut benar-benar bukan suatu kelaziman.
Lihatlah
para malaikat yang mereka selalu beribadah kepada Allah bahkan
mendoakan orang-orang yang beriman dan memohonkan ampunan bagi
mereka([26]), namun kita tidak boleh meminta kepada para malaikat
apalagi beristighotsah dan berdoa kepada mereka.
Ketiga, hadits tersebut berbicara tentang para Nabi dan tidak bisa diqiyaskan dengan orang shalih secara umum.
- Dalil Kedua, hadits Nabi
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
“Tidak
ada seorangpun yang memberikan salam kepadaku kecuali Allah akan
mengembalikan rohku kepadaku, sehingga aku akan membalas salamnya.”
([27])
Dengan
dalil ini mereka mengatakan bahwa Nabi itu hidup karena mampu
berinteraksi dengan menjawab salam. Sehingga kita bisa berbicara dengan
Nabi dan boleh berdoa kepadanya.
Hal ini bisa dibantah dari beberapa sisi:
- Pertama, hadits ini justru menunjukkan kehidupan barzakh Nabi tidak kontinyu. Kalaupun ruh Nabi dikembalikan, hal tersebut tidak berarti Nabi hidup seperti manusia kembali di alam dunia melainkan kehidupan barzakh.
- Kedua, ruh Nabi dikembalikan khusus untuk menjawab salam, bukan untuk diskusi, mengobrol, dan sebagainya.
Dalil Ketiga, hadits dimana Nabi memanggil kaum musyrikin yang tewas di perang Badr.
Abu Tholhah berkata:
فَلَمَّا
كَانَ بِبَدْرٍ اليَوْمَ الثَّالِثَ أَمَرَ بِرَاحِلَتِهِ فَشُدَّ
عَلَيْهَا رَحْلُهَا، ثُمَّ مَشَى وَاتَّبَعَهُ أَصْحَابُهُ، …حَتَّى قَامَ
عَلَى شَفَةِ الرَّكِيِّ، فَجَعَلَ يُنَادِيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ
وَأَسْمَاءِ آبَائِهِمْ: «يَا فُلاَنُ بْنَ فُلاَنٍ، وَيَا فُلاَنُ بْنَ
فُلاَنٍ، أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ،
فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا، فَهَلْ وَجَدْتُمْ
مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا؟» قَالَ: فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ لاَ أَرْوَاحَ لَهَا؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ»،
قَالَ قَتَادَةُ: أَحْيَاهُمُ اللَّهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ، قَوْلَهُ
تَوْبِيخًا وَتَصْغِيرًا وَنَقِيمَةً وَحَسْرَةً وَنَدَمًا
“Tatkala
Nabi di Badr pada hari yang ketiga (yaitu hari ketiga setelah
peperangan berakhir) maka Nabi-pun memerintahkan agar tunggangannya
disiapkan lalu diletakan pelananya. Lalu Nabi berjalan dan diikuti oleh
para sahabatnya… hingga Nabi berdiri di mulut sumur (tempat mayat-mayat
kaum musyirikin dikuburkan). Lalu Nabi memanggil mereka (kaum musyrikin)
dengan menyebut nama orang tua mereka, “Wahai fulan bin fulan, wahai
fulan bin fulan, bukankah menyenangkan kalian kalau kalian taat kepada
Allah dan RasulNya?. Sungguh kami telah mendapatkan kebenaran janji yang
dijanjikan Rabb kami kepada kami. Apakah kalian telah mendapatkan
kebenaran apa yang dijanjikan Rabb kalian kepada kalian?”. Maka Umar
berkata, “Ya Rasulullah tidakkah engkau berbicara dengan jasad-jasad
yang sudah tidak bernyawa?”. Maka Nabi berkata, “Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di tanganNya, sungguh kalian tidak lebih mendengar dari
pada mereka tentang apa yang aku katakan”.
Qotadah
berkata, “Allah menghidupkan mereka hingga mereka mendengar perkataan
Nabi, untuk merendahkan mereka, menghinakan mereka, sebagai balasan dan
penyesalan dari mereka”([28])
Dalam hadits Umar bin Al-Khotthob Nabi berkata:
مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يَرُدُّوا عَلَيَّ شَيْئًا
“Kalian
(para sahabat) tidaklah lebih mendengar dari pada mereka tentang apa
yang aku katakana, hanya saja mereka tidak mampu untuk membalas
perkataanku sama sekali” ([29])
Dengan
dalil ini mereka beranggapan bahwa kita bisa berbicara dengan mayat
karena mayat bisa mendengar sebagaimana apa yang Nabi lakukan.
Hal ini bisa dibantah dari beberapa sisi:
- Pertama, pada dasarnya mayat tidak bisa mendengar perkataan manusia. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا
يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن
يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
“Dan
tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur
dapat mendengar.” (QS. Fatir : 22)
Dan firman Allah:
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَىٰ وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya
kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak
pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila
mereka telah berpaling membelakang.” (QS. An-Naml : 80)
Kedua
ayat ini turun sebagai permisalan bahwa orang kafir itu seperti orang
mati yang tidak bisa mendengarkan ayat-ayat Allah. Seandainya orang mati
bisa mendengar maka permisalan dalam ayat ini keliru, dan itu sesuatu
yang tidak mungkin.
Kecuali
apa yang pernah dilakukan Nabi pada mayat Abu Jahal dan lainnya
sebagaimana hadits sebelumnya. Bahkan para sahabat awalnya keheranan
menyaksikan Nabi karena meyakini bahwa para mayat tidak bisa mendengar,
dan demikianlah hukum asalnya. Oleh karena itu, sebagian ulama
memasukkan ke dalam kitabnya seperti Imam As-Suyuthi tentang pembicaraan
Nabi kepada mayat kaum musyrikin yang mati dalam perang badar sebagai
mukjizat Nabi([30]). Demikian pula yang dipahami oleh As-Suhaili([31]),
Ibnu Hajar([32]) dan Ibnu ‘Athiyah dalam tafsirnya([33]). Sehingga jika
ini adalah mukjizat Nabi maka tidak boleh diqiyaskan dengan yang
lainnya.
Namun
seandainya toh jika para mayat dapat mendengar perkataan manusia yang
masih hidup maka apa faedah yang bisa didapat? Padahal mayat itu tidak
mampu menjawab.
- Kedua, hadist tersebut membicarakan tentang mayat orang kafir. Allah mengembalikan ruh mereka agar mereka merasakan kepedihan nasib mereka yang terhinakan dan terbunuh dalam perang. Karena ini adalah dalil tentang penghinaan mayat orang-orang kafir maka tidak bisa diqiyaskan dengan mayat orang-orang shalih.
Dalil keempat, hadits
إِنَّ
العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ،
وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ
“Sesungguhnya
hamba jika diletakan di dalam kuburnya dan teman-temannya sudah
berpaling pergi meninggalkannya, dan sesungguhnya ia benar-benar
mendengar gerak langkah sandal sandal mereka, maka datanglah dua
malaikat.” ([34])
Mereka
berdalil bahwa mayat mendengar suara sendal orang-orang yang
mengantarkannya ke kuburan. Jika mayat bisa mendengar maka boleh untuk
meminta kepadanya.
Bantahan:
Pendengaran
ini adalah pendengaran khusus. Buktinya, bahwa yang mereka dengar
adalah suara sandal tatkala para pengantarnya pulang, adapun suara-suara
obrolan dan yang lainnya mayat-mayat tersebut tidak bisa mendengarnya.
Seandainya mereka mendengar seluruh suara dari atas maka Nabi tidak akan
mengaitkannya dengan suara sandal. Sehingga tidak bisa diqiyaskan dalam
seluruh keadaan dengan menggunakan hadits ini.
Dalil kelima, yaitu doa yang dibaca ketika berziarah ke kubur.
السَّلَامُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ،
وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ،
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا
وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Semoga
keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari
(golongan) orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah
merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang
belakangan. Kami insya Allah akan menyusul kalian, saya meminta
keselamatan untuk kami dan kalian.” ([35])
Bantahan:
Menjadikan
hadits ini sebagai dalil bolehnya meminta kepada penghuni kubur adalah
pendalilan yang tidak masuk akal dan terbalik. Karena hadits ini
berbicara tentang mendoakan penghuni kubur, bukan sebaliknya meminta
kepada penghuni kubur. Adapun
Dalil keenam, tentang kisah di padang Mahsyar yaitu tatkala manusia meminta syafaat kepada para Nabi.
Sisi pendalilan mereka adalah bahwa para Nabi tersebut sudah mati tetapi boleh meminta kepada mereka.
Bantahan:
Pendalilan
tersebut bisa dibantah dengan mengatakan, hadits tersebut menunjukkan
bahwa Nabi tidak lagi dalam keadaan mati melainkan hidup lagi setelah
dibangkitkan. Ditambah, manusia pada saat itu mereka berlari
kesana-kemari untuk mencari dan berusaha menemui Nabi Adam, Nabi Nuh dan
seterusnya. Ini menunjukkan bahwa mereka meminta didahului dengan usaha
untuk menemui para nabi tersebut, bukan berdiam diri di tempatnya lalu
memanggil-manggil para Nabi tersebut, sebagaimana anggapan mereka yang
membolehkan meminta kepada Nabi kapan dan dimana saja walaupun jauh
darinya.
Dalil ketujuh, dalam sholat kaum muslimin disunnahkan untuk bershalawat kepada Nabi dengan berucap السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ “Salam bagi anda wahai Nabi” yaitu dengan
menggunakan kata ganti orang ke dua. Ini menunjukan bahwa Nabi masih
hidup dan mereka bisa berbicara dengan Nabi meskipun Nabi telah
meninggal dunia.
Bantahan:
Pertama:
Maksud dari perkataan salam tersebut bukan untuk mengajak bicara Nabi
atau menyeru beliau. Akan tetapi maksudnya adalah untuk menghadirkan
dalam hati akan agungnya kedudukan Nabi. Hal ini ditunjukan oleh
beberapa hal:
- Ketika Nabi masih hidup, para sahabat mengucapkan salam ini dalam sholat mereka meskipun mereka tidak sedang bersama Nabi. Bahkan bisa jadi Nabi di tempat/kota yang lain.
- Ketika mereka mengucapkannya dalam sholat dalam kondisi bermakmum kepada Nabi maka mereka tidak mengeraskannya, karena memang maksud mereka adalah mendoakan Nabi dan bukan mengajak berbicara Nabi. Lain halnya kalau mereka hendak berbicara dengan Nabi di luar sholat maka mereka mengucapkan salam kepada beliau dengan suara yang jahr (terdengar) dan didengar oleh Nabi
- Seandainya bacaan salam dalam sholat tersebut maksudnya adalah mengajak berbicara dengan Nabi, lalu mereka memperdengarkan salam tersebut kepada Nabi maka tentu wajib bagi Nabi untuk menjawab salam kepada mereka.
- Kenyataannya banyak orang yang ketika sholat mengucapkan salam tersebut, mereka tidak merasa sedang berbicara dengan Nabi.
- Jika memangpun maksudnya adalah berbicara dengan Nabi maka hal inipun hanya terbatas pada salam saja dan tidak diqiaskan dengan pembicaraan yang lain. Karenanya Allah menugaskan para malaikat untuk menyampaikan salam umatnya kepada Nabi, dan Allah mengembalikan ruh Nabi untuk menjawab salam umatnya.
Kandungan bab ini:
- Istighatsah itu pengertiannya lebih khusus dari pada berdo’a([36]).
- Penjelasan tentang ayat yang pertama ([37]).
- Meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik besar.
- Orang yang paling shaleh sekalipun jika melakukan perbuatan ini untuk mengambil hati orang lain, maka ia termasuk golongan orang-orang yang dzalim (musyrik).
- Penjelasan tentang ayat yang kedua ([38]).
- Meminta perlindungan kepada selain Allah tidak dapat mendatangkan manfaat duniawi, di samping perbuatan itu termasuk perbuatan kafir.
- Penjelasan tentang ayat yang ketiga ([39]).
- Meminta rizki itu hanya kepada Allah, sebagaimana halnya meminta surga.
- Penjelasan tentang ayat yang keempat ([40]).
- Tidak ada orang yang lebih sesat dari pada orang yang memohon kepada sesembahan selain Allah.
- Sesembahan selain Allah tidak merasa dan tidak tahu kalau ada orang yang memohon kepadanya.
- Sesembahan selain Allah akan benci dan marah kepada orang yang memohon kepadanya pada hari kiamat.
- Permohonan ini dianggap ibadah kepada sesembahan selain Allah.
- Pada hari kiamat sesembahan selain Allah itu akan mengingkari ibadah yang ditujukan kepada mereka.
- Permohonan kepada selain Allah inilah yang menyebabkan seseorang menjadi orang yang paling sesat.
- Penjelasan tentang ayat yang kelima ([41]).
- Satu hal yang sangat mengherankan adalah adanya pengakuan dari para penyembah berhala bahwa tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan orang yang berada dalam kesulitan kecuali Allah, untuk itu, ketika mereka berada dalam keadaan sulit dan terjepit, mereka memohon kepada-Nya dengan ikhlas dan memurnikan ketaatan untuk-Nya.
- Hadits di atas menunjukan tindakan preventif yang dilakukan Rasulullah ﷺ untuk melindungi ketauhidan, dan etika sopan santun beliau kepada.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______
([1]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 1/103
([2]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 1/103
([3]) Majmu’ Fataawa 1/39
([4]) HR Muslim no. 482
([5]) Majmuu’ Fataawa 15/11
([6]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 1/103
([7]) al-Muharror al-Wajiiz fi Tafsiir al-Kitaab al-Áziiz 3/147
([8]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 6/243
([9]) HR Ahmad no 22551 dan dinyatakan oleh para pentahqiqnya, “Shahih lighoirihi”
([10]) Hal ini karena dalam ayat ini Allah mensifati sesembahan-sesembahan yang ditujukan kepadanya doa dengan tiga sifat:
Pertama:
“Mereka tidak bisa mengabulkan doa hingga hari kiamat”. Hal ini tentu
hanya berlaku bagi sesembahan sesembahan yang akan dibangkitkan pada
hari kiamat, dan setelah mereka dibangkitkan mereka tetap tidak mampu
mengabulkan doa orang-orang tersebut.
Kedua:
Allah menyatakan bahwa mereka setelah dibangkitkan pada hari kiamat
akan menjadi musuh bagi orang-orang yang berdoa kepada mereka tatkala di
dunia. Tentu berhala dan pohon serta batu atau bendak-benda mati tidak
termasuk dalam ayat ini.
Ketiga: Lagi pula Allah menggunakan kata “مَنْ” pada firmanNya مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ, yang pada asalnya kata مَنْ digunakan untuk yang berfikir (manusia) bukan untuk benda-benda mati. (Lihat at-Tamhiid hal 186)
([11]) Lihat Taisiir al-Áziiz al-Hamiid hal 180
([12]) Lihat Tafsir at-Thobari 20/187
([13]) Lihat Tafsir Ibnu Katsiir 7/80
([14]) Lihat Madaarij as-Saalikin 1/353-354
([15]) HR Bukhari no 1241
([16])Tafsir al-Baidhoowi 1/114
([17])Siyar A’laam an-Nubalaa 9/161
([18])HR Muslim no 1887
([19]) HR. Al-Bazzar, dishahihkan oleh Al-Albani
([20]) HR. Muslim no. 2375
([21]) Berdasarkan firman Allah:
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Dan
barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS
An-Nisaa’ : 69)
Lihat penjelasan al-Qurthubi tatkala menafsirkan ayat:
([22])Lihat
penjelasan Ar-Razi dalam tafsirnya (At-Tafsiir al-Kabiir 10/126) dan
juga Muhammad Rasyid Rido (Tafsir al-Manaar 5/190)
([23]) HR. Al-Bazzar, dishahihkan oleh Al-Albani
([24]) HR. Muslim no. 2375
([25]) HR Ahmad no 15117 dan dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad
([26]) Allah berfirman tentang para malaikat yang mendoakan orang-orang yang beriman:
تَكَادُ
السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْ فَوْقِهِنَّ وَالْمَلَائِكَةُ
يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ
Hampir
saja langit itu pecah dari sebelah atas (karena kebesaran Tuhan) dan
malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampun
bagi orang-orang yang ada di bumi. (QS Asy-Syuuroo: 5)
الَّذِينَ
يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ
وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا
(Malaikat-malaikat)
yang memikul ´Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih
memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun
bagi orang-orang yang beriman (QS Ghofir : 7)
([27]) HR. Abu Dawud no. 2041
([28]) HR Al-Bukhari no 3976
([29]) HR Muslim no 2873
([30]) Lihat al-Khoshooish al-Kubro 1/328. As-Suyuthi memasukan kejadian ini di bawah bab : ذِكْرُ الْمُعْجِزَاتِ الْوَاقِعَةِ فِي الْغَزَوَاتِ “Penyebutan mukjizat-mukjizat yang terjadi dalam peperangan-peperangan”
([31]) As-Suhaili berkata:
فَاَللهُ هُوَ الّذِي يَسْمَعُهُمْ عَلَى الْحَقِيقَةِ إذَا شَاءَ لَا نَبِيّهُ وَلَا أَحَدٌ
“Maka
Allah-lah yang telah menjadikan mereka (para mayat kaum musyirikin
Quraisy) mendengar secara hakikat, bukan nabiNya dan juga bukan
seorangpun” (Ar-Roud al-Unuf 5/105)
Sebagaimana dinukil juga oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 7/304, Ibnu Hajar berkata:
وَقَالَ
السُّهَيْلِيُّ مَا مُحَصَّلُهُ إِنَّ فِي نَفْسِ الْخَبَرِ مَا يَدُلُّ
عَلَى خَرْقِ الْعَادَةِ بِذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Dan
As-Suhaili berkata yang kesimpulannya bahwasanya hadits tersebut
menunjukan bahwa hal itu adalah mukjizat bagi Nabi shallallahu álaihi
wasallam” (Fathul Baari 7/304)
([32]) Beliau berkata:
الَّذِي وَقَعَ حِينَئِذٍ مِنْ خَوَارِقِ الْعَادَةِ لِلنَّبِيِّ
“Yang terjadi adalah termasuk mukjizat Nabi” (Fathul Baari 7/304)
([33]) Lihat al-Muharror al-Wajiiz 4/270 tatkala beliau menafsirkan surat an-Naml ayat 80
([34]) HR. Bukhari no. 1252
([35]) HR. Ahmad no. 25855, Muslim no. 975
([36]) Istighatsah ialah: meminta pertolongan ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.
([37])
Ayat pertama menunjukkan bahwa dilarang memohon kepada selain Allah,
karena selain-Nya tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula dapat
mendatangkan bahaya kepada seseorang.
([38])
Ayat kedua menunjukkan bahwa Allah-lah yang berhak dengan segala ibadah
yang dilakukan manusia, seperti doa, istighatsah dan sebagainya. Karena
hanya Allah yang Maha Kuasa, jika Dia menimpakan sesuatu bahaya kepada
seseorang, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia
sendiri, dan jika Dia menghendaki untuk seseorang suatu kebaikan, maka
tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Tidak ada seorangpun yang
menghalangi kehendak-Nya.
([39])
Ayat ketiga menunjukkan bahwa hanya Allah yang berhak dengan ibadah dan
rasa syukur kita, dan hanya kepada-Nya seharusnya kita meminta rizki,
karena selain Allah tidak mampu memberikan rizki.
([40])
Ayat keempat menunjukkan bahwa doa (permohonan) adalah ibadah. Karena
itu, barangsiapa yang menyelewengkannya kepada selain Allah, maka dia
adalah musyrik.
([41])
Ayat kelima menunjukkan bahwa istighatsah (mohon pertolongan) kepada
selain Allah – karena tidak ada yang kuasa kecuali Dia – adalah bathil
dan termasuk syirik.
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/