Type Here to Get Search Results !

 


TERMASUK KESYIRIKAN BERISTIGHOTSAH/BERDO'A KEPADA SELAIN ALLAH


مِنَ الشِّرْكِ أَنْ يَسْتَغِيْثَ بِغَيْرِ اللهِ أَوْ يَدْعُو غَيْرَهُ

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA

Salah satu bentuk kesyirikan adalah beristighasah atau berdoa kepada selain Allah. Istighootsah adalah meminta pertolongan tatkala dalam kondisi sangat mendesak, ia lebih khusus dari pada al-istiáanah yang berarti meminta pertolongan secara mutlak([1]).

Pembahasan ini adalah pembahasan yang sangat penting, mengingat betapa banyaknya syubhat dalam masalah ini. Dan diantara kesyirikan yang banyak dilakukan adalah berkaitan dengan doa. Padahal kesyirikan dalam berdoa merupakan puncak dari kesyirikan. Allah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

“Dan tiada yang lebih sesat dari pada orang yang memohon kepada sesembahan-sesembahan selain Allah, yang tiada dapat mengabulkan permohonannya sampai hari kiamat dan sembahan-sembahan itu lalai dari (memperhatikan) permohonan mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan mereka.” (QS Al-Ahqaf : 5-6)

Ayat ini menunjukan bahwa puncak kesyirikan adalah berdoa kepada selain Allah. Karena doa adalah ibadah yang teragung. Nabi bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah.”([2])

Dalam aktivitas doa akan tampak sikap kerendahan dan kehinaan dari seorang hamba. Dan diantara makna ibadah secara bahasa adalah kerendahan dan kehinaan, sehingga jika ditujukan untuk Allah maka Allah akan menyukainya.

Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuat sebuah kaidah, “Semakin seseorang merasa rendah dan merasa butuh di hadapan Allah maka akan semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah.” Ia berkata:

وَالْعَبْدُ كُلَّمَا كَانَ أَذَلَّ لِلَّهِ وَأَعْظَمَ افْتِقَارًا إلَيْهِ وَخُضُوعًا لَهُ: كَانَ أَقْرَبَ إلَيْهِ، وَأَعَزَّ لَهُ، وَأَعْظَمَ لِقَدْرِهِ، فَأَسْعَدُ الْخَلْقِ: أَعْظَمُهُمْ عُبُودِيَّةً لِلَّهِ

“Dan seorang hamba semakin ia menghinakan dirinya kepada Allah dan semakin menunjukan kebutuhannya dan ketundukannya kepada Allah maka ia akan semakin dekat dengan Allah dan semakin mulia di sisi Allah serta semakin tinggi kedudukannya. Maka orang yang paling bahagia adalah orang yang paling tinggi peribadatannya kepada Allah” ([3])

Seorang hamba yang sedang bersujud maka ia berada pada puncak kehinaan dan kerendahan diri di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, maka saat itu pula hamba tersebut akan sangat dekat kepada Allah. Hal ini bersesuaian dengan sabda Nabi:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu.” ([4])

Hal ini karena gerakan sujud merupakan saat dimana seorang hamba meletakkan bagian paling terhormat dari anggota tubuhnya yaitu kepalanya ke tempat yang paling rendah dimana ia bersujud. Maka saat itu pula lah doa menjadi mudah untuk dikabulkan.

Secara umum doa artinya permohonan. Para ulama membagi doa menjadi dua:
  • Pertama, doa ibadah yang maksudnya adalah semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan lainnya. Allah berfirman:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu berdoa (menyembah/beribadah kepada) seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS Al-Jin : 18)

Diantara maksud berdoa dalam ayat ini adalah doa ibadah yaitu “Janganlah kaum beribadah kepada seorangpun selain Allah”. Selain itu, Nabi bersabda bahwasanya, الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ “Doa itu adalah ibadah.” Sehingga segala macam ibadah disebut doa, begitu pula sebaliknya.
  • Kedua, doa masalah atau doa permohonan, sebagaimana yang dikenal oleh kaum muslimin secara umum, jika mereka berkata “berdo’a” maka maksud mereka adalah bukan ibadah secara umum tapi do’a secara khusus yaitu memohon atau meminta sesuatu kepada Allah.
Lafadz-lafadz doa yang datang dalam Al-Quran ataupun Hadits Nabi terkadang maknanya adalah doa ibadah, terkadang pula maknanya adalah doa masalah, dan keduanya-duanya harus ditujukan kepada Allah semata. Sehingga ada kaidah yang menyatakan bahwasanya doa masalah mengandung doa ibadah, dan doa ibadah melazimkan doa masalah.

Ibnu Taimiyyah berkata:

فَعُلِمَ أَنَّ النَّوْعَيْنِ مُتَلَازِمَانِ فَكُلُّ دُعَاءِ عِبَادَةٍ مُسْتَلْزِمٌ لِدُعَاءِ الْمَسْأَلَةِ. وَكُلُّ دُعَاءِ مَسْأَلَةٍ مُتَضَمِّنٌ لِدُعَاءِ الْعِبَادَةِ. وَعَلَى هَذَا فَقَوْلُهُ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إذَا دَعَانِ} يَتَنَاوَلُ نَوْعَيْ الدُّعَاءِ. وَبِكُلِّ مِنْهُمَا فُسِّرَتْ الْآيَةُ. قِيلَ: أُعْطِيهِ إذَا سَأَلَنِي. وَقِيلَ: أُثِيبُهُ إذَا عَبَدَنِي

“Maka diketahui bahwasanya kedua model doa ini (doa ‘ibadah dan doa mas’alah) adalah dua perkara yang saling melazimi. Setiap doa ibadah melazimkan doa mas’alah. Dan setiap doa mas’alah mengandung do’a ibadah. Dengan dasar ini maka firman Allah :

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” (QS Al-Baqoroh : 186)

mencakup dua jenis doa. Dan ayat ini ditafsirkan dengan kedua jenis doa tersebut. Ditafsirkan “Aku mengabulkannya jika ia memnita kepadaKu”, dan ditafsirkan “Aku memberinya pahala jika ia beribadah kepadaKu”. ([5])

Sehingga setiap dia berdoa dengan doa masalah maka saat itu pula dia sedang beribadah kepada Allah. Sebaliknya setiap dia berdoa dengan doa ibadah seperti ketika dia sedang shalat, atau berpuasa, atau ibadah-ibadah lainnya maka saat itu dia akan menginginkan agar ibadah yang dilakukannya dapat diterima oleh Allah, dan itu merupakan doa masalah.

Diantara doa masalah adalah isti’adzah dan istighatsah. Isti’adzah adalah doa memohon agar Allah menolak datangnya kesusahan sedangkang istighatsah adalah doa memohon agar Allah menghilangkan kesusahan yang telah menimpanya.

Dan istighatsah terbagi menjadi dua, yaitu istighatsah kepada Allah dan istighatsah kepada makhluk.

Kemudian istighatsah kepada makhluk terbagi lagi menjadi dua, yaitu pada perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah dan pada perkara yang secara umum makhluk mampu melakukannya. Contoh istighatsah pada perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah seperti meminta anak, meminta dilapangkan rezeki, meminta dihilangkan dari penderitaan dan kesempitan jiwa, dan hal lainnya. Istighatsah seperti ini tergolong sebagai syirik akbar. Adapun pada perkara yang secara umum makhluk mampu melakukannya, maka ini terbagi lagi menjadi dua kemungkinan dan kedua-duanya boleh. Kemungkinan pertama ternyata makhluk tersebut mampu, kemungkinan kedua ternyata tidak mampu. Kedua kemungkinan ini hukumnya boleh, sebagai contoh seseorang yang sakit lalu pergi ke dokter dan ternyata sang dokter mampu menyembuhkan, atau di lain kesempatan sang dokter tersebut tidak mampu menyembuhkannya, dua kasus ini bukanlah kesyikiran. Contoh lain, seseorang yang tenggelam lalu dia berusaha meminta tolong kepada orang di sekelilingnya yang ternyata tidak mampu berenang, maka hal ini bukanlah termasuk kesyirikan karena asalnya secara umum manusia mampu untuk berenang. Sehingga tidak otomatis meminta tolong kepada manusia pada hal yang tidak dimampuinya secara serta merta menjadikan hal tersebut syirik.

Allah menyebutkan kisah Nabi Musa di dalam Al-Quran tentang istighatsah yang boleh dilakukan. Allah berfirman:

وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَىٰ حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَٰذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَٰذَا مِنْ عَدُوِّهِ ۖ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَىٰ فَقَضَىٰ عَلَيْهِ ۖ قَالَ هَٰذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ

“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata, ‘Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)’.” (QS Al-Qhashash: 15)

Nabi Musa tidak bermaksud untuk membunuhnya, akan tetapi orang yang dipukul oleh Nabi Musa itu adalah orang lemah sehingga dia meninggal begitu saja. Pada ayat ini dijumpai bentuk istighatsah yaitu seorang laki-kali dari Bani Israil yang meminta tolong kepada Nabi Musa dan pada saat itu Nabi Musa mengiyakan permintaannya.


Dalam bab ini penulis membawakan 5 dalil.

Dalil Pertama:

Firman Allah ﷻ:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu memohon/berdo’a kepada selain Allah, yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu, jika kamu berbuat hal itu maka sesungguhnya kamu dengan demikian termasuk orang-orang yang dzalim (musyrik).” (QS. Yunus: 106)

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)

Ayat ini pada asalnya ditujukan kepada Nabi, yaitu “Dan janganlah kamu (Wahai Muhammad) memohon/berdoa kepada selain Allah” ([6]).

Ibnu Áthiyyah berkata:

وَهَذَا الأَمْرُ وَالْمُخَاطَبَةُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ هَكَذَا فَأَحْرَى أَنْ يَتَحَرَّزَ مِنْ ذَلِكَ غَيْرُهُ

“Dan perintah ini serta pembicaraan ditujukan kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam. Jika perkaranya demikian maka selain beliau lebih utama untuk waspada” ([7])

Sisi pendalilan dari dalil pertama ini adalah bahwasanya orang yang berdoa kepada selain Allah maka ia termasuk orang yang dzolim, yaitu kafir .

Ayat-ayat yang semakna dengan ini diantaranya firman Allah:

فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ

Maka janganlah kamu (yaitu Muhammad) menyeru (menyembah) tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab (QS As-Syuároo: 213)

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Janganlah kamu (yaitu Muhammad) berdoa di samping (berdoa kepada) Allah tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (QS Al-Qoshos : 88)

Ayat-ayat ini menegaskan jika seandainya Nabi shallallahu álaihi wasallam -orang yang termulia di alam semesta ini- berdoa kepada selain Allah maka Nabi akan termasuk orang yang musyrik dan akan diadzab oleh Allah. Lantas bagaimana dengan selain Nabi?.

Ini juga isyarat bahwa jika Nabi saja harus berdoa maka tentu ia tidak pantas untuk diminta dan ditujukan kepadanya doa. Hal ini sebagaimana Nabi Isa yang -bahkan dalam injil- disebutkan juga berdoa, maka tidak pantas orang-orang nashoro berdoa kepada Nabi Isa álaihis salam.

Adapun firman Allah

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)

Maka ayat ini menunjukan bahwa hanya Allah-lah yang Maha Esa (bersendirian) dalam mengatur alam semesta, yang mempu menghilangkan kemudorotan dan yang mendatangkan kebaikan, tidak ada yang bisa menolak keputusan Allah. Jika perkara demikian maka hanya Allah-lah yang berhak untuk ditujukan kepadanya doa.

Semakna dengan ayat ini firman Allah:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri (QS Az-Zumar: 38)

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Fathir : 2)

Kenyataan yang menyedihkan kita dapati sebagian orang yang memiliki keyakinan-keyakinan terhadap orang-orang shalih yang sudah meninggal dan menghuni kuburan. Mereka meyakini bahwa para penghuni kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat atau menolak kemudorotan meskipun dengan dalih bahwa itu semua dengan izin Allah. Padahal Allah sama sekali tidak pernah memberi izin dan kekuasaan kepada para penghuni kuburan untuk memberi manfaat dan menolak mudorot.

Mereka orang-orang shalih yang disembah ketika masih hidup mereka selalu dalam kondisi membutuhkan agar mereka mendapatkan manfaat dan dijauhkan dari kemudorotan. Demikian pula setelah mereka meninggal dunia maka mereka tetap membutuhkan kepada Allah agar mereka diringankan hisab mereka, agar mereka dirahmati Allah, agar mereka ditingkatkan derajatnya di sisiNya. Demikian pula mereka membutuhkan kepada orang-orang yang masih hidup agar mendoakan mereka agar mereka diampuni dan dinaikan derajatnya. Jika mereka adalah para nabi maka mereka juga membutuhkan kepada orang-orang yang masih hidup untuk bersholawat dan bersalam kepada mereka.

Karenanya Nabi mendoakan para sahabat yang mati syahid, padahal kedudukan mereka tinggi di sisi Allah. Dan Nabi menyuruh para shahabat yang masih hidup untuk mendoakan para shahabat yang mati syahid.

Beliau berkata kepada para sahabatnya -tentang para sahabat yang mati syahid dalam perang mu’tah:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا حَتَّى لَقُوا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّى أُصِيبَ شَهِيدًا فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ الْأُمَرَاءِ هُوَ أَمَّرَ نَفْسَهُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُصْبُعَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ هُوَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِكَ فَانْصُرْهُ فَيَوْمَئِذٍ سُمِّيَ خَالِدٌ سَيْفَ اللَّهِ

“Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang tentara kalian para pejuang ini, sesungguhnya mereka pergi hingga menemui musuh, lalu Zaid mati syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya -orang-orang pun memintakan ampunan untuknya- kemudian bendera diambil Ja’far bin Abu Thalib kemudian memerangi musuh hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya, kemudian bendera diambil ambil ‘Abdullah bin Rawahah, ia meneguhkan kaki hingga mati syahid, aku bersaksi ia mendapatkan syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya, kemudian bendera diambil alih oleh Khalid bin Al Walid, ia bukan termasuk pemimpin yang ditunjuk, namun ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin.”

Kemudian Rasulullah ﷺ mengangkat dua jari beliau dan bersabda: “Ya Allah! Dia adalah salah satu pedangMu, berilah ia kemenangan”. ([8])

Dalil Kedua:

إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Sesungguhnya mereka yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepadamu, maka mintalah rizki itu kepada Allah dan sembahlah Dia (saja) serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu sekalian dikembalikan.”  (QS. Al  Ankabut: 17 )

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah bahwasanya yang berhak untuk dimintai rizki hanyalah Allah semata. Karenanya dalam ayat ini firman Allah عِنْدَ اللَّهِ (kepada Allah) didahulukan dari pada firman Allah الرِّزْقَ (rizki), yang ini menunjukan pembatasan. Yaitu hanya kepada Allah-lah kalian meminta rizki. Berbeda jika Allah menyatakan “Mintalah rizki kepada Allah” maka ini bisa saja dipahami boleh meminta rizki kepada selain Allah. Akan tetapi dalam ayat ini Allah berfirman “Mintalah kepada Allah rizki”, yang ini memberikan faidah pembatasan([9]). Jika hanya Allah yang memberi rizki maka hanya Allah-lah yang berhak untuk diibadahi dan berhak untuk ditujukan doa kepadaNya.

Dalil Ketiga:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ، وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

“Dan tiada yang lebih sesat dari pada orang yang memohon kepada sesembahan-sesembahan selain Allah, yang tiada dapat mengabulkan permohonannya sampai hari kiamat dan sembahan-sembahan itu lalai dari (memperhatikan) permohonan mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan mereka.”  (QS. Al Ahqaf: 5-6)

Ayat ini menunjukan bahwa tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah. Ini menunjukan bahwa syirik “berdoa kepada selain Allah” adalah syirik yang paling terparah, karena pelakunya adalah orang yang paling tersesat. Hal ini ditinjau dari dua hal :

Pertama: Doa adalah ibadah yang paling dicintai oleh Allah, karena pada doa nampak kehinaan seorang hamba kepada “Pencipta”nya. Maka jika seseorang menyerahkan ibadah yang paling dicintai oleh Pencipta kepada selain pencipta maka ia adalah orang yang paling tersesat.

Kedua: Bagaimana bisa seseorang berdoa kepada makhluk yang semisalnya yang tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih lagi jika ternyata makhluk tersebut sudah meninggal dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana bisa yang meminta berdoa kepada yang diminta yang lebih lemah dan lebih tidak mampu dari yang meminta. Maka kesesatan apakah yang lebih sesat dari pada hal ini?.

Terlabih lagi konteks dari ayat ini dikhususkan kepada orang-orang yang menyembah atau berdoa kepada orang-orang yang sudah meninggal dan menjadi mayat, bukan kepada patung dan berhala([10]).

Dalil Keempat:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang mengabulkan (do’a) orang-orang yang dalam kesulitan di saat ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kamu sekalian menjadi khalifah di bumi? Adakah sesembahan (yang haq) selain Allah? Amat sedikitlah kamu mengingat-(Nya).” (QS. An Naml: 62)

Pada ayat ini Allah berdalil dengan pengakuan kaum musyrikin terhadap rububiyah Allah, yaitu mereka mengakui bahwa hanya Allah yang mengabulkan doa mereka tatkala mereka terdesak, dan hanya Allah yang menghilangkan penderitaan mereka. Mereka mengetahui ini semua. Hal ini sebagaimana firman Allah:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS Al-Ánkabut : 65)

Karenanya Allah berhujjah dengan pengakuan mereka terhadap rububiyah Allah untuk uluhiyahNya, sehingga di akhir ayat Allah berfirman أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ “Adakah sesembahan (yang haq) selain Allah?”

Yang menyedihkan bahwasanya sebagian penyembah kubur di zaman sekarang ini kondisinya lebih parah dari pada sebagian kaum musyrikin zaman jahiliyah. Jika kaum musyrikin zaman jahiliyah dalam kondisi terdesak mereka mengikhlaskan doa mereka hanya kepada Allah, maka sebagian penyembah kubur di zaman sekarang justru dalam kondisi terdesak mereka mengikhlaskan doa mereka kepada wali-wali dan orang-orang shalih yang mereka sembah. Sebagian mereka ada yang dalam kondisi terdesak berkata, “Ya Ali (Asy-Syadzili)…”, yang satu berkata, “Wahai Abdul Qodir (al-Jailaani)…”, yang lain berkata, “Ya Ibnu Úlwaan…”, ada yang  berkata, “Ya al-Badawi…”, ada yang berkata, “Ya al-Husain…”, dll. Bahkan sebagian mereka begitu parahnya sampai meminta kepada orang-orang shalih ini agar timbangan kebajikan mereka lebih berat pada hari kiamat, agar masuk surga dan selamat dari neraka, agar dikokohkan tatkala ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir, dan permintaan-permintaan lainnya yang tidak bisa mengabulkannya kecuali Allah([11]).  Allah telah berfirman kepada NabiNya shallallahu álaihi wasallam:

أَفَمَنْ حَقَّ عَلَيْهِ كَلِمَةُ الْعَذَابِ أَفَأَنْتَ تُنْقِذُ مَنْ فِي النَّارِ

Apakah (kamu hendak merubah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan azab atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang yang berada dalam api neraka? (QS Az-Zumar : 19)

Yaitu engkau (Muhammad) tidak mampu melakukannya([12]).  Siapapun yang telah ditetapkan masuk neraka maka Nabi tidak bisa menyelamatkannya, dan siapapun yang telah ditetapkan tersesat maka Nabi tidak bisa memberi hidayah kepadanya([13]).

Untuk melariskan kesyirikan betapa banyak cerita-cerita yang tidak jelas yang dibuat. Cerita bahwa si fulan tatkala sakit lalu pergi ke kuburan wali maka iapun sembuh, dan cerita-cerita lainnya. Semua dalil ditinggalkan lalu bersandar kepada cerita yang tidak jelas kebenarannya. Kalaupun benar maka bukan merupakan dalil untuk boleh melakukannya. Jika boleh berdalil dengan cerita, maka betapa banyak orang yang cerita bahwa ia sembuh karena ke dukun, barang yang hilang kembali lagi karena ke dukun, ia sembuh karena ke tukang sihir. Bahkan betapa banyak kaum kafir yang mengaku setelah berdoa kepada sesembahan mereka lantas dikabulkan keinginan mereka. Apakah ini dalil bahwa boleh melakukan kekufuran?. 

Dalil Kelima:

Imam At-thabrani dengan menyebutkan sanadnya meriwayatkan bahwa: “pernah ada pada zaman Rasulullah ﷺ seorang munafik yang selalu menyakiti orang-orang mu’min, maka salah seorang di antara orang mu’min berkata: “marilah kita bersama-sama memohon perlindungan kepada Rasulullah ﷺ supaya dihindarkan dari tindakan buruk orang munafik ini”, ketika itu Rasulullah ﷺ menjawab:

((إِنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ))

“Sesungguhnya aku tidak boleh dimintai perlindungan, hanya Allah sajalah yang boleh dimintai perlindungan”.

Hadits ini dhoíf karena pada sanadnya ada Ibnu Lahiáh, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawakan kepada makna “beradab” dalam perkataan yang berkaitan dengan tauhid. Karena istighotsah yang disebutkan dalam hadits adalah pada perkara yang dimampui oleh Nabi, yaitu untuk menangkap orang munafiq, atau untuk menghukumnya, atau untuk menghilangkan gangguannya.
 
Istighotsah kepada selain Allah

Ibnul Qoyyim berkata, “Diantara bentuk syirik adalah meminta kebutuhan kepada mayat-mayat, beristighotsah dengan mereka dan mengarahkan hati kepada mereka. (وَهَذَا أَصْلُ شِرْكِ الْعَالَمِ) Ini adalah asal kesyirikan di alam ini. Sesungguhnya mayat telah terputus amalnya. Ia tidak bisa memberikan manfaat dan kemudorotan kepada dirinya sendiri, apalagi kepada orang yang memohon kepadanya dan meminta dipenuhi hajatnya, atau meminta agar sang mayat memberi syafaat untuknya kepada Allah agar dipenuhi hajatnya…. Sesungguhnya mayat membutuhkan orang lain (yang masih hidup) untuk mendoakannya, memohon rahmat untuknya, memohon ampunan baginya. Sebagaimana Nabi washiatkan kepada kita jika kita menziarahi kuburan kaum muslimin agar kita memohon rahmat bagi mereka, dan memohon keselamatan dan ampunan bagi mereka. Namun orang-orang musyrik membalikan perkaranya” ([14])

Demikianlah kondisi sebagian orang yang melakukan istighotsah kepada selain Allah, kepada para wali dan kaum shalihin yang telah meninggal dunia.

Tingkatan Istighatsah Kepada Selain Allah

    Berdoa memohon hajat kepada mayat.
        Di sisi kuburan sang mayat
        Pada perkara ini terdapat dua pelanggaran sehingga termasuk perbuatan kesyirikan;
        Pertama, meminta hajat kepada mayat padahal mayat tidak mampu mengabulkannya.
        Kedua, meyakini mayat memiliki kemampuan mengabulkan permohonan hajat dengan cara yang ghaib
        Jauh dari kuburan sang mayat
        Pada perkara ini terdapat tiga pelanggaran sehingga termasuk perbuatan kesyirikan;
        Pertama, meminta hajat kepada mayat padahal mayat tidak mampu mengabulkannya.
        Kedua, meyakini mayat memiliki kemampuan mengabulkan permohonan hajat dengan cara yang ghaib.
        Ketiga, meyakini mayat tersebut maha mengetahui dan maha mendengar.

    Berdoa memohon kepada yang masih hidup tetapi orangnya ghaib (tidak hadir di hadapan orang yang memohon).
        Memohon pada perkara yang mampu dilakukan oleh orang tersebut (seandainya dia hadir). Maka yang seperti ini juga merupakan kesyirikan karena meyakini dia maha mendengar.
        Memohon pada perkara yang tidak mampu dilakukan oleh orang tersebut (seandainya dia hadir). Seperti minta disembuhkan dari penyakitnya padahal dia bukan seorang dokter. Maka ini lebih parah dari yang pertama.
    Berdoa memohon kepada yang hidup dan hadir pada perkara yang tidak mampu dilakukannya kecuali Allah. Seperti seseorang yang meminta kepada gurunya agar dimudahkan rezekinya, maka ini merupakan kesyirikan.
    Berdoa memohon kepada mayat agar mendoakannya kepada Allah. Seperti seseorang yang datang ke kuburan wali lalu berdoa kepadanya agar wali tersebut memohonkan hajat orang tadi kepada Allah.
    – Meminta doa kepada mayat tetapi jauh dari kuburan si mayat. Maka yang seperti ini adalah syirik karena meyakini mayat tersebut maha mengetahui dan maha mendengar.
    – Meminta doa kepada mayat di sisi kuburannya si mayat. Maka yang seperti ini diperselisihkan oleh para ulama.

Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa ini adalah kesyirikan menimbang bahwa meminta kepada mayat itu sendiri sudah merupakan ibadah. Dan demikianlah bentuk kesyirikan kaum musyrikin zaman Jahiliyyah sewaktu mereka meminta syafaat kepada mayat, kata sebagian ulama. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah dalam beberapa pembahasan.

Kedua, hukumnya bidah dan mengantarkan kepada kesyirikan namun belum sampai derajat syirik. Karena dia tidak meminta atau beribadah langsung kepada sang mayat namun dia hanya meminta tolong dengan perantaraan si mayat. Lebih dari itu, terdapat khilaf di kalangan para ulama apakah si mayat masih bisa mendengar orang yang datang kepadanya atau tidak, meskipun demikian tetap saja si mayat tidak akan bisa mendoakan, dan sangat berbahaya karena bisa menjadi sarana pengagungan terhadap mayat. Inilah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah dalam satu konteks pembahasan, demikian pula dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh bin Baz, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahumullah. Meskipun tidak sampai derajat syirik tetapi hal ini sangat berbahaya karena sangat mudah mengantarkan kepada kesyirikan.

Syubhat dan Bantahannya

Sekelompok orang yang membolehkan beristighatsah kepada selain Allah mempunyai dalil-dalil atau yang lebih tepatnya syubhat-syubhat yang bisa membuat samar kaum muslimin. Namun pada umumnya syubhat-syubhat tersebut secara umum terbagi menjadi dua:

Pertama, bersumber dari dalil yang tidak shahih

Syubhat yang dilontarkan dengan memakai dalil yang tidak shahih mudah untuk dipatahkan, dari dua sisi:

    Pertama : Jika dalil tidak shahih maka tidak bisa dijadikan dalil, apalagi dalam permasalahan aqidah.
    Kedua: Kita membantah mereka dengan kadiah mereka sendiri yaitu “Masalah aqidah tidak bisa dibangun diatas hadits ahad, meskipun shahih. Akan tetapi harus dibangun di atas hadits yang mutawatir”. Berdasarkan kaidah mereka ini, maka jika hadits shahih yang ahad saja tidak bisa diterima untuk membangun permasalahan aqidah, apalagi hadits-hadits yang dhoíf. Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi, tidak hanya sekedar berdalil dengan hadits-hadits yang dhoíf, bahkan berdalil dengan kisah-kisah dan cerita-cerita yang tidak bisa dibuktikan validitasnya.

Kedua, bersumber dari dalil yang shahih

Adapun syubhat-syubhat yang muncul dari dalil yang shahih, maka hal itu disebabkan tidak lain karena mereka salah paham dalam sisi pendalilannya. Karena patut diketahui bahwa dalam pengamalan dalil, ada dua kaidah umum yang harus diperhatikan yaitu;

    Pertama, dalil tersebut harus dipahami dengan pemahaman (penjelasan) para salaf atau
    Kedua, salaf pernah mempraktikkan pemahaman tersebut.

Apabila dua kaidah tersebut tidak terpenuhi maka amalan tersebut tidak benar.

Beberapa Syubhat dan Bantahannya

Syubhat Pertama, diantara syubhat yang dilontarkan oleh mereka adalah keyakinan bahwa meskipun Nabi telah meninggal dunia akan tetapi hakikatnya beliau masih hidup, sehingga boleh-boleh saja datang ke kuburan Nabi lalu meminta agar Nabi mendoakan.

Syubhat ini bisa dibantah dari dua sisi; Sisi pertama, apakah ada sahabat atau para salaf yang memahami dalilnya seperti itu; atau sisi kedua, apakah ada sahabat atau para salaf yang melakukan amalan seperti itu. Seandainya amalan tersebut dituntunkan niscaya para sahabat akan berbondong-bondong mendatangi kuburan Nabi karena banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh mereka, namun ternyata tidak ada riwayat bahwa mereka pernah mendatangi kuburan Nabi. Dan seandainya amalan seperti itu lebih afdhal, tentu saja para salaf akan lebih bersemangat untuk melakukannya. Berbeda halnya ketika Nabi masih hidup, banyak sahabat yang datang langsung kepada beliau meminta agar beliau mendoakannya, atau meminta pengarahan dan petunjuk dari beliau.

Bahkan dijumpai sebagian orang yang mengamalkan shalawat-shalawat atau dzikir-dzikir tertentu yang diyakininya sebagai dzikir yang diajarkan langsung oleh Nabi melalui gurunya yang bertemu langsung dengan Nabi pada zaman-zaman ini. Maka sesungguhnya ini adalah bentuk khurafat yang berbahaya, karena dapat melazimkan bahwa Nabi masih hidup dan dapat bertemu dengan manusia, dapat mendoakan, dan dapat menghadiri acara-acara kaum muslimin. Seandainya Nabi masih hidup niscaya akan banyak nukilan-nukilan dari para sahabat bahwa Nabi mengunjungi mereka kembali. Yang benar adalah Nabi tidak pernah keluar dari kuburannya kecuali pada hari kiamat kelak, karena kematian Nabi Muhammad adalah sesuatu yang nyata. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu berkata -ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat-

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ

“Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati.”([15])

Pemahaman akan bolehnya meminta tolong kepada mayat sesungguhnya bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami dalil-dalil. Diantara dalil tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran, Allah berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah: 154)

Demikian juga firman Allah:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali Imran : 169)

Mereka memahami dua dalil tersebut bahwa yang mati syahid itu sesungguhnya masih hidup. Sehingga konsekuensinya adalah mereka statusnya sama seperti orang yang hidup, boleh meminta kepadanya agar mendoakan atau boleh meminta tolong kepadanya sebagaimana kepada orang hidup. Sehingga yang mati syahid saja masih hidup apalagi seorang Rasulullah yang lebih tinggi derajanya dari mereka.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang batil, tidak pernah ada dari kalangan sahabat yang datang ke pemakaman para syuhada perang Uhud lalu meminta kepada mereka. Justru sebalikya para sahabat itu datang ke pemakaman tersebut dalam rangka untuk mendoakan para syuhada tersebut, dan bukan sebaliknya. Rasulullah juga tidak pernah mengajarkan meminta-minta kepada para syuhada, dan Rasulullah tidak pernah mengisyaratkan sedikitpun apabila beliau wafat nanti agar para sahabat mendatangi pemakaman beliau. Justru sebaliknya Nabi shallallahu álaihi wasallam mengajarkan kepada para sahabat yang masih hidup untuk mendoakan para sahabat yang telah mati syahid.

Bantahan terhadap cara pendalilan mereka tersebut dari dua sisi berikut:
  • Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal sangatlah banyak. Diantaranya, Allah berfirman:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran: 144)

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS Az-Zumar: 30”)

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ ۖ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS Al-Anbiya: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS Al-‘Ankabut : 57)

Sehingga ada banyak sekali dalil yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad juga meninggal dunia.

Berdasarkan dua dalil (yang mereka pakai) yang menyatakan bahwa Allah menetapkan kehidupan bagi orang yang mati syahid, lalu dibandingkan dengan dalil-dalil yang mengisyaratkan bahwa Nabi telah meninggal, maka seakan-akan terdapat kontradiksi diantara dua sisi pendalilan tersebut. Ada kehidupan yang dinafikan namun ada pula yang ditetapkan. Namun sebagaimana diketahui bahwa ayat-ayat di dalam Al-Quran tidak akan mungkin kontradiksi satu sama lain. Sehingga komprominya adalah kehidupan yang ditetapkan pada dalil yang menetapkan kehidupan berbeda dengan kehidupan yang dinafikan pada dalil-dalil akan kematian Nabi. Oleh karena itu, para ulama mengatakan:

اَلْحَيَاةُ الْمُثْبَتَةُ غَيْرُ الْحَيَاةِ الْمَنْفِيَّةِ

“Kehidupan yang ditetapkan dalam dalil-dalil tidak sama dengan kehidupan yang dinafikan oleh dalil-dalil.”

Adapun kehidupan yang ditetapkan di dalam dalil-dalil disebut dengan الْحَيَاةُ الْبَرْزَخِيَّةُ yaitu kehidupan alam barzakh, sedangkan kehidupan yang dinafikan disebut dengan الْحَيَاةُ الدُّنْيَوِيَّةُ yaitu kehidupan di alam dunia.

Telah dimaklumi bahwa alam itu ada tiga jenis yaitu alam dunia, alam barzakh, dan alam akhirat. Alam barzakh tidak boleh disamakan dengan alam dunia sebagaimana tidak boleh disamakan antara kehidupan akhirat dengan kehidupan barzakh ataupun kehidupan dunia, karena ketiga-tiganya merupakan alam yang berbeda satu sama lain.

Dan diantara dalil yang menunjukkan bahwa kehidupan yang dimaksudkan adalah alam barzakh adalah firman Allah

وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ

“tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah : 154)

Al-Baidhowi berkata:

وَهُوَ تَنْبِيْهٌ عَلَى أَنَّ حَيَاتَهُمْ لَيْسَتْ بِالْجَسَدِ وَلاَ مِنْ جِنْسِ مَا يُحَسُّ بِهِ مِنَ الْحَيَوَانَاتِ، وَإِنَّمَا هِيَ أَمْرٌ لاَ يُدْرَكُ بِالْعَقْلِ بَلْ بِالْوَحْيِ

“Dan ini adalah untuk mengingatkan bahwa kehidupan mereka bukanlah dengan jasad dan bukan dengan sejenis apa yang bisa dirasakan seperti hewan-hewan, akan tetapi ia adalah kehidupan yang tidak bisa dicerna dengan akal, akan tetapi dengan wahyu” ([16])

Karenanya orang-orang yang masih hidup menyangka mereka (para syuhada’) telah mati, karena kehidupan para syuhada’ tidak bisa dirasakan oleh orang-orang yang masih hidup.

Imam Adz-Dzahabi berkata,

وَهُوَ حَيٌّ فِي لَحْدِهِ، حَيَاةَ مِثْلِهِ فِي البَرزَخِ الَّتِي هِيَ أَكمَلُ مِنْ حَيَاةِ سَائِرِ النَّبِيِّينَ، وَحَيَاتُهُم بِلاَ رَيْبٍ أَتَمُّ وَأَشرَفُ مِنْ حَيَاةِ الشُّهدَاءِ الَّذِيْنَ هُم بِنَصِّ الكِتَابِ: {أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِم يُرْزَقُوْنَ}، وَهَؤُلاَءِ حَيَاتُهُم الآنَ الَّتِي فِي عَالِمِ البَرْزَخِ حَقٌّ، وَلَكِنْ لَيْسَتْ هِيَ حَيَاةَ الدُّنْيَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ، وَلاَ حَيَاةَ أَهْلِ الجَنَّةِ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ

“Dan Rasulullah shallallahu álaihi wasallam hidup di kuburnya dengan kehidupan yang semisalnya di barzakh, dimana kehidupannya lebih sempurna dari kehidupan seluruh nabi-nabi yang lain. Dan kehidupan mereka -tanpa diragukan- adalah lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan kehidupan para syuhada yang mereka dengan nash al-Qurán “mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki” (QS Ali Imran : 169). Kehidupan mereka sekarang yang ada di alam barzah adalah benar adanya. Akan tetapi kehidupan tersebut bukanlah kehidupan dunia dari segala sisinya, dan tidak juga seperti kehidupan para penghuni surga dari segala sisi.” ([17])

Kedua, jika ditinjau dari dalil yang mereka pakai yaitu surat Ali Imran ayat 169 yang mereka jadikan dalil sebagai bukti bahwa para syuhada masih hidup. Maka disana terdapat lafadz عِندَ رَبِّهِمْ (di sisi Rabbnya). Terdapat dua tafsiran terhadap lafadz tersebut:

    Al-‘Indiyyah Al-Haqiqiyah, yaitu mereka benar-benar di sisi Allah secara hakiki. Secara jasad ada di kuburan tetapi ruh mereka ada di sisi Allah.

Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab shahihnya, dari Masruuq rahimahullah beliau berkata :

سَأَلْنَا عَبْدَ اللهِ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: {وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ} قَالَ: أَمَا إِنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: «أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ، لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ، ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ، فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمُ اطِّلَاعَةً»، فَقَالَ: ” هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا؟ قَالُوا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا، فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا، قَالُوا: يَا رَبِّ، نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا “

“Kami bertanya kepada Ibnu Masud tentang firman Allah pada surat Ali Imran ayat 169, “Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” Ibnu Masud menjawab, “Sesungguhnya kami pernah menanyakan hal yang sama kepada Nabi, lalu beliau bersabda, “Ruh-ruh mereka (para syuhada) berada di dalam lubang burung hijau, mereka punya sangkar-sangkar bergantungan di bawah Arsy. mereka terbang di surga dengan bebas menurut kehendaknya, kemudian kembali pada sangkar-sangkar tersebut. Allah melihat keadaan mereka, lalu berfirman, “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apakah yang kami inginkan lagi, bukankah kami terbang dengan bebas di dalam surga ini menurut kehendak kami?” Allah melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. Setelah mereka merasakan bahwa diri mereka tidak dibiarkan oleh Allah melainkan harus meminta, maka berkatalah mereka, “Wahai Tuhan kami, kami menginginkan agar Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad kami, sehingga kami dapat terbunuh lagi demi membela jalan-Mu sekali lagi.” Setelah Allah melihat bahwa mereka tidak mempunyai keperluan lagi, maka barulah mereka ditinggalkan.” ([18])

Sehingga apabila ditafsirkan dengan tafsiran pertama ini maka tidak mungkin setiap saat bisa meminta kepada mereka, karena posisi mereka jauh dari sisi manusia dan mereka sibuk beterbangan kesana kemari. Sehingga tidak sempat untuk mendengarkan permintaan-permintaan orang yang meminta kepada mereka. Para sahabat juga ketika ingin meminta tolong kepada Nabi, mereka hanya meminta tolong ketika Nabi ada di sisi mereka. Jika Nabi jauh atau tidak sedang di sisi mereka maka mereka tidak meminta tolong. Hal itu berlaku ketika Nabi masih hidup, maka terlebih lagi ketika Nabi telah meninggal dunia.

Karenanya tidak seorang muslimpun memandang boleh untuk meminta pertolongan kepada Nabi Ísa álaihis salam padahal beliau masih hidup, hal ini karena Nabi Ísa diangkat di atas di sisi Allah. Dan tidak seorangpun dari kaum muslimin yang berpendapat bahwa boleh meminta kepada Nabi Ísa padahal beliau masih hidup, bagaimana lagi meminta kepada orang yang sudah meninggal dan jauh?!

    Al-‘Indiyyah Al-Majaziyyah, yaitu sebenarnya dan hakikatnya mereka telah meninggal dan tidak hidup, hanya saja menurut penilaian Allah mereka masih hidup di sisi Allah mereka masih hidup. Hal ini karena pahala mereka begitu banyak dan terus berkesinambungan disebabkan dampak dari jihad mereka terus berkesinambungan. Dengan demikian seakan-akan mereka masih hidup, namun pada hakikatnya mereka telah meninggal. Jika lafadz tersebut ditafsirkan dengan tafsiran ini, maka lebih tidak diperbolehkan untuk meminta kepada mereka, karena yang namanya mayat tidak mungkin diajak bicara, apalagi dimintai tolong. Namun pendapat pertama yang lebih kuat bahwa mereka para syuhada benar-benar hidup akan tetapi kehidupan alam barzakh.

Peringatan:

Dalil-dalil yang datang tentang kehidupan barzakhiyah hanya datang tentang dua jenis manusia yaitu syuhada’ dan para nabi. Adapun para syuhada berdasarkan QS Al-Baqoroh: 154 dan QS Ali Imran: 169. Adapun kehidupan barzakhiyah bagi para nabi berdasarkan sabda Nabi:

الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ

“Para Nabi itu hidup dalam kuburan mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.” ([19])

Dalam hadits yang lain Nabi juga bersabda,

مَرَرْتُ – عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ

“Aku melewati Nabi Musa pada malam ketika aku diisra’kan di al-Katsib al-Ahmar, dan Nabi Musa dalam keadaan shalat di kuburnya” ([20]).

Adapun kehidupan barzakhiyah bagi orang-orang shalih dan para wali Allah (selain para nabi dan para syuhada’) maka tidak ada dalilnya secara khusus. Karenanya menetapkan bahwa orang-orang shalih masih hidup di kuburan mereka dengan mengqiaskannya kepada kehidupan barzakhiyah para syuhada maka merupakan qias yang tidak tepat. Karena kedudukan para syuhada’ lebih tinggi dari keumuman para shalihin ([21]). Sementara orang-orang yang sering didatangi kuburannya dan dijadikan tempat meminta kebanyakannya adalah kuburan orang-orang yang dianggap shalih dan bukan para syuhada’.

Syubhat kedua, syubhat selanjutnya yang mereka lontarkan adalah dari firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64. Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوا أَنفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’ : 64)

Mereka berdalilkan dengan ayat ini dan berkata bahwa ayat ini umum mencakup saat Nabi masih hidup dan setelah Nabi meninggal dunia. Sehingga disyariatkan datang ke kuburan Nabi meminta agar Nabi memohonkan ampunan kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa kita.

Membantah cara pendalilan mereka dapat ditempuh dengan empat cara:
  • Pertama, ayat ini untuk kejadian khusus dan tidak bisa diqiyaskan serta diberlakukan secara umum.
Sekilas jika ayat tersebut dicermati maka seakan-akan syarat diterimanya taubat adalah datang kepada Nabi agar memohonkan ampunan kepada Allah. Namun apabila ditelaah lebih lanjut dalam hadits-hadits Nabi dan amalan-amalan para sahabat maka tidak akan didapati para sahabat jika berdosa maka mereka mendatangi Nabi lalu meminta agar Nabi memohonkan ampunan untuk mereka. Melainkan para sahabat akan bertaubat sendiri kepada Allah secara langsung.

Dari sini para ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah kejadian khusus, karena ayat ini berkaitan dengan perilaku suatu kaum yang tidak beradab terhadap Nabi. Sebagaimana pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang perilaku mereka yang berhukum kepada thaghut padahal Nabi ada di tengah-tengah mereka. Allah berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa : 60)

Berdasarkan ayat ini, ada dua dosa yang telah mereka lakukan yaitu tidak berhukum dengan Nabi dan tidak menaati perintah Allah untuk berhukum dengan Nabi. Oleh karena itu, jika mereka ingin bertaubat Allah mensyaratkan agar mereka datang kepada Nabi karena telah berbuat adab yang buruk kepada Nabi. Sehingga ayat ini berlaku khusus dan tidak bisa diberlakukan secara umum. ([22])
  • Kedua, dalam ayat tersebut terdapat lafadz إِذْ yang bermakna “ketika” yaitu kejadian yang telah berlalu, dan tidak menggunakanإِذَا  yang bermakna “ketika” pada kejadian yang berulang-ulang.
  • Ketiga, dalam ayat tersebut Allah mengatakan جَاءُوكَ  yaitu datang kepada Nabi langsung, tidak dengan lafadz جَاءُوْ إِلَى قَبْرِكَ  yaitu datang kepada kuburan Nabi. Ini adalah isyarat bahwa ayat ini berkaitan dengan Nabi yang masih hidup.
  • Keempat, dalam ayat tersebut Allah mengungkapkan “mereka” dengan dhamir (kata ganti), sedangkan kata ganti tidak bisa diberlakukan secara umum. Sehingga Allah memaksudkan “mereka yang berbuat dzhalim” yaitu mereka-mereka yang berhukum dengan thaghut di saat Nabi masih hidup.
Oleh karena itu, ayat tersebut (An-Nisa’ : 64) dikhususkan untuk suatu kaum di saat Nabi masih hidup. Lebih dari itu, tidak ada dalil lain yang mendukung yang menyatakan bahwa orang yang bersalah harus datang ke kuburan Nabi. Para sahabat juga ketika melakukan dosa sepeninggal Nabi, tidak ada yang pernah mendatangi kuburan Nabi lantas meminta kepada Nabi agar memohonkan ampunan kepada Allah. Jika mendatangi kuburan Nabi untuk memohong kepada Nabi beristighfar merupakan kebaikan, tentu para sahabat yang lebih utama dan lebih semangat untuk melakukannya.

Selain mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Quran, mereka juga berdalilkan dengan hadits-hadits Nabi untuk melegalkan syubhat mereka. Diantara dalil yang dipakai untuk membolehkan beristighatsah dan berdoa kepada para Nabi dan mayat lainnya.

    Dalil Pertama, hadits Nabi:

الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ

“Para Nabi itu hidup dalam kuburan mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.” ([23])

Dalam hadits yang lain Nabi juga bersabda,

مَرَرْتُ – عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ

“Aku melewati Nabi Musa pada malam ketika aku diisra’kan di al-Katsib al-Ahmar, dan Nabi Musa dalam keadaan shalat di kuburnya” ([24]).

Mereka mengatakan bahwa jika Nabi dan para Nabi yang lain masih hidup apalagi mereka masih shalat maka diperbolehkan meminta doa kepada mereka.

Hal ini bisa dibantah dari beberapa sisi:
  • Pertama, bahwa kehidupan tersebut adalah kehidupan barzakh yang tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, sebagaimana kehidupan di alam mimpi tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia, begitu pula kehidupan setelah kiamat tidak bisa diqiyaskan dengan kehidupan dunia (sebagaimana telah lalu penjelasannya)
  • Kedua, shalat yang mereka lakukan bukanlah karena beban taklif sebagaimana ketika di dunia. Mereka melakukan shalat bukan karena diperintahkan oleh Allah tetapi mereka melakukannya adalah untuk merasakan kelezatan dengan shalat tersebut, sebagaimana apa yang dilakukan oleh penduduk surga mereka bertasbih kepada Allah demi untuk merasakan kelezatan.
Nabi bersabda:

يَأْكُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فِيهَا، وَيَشْرَبُونَ وَلَا يَتَمَخَّطُونَ، وَلَا يَتَغَوَّطُونَ، وَلَا يَبُولُونَ، وَيَكُونُ طَعَامُهُمْ ذَلِكَ جُشَاءً، وَيُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ، وَالْحَمْدَ كَمَا يُلْهَمُونَ النَّفَسَ

“Penghuni surga makan di surga dan mereka minum, namun mereka tidak beringus, tidak buang air besar, dan tidak buang air kecil. Dan makna mereka menjadi sendawa. Dan mereka diilhamkan untuk bertasbih dan bertahmid sebagaimana mereka diilhamkan untuk bernafas” ([25])
  • Ketiga : Selain itu, keadaan mereka yang shalat dan berdoa kepada Allah tidak lantas melazimkan diperbolehkan bagi kita untuk berdoa kepada mereka, karena kelaziman tersebut benar-benar bukan suatu kelaziman.
Lihatlah para malaikat yang mereka selalu beribadah kepada Allah bahkan mendoakan orang-orang yang beriman dan memohonkan ampunan bagi mereka([26]), namun kita tidak boleh meminta kepada para malaikat apalagi beristighotsah dan berdoa kepada mereka.

Ketiga, hadits tersebut berbicara tentang para Nabi dan tidak bisa diqiyaskan dengan orang shalih secara umum.

  •     Dalil Kedua, hadits Nabi

مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ

“Tidak ada seorangpun yang memberikan salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan rohku kepadaku, sehingga aku akan membalas salamnya.” ([27])

Dengan dalil ini mereka mengatakan bahwa Nabi itu hidup karena mampu berinteraksi dengan menjawab salam. Sehingga kita bisa berbicara dengan Nabi dan boleh berdoa kepadanya.

Hal ini bisa dibantah dari beberapa sisi:
  • Pertama, hadits ini justru menunjukkan kehidupan barzakh Nabi tidak kontinyu. Kalaupun ruh Nabi dikembalikan, hal tersebut tidak berarti Nabi hidup seperti manusia kembali di alam dunia melainkan kehidupan barzakh.
  • Kedua, ruh Nabi dikembalikan khusus untuk menjawab salam, bukan untuk diskusi, mengobrol, dan sebagainya.
    Dalil Ketiga, hadits dimana Nabi memanggil kaum musyrikin yang tewas di perang Badr.

Abu Tholhah berkata:

فَلَمَّا كَانَ بِبَدْرٍ اليَوْمَ الثَّالِثَ أَمَرَ بِرَاحِلَتِهِ فَشُدَّ عَلَيْهَا رَحْلُهَا، ثُمَّ مَشَى وَاتَّبَعَهُ أَصْحَابُهُ، …حَتَّى قَامَ عَلَى شَفَةِ الرَّكِيِّ، فَجَعَلَ يُنَادِيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِهِمْ: «يَا فُلاَنُ بْنَ فُلاَنٍ، وَيَا فُلاَنُ بْنَ فُلاَنٍ، أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا، فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا؟» قَالَ: فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ لاَ أَرْوَاحَ لَهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ»، قَالَ قَتَادَةُ: أَحْيَاهُمُ اللَّهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ، قَوْلَهُ تَوْبِيخًا وَتَصْغِيرًا وَنَقِيمَةً وَحَسْرَةً وَنَدَمًا

“Tatkala Nabi di Badr pada hari yang ketiga (yaitu hari ketiga setelah peperangan berakhir) maka Nabi-pun memerintahkan agar tunggangannya disiapkan lalu diletakan pelananya. Lalu Nabi berjalan dan diikuti oleh para sahabatnya… hingga Nabi berdiri di mulut sumur (tempat mayat-mayat kaum musyirikin dikuburkan). Lalu Nabi memanggil mereka (kaum musyrikin) dengan menyebut nama orang tua mereka, “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, bukankah menyenangkan kalian kalau kalian taat kepada Allah dan RasulNya?. Sungguh kami telah mendapatkan kebenaran janji yang dijanjikan Rabb kami kepada kami. Apakah kalian telah mendapatkan kebenaran apa yang dijanjikan Rabb kalian kepada kalian?”. Maka Umar berkata, “Ya Rasulullah tidakkah engkau berbicara dengan jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa?”. Maka Nabi berkata, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh kalian tidak lebih mendengar dari pada mereka tentang apa yang aku katakan”.

Qotadah berkata, “Allah menghidupkan mereka hingga mereka mendengar perkataan Nabi, untuk merendahkan mereka, menghinakan mereka, sebagai balasan dan penyesalan dari mereka”([28])

Dalam hadits Umar bin Al-Khotthob Nabi berkata:

مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ أَنْ يَرُدُّوا عَلَيَّ شَيْئًا

“Kalian (para sahabat) tidaklah lebih mendengar dari pada mereka tentang apa yang aku katakana, hanya saja mereka tidak mampu untuk membalas perkataanku sama sekali” ([29])

Dengan dalil ini mereka beranggapan bahwa kita bisa berbicara dengan mayat karena mayat bisa mendengar sebagaimana apa yang Nabi lakukan.

Hal ini bisa dibantah dari beberapa sisi:
  • Pertama, pada dasarnya mayat tidak bisa mendengar perkataan manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ

“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fatir : 22)

Dan firman Allah:

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَىٰ وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. An-Naml : 80)

Kedua ayat ini turun sebagai permisalan bahwa orang kafir itu seperti orang mati yang tidak bisa mendengarkan ayat-ayat Allah. Seandainya orang mati bisa mendengar maka permisalan dalam ayat ini keliru, dan itu sesuatu yang tidak mungkin.

Kecuali apa yang pernah dilakukan Nabi pada mayat Abu Jahal dan lainnya sebagaimana hadits sebelumnya. Bahkan para sahabat awalnya keheranan menyaksikan Nabi karena meyakini bahwa para mayat tidak bisa mendengar, dan demikianlah hukum asalnya. Oleh karena itu, sebagian ulama memasukkan ke dalam kitabnya seperti Imam As-Suyuthi tentang pembicaraan Nabi kepada mayat kaum musyrikin yang mati dalam perang badar sebagai mukjizat Nabi([30]). Demikian pula yang dipahami oleh As-Suhaili([31]), Ibnu Hajar([32]) dan Ibnu ‘Athiyah dalam tafsirnya([33]). Sehingga jika ini adalah mukjizat Nabi maka tidak boleh diqiyaskan dengan yang lainnya.

Namun seandainya toh jika para mayat dapat mendengar perkataan manusia yang masih hidup maka apa faedah yang bisa didapat? Padahal mayat itu tidak mampu menjawab.
  • Kedua, hadist tersebut membicarakan tentang mayat orang kafir. Allah mengembalikan ruh mereka agar mereka merasakan kepedihan nasib mereka yang terhinakan dan terbunuh dalam perang. Karena ini adalah dalil tentang penghinaan mayat orang-orang kafir maka tidak bisa diqiyaskan dengan mayat orang-orang shalih.

    Dalil keempat, hadits

إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ

“Sesungguhnya hamba jika diletakan di dalam kuburnya dan teman-temannya sudah berpaling pergi meninggalkannya, dan sesungguhnya ia benar-benar mendengar gerak langkah sandal sandal mereka, maka datanglah dua malaikat.” ([34])

Mereka berdalil bahwa mayat mendengar suara sendal orang-orang yang mengantarkannya ke kuburan. Jika mayat bisa mendengar maka boleh untuk meminta kepadanya.

Bantahan:

Pendengaran ini adalah pendengaran khusus. Buktinya, bahwa yang mereka dengar adalah suara sandal tatkala para pengantarnya pulang, adapun suara-suara obrolan dan yang lainnya mayat-mayat tersebut tidak bisa mendengarnya. Seandainya mereka mendengar seluruh suara dari atas maka Nabi tidak akan mengaitkannya dengan suara sandal. Sehingga tidak bisa diqiyaskan dalam seluruh keadaan dengan menggunakan hadits ini.

    Dalil kelima, yaitu doa yang dibaca ketika berziarah ke kubur.

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari (golongan) orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan. Kami insya Allah akan menyusul kalian, saya meminta keselamatan untuk kami dan kalian.” ([35])

Bantahan:

Menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya meminta kepada penghuni kubur adalah pendalilan yang tidak masuk akal dan terbalik. Karena hadits ini berbicara tentang mendoakan penghuni kubur, bukan sebaliknya meminta kepada penghuni kubur. Adapun

    Dalil keenam, tentang kisah di padang Mahsyar yaitu tatkala manusia meminta syafaat kepada para Nabi.

Sisi pendalilan mereka adalah bahwa para Nabi tersebut sudah mati tetapi boleh meminta kepada mereka.

Bantahan:

Pendalilan tersebut bisa dibantah dengan mengatakan, hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi tidak lagi dalam keadaan mati melainkan hidup lagi setelah dibangkitkan. Ditambah, manusia pada saat itu mereka berlari kesana-kemari untuk mencari dan berusaha menemui Nabi Adam, Nabi Nuh dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa mereka meminta didahului dengan usaha untuk menemui para nabi tersebut, bukan berdiam diri di tempatnya lalu memanggil-manggil para Nabi tersebut, sebagaimana anggapan mereka yang membolehkan meminta kepada Nabi kapan dan dimana saja walaupun jauh darinya.

    Dalil ketujuh, dalam sholat kaum muslimin disunnahkan untuk bershalawat kepada Nabi dengan berucap السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ “Salam bagi anda wahai Nabi” yaitu dengan menggunakan kata ganti orang ke dua. Ini menunjukan bahwa Nabi masih hidup dan mereka bisa berbicara dengan Nabi meskipun Nabi telah meninggal dunia.

Bantahan:

Pertama: Maksud dari perkataan salam tersebut bukan untuk mengajak bicara Nabi atau menyeru beliau. Akan tetapi maksudnya adalah untuk menghadirkan dalam hati akan agungnya kedudukan Nabi. Hal ini ditunjukan oleh beberapa hal:
  1.     Ketika Nabi masih hidup, para sahabat mengucapkan salam ini dalam sholat mereka meskipun mereka tidak sedang bersama Nabi. Bahkan bisa jadi Nabi di tempat/kota yang lain.
  2.     Ketika mereka mengucapkannya dalam sholat dalam kondisi bermakmum kepada Nabi maka mereka tidak mengeraskannya, karena memang maksud mereka adalah mendoakan Nabi dan bukan mengajak berbicara Nabi. Lain halnya kalau mereka hendak berbicara dengan Nabi di luar sholat maka mereka mengucapkan salam kepada beliau dengan suara yang jahr (terdengar) dan didengar oleh Nabi
  3.     Seandainya bacaan salam dalam sholat tersebut maksudnya adalah mengajak berbicara dengan Nabi, lalu mereka memperdengarkan salam tersebut kepada Nabi maka tentu wajib bagi Nabi untuk menjawab salam kepada mereka.
  4.     Kenyataannya banyak orang yang ketika sholat mengucapkan salam tersebut, mereka tidak merasa sedang berbicara dengan Nabi.
  5.     Jika memangpun maksudnya adalah berbicara dengan Nabi maka hal inipun hanya terbatas pada salam saja dan tidak diqiaskan dengan pembicaraan yang lain. Karenanya Allah menugaskan para malaikat untuk menyampaikan salam umatnya kepada Nabi, dan Allah mengembalikan ruh Nabi untuk menjawab salam umatnya.
Kandungan bab ini:
  1.     Istighatsah itu pengertiannya lebih khusus dari pada berdo’a([36]).
  2.     Penjelasan tentang ayat yang pertama ([37]).
  3.     Meminta perlindungan kepada selain Allah adalah syirik besar.
  4.     Orang yang paling shaleh sekalipun jika melakukan perbuatan ini untuk mengambil hati orang lain, maka ia termasuk golongan orang-orang yang dzalim (musyrik).
  5.     Penjelasan tentang ayat yang kedua ([38]).
  6.     Meminta perlindungan kepada selain Allah tidak dapat mendatangkan manfaat duniawi, di samping perbuatan itu termasuk perbuatan kafir.
  7.     Penjelasan tentang ayat yang ketiga ([39]).
  8.     Meminta rizki itu hanya kepada Allah, sebagaimana halnya meminta surga.
  9.     Penjelasan tentang ayat yang keempat ([40]).
  10.     Tidak ada orang yang lebih sesat dari pada orang yang memohon kepada sesembahan selain Allah.
  11.     Sesembahan selain Allah tidak merasa dan tidak tahu kalau ada orang yang memohon kepadanya.
  12.     Sesembahan selain Allah akan benci dan marah kepada orang yang memohon kepadanya pada hari kiamat.
  13.     Permohonan ini dianggap ibadah kepada sesembahan selain Allah.
  14.     Pada hari kiamat sesembahan selain Allah itu akan mengingkari ibadah yang ditujukan kepada mereka.
  15.     Permohonan kepada selain Allah inilah yang menyebabkan seseorang menjadi orang yang paling sesat.
  16.     Penjelasan tentang ayat yang kelima ([41]).
  17.     Satu hal yang sangat mengherankan adalah adanya pengakuan dari para penyembah berhala bahwa tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan orang yang berada dalam kesulitan kecuali Allah, untuk itu, ketika mereka berada dalam keadaan sulit dan terjepit, mereka memohon kepada-Nya dengan ikhlas dan memurnikan ketaatan untuk-Nya.
  18.     Hadits di atas menunjukan tindakan preventif yang dilakukan Rasulullah ﷺ untuk melindungi ketauhidan, dan etika sopan santun beliau kepada.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______

([1]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 1/103

([2]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 1/103

([3]) Majmu’ Fataawa 1/39

([4]) HR Muslim no. 482

([5]) Majmuu’ Fataawa 15/11

([6]) Lihat Majmuu’ Al-Fataawaa 1/103

([7]) al-Muharror al-Wajiiz fi Tafsiir al-Kitaab al-Áziiz 3/147

([8]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 6/243

([9]) HR Ahmad no 22551 dan dinyatakan oleh para pentahqiqnya, “Shahih lighoirihi”

([10]) Hal ini karena dalam ayat ini Allah mensifati sesembahan-sesembahan yang ditujukan kepadanya doa dengan tiga sifat:

Pertama: “Mereka tidak bisa mengabulkan doa hingga hari kiamat”. Hal ini tentu hanya berlaku bagi sesembahan sesembahan yang akan dibangkitkan pada hari kiamat, dan setelah mereka dibangkitkan mereka tetap tidak mampu mengabulkan doa orang-orang tersebut.

Kedua: Allah menyatakan bahwa mereka setelah dibangkitkan pada hari kiamat akan menjadi musuh bagi orang-orang yang berdoa kepada mereka tatkala di dunia. Tentu berhala dan pohon serta batu atau bendak-benda mati tidak termasuk dalam ayat ini.

Ketiga: Lagi pula Allah menggunakan kata “مَنْ” pada firmanNya مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ, yang pada asalnya kata مَنْ digunakan untuk yang berfikir (manusia) bukan untuk benda-benda mati. (Lihat at-Tamhiid hal 186)

([11]) Lihat Taisiir al-Áziiz al-Hamiid hal 180

([12]) Lihat Tafsir at-Thobari 20/187

([13]) Lihat Tafsir Ibnu Katsiir 7/80

([14]) Lihat Madaarij as-Saalikin 1/353-354

([15]) HR Bukhari no 1241

([16])Tafsir al-Baidhoowi 1/114

([17])Siyar A’laam an-Nubalaa 9/161

([18])HR Muslim no 1887

([19]) HR. Al-Bazzar, dishahihkan oleh Al-Albani

([20]) HR. Muslim no. 2375

([21]) Berdasarkan firman Allah:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS An-Nisaa’ : 69)

Lihat penjelasan al-Qurthubi tatkala menafsirkan ayat:

([22])Lihat penjelasan Ar-Razi dalam tafsirnya (At-Tafsiir al-Kabiir 10/126) dan juga Muhammad Rasyid Rido (Tafsir al-Manaar 5/190)

([23]) HR. Al-Bazzar, dishahihkan oleh Al-Albani

([24]) HR. Muslim no. 2375

([25]) HR Ahmad no 15117 dan dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad

([26]) Allah berfirman tentang para malaikat yang mendoakan orang-orang yang beriman:

تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْ فَوْقِهِنَّ وَالْمَلَائِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ

Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atas (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. (QS Asy-Syuuroo: 5)

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا

(Malaikat-malaikat) yang memikul ´Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (QS Ghofir : 7)

([27]) HR. Abu Dawud no. 2041

([28]) HR Al-Bukhari no 3976

([29]) HR Muslim no 2873

([30]) Lihat al-Khoshooish al-Kubro 1/328. As-Suyuthi memasukan kejadian ini di bawah bab : ذِكْرُ الْمُعْجِزَاتِ الْوَاقِعَةِ فِي الْغَزَوَاتِ “Penyebutan mukjizat-mukjizat yang terjadi dalam peperangan-peperangan”

([31]) As-Suhaili berkata:

فَاَللهُ هُوَ الّذِي يَسْمَعُهُمْ عَلَى الْحَقِيقَةِ إذَا شَاءَ لَا نَبِيّهُ وَلَا أَحَدٌ

“Maka Allah-lah yang telah menjadikan mereka (para mayat kaum musyirikin Quraisy) mendengar secara hakikat, bukan nabiNya dan juga bukan seorangpun” (Ar-Roud al-Unuf 5/105)

Sebagaimana dinukil juga oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari 7/304, Ibnu Hajar berkata:

وَقَالَ السُّهَيْلِيُّ مَا مُحَصَّلُهُ إِنَّ فِي نَفْسِ الْخَبَرِ مَا يَدُلُّ عَلَى خَرْقِ الْعَادَةِ بِذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dan As-Suhaili berkata yang kesimpulannya bahwasanya hadits tersebut menunjukan bahwa hal itu adalah mukjizat bagi Nabi shallallahu álaihi wasallam” (Fathul Baari 7/304)

([32]) Beliau berkata:

الَّذِي وَقَعَ حِينَئِذٍ مِنْ خَوَارِقِ الْعَادَةِ لِلنَّبِيِّ

“Yang terjadi adalah termasuk mukjizat Nabi” (Fathul Baari 7/304)

([33]) Lihat al-Muharror al-Wajiiz 4/270 tatkala beliau menafsirkan surat an-Naml ayat 80

([34]) HR. Bukhari no. 1252

([35]) HR. Ahmad no. 25855, Muslim no. 975

([36]) Istighatsah ialah: meminta pertolongan ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.

([37]) Ayat pertama menunjukkan bahwa dilarang memohon kepada selain Allah, karena selain-Nya tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula dapat mendatangkan bahaya kepada seseorang.

([38]) Ayat kedua menunjukkan bahwa Allah-lah yang berhak dengan segala ibadah yang dilakukan manusia, seperti doa, istighatsah dan sebagainya. Karena hanya Allah yang Maha Kuasa, jika Dia menimpakan sesuatu bahaya kepada seseorang, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia sendiri, dan jika Dia menghendaki untuk seseorang suatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Tidak ada seorangpun yang menghalangi kehendak-Nya.

([39]) Ayat ketiga menunjukkan bahwa hanya Allah yang berhak dengan ibadah dan rasa syukur kita, dan hanya kepada-Nya seharusnya kita meminta rizki, karena selain Allah tidak mampu memberikan rizki.

([40]) Ayat keempat menunjukkan bahwa doa (permohonan) adalah ibadah. Karena itu, barangsiapa yang menyelewengkannya kepada selain Allah, maka dia adalah musyrik.

([41]) Ayat kelima menunjukkan bahwa istighatsah (mohon pertolongan) kepada selain Allah – karena tidak ada yang kuasa kecuali Dia – adalah bathil dan termasuk syirik.