Type Here to Get Search Results !

 


KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU AGAMA


Di antara faktor pendorong agar seseorang bersemangat mempelajari sesuatu adalah pengetahuannya bahwa sesuatu tersebut memiliki banyak keutamaan. Semakin banyak keutamaan yang akan dia dapatkan, maka semakin besar pula semangat untuk mempelajarinya. Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah berkata,

”Jiwa itu mempunyai sifat tertarik untuk mendengar dan mengetahui keutamaan sesuatu. Karena terkadang dia menyangka bahwa keutamaan dari sesuatu itu hanya satu dan tidak berbilang. Ketika keutamaannya banyak, maka akan semakin banyak pula sisi ketertarikannya terhadap sesuatu tersebut. Dia akan perhatian kepadanya, bersemangat mendapatkannya, dan menjelaskan kepada manusia tentang keutamaan yang akan mereka dapatkan kalau memegang teguh tauhid ini.” 

Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan penulis sampaikan tentang beberapa keutamaan menuntut ilmu agama. Setelah mengetahui keutamaan-keutamaannya, semoga hal itu dapat mendorong kita semua untuk giat dan terus-menerus mempelajarinya serta tidak meremehkannya.

Pahala yang Agung bagi Orang-Orang yang Menuntut Ilmu Agama

Pahala yang besar itu sekadar dengan besarnya kedudukan. Ketika menuntut ilmu agama (ilmu syar’i) memiliki kedudukan yang besar di dalam agama ini, maka Allah Ta’ala pun telah mempersiapkan bagi para penuntut ilmu syar’i pahala yang sangat besar dan agung. Sehingga apabila hati-hati orang beriman mendengarnya, maka dia akan senang dan gembira serta akan berusaha untuk meraihnya. 

Pahala yang besar yang telah dipersiapkan oleh Allah Ta’ala kepada para penuntut ilmu syar’i tersebut adalah surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 7028) 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jalan yang ditempuh untuk menuntut ilmu itu ada dua macam, yaitu jalan yang konkret (hissiyyah) dan jalan yang abstrak (ma’nawiyyah). 

Yang dimaksud dengan jalan yang konkret adalah jalan yang ditempuh seseorang menuju majelis ilmu, baik ke masjid atau tempat-tempat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan jalan yang abstrak adalah seseorang berjalan dengan fikirannya untuk memikirkan atau merenungkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik dengan mengkaji Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah secara langsung dengan mempelajari ilmu tafsir dan mempelajari syarah (penjelasan) hadits, atau mengkaji Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah secara terpisah dengan mempelajari kitab-kitab fiqih, aqidah, tauhid, dan sebagainya. Atau seseorang menelaah dan mengkaji kitab-kitab para ulama, karena para ulama telah mencurahkan usaha yang besar untuk menyebarkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar. [2]

Pahala yang agung bagi seorang yang berilmu juga dapat dilihat dari pahala yang mereka dapatkan ketika mereka dapat memberikan petunjuk bagi orang lain dengan ilmu yang mereka miliki. Dan seseorang tidaklah mungkin dapat memberikan petunjuk kebenaran kepada orang lain kecuali dengan ilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.).” (HR. Bukhari no. 3009, 3701, 4210 dan Muslim no. 6376)

Menutut Ilmu Syar’i Merupakan Tanda Kebaikan Seseorang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa orang yang menuntut ilmu syar’i merupakan tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan untuknya baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ يُرِدْ اللَّه بِهِ خَيْرًا يُفَقِّههُ فِي الدِّين

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436) 

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu yang paling agung. Yaitu ilmu yang bermanfaat merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan untuknya. Dan sebaliknya, hadits ini mengisyaratkan bahwa barangsiapa yang berpaling dari mempelajari ilmu agama, maka berarti Allah Ta’ala tidak menghendaki kebaikan untuknya. Karena dia terhalang dari melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan. [3]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Yang dimaksud dengan ‘fiqh fi ad-din’ (memahami agama) bukanlah terbatas pada memahami hukum-hukum amaliyyah tertentu yang disebut oleh para ulama dengan ilmu fiqih. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘fiqh fi ad-din’ tersebut adalah memahami ilmu tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), dan yang terkait dengan syari’at Allah. Seandainya tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali hadits ini saja, niscaya sudah mencukupi dalam memberikan motivasi agar menuntut ilmu syar’i dan memahaminya.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal. 21) 

Orang yang Berilmu adalah Pewaris para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa para ulama memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah Ta’ala yang tidak diraih oleh seorang pun selain mereka. Yaitu bahwa mereka adalah pewaris para Nabi dalam membawa agama dan menyebarkannya di dunia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dirham dan dinar, akan tetapi mereka mewarisi ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang besar”. (HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud  no. 3641)

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah menceritakan bahwa pada suatu hari, ada seorang Arab Badui lewat ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengajarkan hadits kepada para muridnya yang berkumpul di sekelilingnya. Maka orang Arab Badui tersebut berkata, ”Untuk apa mereka berkumpul?”  Maka Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

« على ميراث محمد ، صلى الله عليه وسلم يقتسمونه »

“Untuk membagi-bagi warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.“ (Syarfu Ash-haabil Hadits, 1 : 102) 

Segala Sesuatu di Langit dan di Bumi Memintakan Ampun untuk para Penuntut Ilmu

Karena kedudukan dan pahala yang besar bagi para penuntut ilmu, sampai-sampai  segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi memintakan ampun untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صاحب العلم يستغفر له كل شيء حتى الحوت في البحر

“Segala sesuatu memintakan ampun bagi ahlul ilmi, sampai-sampai ikan di lautan.” (HR. Abu Ya’la. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 7201)

Malaikat pun Bershalawat kepada Ahlul ‘Ilmi

Allah Ta’ala telah memuliakan para ulama dan para penuntut ilmu sehingga Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا، وَحَتَّى الْحُوتَ فِي الْبَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

“Sesungguhnya Allah, malaikat-malaikatNya, sampai semut di sarangnya, dan ikan di lautan bershalawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Thabrani. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir no. 2719)

Yang dimaksud dengan shalawat Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya adalah sanjungan Allah Ta’ala di depan para malaikat. Adapun maksud shalawat para malaikat kepada seorang hamba  adalah mendoakan dan memohonkan ampun atas dosa-dosanya.

Berjalan Menuntut Ilmu Sama dengan Jihad fii sabilillah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa barangsiapa yang berjalan untuk menghadiri majelis ilmu, maka dia setara dengan kedudukan mujahid fii sabiilillah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ 

“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, tidaklah ia mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkaannya, maka dia setara dengan kedudukan mujahid fii sabiilillah.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 227)

____

Catatan Kaki

[1] Fadhlu Tauhid wa Takfiiruhu li Dzunuub, http://www.sahab.org.

[2] Lihat Silsilah Liqoo’at Al-Baab Al-Maftuuh, 3: 123.

[3] Lihat Bahjatu Quluubil Abraar, hal. 38-39. 

Sumber Pertama

Pahala Ilmu akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya telah Meninggal Dunia

Termasuk dalam pahala agung yang Allah Ta’ala siapkan untuk para penuntut ilmu yaitu jika mereka meninggal, maka pahala ilmunya akan sampai kepadanya meskipun mereka berada dalam kuburnya, selama manusia mengambil manfaat dari ilmunya. Maka pahala ini seolah-olah kehidupan yang lain setelah kematian mereka, ketika manusia yang lain terputus dari pahala amal mereka setelah meninggal dunia. Sehingga seakan-akan orang yang berilmu itu senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika anak Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 4310) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

أَرْبَعٌ مِنْ عَمَلِ الأَحْيَاءِ يَجْرِي لِلأَمْوَاتِ: رَجُلٌ تَرَكَ عَقِبًا صَالِحًا يَدْعُو لَهُ يَتْبَعُهُ دُعَاؤُهُمْ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدِهِ لَهُ أَجْرُهَا مَا جَرَتْ بَعْدَهُ، وَرَجُلٌ عَلَّمَ عِلْمًا فَعُمِلَ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهِ شَيْءٌ

”Empat amalan orang hidup yang (pahalanya) tetap mengalir setelah orang tersebut meninggal dunia. Seseorang yang mempunyai anak shalih yang berdoa untuknya dan doa tersebut bermanfaat untuknya. Seseorang yang bersedekah, maka pahalanya mengalir untuknya selama sedekah itu berpahala setelahnya. Seseorang yang mengajarkan ilmu dan mengamalkannya setelahnya, maka baginya pahala sebesar pahala orang yang mengamalkannya tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang mengamalkannya tersebut.”  (HR. Thabrani. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 890)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَبْعٌ يَجْرِيْ لِلْعَبْدِ أَجْرهن و هُوَ فِيْ قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : مَنْ عَلِمَ عِلْمًا أَوْ أجرى نَهَرًا أو حفر بِئْرًا أو غرس نَخْلًا أو بَنَى مَسْجِدًا أو وَرَثَ مُصْحَفًا أو تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرَ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

”Tujuh amalan yang pahalanya mengalir kepada seorang hamba meskipun ia berada di dalam kuburnya setelah meninggal: barangsiapa yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf, atau mempunyai seorang anak yang memohonkan ampun untuknya setelah dia meninggal.” (HR. Al-Bazzaar. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 5915) 

Menuntut Ilmu Lebih Baik daripada Ibadah Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika menuntut ilmu dengan niat yang baik dan bagus, maka hal itu lebih baik daripada ibadah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ ، وَخَيْرُ دِينِكِمُ الْوَرَعُ

“Keutamaan ilmu itu lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah. Dan sebaik-baik agamamu adalah wara’ (bersikap hati-hati, pent.).” (HR. Al-Bazzaar. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 7663)

Allah Ta’ala Menjadikan Ahlul ‘Ilmi sebagai Saksi

Allah Ta’ala mengambil persaksian ahlul ilmi atas suatu persaksian yang mulia dan agung. Persaksian tersebut adalah mentauhidkan Allah Ta’ala, mengesakan-Nya dalam uluhiyyah, dan meniadakan sesembahan selain Allah. Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 18) 

Sisi penunjukan dalil dari ayat ini kepada keutamaan ilmu dan kemuliaanya dapat dilihat dari beberapa sisi sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah. Sisi pertama, bahwa Allah Ta’ala menjadikan ulama sebagai saksi, bukan semua orang. Ini adalah bukti keutamaan mereka di atas makhluk lainnya. Sisi ke dua, bahwa Allah Ta’ala menyejajarkan antara persaksian ulama tentang keesaan-Nya dalam uluhiyyah dengan persaksian-Nya sendiri terhadap masalah ini. Sisi ke tiga, Allah Ta’ala menyejajarkan persaksian mereka dengan persaksian para malaikat-Nya. Sisi keempat, dalam persaksian ini terkandung tazkiyah (rekomendasi) dan pujian terhadap para ulama karena Allah Ta’ala tidaklah mengambil persaksian dari makhluk-Nya kecuali dari makhluk-Nya yang shalih. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1: 48) 

Orang yang Berilmu Lebih Tinggi Derajatnya

Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

 “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11) 

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

قِيلَ فِي تَفْسِيرهَا :يَرْفَع اللَّه الْمُؤْمِن الْعَالِم عَلَى الْمُؤْمِن غَيْر الْعَالِم . وَرِفْعَة الدَّرَجَات تَدُلّ عَلَى الْفَضْل ، إِذْ الْمُرَاد بِهِ كَثْرَة الثَّوَاب ، وَبِهَا تَرْتَفِع الدَّرَجَات ، وَرِفْعَتهَا تَشْمَل الْمَعْنَوِيَّة فِي الدُّنْيَا بِعُلُوِّ الْمَنْزِلَة وَحُسْن الصِّيت ، وَالْحِسِّيَّة فِي الْآخِرَة بِعُلُوِّ الْمَنْزِلَة فِي الْجَنَّة

“Salah satu tafsir ayat tersebut adalah Allah mengangkat derajat seorang mukmin yang berilmu di atas mukmin yang tidak berilmu. Sedangkan pengangkatan derajat itu menunjukkan atas keutamaan, karena yang dimaksud dengannya (pengangkatan derajat, pent.) adalah pahala yang banyak yang dengannya diangkatlah derajatnya. Diangkatnya derajat itu terkandung makna yang abstrak, berupa kedudukan yang tinggi dan nama yang masyhur di dunia. Dan terkandung pula makna yang konkret, yaitu berupa kedudukan yang tinggi di surga.” (Fathul Baari, 1: 92)

Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah riwayat dari Amir bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah bertemu dengan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di ‘Usfan (nama suatu daerah). Ketika itu Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. 

‘Umar bertanya,”Siapakah yang Engkau tunjuk untuk memimpin penduduk di lembah itu?”  

Nafi’ menjawab,”Ibnu Abza.” 

‘Umar bertanya,”Siapakah Ibnu Abza itu?”  

Nafi’ menjawab, ”Salah seorang bekas budak kami.” 

‘Umar kemudian mengatakan,”Apakah Engkau mengangkat seorang bekas budak?”  

Nafi’ menjawab,”Sesungguhnya dia pandai memahami kitabullah ‘Azza wa Jalla, dan dia juga ahli ilmu faraidh (ilmu waris).” 

‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh dia pernah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ 

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian lainnya dengan Kitab ini pula.” (HR. Muslim no. 1934)

Allah Ta’ala Memerintahkan Rasul-Nya untuk Meminta Tambahan Ilmu Syar’i

Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa dan meminta kepada-Nya berupa ilmu yang bermanfaat. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah, ‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu.’” (QS. Thaaha [20]: 114) 

Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan beliau untuk berdoa meminta tambahan sesuatu kecuali tambahan ilmu syar’i. Hal ini tidak lain disebabkan karena keutamaan dan kemuliaan ilmu syar’i yang sangat agung. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض

“Firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’  mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan.” (Fathul Baari, 1: 92) 

Sumber Kedua 

Binatang pun Menjadi Lebih Mulia karena Ilmu

Karena kemuliaan ilmu syar’i dan keutamaannya pula, Allah Ta’ala menghalalkan bagi kita untuk memakan binatang hasil buruan yang diburu oleh anjing ‘berilmu’ (yaitu anjing yang sudah terlatih untuk berburu) dan mengharamkan memakan binatang hasil buruan yang diburu oleh anjing yang tidak ‘berilmu’. Ini adalah bukti nyata bahwa binatang dibedakan kedudukannya karena ilmu. Maka bagaimana lagi dengan manusia? 

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah,’Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).’” (QS. Al-Maidah [5]: 4)

Maka, marilah kita merenungkan ayat ini dengan seksama. Kalaulah bukan karena kemuliaan dan keutamaan ilmu, niscaya buruan anjing ‘berilmu’ dan anjing ‘bodoh’ akan sama saja.

Penuntut Ilmu adalah Manusia yang Terbaik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا 

“Manusia itu ibarat logam dari emas dan perak. Orang yang terbaik ketika jahiliyyah akan menjadi yang terbaik ketika Islam, jika mereka berilmu.” (HR. Bukhari no. 3496 dan Muslim no. 6877. Lafadz hadits di atas adalah milik Muslim) 

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata ketika memberi komentar terhadap hadits ini,

وَأَمَّا قَوْله إِذَا فَقِهُوا فَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنَّ الشَّرَف الْإِسْلَامِيّ لَا يَتِمّ إِلَّا بِالتَّفَقُّهِ فِي الدِّين

“ … adapun perkataan beliau, ‘jika mereka berilmu’ maka di dalamnya terdapat isyarat bahwa kemuliaan Islam tidaklah sempurna kecuali dengan memahami agamanya, … “ (Fathul Baari, 10: 295) 

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits ini,

وَمَعْنَاهُ أَنَّ أَصْحَاب الْمُرُوءَات وَمَكَارِم الْأَخْلَاق فِي الْجَاهِلِيَّة إِذَا أَسْلَمُوا أَوْ فَقُهُوا فَهُمْ خِيَار النَّاس

“Maknanya, orang-orang yang menjaga kehormatannya dan memiliki akhlak yang mulia di masa jahiliyyah, jika mereka masuk Islam atau memahami agamanya, maka merekalah manusia yang paling baik.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 112)

Yang Lebih Didahulukan dalam Memimpin adalah Orang Berilmu

Termasuk dalam hal-hal yang menunjukkan atas kemuliaan ilmu syar’i adalah mengetahui bahwa yang lebih didahulukan baik dalam memimpin suatu jabatan maupun kedudukan dalam syar’iat adalah yang lebih berilmu dan lebih bertakwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا 

“Yang menjadi pemimpin suatu kaum adalah yang paling faham terhadap kitabullah. Jika masih sama, maka yang paling faham terhadap As-Sunnah. Jika masih sama, maka yang lebih dahulu berhijrah. Jika masih sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 1564) 

Keutamaan ilmu lebih didahulukan dalam masalah kepemimpinan daripada statusnya yang lebih dahulu masuk Islam atau berhijrah. Ketika ilmu tentang Al Qur’an lebih mulia daripada ilmu tentang As-Sunnah karena kemuliaan ilmu Al Qur’an dibandingkan ilmu As-Sunnah, maka yang lebih didahulukan adalah yang memiliki ilmu tentang Al Qur’an. Ini menunjukkan atas keutamaan ilmu dan kemuliaannya. Dan pemiliknya lebih didahulukan (lebih diprioritaskan) untuk memegang jabatan keagamaan. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1: 73-74) 

Dunia Ini Terlaknat kecuali Orang yang Menuntut Ilmu Syar’i

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela dunia dan apa-apa yang di dalamnya kecuali hamba-Nya yang berdzikir kepada Allah dan yang menuntut ilmu syar’i. Ini merupakan petunjuk yang sangat jelas atas kemuliaan dan keutamaan ilmu syar’i di sisi Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا 

“Dunia itu terlaknat. Terlaknat apa-apa yang ada di dalamnya kecuali yang berdzikir kepada Allah, dan apa yang diamalkannya, orang yang berilmu dan yang mengajarkan ilmunya.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 4112)

Inilah sekelumit pelajaran tentang motivasi bagi para penuntut ilmu. Semoga yang sedikit ini bisa menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agama-Nya dari serangan musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya pada masa yang penuh dengan fitnah semacam ini, kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangatlah dinanti-nanti. Para penuntut ilmu yang berhias dengan adab-adab Islami, yang tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana. Para penuntut ilmu yang bisa merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al Qur’an sebagaimana orang yang lapar menyantap makanan. Para penuntut ilmu yang senantiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya. Para penuntut ilmu yang bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas. Para penuntut ilmu yang mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya di atas kecintaannya kepada segala sesuatu. [1]

____

Catatan Penting (!!)

Satu catatan penting yang perlu penulis tambahkan adalah kesalahan sebagian di antara kita yang membawakan dalil-dalil tentang keutamaan ilmu, baik dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang dimaksudkan adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Ini adalah sebuah kesalahan. Karena ilmu yang mendapatkan pujian dan memiliki banyak keutamaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil tersebut adalah ilmu syar’i. 

Hal ini sebagaimana perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah yang telah penulis kutip sebelumnya, 

”Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf untuk dapat mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah …” (Fathul Baari, 1: 92) 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Ilmu yang mendapatkan pujian adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu tentang memahami kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14)

Demikian pula dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ يُرِدْ اللَّه بِهِ خَيْرًا يُفَقِّههُ فِي الدِّين

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436) 

Dalam hadits tersebut Rasulullah mengatakan,”memahamkan dia dalam urusan agamanya.” Rasulullah tidak bersabda,”memahamkan dia dalam urusan dunianya.”

Bahkan Allah Ta’ala mencela orang-orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agamanya. Allah Ta’ala berfirman,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (QS. Ar-Ruum [30]: 7)

Maksudnya, sebagian besar manusia tidaklah mempunyai ilmu kecuali ilmu tentang dunia, dan segala yang terkait dengannya. Mereka sangat pandai dengan hal tersebut, namun lalai dalam masalah-masalah agama mereka dan apa yang bisa memberikan manfaat bagi akhirat mereka. [2] 

Namun, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. [3] [4]

Penulis: Ir. M. Saifudin Hakim, M.sc, Ph.D

____

Catatan kaki:

[1] Perkataan yang sangat menakjubkan ini penulis kutip dari tulisan saudara kami, Akh Ari Wahyudi –semoga Allah senantiasa menjaganya-  melalui tulisannya yang berjudul “Sekelumit tentang Keutamaan Ilmu”. Dapat dilihat di Buku Panduan Santri Pesantren Mahasiswa Ma’had Al-‘Ilmi, hal. 29.

[2] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘dzim, 6: 305.

[3] Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14.

[4] Disarikan dari kitab Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 30-35 dan 50-54 disertai beberapa penambahan dari referensi lainnya. 

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags