Type Here to Get Search Results !

 


BERLEBIHAN TERHADAP ORANG SHALIH

 

PENYEBAB UTAMA KEKAFIRAN ADALAH BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MENGAGUNGKAN ORANG-ORANG SHALEH


مَا جَاءَ أَنَّ سَبَبَ كُفْرِ بَنِي آدَمَ وَتَرْكِهِمْ دِيْنَهُمْ هُوَ الْغُلُوُّ فِي الصَّالِحِيْنَ

Sesungguhnya dalil-dalil tentang tauhid sangatlah banyak, yang menunjukkan akan ke-Esa-an Allah dan bahwasanya Dia-lah Dzat satu-satunya yang berhak disembah. Meskipun demikian, kesyirikan di tengah manusia tetap saja terjadi, diantara salah satu sebabnya adalah sikap berlebih-lebihan terhadap orang shalih. Bahkan berlebihan-lebihan terhadap orang shalih merupakan sebab kesyirikan yang paling pertama terjadi di muka bumi, sebagaimana yang akan datang penjelasannya.

Pada Bab ini penulis membawakan beberapa dalil.

Dalil Pertama7

Firman Allah:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya.” (QS. An nisa’: 171)

Ahli kitab yaitu Yahudi dan Nashrani. Mereka disebut ahli kitab karena mereka berbeda dengan kaum-kaum musyrikin yang lain seperti penyembah api majusi atau para penyembah berhala lainnya. Mereka (Yahudi dan Nashrani) adalah kaum yang pernah diturunkan kitab kepada mereka. Allah memanggil mereka dengan panggilan tersebut agar mereka kembali kepada kebenaran bahwasanya dahulu pernah diturunkan kepada mereka kitab-kitab.

Lalu Allah berfirman sembari melarang mereka berbuat ghuluw,

لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Janganlah kamu bersikap ghuluw (melampaui batas/berlebih-lebihan) dalam agamamu.”

Fi’il mudhari تَغْلُوا  mengandung mashdar berupa isim nakirah yaitu غُلُوًّا. Berdasarkan kaidah dalam ilmu ushul fiqih, jika datang isim nakirah dalam konteks kalimat negatif (larangan), maka memberikan faidah keumuman. Sehingga makna ayat adalah larangan berbuat ghuluw dengan bentuk apapun dalam masalah agama.

Larangan berbuat ghuluw tersebut asalnya hanya ditujukan untuk ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani, akan tetapi berlaku juga untuk kaum muslimin karena secara umum kaum muslimin dilarang untuk meniru-niru perilaku ahli kitab. Nabi bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ، قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ : فَمَنْ؟

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” ([1])

Allah berfirman,

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadid : 16)

Sebagaimana ahli kitab dilarang berbuat ghuluw dalam agama maka demikian pula kaum muslimin juga dilarang berbuat ghuluw dengan bentuk apapaun dalam masalah agama, baik dalam perkara aqidah, dalam perkara ibadah, dan seterusnya.

Kekafiran Yahudi dan Nashrani awalnya karena sikap ghuluw terhadap orang shalih, sehingga mengantarkan mereka kepada kesyirikan.
  • Yahudi ghuluw dan menganggap ‘Uzair adalah anak Allah
Allah berfirman,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS At-Taubah : 30)

Nashrani ghuluw terhadap Nabi ‘Isa. Keghuluwan mereka ada tiga macam, dan ketiga-tiganya telah dinyatakan oleh Allah sebagai kekufuran.
  • Menganggap ‘Isa adalah Allah itu sendiri

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۚ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam’.” (QS Al-Maidah : 17)
  • Menganggap ‘Isa adalah anak Allah

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا، لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا

(88) Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (89) Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar.” (QS Maryam : 88-89)
  • Menganggap ‘Isa adalah satu dari yang tiga

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga’.” (QS Al-Maidah : 73)

Di dalam agaman Nashrani dikenal pula secara khusus tiga madzhab berhubungan dengan keterkaitan antara ‘Isa dan Allah, yaitu:

Madzhab Nusthuriyah

Mereka berkeyakinan bahwa di dalamnya diri ‘Isa ada dua tabiat, yaitu tabiat Tuhan dan tabiat manusia. Mereka beranggapan bahwa Allah menempati diri ‘Isa sebagaimana air menempati gelas. Diantara konsekuensi pendapat ini adalah tidak boleh mengatakan Maryam melahirkan Tuhan. Jadi menurut mereka ‘Isa adalah manusia biasa yang memiliki sifat-sifat manusia, demikian pula tatkala Isa berada di dalam rahim ibunya. Namun setelah itu terjadi perpaduan antara Isa dengan Allah.

Di dalam Islam dikenal pula pemahaman sesat yang kurang lebih hampir mirip dengan keyakinan ini yaitu dari kalangan hululiyyah yang mengatakan bahwa Allah bersatu dengan manusia (yaitu Allah menempati manusia). Namun pemahaman ini jelas sesat, tegas Allah mengkafirkan orang yang berkeyakinan Allah bersatu dengan ‘Isa yang mana merupakan seorang manusia mulia, maka apa lagi yang mengatakan Allah bersatu dengan banyak orang yang mana belum tentu mulia.

Madzhab Ya’qubiyyah

Mereka berkeyakinan bahwa ‘Isa itu hanya satu tabiat yaitu tabiat Tuhan namun sekaligus tabiat manusia. Mereka berpandangan bahwa Allah bersatu dengan ‘Isa sebagaimana susu bersatu dengan kopi yang tidak bisa lagi dipisahkan. Yang ini mirip dengan keyakinan yang menyimpang dalam Islam yang al-Ittihadiah.

Madzhab Al-Muwahhidun

Para ulama menamakan mereka dengan Al-Muwahhidun, yaitu ahli tauhid dari kalangan Nashrani. Mereka tidak beranggapan Allah bersatu dengan ‘Isa, mereka meyakini ‘Isa adalah Rasul. Tetapi mereka tetap kafir, salah satu kekafirannya karena tidak beriman kepada Nabi Muhammad.

Berdasarkan pemaparan di atas, Yahudi dan Nashrani mereka telah bersikap ghuluw terhadap ‘Uzair dan ‘Isa. Dan kita dilarang bersikap ghuluw terhadap siapapun agar tidak seperti mereka.

Kemudian Allah berfirman dalam kelanjutan ayat,

وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ

“Janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya.”

Allah berfirman dalam ayat yang lain,

مَّا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ ۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ انظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انظُرْ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

“Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS Al-Maidah : 75)

Padahal tidak ada bedanya antara ‘Isa dengan Rasul-Rasul yang diutus sebelum dia. Mereka semua adalah utusan Allah, mereka semua adalah manusia, sama-sama dilahirkan dari perut manusia, sama-sama diturunkan kitab kepada mereka, sama-sama makan makanan sedangkan Tuhan tidak butuh makan. Lantas mengapa mereka membedakan ‘Isa dengan Rasul-Rasul sebelumnya?

Dalil Kedua:

Dalam shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tentang firman Allah:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: “janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.”(QS. Nuh: 23).

Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan: “Ini adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meninggal dunia, syaithan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana, disitu pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka, dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka, kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan syetan, dan saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai saat itulah patung-patung  tersebut disembah”.

Ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam datang berdakwah kepada kaumnya agar mereka meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka, para pembesar-pembesar kaum tersebut memerintahkan kaumnya agar tidak meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka. Dan inilah diantara bentuk kesabaran kaum musyrikin, mereka juga saling memerintahkan untuk bersabar di atas kesesatan. Allah berfirman,

وَانطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَىٰ آلِهَتِكُمْ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ

“Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.” (QS Shad : 6)

Inilah asal muasal kesyirikan terjadi pertama kali di muka bumi. Semenjak Nabi Adam diturunkan ke bumi hingga sepuluh kurun generasi berikutnya tidak pernah terjadi kesyirikan. Namun setelah berlalu sepuluh kurun tersebut, mulailah muncul kesyirikan sehingga diutuslah Rasul pertama yaitu Nuh ‘alaihissalam.

Syaithan sangat bersabar, awalnya syaithan hanya menggoda kaum tersebut agar membuat patung-patung untuk sekedar mengenang keshalihan mereka (orang-orang shalih tersebut) dan sebagai penyemangat ketika beribadah. Syaitan tahu jika ia langsung menyuruh mereka untuk menyembah orang-orang shalih tersebut makai a tidak akan berhasil, karena ilmu masih ada. Namun syaitan memasang rencana kegiatan ke depan, tidak masalah bagi syaitan meski harus menunggu satu generasi pergi terlebih dahulu, yang penting rencananya berhasil. Maka seiring berjalannya masa, generasi demi generasi berganti akhirnya terwujudlah tujuan utama syaithan yaitu benar-benar menjerumuskan manusia dalam kesyirikan dan penyembahan kepada berhala.

Muhammad bin Qais berkata tentang Wad, Suwaa’, Yaghuuts, Yaúuq, dan Nasr:

كَانُوا قَوْمًا صَالِحَيْنَ مِنْ بَنَى آدَمَ، وَكَانَ لَهُمْ أَتْبَاعٌ يَقْتَدُونَ بِهِمْ، فَلَمَّا مَاتُوا قَالَ أَصْحَابُهُمُ الَّذِينَ كَانُوا يَقْتَدُونَ بِهِمْ: لَوْ صَوَّرْنَاهُمْ كَانَ أَشْوَقَ لَنَا إِلَى الْعِبَادَةِ إِذَا ذَكَرْنَاهُمْ، فَصَوَّرُوهُمْ، فَلَمَّا مَاتُوا، وَجَاءَ آخَرُونَ دَبَّ إِلَيْهِمْ إِبْلِيسُ، فَقَالَ: إِنَّمَا كَانُوا يَعْبُدُونَهُمْ، وَبِهِمْ يُسْقَوْنَ الْمَطَرَ فَعَبَدُوهُمْ

“Bahwa Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah kaum yang shalih yang hidup di antara masa Nabi Adam dan Nabi Nuh ‘alaihimas salam. Mereka mempunyai pengikut yang meneladani mereka dan ketika mereka meninggal dunia, berkatalah para pengikut yang meneladani mereka tersebut, “Kalau kita buat patung-patung mereka, niscaya kita akan lebih semangat beribadah kalau kita mengingat mereka”. Akhirnya mereka pun membuat patung-patung mereka. Ketika mereka (generasi pertama tersebut) meninggal dunia, datanglah generasi berikutnya. Lalu iblis membisikkan kepada mereka seraya berkata: “Sesungguhnya mereka (generasi pertama) tersebut telah menyembah mereka (orang-orang shalih tersebut), serta meminta hujan dengan perantaraan mereka.” Maka akhirnya mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut”([2])

Apa yang disebutkan oleh Ibnu Ábbas dan Muhammad bin Qois tentang kaum shalihin yang disembah di zaman nabi Nuh, mirip dengan apa yang disebutkan oleh Imam Al-Qurthubi ketika mengomentari hadits Ummu Salamah tentang kebiasaan kaum Nashrani yang membuat patung-patung jika ada orang shalih yang meninggal diantara mereka. Beliau (al-Qurthubi) berkata:

قَالَ عُلَمَاؤُنَا: فَفَعَلَ ذَلِكَ أَوَائِلُهُمْ لِيَتَأَنَّسُوا بِرُؤْيَةِ تِلْكَ الصُّوَرِ وَيَتَذَكَّرُوا أَحْوَالَهُمُ الصَّالِحَةَ فَيَجْتَهِدُونَ كَاجْتِهَادِهِمْ وَيَعْبُدُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَ قُبُورِهِمْ، فَمَضَتْ لَهُمْ بِذَلِكَ أَزْمَانٌ، ثُمَّ إِنَّهُمْ خَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ جَهِلُوا أَغْرَاضَهُمْ، وَوَسْوَسَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَنَّ آبَاءَكُمْ وَأَجْدَادَكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ هَذِهِ الصُّورَةَ فَعَبَدُوهَا

“Berkata para ulama kita, bahwasanya sesungguhnya nenek moyang mereka membuat patung-patung orang-orang shalih tersebut adalah agar mereka semangat dengan melihat patung-patung tersebut, dan mereka mengenang kondisi/amal-amal baik orang-orang shalih tersebut, sehingga mereka bersemangat seperti semangat orang-orang shalih tersebut, dan mereka beribadah kepada Allah di sisi kuburan mereka. Dan ini terus berlangsung dalam waktu yang lama. Kemudian datang generasi berikutnya yang tidak mengerti tujuan nenek moyang mereka. Lalu syaithan datang membisikkan kepada mereka bahwasanya bapak mereka dan nenek moyang mereka dahulu menyembah patung-patung tersebut maka merekapun menyembah patung-patung tersebut.” ([3])

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Jarir dan Imam Al-Qurthubi tersebut, memberi pelajaran kepada kita bahwa dakwah tauhid harus terus menerus ditegakkan karena jika ilmu sudah hilang maka syaithan akan datang membisikkan kepada manusia dan membisikkan kesyirikan, walaupun syaithan harus bersabar menunggu bergantinya generasi demi generasi.

Ibnul Qayyim([4]) berkata: “banyak para ulama salaf mengatakan: “setelah mereka itu meninggal, banyak orang-orang yang berbondong-bondong mendatangi kuburan mereka, lalu mereka membuat patung-patung mereka, kemudian setelah waktu berjalan beberapa lama akhirnya patung-patung tersebut dijadikan sesembahan” ([5]).

Ibnul Qayyim menjelaskan bagaimana tahapan-tahapan syaitan dalam menggoda manusia sehingga menyembah penghuni kubur. Tahapan-tahapan tersebut sebagaimana berikut ini :

Syaithan senantiasa membisikkan kepada para penyembah kuburan bahwa membuat bangunan di atas kubur, beri’tikaf di atasnya, dan menjadikan kuburan sebagai íed adalah suatu realisasi kecintaan mereka kepada para Nabi dan orang-orang shalih. ([6])

Syaitan membisikan kepada mereka bahwa berdoa di kuburan adalah mustajab, lebih baik dari pada berdoa di masjid atau di waktu-waktu sepertiga malam terakhir. ([7])

Jika hal itu sudah tertanam di hati mereka, maka syaitan melanjutkan pada tahapan berikutnya yaitu dari berdoa di sisi kuburan orang shalih meningkat menjadi berdoa (bertawassul/perantara) dengan mayat orang shalih tersebut. Seperti perkataan sebagian mereka, “Ya Allah aku memohon kepadaMu dengan nama si fulan (orang shalih)” atau “Aku memohon kepadaMu dengan hak si fulan”([8])

Jika ini sudah tertanam di hati mereka maka syaitan berpindah pada tahapan berikutnya yang membisikan kepada mereka agar meminta (berdoa) langsung kepada orang shalih tersebut.

Jika ini sudah tertanam dalam hati mereka maka syaitan beranjak pada tahapan berikutnya yaitu menjadikan kuburan tersebut sebagai watsan (berhala) yang disembah. Maka merekapun memasang lampu di kuburan tersebut, memasang kain dan tirai, membangun masjid di atasnya, lalu sujud kepadanya, thowaf di situ, menciumnya dan mengusapnya, bahkan berhaji ke situ dan menyembelih untuk orang shalih tersebut.

Setelah itu syaitan beranjak pada tahapan berikutnya yaitu merekapun menjadikan kuburan orang shalih tersebut sebagai íed yang dikunjungi pada waktu-waktu tertentu atau tahunan. Lalu mengajak masyarakat untuk mengagungkan kuburan tersebut([9]).

Demikianlah cara syaithan untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan, bahkan cara seperti ini senantiasa dipraktekkan oleh syaithan hingga zaman sekarang. Hal ini pula lah yang menjadi sebab mengapa Nabi begitu ketat dalam masalah kuburan, segala bentuk yang mengantarkan kepada pengagungan terhadap kuburan dilarang oleh beliau karena itu merupakan bibit-bibit penyebab tumbuhnya kesyirikan. Seperti Nabi melarang kuburan untuk ditinggikan, dalam sebuah hadits, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah memberi tugas kepada muridnya Abul Hayyaj al-Asadi. Ali bin Abi Thalib mengatakan,

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

Maukah kamu aku beri tugas sebagaimana tugas yang pernah diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku? Jangan engkau tinggalkan patung sampai kamu hancurkan, dan jangan biarkan kuburan yang ditinggikan sampai kamu meratakannya.” ([10])

Dalam hadits ini Nabi menggandengkan perintah menghancurkan patung dan perintah meratakan kuburan karena kedua hal tersebut berkaitan dengan kesyirikan. Selain itu dalam banyak hadits yang lain, Nabi juga melarang kuburan disemen, Nabi melarang kuburan ditulisi, Nabi melarang shalat ke arah kuburan, Nabi melarang memasang lampu di kuburan. Bersamaan dengan itu, sangat disayangkan justru kebanyakan umat Nabi melakukan hal sebaliknya, masih banyak dijumpai kaum muslimin yang menerjang dan justru melakukan semua larangan Nabi.

Sehingga patut untuk dicamkan bahwa awal terjadinya kesyirikan adalah ghuluw (bersikap berlebih-lebihan) terhadap orang shalih. Yahudi terjatuh dalam kesyirikan karena ghuluw terhadap ‘Uzair yang merupakan orang shalih, Nasrani terjatuh dalam kesyirikan karena ghuluw terhadap Nabi Isa, bahkan Latta dan ‘Uzza dahulunya adalah orang shalih yang kemudian diagungkan oleh orang-orang setelahnya sampai mengantarkan kepada kesyirikan. Di dalam agama Budha, menurut mereka Budha juga dahulunya adalah orang shalih, namun orang-orang setelahnya berlebihan kepadanya sehingga jadilah Budha menjadi sesembahan mereka hingga sekarang. Demikian pula yang terjadi pada agama Konghucu, Lao Tze, dan agama-agama musyrik lainnya yang mayoritas terjatuh dalam kesyirikan awalnya karena berlebihan di dalam mengagungkan tokoh-tokoh mereka (yang mereka anggap shalih dalam keyakinan mereka).

Dalil Ketiga:

Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا عَبْدَ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Abdullah (hamba Allah) dan Rasulullah (Utusan Allah).”

Dalam hadits di atas([11]), Allah memuji Nabi Muhammad dari dua sisi, yaitu sebagai seorang hamba dan sebagai seorang Rasul.

Nabi Muhammad sebagai seorang hamba
Allah memuji Nabi Muhammad sebagai seorang hamba karena kuatnya penghambaannya beliau kepada Allah. Bahkan tak ada seorang manusia pun yang bisa menandingi penghambaan dan ibadah Nabi kepada Allah, sampai-sampai kakinya bengkak-bengkak karena lamanya ia dalam shalat.

Diantara bentuk pujian Allah di dalam Al-Quran adalah firman Allah,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Isra’ : 1)

Dimaklumi bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj adalah sebuah perjalanan yang sangat agung, meskipun demikian Allah menggunakan kata “hamba-Nya” dan bukan dengan kata “Rasul-Nya”.

Dan Allah sering menggunakan kata “hamba” untuk Nabi Muhammad dalam ayat-ayat yang lain, diantaranya juga,

وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS Al-Baqarah : 23)

وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا

Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.” (QS Al-Jin : 19)

Diantara bukti Nabi seorang hamba dan bukan Tuhan, sehingga tidak boleh berlebih-lebihan kepadanya, yaitu:

Nabi makan dan minum
Nabi buang hajat
Nabi beribadah. Sedangkan Tuhan Dia-lah yang diibadahi.
Nabi menikah
Nabi berhubungan dengan istri
Nabi punya anak
Nabi butuh tidur
Nabi terkadang lupa
Nabi pernah sakit
Nabi terluka
Nabi meninggal
Nabi tidak mengetahui hal ghaib
Dari sini diketahui bahwa Nabi adalah seorang manusia biasa, dia hanyalah seorang hamba yang tidak boleh diangkat derajatnya menjadi Tuhan. Lebih dari itu, beliau sendiri tidak ingin jika ummatnya bersikap ghuluw terhadapnya.

Tidak sebagaimana perkataan Al-Bushiri dalam bait-bait syair “Burdah”nya yang sangat belebihan kepada Nabi hingga menyebabkannya terjatuh dalam kesyirikan. Al-Bushiri berkata dalam syairnya menyeru kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا َوَضَرَّتَهَا             وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

"Sesungguhnya diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat"

"Dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhul mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena"

Dalam bait yang lain, Al-Bushiri juga mengatakan:

يَا أَكْرَمَ الخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ         سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمَمِ

إِنْ لَمْ تَكُنْ فِي مَعَادِي آخِذًا بِيَدِيْ          فَضْلاً وَإِلاَّ فَقُلْ يَا زَلَّةَ القَدَمِ

"Wahai makhluk yang paling mulia tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh"

"Jika engkau pada hari akhirat kelak tidak mengambil tanganku dengan karuniamu, dan (jika tidak demikian) maka katakanlah wahai yang tergelincir (dalam kebinasaan)"

Bait-bait syair ini jelas adalah perkataan yang merupakan bentuk kesyirikan, karena itu semua adalah hak Allah yang tidak boleh dinisbatkan kepada selain-Nya. Sungguh pengucap syair ini telah mengangkat Nabi hingga pada derajat ketuhanan dan ini merupakan kekufuran yang nyata.

Para sahabat telah mencontohkan bagaimana mereka memuliakan Nabi, bersamaan dengan itu mereka tidak berlebih-lebihan. Bahkan ketika Nabi datang ke hadapan mereka, mereka tidak berdiri menyambut Nabi. Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا إِلَيْهِ، لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ

“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para shahabat) cintai saat melihatnya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri karena tahu kebencian beliau atas hal itu.” ([12]) (HR Bukhari dalam Adab al-Mufrad no. 946, shahih)

Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul
Namun di samping kedudukan beliau sebagai seorang hamba, beliau juga adalah seorang Rasul yang di utus untuk seluruh umat manusia sehingga tidak boleh juga meremehkan dan menelantarkan haknya. Allah berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ

“Katakanlah, sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa’.” (QS Al-Kahfi : 110)

Karena Nabi Muhammad adalah seorang Rasul maka diantara konsekuensi yang berlaku bagi umatnya terhadap beliau adalah:

Membenarkan perkataannya
Menjalankan perintahnya
Menjauhi larangannya
Tidak beribadah kecuali dengan syariat yang disampaikannya

Dalil Keempat:

Dan Rasulullah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُوُّ

“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”

Dan dalam shahih Muslim, Ibnu Mas’ud berkata: bahwa Rasulullah bersabda:

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ- قَالَهَا ثَلاَثًا

Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan.” (diulanginya ucapan itu tiga kali)".

Hadits pertama di atas memiliki sababul wurud. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada siang hari melempar jumrah ‘Aqabah di atas unta beliau:

الْقِطْ لِي حَصَى

“Ambilkan aku kerikil.” Maka kuambilkan beliau tujuh batu kerikil kecil untuk dilemparkan. Kemudian beliau meletakkannya pada telapak tangannya sembari bersabda:

أَمْثَالُ هَؤُلَاءِ فَارْمُوْا، ثُمَّ قَالَ: أَيُهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْن فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

“Kerikil seperti inilah yang hendaknya kalian lemparkan.” Kemudian beliau bersabda: “Wahai manusia, janganlah kalian bersikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama ini. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam beragama.” ([13])

Di dalam hadits tersebut, Nabi mengajarkan agar seorang muslim yang sedang menunaikan ibadah haji ketika dia melempar jumrah dia tidak perlu menggunakan batu yang besar, melainkan cukup batu kerikil kecil saja. Hal ini karena dalam kegiatan melempar jumrah, kemungkinan untuk berbuat ghuluw lantas menggunakan lebih dari sekedar batu kecil cukup besar. Ditambah pemahaman yang banyak tersebar di tengah kaum muslimin bahwa sebab utama melempar jumrah adalah untuk melempar syaithan.

Jika ditelusuri, akan ditemukan atsar yang seakan-akan mendukung pemahaman tersebut, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma saat menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُما رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ ‘ قَالَ :” لَمَّا أَتَى إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ اللهِ الْمَنَاسِكَ عَرَضَ لَهُ الشَّيْطَانُ عِنْدَ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ فَرَمَاهُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ حَتَّى سَاخَ فِي الْأَرْضِ ، ثُمَّ عَرَضَ لَهُ عِنْدَ الْجَمْرَةِ الثَّانِيَةِ فَرَمَاهُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ حَتَّى سَاخَ فِي الْأَرْضِ ، ثُمَّ عَرَضَ لَهُ عِنْدَ الْجَمْرَةِ الثَّالِثَةِ فَرَمَاهُ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ حَتَّى سَاخَ فِي الْأَرْضِ ” قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : اَلشَّيْطَانُ تَرْجُمُوْنَ ، وَمِلَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ تَتَّبِعُوْنَ

Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.”

Ibnu Abbas kemudian mengatakan,

اَلشَّيْطَانُ تَرْجُمُوْنَ، وَمِلَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ تَتَّبِعُوْنَ

“Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim“.([14])

Atsar tersebut shahih, hanya saja orang-orang keliru dalam memahaminya, karena Ibnu Abbas bukan memaksudkan dengan melempar jumrah seakan-akan syaithan itu benar-benar terikat di tugu jumrah. Akan tetapi tugu jumrah hanyalah simbol dan melemparinya adalah bentuk ketaatan terhadap perintah Allah yang bisa membuat syaithan terhina karena ketaatan yang dilakukan oleh manusia. Adapun syariat melempar jumrah adalah dengan batu kerikil kecil, tidak boleh berlebihan dan bersikap ghuluw sehingga menggunakan batu yang besar.

Ghuluw bisa terjadi di dalam banyak sendi-sendi kehidupan, dari sisi ibadah, muamalah, perkara adat/tradisi, demikian pula dalam pembahasan aqidah, dan semuanya dicela oleh Allah.

Ghuluw dalam Ibadah

Cita-cita 3 orang sahabat Nabi

وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا، وَقَالُوْا: أَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ وَقدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَأُصَلِّيْ اللَّيْلَ أَبَداً، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ أَبَداً وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَداً.

فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu setelah mereka diberitahukan (tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka menganggap ibadah Beliau itu sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang lainnya menimpali, “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa terus menerus tanpa berbuka.” Kemudian yang lainnya lagi berkata, “Sedangkan saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan menikah selamanya.”

Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka, seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh! Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” ([15])

Ghuluwnya kaum khawarij

Nabi bersabda tentang mereka,

فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ…. آيَتُهُمْ رَجُلٌ أَسْوَدُ، إِحْدَى عَضُدَيْهِ مِثْلُ ثَدْيِ المَرْأَةِ، أَوْ مِثْلُ البَضْعَةِ تَدَرْدَرُ، وَيَخْرُجُونَ عَلَى حِينِ فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ

“Dia memiliki kelompok yang ibadah mereka jangan rajin, sehingga kalian akan meremehkan shalat kalian jika dibandingkan dengan shalat mereka atau meremehkan puasa kalian jika dibandingkan puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat keluar dari islam sebagaimana anak panah melesat nembus binatang sasarannya.” ([16])

Kekeliruan sahabat yang mulia Abu Darda’

Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata,

آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا فَقَالَ كُلْ! قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ، قَالَ نَمْ! فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ، فَقَالَ نَمْ!، فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ، فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – «صَدَقَ سَلْمَانُ»

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.”

Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.

Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“

Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” ([17])

Ghuluw dalam Muamalah

Dijumpai pula bentuk ghuluw dalam muamalah, semisal orang yang terlalu berlebih-lebihan dalam masalah halal haram, sampai-sampai apa yang dihalalkan oleh Allah dia haramkan.

Ghuluw dalam Tradisi

Diantara yang paling banyak terjadi di tengah masyarakat adalah sikap berlebih-lebihan dalam hal adat dan tradisi. Semisal berlebih-lebihan dalam adat istiadat meskipun melanggar syariat. Dia melakukan amalan-amalan yang bertentangan dengan syariat dengan alasan melestarikan warisan turun-temurun nenek moyang, meskipun itu maksiat, bid’ah, dan syirik.

Ghuluw dalam Aqidah

Ghuluw dalam Aqidah inilah yang menyebabkan banyak kelompok-kelompok manusia yang terjerumus dalam kesesatan. Seperti kelompok mu’aththilah yang berlebih-lebihan dalam membahas Allah sehingga jatuhlah dia dalam perbuatan ta’thil (menolak sifat Allah), atau kelompok qadariyah yang berdalam-dalam membahas takdir sehingga menolak takdir Allah, dan seterusnya.

Berikut ini adalah tabel perbandingan 3 model manusia di dalam masalah menyikapi beberapa perkara aqidah, dimana Ahlus Sunnah wal Jamaah berada diantara dua kelompok yang ekstrem dan kelompok yang meremehkan.

Adapun ahlus sunnah wal jamaáh maka mereka adalah golongan yang tengah, mereka berada diantara dua model kelompok manusia, kelompok yang ghuluw/ekstrim dan kelompok yang jafaa’/meremehkan. Berikut ini tabel yang menjelaskan washathiah (sikap tengah/moderat) ahlus sunnah diantara firqoh-firqoh yang menyimpang.

PembahasanTentang Washathiyyah Ahlus-Sunnah

أَهْلُ الْجَفَاءِ وَالتَّفْرِيْطِ
(Kelompok yang meremehkan)

أَهْلُ السُّنَّةِ
(Kelompok pertengahan)

أَهْلُ الْغُلُوِّ وَالإِفْرَاطِ
(Kelompok ghuluw/ekstrem)

1. Sifat-sifat Allah
  • Jahmiyyah, Mu’tazilah = menolak sifat-sifat Allah seluruhnya.
  • Kullabiyah, Asy’ariyah, Maturidiyah = menolak sifat-sifat Allah sebagiannya.
  • Ahlus Sunnah wal Jamaah = menetapkan seluruh sifat-sifat Allah namun tidak sama dengan sifat-sifat manusia Musyabbihah = menyatakan sifat-sifat Allah sama dengan sifat-sifat manusia.
2. Takdir
  • Qadariyah = menolak takdir. Mereka menyatakan kehendak manusia bebas dari kehendak Allah.
  • Ahlus Sunnah wal Jamaah = menetapkan kehendak bagi manusia, akan tetapi kehendak manusia di bawah kehendak Allah.
  • Jabariyyah = mengatakan manusia tidak punya kehendak, manusia seperti bulu yang diterbangkan oleh angin.
3. Pelaku dosa besar
  • Murjiah = pelaku dosa besar imannya masih sempurna
  • Ahlus Sunnah wal Jamaah = pelaku dosa besar masih beriman/Islam tetapi imannya kurang (fasiq) Khawarij = pelaku dosa besar kafir
  • Mu’tazilah = pelaku dosa besar tidak beriman tidak pula kafir (manzilah baina manzilatain)
Namun keduanya meyakini kekalnya pelaku dosa besar di neraka

4. Ahlul Bait
  • Nashibah = membenci Ahlul Bait
  • Ahlus Sunnah wal Jamaah = mencintai Ahlul Bait tetapi tidak berlebihan
  • Syiah = berlebihan dalam mencintai Ahlul Bait
5. Kedudukan Nabi
  • Kaum Liberal = merendahkan Nabi, menganggap hukum-hukum Nabi hanyalah ijtihad yang relevan di zaman beliau aja, tidak di zaman sekarang.
  • Ahlus Sunnah wal Jamaah = Nabi adalah manusia termulia akan tetapi beliau bukanlah Tuhan
  • Sufi = Mengangkat derajat Nabi seperti derajat Tuhan. Seperti perkataan Al-Bushiri.
6. Karamah
  • Mu’tazilah = menolak karamah
  • Ahlus Sunnah wal Jamaah = menetapkan karamah namun tidak berlebihan
  • Sufi = menetapkan karamah berlebihan
7 wali
  • Sufi jafaa’ =
Orang gilapun bisa jadi wali yang mereka namakan “Wali Majduub”. Ini hakikatnya penghinaan terhadap derajat perwalian, ternyata orang gila yang tidak perlu beramal shalih bisa jadi wali.
  • Ahlus Sunnah =
Kewalian (wilayah) hanya bisa diperoleh dengan ketakwaan dan amal shalih, namun wali tidaklah maksum
  • Sufi ghuluw =
Wali haruslah maksum (tidak boleh salah). Bahkan sebagian mereka menganggap kedudukan wali lebih tinggi daripada nabi dan rasul.

Kandungan dalam bab ini:
  1. Orang yang memahami bab ini dan kedua bab setelahnya, akan jelas baginya keterasingan Islam; dan ia akan melihat betapa kuasanya Allah itu untuk merubah hati manusia.
  2. Mengetahui bahwa awal munculnya kemusyrikan di muka bumi ini adalah karena sikap berlebih-lebihan terhadap orang-orang shaleh.
  3. Mengetahui apa yang pertama kali diperbuat oleh orang-orang sehingga ajaran para Nabi menjadi berubah, dan apa faktor penyebabnya? padahal mereka mengetahui bahwa para Nabi itu adalah utusan Allah.
  4. Mengetahui sebab-sebab diterimanya bid’ah, padahal syari’at dan fitrah manusia menolaknya.
  5. Faktor yang menyebabkan terjadinya hal di atas adalah tercampur-aduknya kebenaran dengan kebatilan; Adapun yang pertama ialah: rasa cinta kepada orang-orang shaleh.
  6. Sedang yang kedua ialah: tindakan yang dilakukan oleh orang-orang ‘alim yang ahli dalam masalah agama, dengan maksud untuk suatu kebaikan, tetapi orang-orang yang hidup sesudah mereka menduga bahwa apa yang mereka maksudkan bukanlah hal itu.
  7. Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat Nuh .
  8. Mpengetahui watak manusia bahwa kebenaran yang ada pada dirinya bisa berkurang, dan kebatilan malah bisa bertambah.
  9. Bab ini mengandung suatu bukti tentang kebenaran pernyataan ulama salaf bahwa bid’ah adalah penyebab kekafiran.
  10. Syetan mengetahui dampak yang diakibatkan oleh bid’ah, walaupun maksud pelakunya baik.
  11. Mengetahui kaidah umum, yaitu bahwa sikap berlebih-lebihan dalam agama itu dilarang, dan mengetahui pula dampak negatifnya.
  12. Bahaya dari perbuatan sering mendatangi kuburan dengan niat untuk suatu amal shalih.
  13. Larangan adanya patung-patung, dan hikmah dibalik perintah menghancurkannya (yaitu: untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan).
  14. Besarnya kedudukan kisah kaum nabi Nuh ini, dan manusia sangat memerlukan akan hal ini, walaupun banyak di antara mereka yang telah melupakannya.
  15. Satu hal yang sangat mengherankan, bahwa mereka (para ahli bid’ah) telah membaca dan memahami kisah ini, baik lewat kitab-kitab tafsir maupun hadits, tapi Allah menutup hati mereka, sehingga mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh adalah amal ibadah yang paling utama, dan merekapun beranggapan bahwa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya hanyalah kekafiran yang menghalalkan darah dan harta.
  16. Dinyatakan bahwa mereka berlebih-lebihan terhadap orang- orang shaleh itu tiada lain karena mengharapkan syafaat mereka.
  17. Mereka menduga bahwa orang-orang berilmu yang membuat patung itu bermaksud demikian.
  18. Pernyataan yang sangat penting yang termuat dalam sabda Nabi: “Janganlah kalian memujiku dengan berlebih-lebihan, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam”. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau yang telah menyampaikan risalah dengan sebenar-benarnya.
  19. Ketulusan hati beliau kepada kita dengan memberikan nasehat bahwa orang-orang yang berlebih-lebihan itu akan binasa.
  20. Pernyataan bahwa patung-patung itu tidak disembah kecuali setelah ilmu [agama] dilupakan, dengan demikian dapat diketahui nilai keberadaan ilmu ini dan bahayanya jika hilang.
  21. Penyebab hilangnya ilmu agama adalah meninggalnya para ulama.
____

([1]) HR Muslim no. 2669

([2]) Tafsir al-Qurthubi 2/58

([3]) Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dengan sanadnya dari Muhammad bin Qois dalam tafsirnya (Tafsri At-Thobari 23/303)

([4]) Abu Abdillah: Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’d Az Zur’I Ad Dimasqi, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Seorang ulama besar dan tokoh gerakan da’wah Islamiyah; murid syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mempunyai banyak karya ilmiyah. Dilahirkan tahun 691 H (1292 M) dan meninggal tahun 751 H (1350 M).

([5]) Perkataan Ibnul Qoyyim ini diringkas oleh penulis (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah) dari kitab Ighootsatul Lahfaan

([6]) Lihat Ighootsatul Lahfaan 1/213

Padahal mengagungkan para nabi dan orang shalih yang benar adalah dengan mengikuti ajaran mereka dan mendakwahkan ajaran mereka. Dengan demikian maka menjadi sebab bertambah dan banyaknya pahala bagi para nabi dan orang shalih tersebut. Adapun melakukan sebaliknya, justru bertentangan dengan ajaran mereka, maka penghormatan dan kecintaan apa yang semacam itu?

([7]) Lihat Ighootsatul Lahfaan 1/216

([8]) Lihat Ighootsatul Lahfaan 1/216-217

([9]) Lihat Ighootsatul Lahfaan 1/217

([10]) HR Ahmad no. 741, Muslim no. 969

([11]) HR Al-Bukhari no 3445

([12]) HR Al-Bukhari no 1458

([13]) HR Ibnu Majah, no. 3029, shahih

([14]) HR Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib (2/17) no. 1156

([15]) HR al-Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401

([16]) HR al-Bukhari no. 3610 dan Muslim no. 1064

([17]) HR al-Bukhari no. 1968

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.