Type Here to Get Search Results !

 


MENGENAL TAUHID ULUHIYAH

 

Tauhid al-Uluhiyah (1)

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA

Prolog

Faktor utama terjerumusnya sebagian masyarakat dalam praktik kesyirikan adalah ketidaktahuan mereka akan hakekat dan makna ibadah. Dampaknya banyak ibadah yang mereka lakukan untuk selain Allah namun mereka menyangka hal itu bukanlah ibadah. Sebagai contoh, sebagian masyarakat menyembelih kerbau untuk diserahkan di lautan, ketika mereka ditanya tentang hal tersebut, mereka akan menjawab bahwa hal itu adalah tradisi dan bukan ibadah. Padahal menyembelih adalah ibadah, sebagaimana kita diperintahkan untuk beribadah dengan menyembelih di hari raya ‘Idul adha, ketika ibadah haji, demikian juga kita dianjurkan untuk menyembelih ketika akikah.

Cotoh lain, banyak orang yang meminta-minta di kuburan tidak mengerti bahwa meminta-minta yang mereka lakukan tersebut di dalam syari’at dinamakan dengan doa, yang tentunya merupakan ibadah. Kalau ditanya maka mereka akan berkata, “Itu adalah tawasuul” yang diperbolehkan bahkan dianjurkan. Padahal apa yang mereka lakukan adalah bentuk beribadah (berdoa) kepada selain Allah.

Banyak masyarakat menyangka bahwasanya yang namanya ibadah terbatas pada ritual salat, puasa, zakat, dan yang semisalnya, sementara menyembelih untuk jin, memberi sesajen untuk penghuni pohon tertentu dan yang semislanya bukanlah ibadah. Ketidaktahuan tentang definisi ibadah sering menyebabkan terjerumus dalam perbuatan syirik pada tauhid uluhiyah. Dari sini perlu untuk memahami makna tauhid al-Uluhiyah dengan pemahaman yang benar sehingga tidak terjerumus dalam kesyirikan yang berkaitan dengan ibadah.

Definisi تَوْحِيْدُ الأُلُوْهِيَّة Tauhid Al-Uluhiyah

Al-Uluhiyah secara bahasa dijelaskan oleh para ahli bahasa di antaranya Al-Jauhari (wafat 393 H), beliau berkata,

أَلهَ بالفتح إِلاهَةً، أَيْ عَبَدَ عِبَادَةً

“alaha yang mashdar-nya ilaahatan bermakna ‘abada (menyembah) yang mashdar-nya ‘ibaadatan” ([1])

Kemudian ia berkata,

ومنه قولنا ” الله ” وأصله إِلَاهٌ على فِعَالٌ، بِمعنَى مَفْعُوْلٌ، لأنه مَأْلُوْهٌ أَيْ مَعْبُوْدٌ

“di antaranya perkataan kita “الله” asalnya dari kata إِلَاهٌ dengan wazan fi’aal yang bermakna maf’uul, karena dia adalah ma’luuh yaitu ma’buud (yang disembah).” ([2])

Ibnu Faris (wafat 395) juga berkata:

(أَلَهَ) … وَهُوَ التَّعَبُّدُ. فَالْإِلَهُ اللَّهُ تَعَالَى، وَسُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ مَعْبُودٌ. وَيُقَالُ: تَأَلَّهَ الرَّجُلُ: إِذَا تَعَبَّدَ

أَلَهَ … adalah التَّعَبُّدُ at-taábbud (beribadah). Maka الْإِلَهُ adalah اللَّهُ ta’alaa, dan Allah dinamakan demikian karena Allah disembah (diibadahi). Dikatakan تَأَلَّهَ الرَّجُلُ jika ia beribadah” ([3])

Ath-Thabari menukilkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang makna lafal “Allah”,

اللَّهُ ذُو الْأُلُوهِيَّةِ وَالْمَعْبُودِيَّةِ عَلَى خَلْقِهِ أَجْمَعِينَ

“Allah ﷻ adalah pemilik peribadatan dan yang berhak disembah atas seluruh makhluknya.” ([4])

Inilah makna uluhiyah secara bahasa yang artinya ibadah. Oleh karenanya dalam satu ayat Allah ﷻ berfirman,

وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ

“dan meninggalkanmu (Firaun) serta tuhan-tuhanmu?” (QS. Al-A’raf: 127)

Dalam sebagian qiraah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca,

وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ

“Musa meninggalkan engkau (Firaun) dan peribadatan kepada engkau.” ([5])

Sehingga إلَاهَة artinya adalah ibadah.

Adapun definisi tauhid al-uluhiyah secara istilah (terminologi) adalah mengesakan Allah ﷻ dalam peribadatan. Yaitu semua ibadah hanya untuk Allah ﷻ. Di dalam salat kita selalu membaca,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ

“hanya Engkau yang kami sembah” (QS. Al-Fatihah: 5)

Ini adalah kalimat yang mengandung metode pembatasan yang artinya “hanya Engkau yang kami sembah”, dan maknanya bukan “kami beribadah kepada Engkau”. Jika artinya “kami beribadah kepada Engkau” maka kalimatnya akan berbunyi نَعْبُدُكَ dengan urutan subyek-predikat-obyek. Namun ketika obyeknya dikedepankan sehingga urutannya obyek-subyek-predikat maka dalam bahasa Arab hal ini memberikan faedah pembatasan. Sehingga makna إِيَّاكَ نَعْبُدُ berbeda dengan نَعْبُدُك, karena kalimat نَعْبُدُكَ “kami beribadah kepada Engkau” bisa berarti menyembah kepada yang lainnya juga. Berbeda dengan kalimat إِيَّاكَ نَعْبُدُ “hanya Engkau yang kami sembah” ini menunjukkan yang disembah hanya Allah ﷻ.

Penerapan Tauhid al-Uluhiyah

Inti dari tauhid al-Uluhiyah (tauhid al-‘Ibadah) adalah hanya beribadah kepada Allah semata. Karenanya seseorang harus memahami apa definisi ibadah yang sesungguhnya.

Ibadah secara bahasa kembali kepada makna hina dan rendah serta ketundukan. Dikatakan الْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ artinya hamba yang dimiliki, الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ artinya jalan yang telah ditundukkan sehingga mudah untuk ditempuh.([6])

Adapun ibadah secara istilah syariat maknanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ: مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah berarti suatu kata yang mencakup segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridai oleh Allah”([7])

Dan ibadah -ditinjau dari pelakunya- yaitu yang menggabungkan antara ketundukan dan kecintaan. Ketundukan tanpa kecintaan bukanlah ibadah, dan demikian juga sebaliknya. Ibnu Taimiyyah berkata:

اسْم يجمع كَمَالَ الذُّلِّ وَنِهَايَتَهُ وَكَمَالَ الْحُبِّ للهِ وَنِهَايَتَهُ فَالْحُبُّ الْخَلِيُّ عَنْ ذُلٍّ وَالذُّلُّ الْخَلِيُّ عَنْ حُبٍّ لاَ يَكُوْنُ عِبَادَةً وَإِنَّمَا الْعِبَادَةُ مَا يَجْمَعُ كَمَالَ الْأَمْرَيْنِ

“Ibadah adalah kata yang mengumpulkan ketundukan yang sempurna dan puncaknya dengan kecintaan kepada Allah yang sempurna dan puncaknya. Maka kecintaan yang kosong dari ketundukan demikian juga ketundukan yang kosong dari kecintaan bukanlah ibadah. Hanyalah dikatakan ibadah jika mengumpulkan dua perkara tersebut dengan sempurna”.([8])

Adapun contoh-contoh Ibadah yang diperintahkan Allah itu, antara lain : doa([9]), khauf (takut) ([10]), raja’ (pengharapan) ([11]), tawakal([12]), raghbah (penuh minat), rahbah (cemas), khusyuk (tunduk) ([13]), khasyah (takut) ([14]), inabah (kembali kepada Allah) ([15]), istianah (memohon pertolongan) ([16]), istiadzah (meminta perlindungan) ([17]), istigasah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan) ([18]), dzabh (penyembelihan) ([19]), nazar([20]) dan macam-macam ibadah lainnya yang diperintahkan oleh Allah.

Siapa yang menyerahkan salah satu dari ibadah-ibadah di atas kepada selain Allah maka ia telah terjerumus dalam kesyirikan yang menodai kemurnian tauhid al-Uluhiyah.


Pengertian Syirik dan pembagiannya

Syirik yaitu menyamakan Allah dengan makhluk pada hal-hal yang merupakan kekhususan Allah. Syirik secara bahasa bukanlah mengingkari adanya Tuhan (ateisme), akan tetapi lafal syirik bermakna menyamakan (menyekutukan) Allah dengan selain Allah.

Adapun kesyirikan yang berkaitan dengan tauhid al-Uluhiyah adalah menyerahkan ibadah kepada selain Allah, karena hal ini berarti telah menyamakan selain Allah tersebut dengan Allah pada hal yang merupakan kekhususan Allah yaitu satu-satunya yang berhak disembah dan hanya diserahkan ibadah kepadanya.

Contoh-contoh kesyirikan yang menodai Tauhid Uluhiyah([21]):

    Syirik Besar:

    Menyembelih kepada selain Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّـهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah, bahwa sesungguhnya salatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanya semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al An’am: 162-163)

Nabi ﷺ juga bersabda,

“لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ”

“Allah melaknat orang-orang yang menyembelih binatang bukan karena Allah, Allah melaknat orang-orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang-orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan, dan Allah melaknat orang-orang yang mengubah tanda batas tanah.” ([22])

    Berdoa kepada selain Allah

Termasuk bentuk kesyirikan yang paling parah. Allah ﷻ berfirman,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُ وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاء وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru kepada sembahan-sembahan selain Allah, sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat mengabulkan doa hingga hari kiamat, dan sembahan itu juga lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan apabila umat manusia nanti dikumpulkan (pada hari kiamat) maka sembahan-sembahan itu justru akan menjadi musuh serta mengingkari peribadatan yang dilakukan oleh para pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)

Berdoa kepada selain Allah termasuk kesyirikan yang paling parah karena hakikatnya seseorang yang berdoa ia sedang menunjukkan kerendahannya kepada dzat yang ia berdoa kepadanya. Seharusnya semua itu hanya ia tujukan kepada Allah ﷻ semata. Doa juga merupakan intisari ibadah sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ

”Doa adalah ibadah.”([23])

Nabi ﷺ juga bersabda,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ – قَالَ: ” مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النّارَ “.

Dari Abdullah bin Mas`ud h  bahwasanya Rasulullah ﷺ  bersabda, “Siapa yang meninggal dunia sedangkan dia berdoa kepada selain Allah sebagai tandingan bagi-Nya, maka dia akan masuk neraka([24])

    Istigasah kepada selain Allah ﷻ

Perbedaan antara Istigasah dengan doa, bahwasanya istigasah adalah doa dalam keadaan terdesak. Dengan demikian istigatsah adalah bagian dari doa hanya saja bentuk doa yang lebih spesifik.

Sungguh menyedihkan didapati sebagian dai ada yang menyarankan kepada para pengikutnya apabila mereka dalam kondisi terdesak maka segeralah beristigasah kepada para wali, “Wahai wali fulan Aghitsni (tolonglah aku)!” , “Wahai Abdul Qadir Jailani tolong aku!”. Tidak diragukan lagi bahwa ucapan-ucapan tersebut merupakan bentuk kesyirikan. Bahkan terkumpul padanya banyak kesyirikan. Contohnya, apabila ada seseorang yang berada di tengah lautan dan diterpa badai yang dahsyat kemudian ia beristigasah kepada syeikh Abdul Qadir Jaelani misalnya maka terkumpul pada dirinya beberapa kesyirikan. Pertama, dia telah berdoa kepada selain Allah. Kedua, ia telah meyakini bahwa Abdul Qadir Jaelani maha mendengar, karena dia meyakini bahwa di mana pun dia memanggil maka Abdul Qadir Jaelani akan menolongnya. Ketiga, dia meyakini bahwa Abdul Qadir Jaelani maha mengetahui karena dia meyakini bahwa kapan saja dia meminta pertolongan maka abdul Qadir Jaelani tahu. Maka semua kesyirikan ini terkumpul pada seseorang yang beristigasah kepada selain Allah. Terlebih lagi dia meminta pertolongan pada hal yang tidak mampu mewujudkannya melainkan hanya Allah saja. Siapakah lagi yang bisa menundukan lautan untuk menyelamatkannya melainkan Allah?. Sementara Nabi saja ketika dalam perang badar tidak bisa menundukan pasukan Abu Jahal yang berjumlah lebih banyak, sehingga Nabipun beristighatsah kepada Allah. Allah berfirman :

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut” (QS Al-Anfal : 9)

Lantas bagaimana dengan Abdul Qodir al-Jailani rahimahullah yang telah menjadi mayat di dalam tanah, apakah bisa menundukan lautan?

    Bernazar kepada selain Allah ﷻ

Nazar adalah Ibadah, jika ditujukan kepada selain Allah maka ia telah terjerumus ke dalam kesyirikan.  Allah ﷻ memuji para penduduk surga yang senantiasa menunaikan nazarnya.

يُوْفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

“Mereka menepati nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 7)

    Beristiazah (meminta perlindungan) kepada Jin

Allah ﷻ berfirman,

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرَجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al-Jin:6)

Sebab turunnya ayat ini adalah dahulu orang-orang arab pada zaman jahiliyah apabila mereka singgah di sebuah tempat (lembah), salah seorang diantara mereka berkata: “ Aku meminta perlindungan kepada penghulu lembah ini (penghulu dari bangsa Jin dari keburukan orang bodoh dari kaumnya, kemudian Allâh menurunkan ayat ini.([25])

    Menyembelih kepada selain selain Allah ﷻ

Ali bin Abi Thalib t berkata: “Rasulullah r bersabda kepadaku tentang empat perkara:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، لَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ

“Allah melaknat orang-orang yang menyembelih hewan bukan karena Allah, Allah melaknat orang-orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang-orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan, dan Allah melaknat orang-orang yang merubah tanda batas tanah” ([26]) .

Kesyirikan menyembelih kepada selain Allah merupakan kesyirikan yang banyak tersebar di negeri-negeri kaum muslimin. Begitu banyak orang yang menyembelih untuk jin dengan berbagai bentuknya, seperti dalam rangka membangun rumah (agar tidak diganggu oleh jin penunggu tanahnya) atau untuk membangun jembatan, untuk membelah atau mengebor gunung (bukit), untuk dilepaskan ke laut agar penjaga laut tidak marah, untuk dewi padi, untuk syarat pengobatan, untuk memenuhi persyaratan dukun, dll.

    Sihir

Sihir termasuk dalam syirik akbar karena biasanya dalam sihir terdapat kerjasama antara jin dan manusia. Allah ﷻ berfirman,

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia mengumpulkan mereka semua (dan Allah berfirman), “Wahai golongan jin! Kamu telah banyak (menyesatkan) manusia.” Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, “Ya Tuhan, kami telah saling mendapatkan kesenangan dan sekarang waktu yang telah Engkau tentukan buat kami telah datang.” Allah berfirman, “Nerakalah tempat kamu selama-lamanya, kecuali jika Allah menghendaki lain.” Sungguh, Tuhanmu Maha bijaksana, Maha Mengetahui. (QS al-Anám : 128)

Jin merasa senang ketika manusia mengikuti keinginannya semisal meminta sesajen dan lain sebagainya, begitu pula manusia juga senang ketika hajatnya dibantu oleh jin dengan sihir dan yang semisalnya. Oleh karenanya hendaknya seseorang berhati-hati dengan sihir yang dapat berakibat kepada gugurnya syahadatnya dan keluarnya dia dari Islam. Rasulullah ﷺ  bersabda,

حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ

“Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang”([27])

Hadits tersebut menunjukkan betapa bahayanya tukang sihir. Mereka tidak hanya berbuat kesyirikan, namun mereka juga merusak ketenteraman di tengah masyarakat. Maka sebaiknya pemerintah membentuk undang-undang khusus terkait permasalahan sihir mengingat bahaya mereka yang dapat merusak stabilitas masyarakat. Penulis teringat kisah salah seorang sahabat yang dagangannya terkena sihir atau guna-guna, setiap kali beliau membuka rice cooker beliau dapati nasinya sudah basi padahal baru saja matang. Beliau harus meruqyah tempat dagangannya terlebih dahulu sebelum berdagang agar pembeli tetap datang karena jika tidak diruqyah maka seakan-akan warung tersebut lagi tutup akibatnya tidak pernah ada pembelinya. Di antara para pegawainya juga ada yang kerasukan jin. Ini merupakan bukti nyata akan bahaya sihir di tengah masyarakat.

    Ruqyah-ruqyah syirik (jampi-jampi syirik)

Seseorang yang meruqyah dengan menyebut-nyebut nama-nama para jin telah terjerumus kepada syirik besar, hal ini tidak lain karena ia telah bekerja sama dan meminta pertolongan kepada jin.

Nabi bersabda :

«إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ»

“Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi) jimat-jimat, dan tiwalah (pelet) adalah kesyirikan”([28])

    Syirik Kecil

Syirik kecil merupakan dosa besar, dinamakan dengan “kecil” bukan berarti ia dosa kecil, akan tetapi untuk membedakan dengan syirik akbar. Jika syirik akbar mengeluarkan seseorang dari Islam adapun syirik ashghor (kecil) tidaklah demikian.

Hal ini semisal istilah “Kufur Akbar/Besar” dan “Kufur Kecil”, “Nifaq Akbar” dan “Nifaq Kecil”, maka “Kufur Kecil” dan “Nifaq Kecil” bukanlah dosa kecil bahkan merupakan dosa besar, akan tetapi hanya untuk membedakan bahwa yang “Besar” mengeluarkan seseorang dari Islam.

Diantara contoh-contoh syirik kecil adalah:
  •     Riya’ (beramal agar dilihat) dan Sum’ah (beramal agar didengar dan disebut-sebut)
Keduanya merupakan syirik kecil namun termasuk kategori dosa besar. Biasanya justru menimpa orang-orang yang memiliki kelebihan. Seseorang yang terjerumus dalam perbuatan ini maka amalannya tidak akan diterima oleh Allah ﷻ.

Dan kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

“Barangsiapa yang memperdengarkan (amalannya di dunia), Allah akan memperdengarkan tentangnya (keburukannya), dan barangsiapa yang memperlihatkan, Allah akan memperlihatkan tentang dia.”([29])

Artinya orang yang di dunia senantiasa menyebut-nyebut amalannya dan riya’ dengan amalannya, maka di akhirat Allah Subhanahu wa ta’ala akan mempermalukannya. Dan tentunya hal terburuk bagi orang yang riya’ di akhirat adalah di masukkan ke dalam neraka Jahannam.

Oleh karena itu, jika seseorang merenungkan akan nasib orang yang riya’ di dunia dan di akhirat, maka dia akan menjauhi segala hal yang bisa mengantarkannya kepada riya’.

    Beramal akhirat untuk mencari dunia

Jika yang mendominasi niat seseorang dalam beramal akhirat adalah untuk mencari dunia maka dia telah terjerumus dalam syirik kecil. Seperti seorang imam masjid yang menjadikan profesinya untuk semata-mata mencari dunia. Point ini tentu saja berbeda dengan riya’. Riya’ sedikit atau banyak apabila tercampur pada suatu amalan maka membatalkan amalan tersebut. Adapun amalan akhirat yang ditujukan untuk mencari dunia, apabila niat untuk mencari dunia tidak mendominasi dan dia beramal murni untuk akhirat tanpa menafikan efek duniawi yang datang kepadanya maka  amalan tersebut diharapkan akan diterima disisi Allah ﷻ, namun jika yang mendominasi adalah tujuan dunianya maka dapat menggugurkan amalan tersebut.

    Memakai jimat

Memakai jimat hukum asalnya adalah syirik kecil. Jimat yang ditujukan untuk membantu seseorang yang menggunakannya maka dapat menjerumuskannya ke dalam syirik kecil. Seperti seseorang yang menggunakan jimat supaya disegani orang, disukai orang atau supaya melariskan dagangannya maka perbuatan tersebut dapat mengantarkannya kepada perbuatan syirik.

«إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ»

“Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi) jimat-jimat, dan tiwalah (pelet) adalah kesyirikan”([30])

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

“Barang siapa yang menggantungkan sesuatu maka ia akan disandarkan kepadanya” ([31])

    Bertabarruk yang tidak syar’i

Seperti bertabarruk kepada kuburan-kuburan dengan mengusap-usap dinding kuburan, mengambil tanah kuburan bahkan memakannya maka perilaku yang demikian itu menjerumuskan pelakunya kepada syirik kecil. Hal ini karena dia telah mengambil sebab pada suatu dzat yang mana Allah ﷻ tidak pernah memberikan sebab pada  dzat tersebut. Adapun jika dia bertabarruk dengan memakan tujuh butir kurma ajwa setiap pagi, atau bertabarruk dengan air zam-zam dan buah zaitun maka diperbolehkan secara syariat.

    Ber-tathayyur (pamali)

Nabi bersabda :

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik.”([32])

Tathayyur adalah mengait-ngaitkan nasib buruk dan nasib baik pada sesuatu yang dilihat atau didengar, atau mengaitkannya dengan angka tertentu atau hewan tertentu. Contohnya, dihilangkannya angka 13 pada kursi pesawat, lift atau adanya burung hantu semua itu dianggap membawa kesialan. Sebagian daerah ada yang berkeyakinan bahwa meninggalkan makanan yang sudah dihidangkan juga akan membawa kesialan. Hari rabu pertama tiap awal bulan juga diyakini membawa kesialan sehingga ada yang melakukan ritual-ritual tertentu untuk menolak kesialan di antaranya melaksanakan salat yang mereka sebut dengan salat rabu wekasan. Semuanya ini termasuk tathayyur yang dapat menggiring pelakunya terjerumus kepada syirik kecil.

Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

________

([1]) Ash-Shahaah (6/2223). Asal judul kitab al-Jauhari adalah تَاجُ اللُّغَةِ وَصَحَاحُ الْعَرَبِيَّةِ, akan tetapi lebih dikenal dengan الصحاح. Dan lafal الصحاح bisa dibaca الصَّحاح (dengan memfathah huruf shood, yang merupakan mufrod yaitu lafal lain dari الصَّحِيْحُ, jadi الصَّحِيْحُ dan الصَّحاح seperti بَرِيءٌ dan بَرَاءٌ) atau dibaca الصِّحاح (dengan mengkasroh huruf shood yang merupakan jamak dari الصَّحِيْحُ). Keistimewaan kitab ini -sebagaimana namanya- adalah hanya mencantumkan bahasa yang shahih saja. Adapun para ahli bahasa yang sezaman beliau seperti Al-Azhari (dalam kitabnya Tahdziib al-Lughoh) dan Ibnu Faris (dalam kitabnya Mu’jam Maqoyiis al-Lughoh) maka mereka berdua selain mencantumkan bahasa yang shahih (valid), mereka juga mencantumkan bahasa/lafal-lafal yang tidak shahih, akan tetapi mereka mengkritik lafal-lafal yang tidak shahih tersebut. (Lihat الْمُزْهِرُ فِي عُلُوْمِ الْعَرَبِيَّةِ وَأَنْوَاعِهَا, As-Suyuthi 1/74)

([2]) Ash-Shahaah (6/2224).

Al-Azhari (wafat 370 H) berkata :

وَأَخْبرنِي المنذريُّ عَن أبي الْهَيْثَم أَنه سَأَلَهُ عَن اشْتقاق اسْم الله فِي اللُّغة، فَقَالَ: كَانَ حقُّه إلاهٌ، أُدخلت الألِف وَاللَّام عَلَيْهِ للتعريف فَقيل: الْإِلَه، ثمَّ حَذفت العربُ الهمزةَ استثقالاً لَهما، فلمّا تركُوا الهمزةَ حَوّلوا كسرتها فِي اللَّام الَّتِي هِيَ لَام التَّعْرِيف، وَذَهَبت الهمزةُ أصلا فَقيل: أَلِلاَه، فحرَّكوا لامَ التَّعْرِيف الَّتِي لَا تكون إلاّ سَاكِنة، ثمَّ الْتَقَى لامان متحرِّكَتان فأدغَموا الأولى فِي الثَّانِيَة، فَقَالُوا: الله

“Al-Mundziri mengabarkan kepadaku dari Abul Haitsam bahwasanya al-Mundziri bertanya kepada Abul Haitsam tentang asal kata nama Allah dalam bahasa Arab. Maka Abul Haitsam berkata, “Asalnya adalah إلاهٌ lalu kemasukan alif lam untuk ta’riif sehingga dikatakan الْإِلَه, lalu orang-orang Arab menghapus hufuf Hamzah (yang kasroh) karena berat. Ketika mereka membuang huruf Hamzah maka mereka pindahkan harokat kasrohnya ke huruf laam yang merupakan bagian dari alif laam ta’rif, dan hilanglah huruf Hamzah, maka jadilah أَلِلاَه. Lalu mereka memberi harokat kepada laam at-ta’rif yang seharusnya tidak boleh kecuali dalam kondisi sukun, lalu bertemulah dua huruf laam yang berharokat maka merekapun menggabungkan yang laam pertama dengan laam kedua, maka mereka berkata الله” (Tahdziib al-Lughoh 6/222-223)

([3]) Mu’jam Maqooyiis al-Lughoh 1/127

([4]) Tafsir Ath-Thabari (1/121).

([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi (7/262)

([6]) lihat: Mu’jam Maqaayiis al-Lughah (4/205-206).

Az-Zajjaj rahimahullah berkata:

معنى العبادة في اللغة الطاعةُ مع الخُضُوع، يقال هذا طَرِيق مُعّبد، إذا كان مُذللاً بكثْرةِ الوَطءِ

“Makna ibadah secara bahasa adalah ketaatan disertai ketundukan, dikatakan هذا طَرِيق مُعّبد “ini adalah jalan yang ditundukan” jika jalan tersebut sudah dihinakan/ditundukan dengan banyaknya diinjaki” (Ma’aani al-Qur’an wa I’robuhu 1/48)

([7]) Majmuu’ Al-Fataawa (10/149).

([8]) At-Tuhfah al-‘Iraaqiyah hal 44.

([9]) Dalil doa merupakan ibadah adalah firman Allah:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman : Berdoalah kamu kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina-dina.” (QS Ghaafir : 60)

([10]) Dalil takut merupakan ibadah adalah firman Allah

فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS Ali-‘Imran : 175)

([11]) Dalil berharap merupakan ibadah adalah firman Allah

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Untuk itu, barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya.” (QS Al-Kahfi : 110)

([12]) Dalil tawakal merupakan ibadah adalah firman Allah

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allh-lah supaya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS Al-Maa’idah : 23)

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia-lah Yang akan mencukupinya.” (QS Ath-Thalaaq : 3)

([13]) Dalil raghbah, rahbah, dan khusyuk merupakan ibadah adalah firman Allah

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam (mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdoa kepada kami dengan penuh minat (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu selalu tunduk hanya kepada Kami.” (QS Al-Anbiyaa’ : 90)

([14]) Dalil khasyah merupakan ibadah adalah firman Allah

فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي

“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku.” (QS Al-Baqoroh : 150)

([15]) Dalil inabah merupakan ibadah adalah firman Allah

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhan-mu serta berserah-dirilah kepada-Nya (dengan menaati perintah-Nya), sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat tertolong (lagi).” (QS Az-Zumar : 54)

([16]) Dalil istianah merupakan ibadah adalah firman Allah

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.” (QS Al-Faatihah : 4)

([17]) Dalil istiazah merupakan ibadah adalah firman Allah

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

“Katakanlah : aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh.” (QS Al-Falaq : 1)

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Katakanlah : aku berlindung kepada Tuhan manusia, Penguasa manusia.” (QS An-Naas : 1-2)

([18]) Dalil istigasah merupakan ibadah adalah firman Allah

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

“(Ingatlah) takkala kamu meminta pertolongan kepada Tuhan-mu untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (QS Al-Anfaal : 9)

([19]) Dalil menyembelih merupakan ibadah adalah firman Allah

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah : Sesungguhnya salatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sesuatu pun sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri (kepada-Nya).” (QS Al-An’am : 162-163)

([20]) Dalil nazar merupakan ibadah adalah firman Allah

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang siksanya merata di mana-mana.” (QS Al-Insaan : 7)

([21]) Peringatan : Penulis di sini hanya menyampaikan secara global. Adapun pembahasan tentang macam-macam kesyirikan secara detail telah penulis bahas dalam buku penulis “Syarah Kitab at-Tauhid”.

([22]) HR.  Muslim no. 1978

([23]) HR. Tirmidzi no. 2969 dan Ibnu Majah no. 3828, Ibnu Hajar berkata dalam Fathul bari bahwa sanad hadits ini sahih 1/64.

([24]) HR.  Bukhari no. 4497

([25]) Lihat : Tafsir Al-Qurthubi 19/10

([26]) HR. Muslim no 1978

([27]) HR. Tirmidzi no. 1460, Tirmidzi mengatakan bahwa yang benar ini adalah perkataannya Jundub (Mauquf)

([28]) HR Abu Dawud No. 3883

([29])  HR. Bukhari no. 6499

([30]) HR Abu Dawud No. 3883

([31]) HR Ahmad No. 18781, hadits hasan lighoirihi

([32]) HR. Abu Daud no. 3910