Type Here to Get Search Results !

 


URGENSI KOTA MEKKAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM

    

Mekah adalah tanah haram, negeri yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, kiblatnya kaum muslim. Dambaan hati mereka dan tempat mereka beribadah haji dan tempat mereka berkumpul. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengukuhkannya sebagai tanah haram yang dihormati, sejak langit dan bumi diciptakan. Di sana ada Ka’bah, tempat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pertama di muka bumi. Baitul Atiq diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemuliaan dan keharaman. Di dalamnya terdapat rasa aman, bahkan rasa aman ini juga dimiliki oleh pepohonan dan tumbuh-tumbuhan dengan larangan memotongnya, burung-burung tidak boleh diusir, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala amal kebaikan di dalamnya lebih utama daripada pahala amalan di tempat yang lain.

Shalat di dalamnya sama dengan 100.000 (seratus ribu) shalat di tempat yang lain. Juga karena keagungan dan kehormatan Ka’bah, Mekah menjadi agung dan dihormati. Terlebih karena adanya rasa aman di dalamnya di saat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Ali Imran: 97

“Barang siapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan negeri ini untuk menunjukkan kebesaran martabatnya. Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah al-Balad: 1

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah).”

Di sana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah, andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Diriwayatkan dari Ka’ab radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih negeri-negeri, maka negeri yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah negeri al-Haram.”
Pengukuhan Mekah Sebagai Tanah Haram

Mekah juga disebut dengan tanah haram yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Mekah sebagai tanah haram semenjak Dia menciptakan langit dan bumi.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menaklukkan kota Mekah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan orang-orang, kemudian beliau mengucapkan alhamdulillah dan memuji asma Allah, lalu bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengahalangi tentara bergajah masa ke Mekah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menaklukkan Mekah untuk Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dan sesungguhnya tidak dihalalkan bagi orang sebelumku untuk menyerbu Mekah, hanya dihalalkan satu saat saja khusus untukku pada hari ini, dan sesungguhnya tidak dihalalkan lagi untuk siapapun setelahku. Maka dilarang mengusir hewan buruannya, dilarang memotong tumbuh-tumbuhannya dan barang yang tercecer tidak halal dipungut kecuali bagi orang yang berniat mencari pemiliknya. Dan siapa yang keluarganya mati dibunuh, maka mereka mempunyai dua pilihan; menerima diyat (denda 100 ekor unta0 atau qishash.”

Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Kecuali izkhir (sejenis rumput), wahai Rasulullah?, sesungguhnya kami mengambilnya untuk diletakkan di kubur dan di rumah,” lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali izkhir.” Muttafaq alaih.
Batas Tanah Haram

Orang yang pertama meletakkan batas tanah haram adalah Nabi Ibrahim al-Khalil , Nabi Ibrahim menancapkan tapal di batas tanah haram. Malaikat Jibril yang memperlihatkan kepadanya, kemudian tapal ini tidak diganggu-gugat hingga pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat fathu Mekah (penaklukan kota Mekah), beliau mengutus Tamim bin Asad al-Khuza’i radhiallahu ‘anhu untuk memperbaharui tapal tersebut. Tanda ini juga tidak diganggu-gugat hingga pada masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah. Ia mengutus orang-orang Quraisy untuk memperbaharui tapal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Baitul al-Atiq (Ka’bah) sebagai tanah haram untuk memuliakannya, sehingga terdapat rasa aman yang juga dirasakan oleh burung dan pepohonan, pahala amalan di daerah ini diberikan oleh Allah lebih baik dari daerah lainnya, batas tanah haram tersebut mengitari kota Mekah al-Mukaramah sebagian batasnya lebih dekat ke Ka’bah. Saat ini ditancapkan tapal batas haram di jalan-jalan utama yang menuju ke Mekah, yaitu:

    Arah Barat, jalan Jeddah-Mekah, di asy-Syumaisi (Hudaibiyah), yang berjarak; 22 km dari Ka’bah.
    Arah Selatan, di Idha’ahiben, jalan Yaman-Mekah untuk yang datang dari Tihamah, yang berjarak; 12 km dari Ka’bah.
    Arah timur, di tepi lembah Uranah Barat, yang berjarak; 15 km dari Ka’bah.
    Arah timur laut, jalan Ji’ranah dekat dari kampung Syara’i al-Mujahidin, berjarak: 16 km dari Ka’bah.
    Arah utara, batasnya adalah Tan’im, yang berjarak; 7 km dari Ka’bah.

Kemuliaan Tanah Haram

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Ali Imran: 97

“Dan siapa yang masuk ke dalamnya (Baitullah), maka amanlah ia.”

Yakni tanah haram Mekah. Bila seorang yang merasa ketakutan memasukinya, ia akan merasa aman dari segala keburukan. Hal ini telah ada semenjak zaman jahiliyah, bila seorang laki-laki membunuh seseorang, kemudian ia masuk ke Masjidil Haram lalu anak dari korban pembunuhan tersebut bertemu dengannya, maka anak tersebut tidak akan mengganggunya sama sekali hingga si pembunuh keluar darinya.

Telah terjadi kesepakatan para ulama (ijma) bahwa siapa yang berbuat suatu tindak pidana di tanah haram, maka ia tidak mendapatkan rasa aman tersebut karena ia telah merusak kehormatan tanah haram. Adapun apabila seseorang melakukan tindak pidana di luar kawasan ini kemudian ia mencari suaka ke tanah haram, maka haruslah bagi setiap kaum muslimin memboikot orang tersebut hingga orang itu keluar dari tanah haram, lalu dilaksanakan hukum had terhadap orang tersebut.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Siapa yang melakukan suatu tindak kejahatan, kemudian datang ke Baitullah agar mendapat perlindungan, maka dia aman, dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin memberi hukuman padanya, hingga dia keluar dari tanah haram, dan apabila dia telah keluar, maka dibolehkan menghukumnya.”
Nama-nama Mekah

Negeri yang mulia dan tanah haram yang agung ini memiliki banyak nama, hampir mencapai 50 nama. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi nama kota ini dengan 5 nama: Mekah, Bakkah, al-Balad (berarti: kota), al-Qaryah (berarti: negeri), Ummul Qura (berarti: ibu negeri).

Adapun nama Mekah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah.” (QS. Al-Fath: 24)

Adapun nama Bakkah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

Sesungguhnya rumah pertama yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

Adapun pemberian nama al-Balad, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (QS. al-Balad: 1)

“Aku benar-benar bersumpah dengan Balad (kota) ini.” Yakni: Mekah.

Kata “al-Balad” secara etimologi berarti: bagian tengah dari sebuah negeri.

Adapun penamaan kota ini dengan al-Qaryah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (QS. An-Nahl: 11)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram.”

Kata “Qaryah” berarti suatu tempat yang menghimpun manusia dalam jumlah yang besar. Makna asal kata ini adalah: menghimpun.

"Dan penamaannya dengan Ummul Qura disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala." (QS. Al-An’am: 92):

“Dan agar engkau membari peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura.” Yakni Mekah.

Mekah juga memiliki nama-nama lain seperti: Nassasah, al-Hathimah, al-Haram, Shalah, al-Basah, Ma’az, Ar Ra’as, al-Balad al-Amiin, Kuusa, dan banyak lagi yang lainnya.



Keutamaan Mekah

Hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan Mekah dan kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sangat banyak tak terhitung jumlahnya.

Di antaranya; hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Adi bin al-Hamra radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Mekah (beliau sedang berada di atas ontanya di Hazwarah):

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah, andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Hadis di atas adalah hadis yang paling shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, dan menjadi dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwasanya Mekah adalah negeri yang paling mulia dari seluruh negeri di permukaan bumi.

Cukuplah sebagai bukti menunjukkan tentang keutamaan Mekah, bahwa shalat di Masjidil Haram pahalanya dilipatgandakan berlipat-lipat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Satu shalat di masjidku ini lebih dari 1.000 shalat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram sekali lebih baik dari 100.000 shalat di tempat yang lain.”

Apabila kita hitung keutamaan satu shalat di Masjidil Haram berdasarkan petunjuk hadis ini dilipat-gandakan menjadi 100.000 shalat di tempat lain, berarti satu shalat di Masjidil Haram sama dengan shalat selama 55 tahun 6 bulan 20 hari, dan shalat sehari semalam (shalat lima waktu) sama dengan  277 tahun 9 bulan 10 hari.

Teks hadis yang menjelaskan bahwa pahala shalat dilipatgandakan, berarti amalan yang lain juga dilipatgandakan menjadi 100.000 kebajikan. Al-Muhib at-Thabari rahimahullah berkata: “Hadis-hadis yang menjelaskan perlipatgandaan pahala shalat dan puasa menunjukkan adanya kelipatan pahala pada setiap amalan, diqiyaskan dengan shalat dan puasa.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “puasa sehari di Mekah sama dengan puasa 100.000 hari, sedekah 1 dirham sama dengan 100.000 dirham, dan setiap kebajikan digandakan menjadi 100.000.”

Akan tetapi dua sayarat amalan digandakan pahalanya, yaitu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut sesuai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebaliknya dosa juga dilipatgandakan di sini, maka seharusnya seorang muslim menghindarkan diri dari berbuat maksiat di Mekah.

Mujahid rahimahullah berkata, “Dosa berbuat kejahatan di Mekah dilipatgandakan seperti amalan kebajikan yang dilipatgandakan.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya, apakah ada sebuah dosa yang ditulis lebih dari satu?, Ia menjawab: “Tidak ada kecuali bila ia dilakukan di Mekah, karena agungnya negeri ini.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga mengatakan hal yang sama: “Jikalau seseorang berkeinginan membunuh seorang mukmin di Baitullah dan dia masih berada jauh di Aden (nama kota di Yaman), Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada orang tersebut azab yang pedih di dunia.”

Tinggal di Mekah

Tinggal di Mekah dianjurkan, karena setiap amal kebajikan dan ketaatan di sana digandakan pahalanya. Dan hal ini telah dilakukan oleh para teladan kita, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf yang tidak terhitung jumlah mereka.

Dan dalil yang paling kuat yang menjelaskan keutamaan tinggal di Mekah adalah: keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menetap di Mekah, dan juga keinginan Bilal radhiallahu ‘anhu untuk kembali ke Mekah dalam bait sya’irnya.

Ungkapan yang paling tepat tentang anjuran pindah ke Mekah dan tinggal di sana, perkataan Zamakhsyari dalam tafsirnya al–Kasysyaf: “Sungguh kami telah mencoba dan juga orang-orang sebelum kami, maka kami tidak mendapatkan setelah berputar mengelilingi daerah-daerah (yang membantu untuk mengekang nafsu, menentang syahwat, memusatkan hati, mengonsentrasikan pikiran, mendorong untuk qana’ah, mengusir setan, jauh dari cobaan dan bala, dan melakukan perintah agama dengan seksama) selain tinggal di tanah haram, berdampingan dengan Baitullah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan hal tersebut, dan memberikan kesabaran dan rasa syukur.”
Bentuk Ka’bah al-Musyarafah, Sejarah Pembangunan dan Pemugarannya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) manusia.” (QS. Al-Maidah: 97)

Ka’bah adalah: Baitullah al-Haram yang berada di tengah masjid, dan sebab dinamakan Ka’bah yaitu: seperti yang diriwayatkan oleh Azraqi dan Abu Nujaih, ia berkata: “Dinamakan Ka’bah karena bentuknya segi empat seperti kubus, maka diberi nama bangunan tersebut dengan Ka’bah karena berbentuk bujur sangkar.” Demikian juga menurut Ikrimah dan Mujahid rahimahumallah

Ada yang berpendapat: dinamakan Ka’bah karena ketinggiannya dan berdiri menjulang.

Juga dinamakan: Bait al-Atiq yang berarti: rumah yang terbebaskan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskannya dari tangan kekuasaan para durjana. Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Dinamakan Bait al-Atiq karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan para pemimpin zalim menguasainya.”
Pembangunan Mekah

Ka’bah dibangun lebih dari sekali, yang masyhur (populer) bahwa Ka’bah dibangun lima kali;

Pertama: Dibangun oleh para malaikat.

Kedua: Dibangun oleh Nabi Adam.

Ketiga: Dibangun oleh Nabi Ibrahim.

Keempat: Dibangun oleh bangsa Quraisy pada masa jahiliyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut andil membangunnya saat itu umur beliau 25 tahun.

Kelima: Dibangun oleh Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu.

Ibrahim dan Ismail Membangun Ka’bah

Ketika Nabi Ismail lahir dari rahim ibunya Hajar, rasa cemburu Sarah bertambah, dan dia meminta Nabi Ibrahim al-Khalil membawa jauh Hajar dari hadapannya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Ibrahim agar membawa Hajar keluar dari Palestina menuju Mekah al-Musyafarah. Lalu Nabi Ibrahim membawa istri dan putranya menempuh perjalanan jauh, hingga sampai di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan Mekah, lalu menempatkan mereka di sana.

Setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan putranya di Mekah, dia pernah berkunjung untuk mengetahui keadaan mereka, dalam salah satu kunjungannya Nabi Ibrahim menemui putranya Ismail sedang mengasah anak panahnya di bawah sebuah pohon yang rindang di dekat zam-zam.

Tatkala Ismail melihat ayahnya, dia langsung berdiri menyambutnya, lalu mereka berpelukan layaknya seorang putra kepada ayahnya dan ayah kepada putranya, kemudian Nabi Ibrahim berkata: “Wahai Ismail sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku perintah.”

–          Ismail berkata: “Lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu.”

–          Ibrahim berkata: “Maukah engkau membantuku?”

–          Ismail berkata: “Aku akan membantumu.”

–          Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkanku untuk membuat rumah ibadah di sini” (sambil mennjuk ke sebuah anak bukit sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah sekitarnya).

Kemudian keduanya mulai membangun pondasinya, Nabi Ismail mencari dan mengangkat batu, sedangkan Nabi Ibrahim yang memasangnya.

Hingga dinding bangunan mulai tinggi, Nabi Ibrahim mengambil batu (yang sekarang dikenal dengan maqam Ibrahim), lalu meletakkannya dan berdiri di atas batu tersebut untuk memasang batu di bagian atas, dan Nabi Ismail memberikan batu dari bawah.

Kemudian mereka berkata:

“Ya Tuhan kami, terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Lalu mereka thawaf (berputar) mengelilingi bangunan tersebut.

Quraisy Membangun Ka’bah

Beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul, batu-batu dinding Ka’bah bagian atas sudah mulai pecah dan berserakan. Tingginya yang tidak terlalu jauh dari ukuran orang berdiri, membuat orang dapat dengan mudah memanjatnya lalu mencuri barang berharga yang terdapat di dalamnya.

Quraisy berkeinginan untuk meninggikan dinding Ka’bah dan memberinya atap. Pada saat yang sama di Jeddah, ada kapal milik pedagang Roma yang dihempaskan ombak ke pantai lalu pecah. Kaum Quraisy mengambil kayunya untuk dipersiapkan menjadi atap Ka’bah.

Tetapi orang-orang yang merasa takut untuk mulai menghancurkan Ka’bah, hingga al-Walid bin al-Mughirah memberanikan diri untuk memulai menghancurkannya. Ketika orang-orang melihat al-Walid tidak mengalami apa-apa, mereka baru berani menghancurkannya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Meletakkan Hajar Aswad

Kemudian kabilah-kabilah Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu di tumpukan sendiri, lalu mereka membangun Ka’bah hingga tahap pembangunan sampai pada bagian sudut (tempat Hajar Asward). Setiap kabilah berkeinginan untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut ke sudut itu. Sampai masing-masing kabilah membuat barisan tersendiri, karena mereka berselisih dan bersiap siaga untuk berperang.

Bangsa Quraisy menghentikan pembangunan sampai selesai perselisihan ini selama 4 atau 5 hari. Kemudian mereka berkumpul di masjid untuk bermusyawarah dan saling bertukar pendapat.

Sebagian ahli riwayat menduga bahwa Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum (pada tahun itu adalah orang Quraisy yang paling dituakan) berkata: “Wahai bangsa Quraisy, serahkanlah urusan yang kalian perselisihkan (memindahkan Hajar Aswad ke sudut Ka’bah) kepada orang yang pertama masuk masjid ini, biarlah ia yang memutuskan perselisihan ini.” Lalu mereka menyetujuinya.

Ternyata orang yang pertama kali masuk pintu masjid itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala mereka melihatnya, mereka berkata, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kami ridha dengan Muhammad.”

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di hadapan, mereka memberitahukan kepada beliau tentang duduk persoalannya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah aku sehelai kain.” Lalu beliau membawa kain tersebut dan meletakkan Hajar Aswad di atas kain dengan tangannya kemudian bersabda: “Hendaklah setiap kabilah memegang setiap sudut kain ini.”

Lalu mereka serentak mengangkatnya dan membawanya hingga sampai di dekat sudut Ka’bah, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya pada tempatnya, kemudian pembangunan diteruskan.

Referensi: Sejarah Kota Mekah oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury


Ibnu az-Zubair Membangun Ka’bah

Ketika Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu enggan berbai’at kepada Yazid bin Muawiyah radhiallahu ‘anhu, dan dia tidak ikut membai’atnya. Ia merasa khawatir terhadap gangguan mereka, maka ia berangkat ke Mekah agar mendapat perlindungan di tanah haram. Ia menghimpun para pendukungnya dan ia mulai mengungkap keburukan Yazid dan menjelek-jelekkan bani Umayyah. Berita ini sampai ke Yazid, maka ia memutuskan untuk mengirim pasukan agar menangkap Abdullah radhiallahu ‘anhu dan membawa ke hadapannya dalam keadaan tangan terikat.

Di saat Yazid mempersiapkan tentaranya, datang berita bahwa penduduk Madinah melakukan tindakan terhadap gubernur Yazid di sana. Bahkan penduduk Madinah juga melakukan hal tersebut terhadap bani Umayyah sampai mengusir mereka dari Madinah, kecuali anak-anak Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Lalu Yazid mengutus pasukannya untuk memerangi penduduk Madinah. Setelah pasukan Yazid memenangkan peperangan dan memasuki kota Madinah, pasukannnya meneruskan penyerbuan ke Mekah di bawah pimpinan al-Hushain bin Namir. Pasukan ini dihadang dan berperang melawan Ibnu Zubair dan para pendukungnya selama beberapa hari. Mereka mengambil pertahanan di Masjidil Haram dan sekitar Ka’bah, dan dikarenakan banyaknya tenda di sekitar Ka’bah, maka salah satu tenda terbakar.

Pada saat itu, angin berhembus kencang, sedangkan Ka’bah masih dalam kondisi yang dibangun oleh Quraisy; tiangnya terbuat dari kayu dan dindingnya dari batu serta dilapisi kiswah (kain penutup Ka’bah). Angin memainkan lidah api sehingga menyebabkan terbakarnya kiswah Ka’bah dan terbakarnya kayu yang berada di sela-sela dinding tersebut.

Peristiwa kebakaran ini terjadi pada hari Sabtu tanggal 3 Rabiul Awal 64 H, yang menyebabkan dinding Ka’bah menjadi rapuh dari atas hingga ke bawah. Apabila seekor merpati hinggap di dinding bagian atas lalu terbang, maka batu-batu dinding berserakan, hal ini membuat semua penduduk Mekah dan pasukan kiriman dari Syam menjadi takut.

Al-Hushain bin Namir masih tetap mengepung Ibnu Zubair, maka Ibnu Zubair mengutus beberapa orang laki-laki dari penduduk Mekah dari bangsa Quraisy dan lain-lain. Mereka berkata kepada Hushain, “Sesungguhnya Yazid yang Ibnu Zubair menolak untuk membai’atnya telah wafat (Yazid wafat 27 hari setelah Ka’bah terbakar), maka untuk apa kalian berperang? Kembalilah kalian ke Syam dan tunggu siapa yang disepakati menjadi pemimpin kalian, apakah orang-orang setuju mengangkat Muawiyah bin Yazid?”

Para utusan ini selalu menekankan hal tersebut kepada tentara Hushain, hingga akhirnya mereka kembali ke Syam. Tatkala pasukan di bawah pimpinan Hushain bin Namir meninggalkan Mekah pada hari ke-5 Rabiul Akhir 64 H, Ibnu Zubair mengundang orang-orang terpandang dan para tokoh Mekah, ia mengajak mereka bermusyawarah untuk memugar Ka’bah.

Sebagian kecil mengusulkan agar Ka’bah dihancurkan dan sebagian besar menolak. Orang yang paling kuat menentang pemugaran Ka’bah yaitu Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata kepada Ibnu Zubair: “Biarkanlah ia seperti yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena aku khawatir akan datang orang setelahmu memugarnya lagi, sehingga Ka’bah senantiasa dihancurkan dan dibangun, hal ini dapat menyebabkan manusia merendahkan kehormatannya, akan tetapi tinggikanlah saja dindingnya.”

Lalu Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah tidak ada seorang pun dari kalian yang rela rumah bapak dan ibunya ditambal, maka bagaimana mungkin aku menambal rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan aku melihat bagian atasnya runtuh sehingga bila seekor merpati hinggap di atasnya, dapat menceraiberaikan batu dinding.”

Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu terus bermusyawarah dengan para pemuka tersebut selama beberapa hari, hingga akhirnya semua sepakat untuk memugar Ka’bah, Ibnu Zubair sangat ingin mengembalikan Ka’bah seperti keadaan yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu seperti yang dibangun oleh Ismail alaihi salam.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidakkah engkau melihat kaummu ketika membangun Ka’bah mereka mengurangi luasnya dari bangunan yang dibuat oleh Ibrahim?” Aisyah berkata, “Tidakkah Engkau mengembalikan Ka’bah seperti yang dibangun oleh Ibrahim?” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kalau bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran niscaya akan aku lakukan.”

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh dua sudut yang sejajar Hajar Aswad, melainkan karena Ka’bah tidak dibangun seperti bangunan Nabi Ibrahim.”

Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata, “Kenapa pintu Ka’bah berada di atas permukaan tanah?” beliau bersabda:

“Kaummu melakukan hal tersebut agar mereka membolehkan orang yang mereka kehendaki untuk memasukinya dan melarang orang yang mereka kehendaki.”

Dalam hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran, niscaya aku telah menghancurkan Ka’bah dan membuatnya menjadi dua pintu; satu pintu tempat masuk manusia dan satu lagi pintu lagi tempat mereka keluar.”

Lalu Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu melakukan hal tersebut, ia menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai dengan bentuk yang dibangun oleh Nabi Ibrahim, yang dahulu Quraisy mengurangi bangunan tersebut, dan ia memasukkan Hijir Ismail (batu setengah lingkaran yang berada di halaman Ka’bah) ke dalam bangunan Ka’bah lalu membuat dua pintu di Ka’bah; satu arah timur dan satu arah barat.

Tatkala Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu selesai membangun Ka’bah, beliau menghaluskan bagian dalam dan luar serta bagian atas hingga bawah. Memberinya penutup dari kain kopti, lalu ia berkata: “Siapa yang mendukungku, hendaklah ia keluar! Lalu laksanakan umrah dari Tan’im. Dan siapa yang mampu menyembelih onta lakukanlah, dan siapa yang tidak mampu menyembelih onta, sembelihlah kambing.”

Ia dan para pengikutnya menuju Tan’im dengan berjalan kaki untuk melakukan umrah, sebagai rasa syukur Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada hari itu, banyak orang yang memerdekakan budaknya, hingga tiada hari yang lebih banyak budak dimerdekakan, onta dan domba disembelih serta shadaqah diberikan selain dari hari itu.

Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu menyembelih 100 ekor onta, kemudian ia melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah dan menyentuh keempat sudutnya seraya berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh dua sudut ini (sudut Asy Syami dan sudut bagian Barat) dikarenakan bangunan Ka’bah tidak sempurna.

Ka’bah tetap pada bangunan Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu. Manusia melakukan thawaf dengan menyentuh keempat sudutnya. Mereka masuk dari pintu timur dan keluar dari pintu barat. Pintu Ka’bah rata dengan tanah hingga akhirnya Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu terbunuh.

Hajjaj bin Yusuf datang ke Mekah, kemudian ia menulis surat kepada khalifah saat itu; Abdul Malik bin Marwan  menulis balasan dan memerintahkan untuk menutup pintu Ka’bah bagian Barat yang dibuka oleh Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu dan menghancurkan bangunan tambahan di Hijr Islam maka Hajjaj menghancurkan dinding ke arah Hijr Ismail sepanjang 6 hasta 1 jengkal, dan memberinya kiswah seperti kiswah pada awalnya dan bagian Ka’bah lainnya dibiarkan.

Kemudian Khalifah mengetahui hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhu, maka ia menyesali perbuatannya. Tetapi ia tetap membiarkan Ka’bah seperti itu, dan tidak menambahnya lagi. Kisah ini disebutkan dalam kitab shahih Muslim.

Pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik, ia mengirim uang 36.000 dinar kepada gubernurnya di Mekah, yaitu Khalid al-Qasari. Lalu uang emas tersebut dicetak untuk dibuat sebagai lapisan pintu Ka’bah, Mizab (pancuran Ka’bah), tiang yang berada di tengah Ka’bah dan 4 sudut Ka’bah bagian dalam. Maka orang yang pertama kali melapisi Ka’bah dengan emas dalam sejarah Islam adalah al-Walid.

Referensi: Sejarah Kota Mekah oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury

Sumber: Sumber Ketiga

Peristiwa Pasukan Bergajah

“Apakah kami tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?” Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat.” (QS. Al-Fiil: 1-5)

Pada masa Abdul Muthalib, terjadi peristiwa besar yang diabadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Alquran, yaitu: peristiwa pasukan bergajah. Tersebutlah dalam sejarah seorang panglima yang bernama Abrahah yang berkebangsaan Habasyah yang memerintah negeri Yaman, ia membangun sebuah gereja, diberi nama al-Qulais. Ia ingin agar bangsa Arab berpaling dari Ka’bah ke gerejanya untuk melaksanakan haji, tentu saja bangsa Arab menjadi marah karena hal tersebut.

Seorang laki-laki dari Suku Kinanah buang hajat di dalam gereja tersebut. Tatkala Abrahah mengetahui hal itu, ia marah dan bersumpah akan memimpin seluruh tentaranya berangkat menuju Ka’bah dan menghancurkannya. Kemudian ia memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap, maka berangkatlah pasukan ini dan Abrahah menunggang gajah.

Tatkala Abrahah singgah di al-Mughamas, ia mengutus seorang laki-laki dari Habasyah yang bernama al-Aswad bin Maqshud, ia berangkat menunggangi kuda hingga sampai ke Mekah. Lalu ia menggiring harta penduduk Tihamah dari bangsa Quraisy dan lain-lain. Di antara harta yang dirampasnya; ada 200 ekor onta milik Abdul Muthalib bin Hasyim yang pada saat itu adalah seorang pembesar dan pemimpin Quraisy.

Maka bangsa Quraisy, Kinanah, Huzail, dan seluruh penduduk yang berada di tanah haram berkeinginan untuk memerangi tentara Abrahah. Kemudian mereka sadar bahwa mereka tidak punya kekuatan untuk melawan Abrahah, kemudian mereka mengurungkan niat untuk melawan.

Lalu Abrahah mengutus Hunathah al-Himyari ke Mekah seraya ia berkata kepadanya: “Carilah pemimpin penduduk negeri ini dan pemukanya, kemudian katakan kepadanya: Sesungguhnya sang Raja berpesan kepadamu, “Sesungguhnya kami datang bukanlah untuk memerangi kalian, hanya saja kami datang untuk menghancurkan tempat ibadah ini, maka jika kalian tidak menghalangi niat kami, kami tidak perlu menumpahkan darah kalian. Jika pemimpin tersebut tidak berniat menghalangi niatku hendaklah ia mendatangiku.”

Tatkala Hunathah memasuki Mekah, ia bertanya tentang pemuka bangsa Quraisy dan tokohnya, maka dikatakan kepadanya, ia adalah Abdul Muthalib bin Hasyim. Lalu Hunathah datang kepada Abdul Muthalib dan menyampaikan pesan Abrahah kepadanya. Abdul Muthalib berkata: “Demi Allah, kami tidak akan memeranginya karena kami tidak mempunyai kekuatan untuk memeranginya, ini adalah rumah Allah yang mulia dan rumah khalil-Nya Ibrahim, jika Dia menghalanginya, maka ini adalah rumah dan tanah haram-Nya. Dan jika Dia membiarkan Abrahah menghancurkan Ka’bah, maka demi Allah kami tidak mempunyai kekuatan untuk menahannya.”

Lalu Hunathah berkata, “Berangkatlah bersamaku menuju pemimpin kami, karena sesungguhnya ia memerintahkanku untuk membawamu kepadanya.” Abdul Muthalib adalah orang yang paling tampan rupanya, elok parasnya, dan paling berwibawa. Tatkala Abrahah melihatnya, ia menghargai, mengagungkan dan memuliakannya untuk tidak duduk di bawah. Dan Abrahah juga tidak suka bila orang-orang Habasyah melihat Abdul Muthalib duduk di atas singgasana kerajaannya. Maka Abrahah turun dari singgasananya dan duduk di permadani serta memerintahkan Abdul Muthalib duduk di sampingnya.

Kemudian Abrahah berkata kepada juru bicaranya, “Katakan kepadanya, apa yang ia perlukan?” Lalu juru bicara memberitahukan kepada Abrahah, perkataan Abdul Muthalib, “Keperluanku hanya agar raja mengembalikan kepadaku 200 ekor onta yang dirampas dariku.” Tatkala juru bicaranya selesai berkata, Abrahah berkata kepadanya, “Katakan kepadanya, ‘Awalnya di saat aku melihatmu aku kagum kepadamu, selanjutnya aku jadi merendahkanmu ketika engkau menyampaikan keperluanmu, kenapa engkau berbicara kepada ku tentang 200 ekor onta yang kurampas darimu? Dan engkau membiarkan rumah tempat ibadahmu, milik agamamu dan agama nenek moyangmu yang akan kuhancurkan, mengapa engkau tidak menyampaikan tentang hal ini?’.”

Abdul Muthalib menjawab, “Bahwasanya aku adalah pemilik onta-onta tersebut, sedangkan tempat ibadah itu ada pemilik (Tuhan) yang akan melindunginya.”

Kemudian Abrahah berkata, “Dia tidak akan menghalangiku.” Abdul Muthalib menjawab, “Hal itu terserah padamu.” Lalu Abrahah mengembalikan onta-ontanya dan ia dipersilahkan kembali ke Quraisy.

Abrahah memerintahkan penduduk Quraisy untuk keluar dari Mekah dan mencari tempat perlindungan di atas perbukitan dan lembahnya, khawatir mereka terkena imbas kekuatan pasukannya.

Abdul Muthalib berdiri dan memegang pintu Ka’bah dan dibantu oleh beberapa orang Quraisy. Mereka berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menurunkan pertolongan-Nya untuk menghalangi Abrahah dan pasukannya. Abdul Muthalib sambil memegang pintu Ka’bah seraya berdia: “Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba hanya mampu melindungi kendaraannya, maka lindungilah rumahmu. Jangan engkau biarkan pasukan salib dan agama mereka mengalahkan kekuatanmua esok hari.”

Di pagi harinya, Abrahah bersiap-siap memasuki Mekah, ia menyiapkan gajah-gajahnya dan mengomandani tentaranya. Gajahnya bernama Mahmud dan Abrahah telah bertekad untuk menghancurkan Ka’bah, setelah itu ia kembali lagi ke Yaman.

Tatkala mereka mengarahkan gajahnya ke Mekah, gajah mereka menderum, lalu mereka memukul gajah-gajah mereka, tetapi gajah tetap tidak mau berdiri. Lalu mereka mencoba mengarahkan gajah-gajahnya ke arah Yaman, gajah berdiri dan berlari. Lalu mereka arahkan ke Syam, gajah pun melakukan hal yang sama, mereka arahkan ke arah timur, gajah pun melakukan hal yang sama.

Kemudian mereka arahkan lagi ke Mekah, gajah malah menderum, maka seketika itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim kepada mereka burung laut. Setiap ekor burung membawa 3 buah batu: 1 di paruhnya dan 2 di kakinya sebesar kacang Arab atau kacang Adas. Tidak seorang pun yang terkena batu tersebut melainkan tubuhnya hancur. Lalu mereka keluar meninggalkan Mekah, sedangkan daging mereka tercecer di sepanjang jalan dan mereka binasa.

Abrahah terkena sebuah batu di tubuhnya, lalu mereka membawanya ke Yaman sedangkan jari jemarinya mulai terputus satu per satu, hingga mereka membawanya ke Shan’a dan tubuhnya yang tersisa tinggal sebesar seekor anak burung, dan ia mati di sana.

Sungguh peristiwa pasukan bergajah ini membawa dampak yang sangat besar terhadap Quraisy dan kedudukannya di antara kabilah-kabilah Arab. Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mematahkan serangan pasukan Habasyah, hingga mereka mendapatkan siksa, maka bangsa Arab pun sangat memuliakan bangsa Quraisy. Mereka berkata, “Quraisy adalah ahli Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerangi musuh mereka, sehingga mereka tidak perlu melawannya.”

Seperti juga peristiwa ini mengangkat kedudukan Abdul Muthalib dan mengharumkan namanya serta meninggikan martabatnya di seluruh kalangan. Karena ia telah melakukan suatu hal dengan penuh kecerdasan dan strategi yang elok dan menyelamatkan kaumnya dari bencana yang besar.
Runtuhnya Ka’bah di Akhir Zaman

Banyak riwayat yang menguatkan tentang akan runtuhnya Ka’bah di akhir zaman. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ka’bah akan diruntuhkan oleh seorang yang berkaki bengkok berkebangsaan Habasyah.”

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Perbanyaklah melakukan thawaf di Baitullah semampu kalian sebelum kalian dihalangi untuk melakukannya, seolah-olah aku melihatnya sedang melakukan hal tersebut. Tanda-tandanya: berkepala dan bertelinga kecil, dia menghancurkan Ka’bah dengan beliungnya.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tandanya orang tersebut berkulit hitam, kakinya bengkok (seperti letter O), dia meruntuhkan batu dinding Ka’bah satu per satu.”

Diriwayatkan dari Sa’id bin Sam’an radhiallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bercerita kepada Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seorang laki-laki (Imam Mahdi) akan dibai’at di antara sudut (tempat Hajar Aswad) dan Maqam Ibrahim, dan Ka’bah tidak akan dirusak kehormatannya melainkan oleh orang Arab sendiri, dan bila mereka telah merusak kehormatan Ka’bah, maka itulah saatnya kehancuran bangsa Arab, kemudian datang orang-orang Habasyah meruntuhkan Ka’bah yang setelah itu tak pernah dibangun kembali selama-lamanya, dan merekalah yang menggali harta yang terpendam di dalamnya.”

Hadis di atas tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebuah pasukan hendak menyerang Ka’bah, hingga ketika mereka berada di sebuah padang pasir, semua pasukan ditenggelamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala ke dalam bumi.”

Ibnu Hajar dalam bukunya “Fath al-Bari” dalam bab: runtuhnya Ka’bah, berkata: “Hadis-hadis di atas menjelaskan akan terjadinya penyerangan terhadap Ka’bah. Penyerang pertama dimusnahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum mereka sampai ke Ka’bah, dan penyerangan kedua dibiarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sepertinya penyerang yang dimusnahkan terjadi lebih awal.”

Dan jangan sampai timbul pertanyaan: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menggagalkan penyerangan tentara bergajah terhadap Ka’bah padahal saat itu Ka’bah belum menjadi kiblatnya umat Islam, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala membiarkan bangsa Habasyah menghancurkannya setelah Ka’bah menjadi kiblatnya umat Islam?

Pertanyaan ini tak akan muncul, andai dijelaskan bahwa peristiwa runtuhnya Ka’bah akan terjadi nanti di akhir zaman menjelang kiamat terjadi. Di waktu itu tidak ada seorang pun di permukaan bumi yang mengucapkan, “Allah! Allah”, seperti yang disebutkan dalam shahih Muslim:

“Kiamat tidak akan terjadi hingga tidak ada lagi orang yang mengucapkan, “Allah! Allah.”

Referensi: Sejarah Kota Mekah oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury

Tags