Type Here to Get Search Results !

 


ORANG YANG MENOLAK SEBAGIAN DARI AL-ASMA WA SHIFAT

 

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Orang Yang Menolak Sebagian Dari Al-Asma’ wa Shifat

مَنْ جَحَدَ شَيْئًا مِنَ الأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ

Syarah

Pembahasan pada bab ini berkaitan tentang tauhid Asma’ wa Shifat, bahwasanya ada sebagian orang yang mengingkari atau menyimpang dalam tauhid Asma’ wa Shifat dengan mengingkari sebagian nama-nama atau sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala. Pengingkaran dan penyimpangan dalam hal ini dimulai dari Kebid’ahan yang dilakukan oleh Ja’ad bin Dirham, kemudian Jahm bin Shafwan, kemudian diikuti oleh orang-orang Mu’tazilah, kemudian diikuti oleh Kullabiyyah, kemudian diikuti oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Sejarah Bid’ah dalam sejarah Islam

Sebelum kita jauh membahas tentang menolak nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita akan membahas terlebih dahulu sejarah bid’ah dalam sejarah Islam.

A. Bid’ah Khawarij

Bid’ah muncul dimulai setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu (wafat 35H). ‘Utsman radhiallahu ‘anhu dibunuh oleh banyak orang yang mengepung rumahnya, dan beliau terbunuh ketika sedang membaca Al-Quran sehingga darah bercucuran memenuhi mushaf yang sedang beliau baca, dan kejadian itu terjadi pada tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35, tepatnya pada hari jum’at. ([1]) Di antara pengikut ‘Utsman bin ‘Affan adalah Mu’awiyah radiallahu ‘anhu yang berada di negeri Syam. Ketika ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu meninggal dunia, maka kekhalifahan berpindah kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ketika Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah, rupanya Mu’awiyah yang ada di negeri Syam tidak mau membaiat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Alasannya bukan karena Mu’awiyah tidak mau mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, tetapi Mu’awiyah dan pengikutnya menuntut agar para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan untuk juga ditumpahkan darahnya. ([2]) Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isra’ : 33)

Oleh karena itu, Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu menuntut para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan kepada Ali bin Abi Thalib. Jika Ali bin Abi Thalib bisa menyerahkan para pembunuh tersebut, maka barulah Mu’awiyah akan membaiat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Akan tetapi ternyata Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan ide Mu’awiyah. Ali bin Abi Thalib lebih menginginkan agar Mu’awiyah berbaiat terlebih dahulu agar keamanan terjamin dan stabilitas kembali normal, lalu kemudian barulah mereka bersama-sama menangkap para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu. Akhirnya Ali bin Abi Thalib berijtihad untuk menunda penangkapan para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan karena kondisi negara yang sedang kacau tatkala itu dan para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan jumlahnya berasal dari berbagai macam kabilah. Seandainya Ali bin Abi Thalib mulai menangkap mereka pada kondisi seperti itu, maka akan terjadi kekacauan yang luar biasa.

Akhirnya, karena tidak ada kesepakatan di antara kedua belah pihak, terjadilah yang namanya pertemuan Al-Hakamain (dua wakil), yaitu bertemunya juru bicara Mu’awiyah yang diwakili oleh Amr bin Al-‘Ash dengan juru bicara Ali bin Abi Thalib yang diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari radiallahu ‘anhum untuk mendamaikan perselisihan di antara kedua belah pihak. Pada pertemuan Al-Hakamain tersebut, telah didapatkan kesepakatan untuk damai. Akan tetapi kemudian muncul sekelompok orang dari pihak Ali bin Abi Thalib yang protes dengan mengatakan bahwasanya tidak ada hukum kecuali hukum Allah dan barangsiapa yang menjadikan manusia sebagai pembuat hukum maka telah kafir. Maka muncullah orang-orang yang tidak ridha dengan keputusan Al-Hakamain, dan mereka disebut dengan kelompok Khawarij. ([3])

Munculnya Khawarij itu adalah bid’ah yang yang pertama kali muncul dalam sejarah Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ

“Akan keluar suatu firqah (golongan) dari berbagai kelompok kaum muslimin, dan yang akan membunuhnya adalah salah satu dari dua kelompok yang paling dekat dengan kebenaran.”([4])

Para ulama menyebutkan bahwa kelompok yang lebih utama untuk benar antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah adalah kelompoknya Ali bin Abi Thalib, sehingga kelompok Ali bin Abi Thalib-lah yang membunuh orang-orang Khawarij tersebut.

Selanjutnya, Ali bin Abi Thalib meninggal dunia karena dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, ([5]) kemudian kekuasaan diambil alih oleh putranya yaitu Hasan bin Ali, yang tatkala itu Mu’awiyah belum juga ikut bergabung. Setelah Hasan bin Ali memegang kepemimpinan, ia memandang untuk berdamai dengan Mu’awiyah karena khawatir akan terjadi keributan antara kaum muslim dan pertumpahan darah yang lebih besar. Maka berdamailah Hasan bin Ali dengan Mu’awiyah, kemudian Hasan bin Ali melepaskan kekhalifahan dan diserahkan kepada Mu’awiyah yang kemudian disebut dengan Amul Jama’ah. Pada waktu itulah terjadi tahun persatuan antara seluruh kaum muslimin, termasuk Mu’awiyah yang akhirnya Mu’awiyah menjadi pemimpin. ([6])

B. Bid’ah Syi’ah

Setelah muncul Khawarij, munculnya firqah oposisi lain yang namanya Syi’ah. Para ulama menyebutkan bahwa Syi’ah terbagi menjadi tiga model: ([7])

    الْمُفَضِّلَةُ
  • Al-Mufadhdhilah: adalah kelompok orang-orang yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu lebih utama daripada Abu Bakar dan ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma. Jenis kelompok ini adalah jenis Syi’ah yang paling ringan, akan tetapi sebagian salaf ada yang terpengaruh dengan pemahaman seperti ini. ([8])

    السَّابَّةُ
  • As-Saabbah: artinya adalah tukang cela, yaitu kelompok Syi’ah yang suka mencaci-maki sahabat Abu Bakar dan ‘Umar bin Khattab, terlebih lagi dengan Mu’awiyah yang sempat berseteru dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum.

    الْمُؤَلِّهَةُ
  • Al-Muallihah: artinya adalah orang-orang yang menuhankan. Artinya, ada sebagian dari kelompok Syi’ah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa ketika Ali bin Abi Thalib mengetahui hal tersebut, Ali bin Abi Thalib kemudian memanggil mereka dan minta mereka untuk bertaubat. Akan tetapi dalam sebuah riwayat dengan sanad yang shahih disebutkan bahwa mereka tidak mau bertaubat, sehingga akhirnya Ali bin Abi Thalib menggali parit untuk membakar mereka. Pada sebuah riwayat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata,

إِنِّي إِذَا رَأَيْتُ أَمْرًا مُنْكَرًا أَوْقَدْتُ نَارِي وَدَعَوْتُ قَنْبَرَا

“Sesungguhnya aku jika melihat suatu perkara yang mungkar, aku menyalakan api dan memanggil Qanbar (pengawal).”([9])

Akan tetapi, ketika mereka dibunuh maka mereka semakin yakin bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, mereka berkata dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ

“Tidak ada yang menyiksa dengan api kecuali Tuhannya api.”

Akhirnya, semakin menjadi-jadilah mereka menyembah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sementara perbuatan Ali bin Abi Thalib pun dikritik oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Akan tetapi, tentu alasan Ali bin Abi Thalib membunuh mereka adalah karena mereka telah murtad, dan dalam hukum Islam orang yang murtad hukumnya adalah dibunuh, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barangsiapa yang mengubah agamanya, maka bunuhlah dia.”([10])

Intinya, Syi’ah kemudian berkembang dengan sangat pesat dan menyebar di berbagai penjuru negeri. Akan tetapi perlu untuk diketahui bahwa tidak satu pun dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang masuk dalam barisan Khawarij maupun Syi’ah. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata bahwa benar para sahabat berselisih dalam masalah fikih, akan tetapi tidak satu pun para sahabat yang berselisih dalam masalah akidah. Sehingga tatkala firqah-firqah seperti Khawarij dan Syi’ah itu muncul, tidak satu pun para sahabat yang bergabung dalam barisan mereka, meskipun jumlah para sahabat tatkala itu sampai ribuan orang.

C. Bid’ah Qadariyah

Pada akhir zaman para sahabat muncul bid’ah yang baru yaitu Qadariyah melalui tangan Ma’bad Al-Juhani. Bid’ah Qadariyah ini terjadi di zaman Ibnu ‘Umar, sebagaimana kita bisa lihat dari hadits pertama dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa ada orang yang mengadu kepada Ibnu ‘Umar dengan berkata,

أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya tampak di hadapan kami suatu kaum, mereka membaca Al-Quran dan mencari ilmu, lalu mengeklaim bahwa tidak ada takdir, dan perkaranya terjadi begitu saja (tidak didahului oleh takdir dan ilmu Allah).” Maka Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Apabila kamu bertemu orang-orang tersebut, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan bahwa mereka berlepas diri dariku. Dan demi Dzat yang mana hamba Allah bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya salah seorang dari mereka menafkahkan emas seperti gunung Uhud, niscaya sedekahnya tidak akan diterima hingga dia beriman kepada takdir’.”([11])

Ma’bad Al-Juhani dengan segala pengikutnya mengatakan bahwasanya tidak ada perkara yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, semua perkara terjadi begitu saja dan Allah tidak pernah mencatat takdir sebelumnya. Maka jadilah mereka mengingkari ilmu Allah yang ‘Azali tentang masa depan dan akhirnya mereka dikafirkan oleh Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Mereka dikafirkan karena mereka telah mengingkari rukun iman yang keenam, yaitu iman kepada takdir. Kelompok Qadariyah ini muncul di akhir zaman sahabat. ([12]) Adapun Ibnu ‘Umar termasuk sahabat junior yang masih bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

D. Bid’ah Mu’tazilah

Pada zaman Hasan Al-Bashri (wafat 110 H), muncul lagi bid’ah yang baru. Hasan Al-Bashri disebutkan mempunyai murid yang banyak. Suatu ketika, Hasan Al-Bashri dalam majelisnya berbicara tentang sebuah masalah hukum, dimana masalah tersebut berkaitan tentang pelaku dosa besar. Pada kesempatan itu, Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa dalam hukum Islam, pelaku dosa besar dihukumi fasik, pelakunya masih seorang mukmin namun dengan kondisi iman yang berkurang. Akan tetapi ternyata ada salah seorang dari muridnya yang tidak terima dengan apa yang disampaikan oleh Hasan Al-Bashri, nama muridnya tersebut adalah Washil bin Atha’. Kemudian Washil bin Atha’ mendebat gurunya Hasan Al-Bashri, dia berkata bahwa menurutnya pelaku dosa besar itu tidak boleh disifati sebagai seorang mukmin namun  juga tidak boleh disifati sebagai kafir, melainkan pelaku dosa besar itu di antara keduanya (antara seorang mukmin dan kafir). Sebab pendapatnya itu, Washil bin Atha’ kemudian diusir oleh gurunya Hasan Al-Bashri. ([13]) Lalu kemudian Washil bin Atha’ keluar dan membuat halaqahnya sendiri yang dikenal dengan Mu’tazilah, yang aritnya memisahkan diri. Setelah itu, Washil bin Atha’ kemudian diikuti oleh ‘Amr bin Ubaid. ‘Amr bin ‘Ubaid ini adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan dia adalah seorang terkenal sangat zuhud, sehingga pikiran Mu’tazilah yang diwariskan oleh Washil bin Atha’ kepadanya diterima banyak orang karena teperdaya dengan sikap zuhudnya. Akhirnya, pemikiran Mu’tazilah pun menjadi laris karena tokoh yang membawanya adalah tokoh yang zuhud.

Bid’ah Mu’tazilah ketika awal kemunculanya tidaklah memunculkan penyimpangan dalam perihal Al-Asma’ wa Shifat, akan tetapi mereka menyimpang dalam Al-Asma’ wa Al-Ahkam, yaitu tentang hukum pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat.

E. Bid’ah Jahmiyah

Awal penyimpangan dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat baru muncul diakhir Khilafah Bani Umayyah. Di akhir kekhalifahan Bani Umayyah, muncul seorang yang namanya Ja’ad bin Dirham yang merupakan guru dari Jahm bin Shafwan. Dari Jahm bin Shafwan inilah yang membawa akidah Jahmiyah.

Kita akan bahas sedikit tentang sejarah Daulah Umayyah. Daulah Umayyah artinya adalah dinasti Umayyah. ([14]) Umayyah sendiri bernama asli Umayyah bin ‘Abdu Asy-Syams bin ‘Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab, dia adalah seorang Quraisy. Namun kita tahu bahwa Abdu Manaf adalah kakeknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Umayyah bin ‘Abdu Asy-Syams jika ditinjau dari kekhalifahannya, maka akan kembali kepada dua orang putranya yang bernama Harb dan Abu Al-‘Ash. Keturunan dari jalur Harb di antaranya: Abu Sufyan, lalu kemudian Mu’awiyah, lalu kemudian Yazid, lalu kemudian setelah itu Mu’awiyah bin Yazid. Adapun jalur keturunan dari Abu Al-‘Ash adalah Al-Hakam, lalu kemudian Marwan bin Hakam.

Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, maka yang kemudian menjadi khalifah selanjutnya adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Adapun setelahnya adalah Yazid, lalu Mu’awiyah bin Yazid yang memimpin kurang dari satu tahun. Ketika Mu’awiyah bin Yazid meninggal dunia, maka waktu itu tidak ada penunjukan khalifah selanjutnya. Akhirnya, orang-orang mengangkat seorang khalifah baru dari Bani Umayyah yang bernama Marwan bin Hakam bin Abu Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdu Asy-Syams bin Abdu Manaf.

Marwan bin Hakam bin Abu Al-‘Ash memiliki tiga orang keturunan yang menjadi khalifah, di antaranya adalah Abdul ‘Aziz,  Abdul Malik, dan Muhammad bin Marwan. Abdul ‘Aziz kemudian memiliki anak bernama ‘Umar bin Abdul ‘Aziz. Adapun dari Abdul Malik, anak-anaknya ada empat yaitu Al-Walid, Sulaiman, Yazid bin Abdul Malik, dan Hisyam. Adapun Muhammad bin Marwan memiliki anak bernama Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam bin Abu Al-‘Ash. Setelah kepemimpinan Marwan bin Hakam bin Abu Al-‘Ash, kekhalifahan jatuh kepada Abdul Malik bin Marwan dengan waktu kepemimpinan yang cukup lama. Setelah Abdul Malik bin Marwan, kekhalifahan diteruskan kepada anaknya yaitu Al-Walid, lalu diteruskan kepada saudaranya Sulaiman bin Abdul Malik. Setelah Sulaiman bin Abdul Malik meninggal dunia, kekhalifahan dipegang sementara oleh sepupunya yang bernama ‘Umar bin Abdul ‘Aziz bin Marwan selama kurang lebih dua tahun. Setelah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, maka kepemimpinan dipegang oleh Yazid bin Abdul Malik, lalu kemudian kepada Hisyam bin Abdul Malik. Yazid bin Abdul Malik memiliki anak bernama Al-Walid bin Yazid. Hisyam bin Abdul Malik awalnya tidak ingin menyerahkan kekuasaan kepada Al-Walid bin Yazid karena dinilai suka bermaksiat dan meminum khamr, akan tetapi akhirnya Al-Walid bin Yazid tetap mendapatkan tampuk kepemimpinan. Akan tetapi ada dari salah seorang sepupunya yang tidak senang dengan kepemimpinannya, dia adalah anak dari Al-Walid bin Abdul Malik yang bernama Yazid bin Al-Walid bin Abdul Malik. Akhirnya terjadilah kericuhan di antara mereka, sehingga akhirnya Yazid bin Al-Walid bin Abdul Malik membunuh Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik. Setelah Yazid membunuh Al-Walid, tidak lama setelah itu dia juga kemudian meninggal dunia, sehingga kepemimpinan jatuh ke tangan saudaranya yang bernama Ibrahim bin Al-Walid bin Abdul Malik. Ketika Ibrahim bin Al-Walid hendak diangkat menjadi pemimpin, ternyata keributan terjadi kembali sehingga kepemimpinan berpindah kepada pamannya yang bernama Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam bin Abu Al-‘Ash. Ketika Marwan bin Muhammad meninggal dunia, maka runtuhlah Daulah Umayyah, dan berpindah kepada Daulah Abbasiyah.

silsilah bani umayyah


Awal penyimpangan Tauhid Al-Asma wa Shifat

A, Ja’ad bin Dirham

Kebiasaan para khalifah dahulu, mereka memanggil muaddib (guru khusus) untuk mengajari anak-anak mereka ketika masih kecil. Adapun muaddib dari Marwan bin Muhammad adalah Ja’ad bin Dirham, sehingga Marwan diberi gelar dengan Marwan Al-Ja’di. Sebagaimana telah kita sebutkan bahwa Ja’ad bin Dirham inilah yang pertama kali menolak tentang sifat-sifat Allah, ([15]) sehingga akhirnya dia dibunuh oleh seorang amir dari Bani Umayyah di daerah Khurasan yang bernama Khalid bin Abdillah Al-Qasri. Tepat pada hari Idul Adha, Khalid bin Abdillah Al-Qasri berkata,

أَيُّهَا النَّاسُ ضَحُّوا تَقَبَّلَ اللَّهُ ضَحَايَاكُمْ إنِّي مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ، إنَّهُ زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَتَّخِذْ إبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Wahai sekalian manusia, sembelihlah! Semoga Allah menerima sembelihan kalian. Adapun saya akan menyembelih Ja’ad bin Dirham, karena dia meyakini bahwa Allah tidak menjadikan Ibrahim kekasihnya, dan tidak berbicara dengan Musa secara langsung.”([16])

Ja’ad bin Dirham akhirnya dikafirkan oleh Khalid bin Abdillah Al-Qasri, kemudian dibunuh dengan cara dipenggal.

Ja’ad bin Dirham adalah orang yang memiliki pemikiran bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak berbicara dan Allah tidak mencintai. Menurut dia, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak pernah berbicara dengan Nabi Musa ‘alaihissalam. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.” (QS. (An-Nisa’ : 164)

Kemudian dia juga mengatakan bahwa Allah tidak pernah mencintai, sementara Allah berfirman,

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

“Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kekasih-Nya).” (QS. An-Nisa’ : 125)

Kedua ayat ini diingkari oleh Ja’ad bin Dirham. Maka ketika penyimpangan pemikirannya tersebut diketahui oleh orang-orang, maka dia pun kabur ini dari Kufah menuju ke Khurasan yang disitulah dia bertemu denga Jahm bin Shafwan. ([17])

Timbul sebuah pertanyaan bahwa dari mana sumber pemikiran Ja’ad Bin dirham? Para ulama yang di antaranya Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Asakir menyebutkan silsilah pemikiran dari Ja’ad bin dirham.  Para ulama menyebutkan bahwa Ja’ad bin Dirham mengambil pemikiran tersebut dari Aban bin Sam’an, lalu Aban bin Sam’an mengambil pemikiran tersebut dari Thalut Ibnu Ukhti Labib bin A’sham, sedangkan Thalut mempelajarinya dari Labib bin A’sham([18]). Labib bin A’sham inilah yang pertama kali yang mengatakan bahwasanya Taurat adalah makhluk. ([19]) Pemikirannya itulah yang dianut oleh Ja’ad bin Dirham yang kemudian diwariskan kepada Jahm bin Shafwan. Namun, Jahm bin Shafwan juga ikut terbunuh ditangan seorang amir dari Bani Umayyah bernama Salm bin Al-Ahwaz sekitar tahun 128H. ([20]) Terdapat dua pendapat di kalangan para ulama tentang sebab terbunuhnya Jahm bin Shafwan. Sebagian ada yang mengatakan bahwa dia dibunuh karena dia ikut memberontak terhadap pemerintahan bersama barisan Ibnu Syuraih, kemudian tertangkap dan dibunuh. sebagian yang lain mengatakan bahwa Jahm bin Shafwan dibunuh karena pemikiran menyimpang yang dia warisi dari Ja’ad bin Dirham dan diketahui oleh pemerintah, akhirnya dia ditangkap lalu kemudian dia dibunuh.

B. Jahm bin Shafwan

Jahm bin Shafwan, disebutkan bahwa di dalam dirinya terkumpul banyak syubhat. Di antara syubhat yang dia miliki adalah sebagaimana disebutkan bahwa suatu hari dia berdebat dengan suatu kelompok Sumaniyah, kelompok musyrikin yang berasal dari India. Perdebatan itu memberikan perjanjian bahwa jika Jahm Bin Shafwan menang dalam berdebat maka kelompok Sumaniyah akan masuk Islam, akan tetapi jika Jahm bin Shafwan kalah maka dia harus masuk agama mereka. Akhirnya terjadilah perdebatan tatkala itu, sementara Jahm bin Shafwan tidak memiliki ilmu, dia nekat untuk berdebat dengan hanya mengandalkan logika yang dimilikinya. Maka mulailah orang-orang Sumaniyah bertanya kepada Jahm bin Shafwan, “Wahai Jahm bin Shafwan, apakah engkau mengenal Rabbmu? Dan bagaimana kau mengenal-Nya? Apakah engkau pernah melihat-Nya? Apakah engkau pernah menyentuh-Nya? Apakah engkau pernah mendengar-Nya? Apakah engkau pernah mencium-Nya?” Maka Jahm bin Shafwan menjawab “Tidak pernah”. Orang-orang Sumaniyah kemudian berkata, Kalau begitu Tuhanmu tidak ada”. Mendengar hal itu, maka Jahm bin Shafwan tidak bisa menjawab, dan dia meminta untuk diberi waktu. Akhirnya dia pulang ke rumah dan berpikir. Kemudian beberapa hari kemudian, setelah dia merasa bisa memberikan bantahan terhadap mereka, dia kembali kepada orang-orang Sumaniyah dan bertanya, “Bukankah kalian sepakat dengan kami bahwasanya ada yang namanya ruh-ruh?” Mereka menjawab, “Iya, benar”. Jahm bin Shafwan kembali bertanya, “Apakah kalian pernah melihatnya? Apakah kalian pernah menciumnya? Apakah kalian pernah memegangnya?” Ternyata orang-orang Sumaniyah menjawab, “Tidak pernah”. Kemudian Jahm bin Shafwan berkata, “Kalau begitu kalian tidak memiliki ruh”. ([21]) Akhirnya orang-orang Sumaniyah kalah dalam perdebatan tersebut. Akan tetapi, setelah perdebatan tersebut, Jahm bin Shafwan terkena syubhat, dan disebutkan bahwa dia tidak shalat selama 40 hari. Ketika ditanya tentang mengapa dia tidak shalat, dia menjawab, “Bagaimana aku mau shalat, sementara saya tidak mengenal Tuhan saya”. Ada yang menyebutkan bahwa Jahm bin Shafwan dibunuh oleh pemerintah sebab meninggalkan shalat selama 40 hari tersebut. ([22])

Di antara syubhat yang masyhur bersarang di dalam kepada Jahm bin Shafwan adalah syubhat dalil Al-A’radh. Dia mengatakan bahwasanya segala sesuatu yang tertempel padanya sifat-sifat, maka dia adalah makhluk, adapun Tuhan harus berbeda dengan makhluk. Oleh karena itu, dia menolak bahwa Allah memiliki nama dan sifat-sifat karena hal itu merupakan ciri makhluk. Menurutnya, Allah tidak boleh memiliki sifat apa pun, sehingga akhirnya dia menolak sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dari dialah kemudian muncul firqah Jahmiyah.

C. Antara Jahmiyah dan Mu’tazilah

Sebelum Jahm bin Shafwan meninggal dunia, ilmunya sempat diajarkan kepada orang-orang Mu’tazilah, lalu kemudian dilanjutkan kepada Abu Muhammad Said Ibnu Kullab yang kelompoknya disebut Al-Kullabiyah. Dari Al-Kullabiyah, ilmu tersebut kemudian diteruskan kepada Abul Hasan Al-Asy’ari. Abul Hasan Al-Asy’ari ini melewati tiga fase:
  1. Fase pertama, dia adalah Imam Mu’tazilah. Abul Hasan Al-Asy’ari belajar kepada ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i selama kurang lebih 40 tahun. ([23])
  2. Fase kedua, dia berada pada pemikiran Kullabiyah. ([24])
  3. Fase ketiga, dia berusaha kembali kepada sunnah. ([25]) Di fase itu dia berusaha menuju sunnah namun tidak berhasil secara keseluruhan, sehingga masih ada sisa-sisa pemikiran Kullabiyah dan sisa-sisa pemikiran Mu’tazilah. Tentu kita sangat paham bahwa tidak mudah seorang keluar dari cengkeraman syubhat-syubhat pemikiran. Sungguh betapa banyak orang-orang yang dahulunya takfiri, kemudian dia mengenal manhaj salaf dan berpaling dari itu, akan tetapi masih ada sisa-sisa pemikiran takfiri yang susah terlepas pikirannya. Hal itulah yang dialami oleh Abu Hasan Al-Asy’ari pada fase ketiga.
Intinya, Abul Hasan Al-Asy’ari sempat di fase pemikiran Kullabiyah. Ternyata, pemikirannya di fase itu mirip dengan pemikiran Abu Mansur Al-Maturidi, hanya saja ada beberapa perbedaan-perbedaan tertentu antara mazhab Asy’ariyah dengan mazhab Maturidiyah.

Setelah pemikiran Jahm bin Shafwan diambil oleh orang-orang Mu’tazilah, ada dua tokoh Mu’tazilah yang sangat hebat dalam memperjuangkan pemikiran Jahm bin Shafwan tersebut, yaitu Ahmad Ibnu Abi Du’at dan Bisyr Bin Ghiyats Al-Mirrisiy. Ahmad Ibnu Abi Du’at ada seorang tokoh Mu’tazilah yang menyebarkan fitnah di zaman khalifah Al-Ma’mun, sehingga khalifah juga terpengaruh dan memaksa para ulama untuk mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, dan barangsiapa yang tidak menyatakan Al-Quran adalah makhluk maka akan dibunuh. Akhirnya banyak ulama yang dengan terpaksa melakukan tauriyah dengan mengatakan Al-Quran itu makhluk agar tidak dibunuh. Akan tetapi tidak bagi Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, beliau tetap bersikukuh menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalamullah dan bukan makhluk, sehingga dia disiksa sampai kurang lebih tiga kali pergantian khalifah. Adapun Bisyr bin Ghiyats Al-Mirrisiy banyak dibantah oleh para ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dalam kitabnya Naqdhu ‘Utsman bin Sa’id ‘Ala Bisyr Al-Mirrisiy Al-‘Anid Fima Iftaro ‘Ala Allahi Fi At-Tauhid. Keduanya mengaku bahwa mereka adalah Mu’tazilah, akan tetapi akidah mereka sangat mirip dengan akidah Jahmiyah yang dibawa oleh Jahm bin Shafwan.

Teori Penetapan Tuhan (Dalil Al-A’radh) Menurut Jahm bin Shafwan

Sebagaimana telah kita singgung sebelumnya bahwa Jahm bin Shafwan memiliki teori tentang menetapkan adanya Tuhan. Adapun teori tersebut disebut dengan teori دَلِيْلُ الَأعْرَاضِ  (Dalil Al-A’radh). Dalil Al-A’radh adalah tentang sifat dan jism. Dalam teori ini, Jahm bin Shafwan mengemukakan bahwa Tuhan harus berbeda dengan makhluk. Berbicara tentang makhluk, di antara ciri utama makhluk adalah berjasad dan memiliki sifat, dan di antara ciri khas jasad adalah memiliki sifat seperti bergerak, diam, terpisah, atau bersatu. Maka dari itu, karena Tuhan tidak boleh sama seperti makhluk, maka Tuhan tidak boleh bersifat. Oleh karena teori itu, Jahm bin Shafwan akhirnya menolak seluruh sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala. Di antaranya dia menolak sifat-sifat Allah dengan mengatakan bahwa Allah tidak berbicara, Allah tidak melihat, Allah tidak mendengar, dan Allah tidak boleh mencintai atau ridha.

Sebagaimana kita telah sebutkan bahwa pemikiran Jahm bin Shafwan ini terkumpul dari beberapa syubhat-syubhat yang dia dapatkan, baik dari Ja’ad bin Dirham maupun dari orang-orang Sumaniyah. Selain dari kedua itu, ternyata teori Jahm bin Shafwan ini merupakan hasil mencocokkan antara logika yang dia miliki dengan teori orang-orang Filsafat. Kalau kita merujuk kepada buku-buku orang Filsafat, maka akan kita dapati bahwa teori Jahm bin Shafwan dalam menetapkan adanya Tuhan sama seperti teori mereka. Di antara buku yang menyebutkan hal itu adalah The Laws of Plato yang ditulis oleh Plato (wafat 347 SM). Plato dalam bukunya tersebut memiliki logika tentang apa yang ada di balik alam semesta ini, dia mengatakan bahwasanya semua yang kita lihat itu bergerak dan melakukan perubahan, pergerakan dan perubahan tersebut disebabkan oleh dzat lain yang juga apa bergerak, sehingga sampai kepada titik dimana ada suatu dzat yang tidak bergerak dan tidak berubah. Demikian pula yang dikemukakan oleh Aristoteles (wafat 322SM) dalam bukunya Physics, dia juga mengemukakan bahwasanya segala yang bergerak di alam semesta diatur oleh dzat yang juga mengalami perubahan, demikian pula dzat yang berikutnya juga diatur oleh suatu dzat yang lain terus-menerus hingga sampai pada titik dimana dzat tersebut tidak mengalami perubahan sama sekali hari. Kesimpulan dari perkataan Plato dan Aristoteles ini adalah Tuhan itu harus statis dan tidak boleh dinamis. Maka dari sini kemudian kita paham bahwa pemikiran Jahm bin Shafwan sangat mirip dengan pemikiran Plato dan Aristoteles yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak boleh seperti makhluk yang berjasad dan memiliki sifat-sifat, sehingga secara tidak langsung teori Jahm bin Shafwan memberikan kesimpulan bahwa Tuhan harus statis.

Ketahuilah bahwa Jahm bin Shafwan memiliki banyak sekali kesesatan dalam pemikiran. Adapun yang kita bahas ini hanyalah penyimpangannya dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat, akan tetapi pada kenyataannya dia juga memiliki penyimpangan dalam masalah takdir, masalah Iman, dan penyimpangan dalam syariat lainnya. Oleh karena banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh Jahm bin Shafwan, maka para ulama khilaf apakah dia telah kafir atau tidak, akan tetapi telah banyak para ulama yang menyebutkan bahwa dia kafir atas dasar sejarah dan banyaknya kesesatan yang terkumpul pada dirinya, terlebih lagi seperti yang telah disebutkan bahwa dia tidak shalat selama 40 hari dan ragu terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. ([26])
Bantahan terhadap teori Jahm bin Shafwan (dalil Al-A’radh)

Terdapat banyak argumen yang bisa kita sebutkan untuk membantah teori Jahm bin Shafwan, akan tetapi kita akan menyebutkan beberapa di antaranya:
  •     Cara menetapkan adanya Allah
Ada banyak cara untuk menetapkan adanya Allah sebagai bantahan terhadap teori Jahm bin Shafwan, di antaranya:
  • Pertama, adanya makhluk pertanda ada yang menciptakannya. Logika ini sangatlah sederhana, bukankah baju yang kita pakai tidak mungkin berbentuk seperti sekarang ini kecuali ada yang membuatnya? Maka dari itu, matahari yang kita lihat setiap hari, tanaman yang tumbuh, semuanya tidak mungkin ada dengan sendirinya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ، أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ

“Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (QS. Ath-Thur : 35-36)

Manusia, dari mana mereka diciptakan? Apakah manusia itu ada tanpa ada yang menciptakan? Ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri? Tentunya itu semua tidak mungkin, tentu kita ini (manusia) ada yang menciptakan. Imam Abu Hanifah pernah berdialog dengan seorang Ateis tentang Tuhan, maka Abu Hanifah berkata bahwa cobalah dibayangkan tentang bagaimana sebuah kapal yang bersandar di sungai Dujlah, kemudian barang-barang dari kapal tersebut turun dengan sendirinya, kemudian diganti dengan barang-barang yang baru tanpa ada anak buah kapal yang mengangkutnya, kemudian kapal tersebut berlabuh ke pelabuhan berikutnya tanpa ada yang menakhodai kapal tersebut, maka tentu tidak mungkin kapal tersebut bisa berjalan sendiri. Maka jika kapal saja yang hanya seperti itu tidak mungkin berjalan sendiri, maka bagaimana lagi dengan pergerakan alam semesta? Tentu semuanya sudah ada yang mengaturnya, sebagaimana kaidah menyebutkan المحدث يدل على المحدث (Adanya sesuatu yang ada yang sebelumnya tidak ada itu menunjukkan bahwa adanya yang membuat dia ada).

Kedua, adanya dalil-dalil tentang mukjizat. Mukjizat intinya adalah perubahan-perubahan aturan alam. Contohnya seperti api yang seharusnya panas bisa menjadikan dingin sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Contoh lain, keluarnya air dari jari-jari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, berubahnya tongkat Nabi Musa ‘alaihissalam menjadi ular, dan Nabi Isa ‘alaihissalam yang bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal. Mukjizat-mukjizat tersebut menunjukkan adanya Tuhan, dimana sebuah aturan yang disebut dengan sunatullah bisa diubah oleh Tuhan. Maka terjadinya perubahan tersebut menunjukkan adanya yang mengatur, yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan masih banyak dalil-dalil yang lainnya ([27])
  •     Dalil Al-A’radh melazimkan pengkafiran banyak kaum muslimin
Dalil Al-A’radh ini diterima oleh banyak firqah seperti firqah Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, dan yang lainnya. Mereka semua sepakat tentang dalil Al-A’radh ini, bahkan Abu Mansur Al-Maturidiy mengatakan bahwa dalil Al-A’radh adalah  dalil yang barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia bukan seorang mukmin yang sesungguhnya. ([28]) Bahkan sebagian mereka juga mengatakan bahwa dalil Al-A’radh  adalah dalil pertama yang wajib diketahui oleh seorang muslim, karena seorang muslim tidak boleh berakidah dengan sekadar ikut-ikutan, melainkan seorang muslim harus menempuh cara-cara seperti dalil Al-A’radh untuk menyakini adanya Tuhan.

Karenanya dalil al-A’rodh diingkari oleh al-Ghozali karena selain sulit dipahami ternyata melazimkan pengkafiran banyak kaum muslimin yang tidak mengerti sama sekali tentang dalil ini.
  •     Dalil A’rodh tidak pernah didakwahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada satupun hadits, maupun penyebutan dalam kitab sejarah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan satu saja sahabat beliau yang diutus untuk berdakwah, untuk mengajarkan masalah ini. Dan tidak ada satupun orang yang masuk islam di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat radhiallahu ‘anhum ajma’in, para tabi’in, kemudian mereka ditanya tentang apakah mereka meyakini adanya Allah ‘Azza wa Jalla dengan dalil a’rodh. Kalaulah dalil a’rodh itu adalah kewajiban pertama bagi seorang hamba, sudah pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang-orang quraisy akan hal itu, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk mengucapkan syahadat. Dan kalaulah itu adalah satu kewajiban, lantas kenapa ko tidak ada satupun dalil yang memerintahkan hal itu? ([29])

Firqah-firqah yang menyimpang dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat (الْمُعَطِّلَةُ)

Perlu untuk kita pahami bersama bahwa seluruh firqah-firqah yang menyimpang dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat terpengaruh dengan dalil Al-A’radh. Pada dasarnya, orang-orang yang menyimpang dalam tauhid Asma’ wa Shifat sepakat akan dalil Al-A’radh, akan tetapi mereka khilaf tentang definisi A’radh itu sendiri, sehingga mereka dibagi menjadi dua kelompok. Adapun kelompok firqah-firqah tersebut kita bisa bagi menjadi dua kategori:

    أَصْحَابُ التَّعْطِيْلِ الْجُزْئِي (kelompok yang menolak sebagian sifat)

Ada sebagian kelompok yang hanya menolak sebagian sifat Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun syubhat mereka adalah sifat-sifat dzatiyah bukan A’radh karena sifat dzatiyah bagi Allah tidak mengalami perubahan (statis), sehingga mereka tetapkan sifat dzatiyah bagi Allah. Adapun sifat-sifat fi’liyah, mereka tolak karena menurut mereka hal itu melazimkan perubahan-perubahan pada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ada dua kelompok yang ikut menolak sebagian sifat-sifat Allah, yaitu Kullabiyah bersama Asya’irah terdahulu, dan Asya’irah Muta’akhirin bersama Al-Maturidiyah.

    الكُلَّابِيَّةُ وَالأَشَاعِرَةُ الْمُتَقَدِّمُوْنَ (Kullabiyah dan Asya’irah Al-Mutaqaddimin)

Kelompok Kullabiyah bersama Asya’irah Al-Mutaqaddimin (terdahulu) yang Abu Al-Hasan Al-Asy’ari termasuk di dalamnya menetapkan sifat-sifat dzatiyah bagi Allah seperti menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki wajah, Allah memiliki kedua tangan, menetapkan sifat mata bagi Allah, menetapkan sifat ketinggian Allah. Akan tetapi mereka menolak atau menakwil sifat-sifat fi’liyah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.

    الأَشَاعِرَةُ الْمُتَأَخِّرُوْنَ وَالْمَاتُرِدِيَّةُ (Asya’irah Mutaakhirin dan Matrudiyah)

Berbeda dengan Kullabiyah dan Asya’irah terdahulu, maka kelompok Asya’irah Mutaakhirin (belakangan) bersama Al-Maturidiyah hanya menetapkan tujuh sifat dzatiyah bagi Allah, di antaranya adalah hidup, melihat, mendengar, berkehendak, berilmu, berbicara, dan berkuasa. Adapun seluruh sifat fi’liyah, maka mereka tolak seluruhnya

    أَصْحَابُ الْمُعَطِّلَةِ الكُلِّيِّ (kelompok yang menolak semua sifat)

Kelompok yang menolak seluruh sifat Allah beralasan bahwa menurut mereka semua sifat baik dzatiyah dan fi’liyah adalah A’radh.

Perlu untuk kita pahami terlebih dahulu bahwa sifat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dzatiyah dan fi’liyah. Sifat dzatiyah adalah sifat yang tidak mungkin terlepas dari, sehingga dzat tidak mungkin bisa dibayangkan tanpa sifat-sifat tersebut. Contoh sifat dzatiyah adalah wajah, mata, atau tangan. Maka sifat dzatiyah bagi Allah adalah Allah memiliki wajah, Allah memiliki tangan, Allah punya mata, dan seterusnya. Sifat dzatiyah bagi Allah tidak ada kaitannya dengan kehendak, seperti ungkapan “Kalau Allah berkehendak maka Allah punya wajah, kalau Allah berkehendak maka tidak punya wajah”, ungkapan seperti ini tidak benar. Tentunya sifat dzatiyah Allah tersebut berbeda hakikatnya dengan makhluk. Adapun sifat fi’liyah yaitu sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Contohnya seperti Allah terkadang ridha dan terkadang marah, Allah terkadang cinta dan terkadang Allah merahmati, Allah turun ke langit dunia, dan yang lainnya. Artinya, sifat fi’liyah adalah sifat yang kalau Allah ingin maka Dia lakukan, adapun jika Allah tidak ingin maka tidak dilakukan.

Ada dua jenis kelompok yang menolak seluruh sifat Allah ini, yaitu Jahmiyah dan Mu’tazilah. Kedua kelompok ini berpendapat bahwa seluruh sifat Allah, baik dzatiyah dan fi’liyah adalah A’radh (sifat), sementara bagi mereka syarat Tuhan adalah tidak boleh memiliki sifat, karena yang bersifat hanyalah makhluk. Maka dari itu mereka menolak semua sifat bagi Allah seperti Allah tidak berilmu, Allah tidak berkehendak, dan sifat yang lainnya. Namun pada praktenya, Jahmiyah dan Mu’tazilah memiliki perbedaan:

    الْمُعْتَزِلَةُ (Mu’tazilah)

Di antara tokoh mu’tazilah adalah sebagaimana yang telah kita sebuatkan yaitu Bisyr Ghiyats Al-Mirrisiy dan Ahmad Ibnu Abi Duad. Adapun kelompok Mu’tazilah, mereka menetapkan seluruh nama-nama Allah, namun menolak seluruh sifat-sifat Allah, baik dzatiyah maupun fi’liyah. Dan di antara yang berkeyakinan dengan keyakinan ini adalah Ibnu Hazm Az-Zhohiri. ([30])

    الْجَهْمِيَّةُ (Jahmiyah)

Sebagaimana telah kita sebutkan bahwa kelompok Jahmiyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan. Jahmiyah, mereka menolak seluruh nama-nama Allah kecuali Al-Qadir (Yang Maha Kuasa), Al-Khaliq (Yang Maha Pencipta), Al-Mujid (Yang Maha Membuat). Mereka mengecualikan tiga nama bagi Allah Subhanahu wa ta’ala ini karena menurut mereka bahwa nama tersebut adalah ciri khas Tuhan. Ada pun selainnya tidak boleh karena yang lainnya adalah nama-nama sifat yang bagi mereka tidak boleh ada pada Tuhan (Allah). Kelompok Jahmiyah juga sama dengan kelompok Mu’tazilah dalam menolak seluruh sifat Allah Subhanahu wa ta’ala.

Inilah penjelasan secara global tentang kelompok-kelompok yang menyimpang dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat. Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah berpemahaman menetapkan seluruh sifat bagi Allah. Sesungguhnya, yang lebih tahu tentang Allah adalah Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri, dan yang lebih tahu tentang Allah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa Allah memiliki wajah atau tangan, maka kita mengimani apa yang beliau katakan. ([31]) Hanya saja harus kita pahami bahwa hakikat wajah atau tangan yang kita miliki berbeda dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Demikian pula sifat fi’liyah, Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan seluruh sifat fi’liyah bagi Allah. Bukankah sering ada ungkapan “Orang yang berbuat kebaikan akan dicintai oleh Allah, dan yang berbuat maksiat akan dimurkai oleh Allah”? Ini menunjukkan bahwa fitrah kita sendiri mengakui ada sifat fi’liyah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.


Matan

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ

“Padahal mereka ingkar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Katakanlah, ‘Dia Tuhanku, tidak ada tuhan selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat’.” (QS. Ar-Ra’d : 30)

Syarah

Sebagaimana kita ketahui, orang-orang musyrikin percaya Allah, mereka percaya kepada Allah karena nenek moyang mereka semuanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, dan seluruh orang-orang Quraisy adalah keturunan Ismail bin Ibrahim sehingga mereka tahu adanya Allah. Oleh karena itu, banyak nama-nama dari orang-orang Quraisy bernama Abdullah. Di antaranya juga nama ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Abdullah. Demikian pula ketika Abrahah ingin menyerang Ka’bah, Abdul Muthalib mengatakan,

والكَعْبَةُ لَهَا رَبٌّ يَحْمِيْهَا

“Adapun Ka’bah memiliki Tuhan yang menjaganya.”

Dalam sejarah yang lain pun disebutkan bahwa Abdul Muthalib berdoa di Ka’bah agar Allah menyelamatkan rumah Allah subhanahu wa ta’ala (Ka’bah).

Selain itu, tanda bahwa orang-orang musyrikin itu yakin adanya Allah adalah mereka melakukan haji. Bahkan pada tahun 9 Hijriyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar dan para sahabat radhiallahu ‘anhum berhaji terlebih dahulu untuk memberikan kabar kepada orang-orang musyrikin agar tidak ada yang ikut haji pada tahun depan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin haji bersama orang-orang musyrikin. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

بَعَثَنِي أَبُو بَكْرٍ فِي تِلْكَ الحَجَّةِ فِي مُؤَذِّنِينَ يَوْمَ النَّحْرِ، نُؤَذِّنُ بِمِنًى: أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ

“Abu Bakar mengutusku untuk pemberi pengumuman saat pelaksanaan haji pada hari Idul Adha. Kami mengumumkan di Mina bahwa orang musyrik tidak boleh berhaji setelah tahun ini, dan tidak boleh ada yang tawaf dengan keadaan telanjang.”([32])

Ini menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin juga berhaji, bahkan dalam buku-buku sirah disebutkan bahwa setiap tahun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di Mina, yang jemaah haji tatkala itu adalah orang-orang musyrikin.

Adapun ayat ini, orang-orang musyrikin bukan mengingkari adanya Tuhan, akan tetapi mereka mengingkari nama Allah Ar-Rahman. Mereka mengenal Allah, hanya saja mereka mengingkari sebagian dari nama-nama Allah seperti Ar-Rahman, mereka mengingkari dengan bertanya-tanya bahwa siapa itu Ar-Rahman dan tidak beriman kepada nama Allah tersebut. ([33]) Penolakan terhadap salah satu nama dari nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala yang mereka lakukan itu disebut penyimpangan dalam nama-nama Allah.

Di antara bentuk penyimpangan orang-orang musyrikin dalam tauhid Asma’ wa Shifat, mereka menamakan patung-patung mereka dengan nama-nama Allah yang diplesetkan seperti Al-‘Uzza dari Al-‘Aziz, Latta dari Al-Ilah, dan yang lainnya. ([34]) Intinya, mereka mengambil nama-nama Allah, kemudian mereka plesetkan untuk dijadikan nama-nama sembahan mereka yang mereka sebut sebagai putri-putri Allah Subhanahu wa ta’ala.

Matan

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Sampaikanlah kepada manusia dengan apa yang dipahami oleh mereka, apakah kalian menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari no. 127)

Syarah

Di antara faedah dari perkataan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ini adalah tidak semua perkara yang detail itu dibahas kecuali setelah melalui tahapan-tahapan. Contohnya adalah apa yang kita bahas sebelumnya, kita tidak membahas secara detail tentang penyimpangan-penyimpangan orang-orang dalam tauhid Asma’ wa Shifat, akan tetapi kita hanya membahasnya secara global karena kita paham bahwa orang-orang awam masih berada di atas fitrah mereka, dan juga nalar sebagian saudara kita tidak sampai untuk pembahasan lebih dalam terkait itu.

Maka dari itu, kita bersyukur bahwa Al-Quran diturunkan bukan hanya untuk orang-orang yang jenius, akan tetapi Al-Quran turun untuk semua orang, sehingga mudah untuk dipahami. Semua orang yang mendengar bahwa Allah Maha Mendengar, Allah Maha Melihat, Allah Maha Agung, Allah Maha Tinggi, semua akan paham dengan mudah. Hal itu kemudian menjadi susah ketika ada syubhat masuk ke dalam pemikiran seseorang, sebagaimana syubhat yang masuk ke dalam kepala orang-orang dalam kelompok menyimpang dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat.

Intinya, jika seseorang ingin teguh dalam tauhid Al-Asma’ wa Shifat, hendaknya kita berpegang teguh dengan perkataan Imam Malik. Ketika beliau ditanya oleh seseorang tentang bagaimana istiwa’ Allah Subhanahu wa ta’ala, maka seketika beliau terdiam dan bercucuran keringat karena beliau tidak menyangka ada orang yang akan bertanya perihal tersebut kepadanya. Maka setelah beberapa saat Imam Malik menjawab,

الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَأَحْسَبُك رَجُلُ سَوْءٍ

“Istiwa’ adalah suatu hal yang diketahui, adapun bagaimana caranya tidak bisa dipikirkan, dan beriman akan hal tersebut adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan aku menyangka engkau adalah orang yang buruk.”([35])

Setelah mengatakan demikian, Imam Malik rahimahullah memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan dari majelis beliau

Perkataan Imam Malik ini adalah kaidah yang sangat agung, ketika kita ditanya tentang sifat Allah seluruhnya maka kita bisa menjawabnya dengan mengatakan bahwa bagaimananya sifat Allah tidak ada yang tahu. Tentu kita tidak tahu tentang bagaimana tangan atau wajah  Allah, karena untuk mengetahuinya kita harus tahu terlebih dahulu tentang bagaimana Dzat Allah.  Jika kita bisa tahu bagaimana Dzat Allah maka kita akan tahu bagaimana tangan dan wajah Allah, akan tetapi kalau kita tidak tahu bagaimana Dzat Allah maka kita tidak bakalan tahu bagaimana tangan dan wajah, karena pembahasan tentang sifat adalah cabang dari pembahasan tentang dzat, sebagaimana kaidah menyebutkan

الكَلاَمُ فِي الصِّفَاتِ فَرْعٌ عَنِ الْكَلاَمِ فِي الذَّاتِ

“Pembahasan tentang sifat adalah cabang dari pembahasan tentang dzat.” ([36])

Contohnya adalah kita bisa tahu tentang sifat kayu karena kita tahu bagaimana dzat kayu tersebut, atau kita tahu bahwa sifat air adalah selalu mencari tempat yang rendah karena kita tahu bagaimana dzat air. Maka ketika berbicara tentang sifat Allah seperti tangan atau wajah-Nya, maka kita tidak mungkin bisa memikirkannya karena kita tidak tahu bagaimana Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala.

Mari kita bayangkan, jika seseorang ingin tahu bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, maka yang pertama dia harus ketahui adalah bagaimana dzat ‘Arsy itu terlebih dahulu agar dia bisa membayangkannya, setelah itu dia juga harus tahu bagaimana Dzat Allah. Kalau hakikat dzat ‘Arsy dan Dzat Allah tidak dia ketahui, maka bagaimana bisa dia membayangkan Allah di atas ‘Arsy? Oleh karena itu, perkataan Imam Malik rahimahullah di atas adalah jawaban yang cerdas bagi orang yang meyakini bahwa orang yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah berarti menyamakan antara Allah dengan makhluk. Maka tentu kita Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa kita menetapkan sifat bagi Allah bukan berarti kita menyamakan antara Allah dengan makhluk, karena sesungguhnya Allah Maha Agung Dzat-Nya, agung wajah-Nya, agung tangan-Nya, dan berbeda hakikatnya dengan makhluk.

Oleh karena itu pula, Ibnu Taimiyah rahimahullah berbicara tentang perbandingan antara makhluk dengan makhluk. Contohnya antara makhluk di surga dengan makhluk di dunia, namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Bukankah kita mengenal wanita? Di dunia maupun di surga terdapat wanita, akan tetapi hakikat keduanya sangat berbeda dan tidak bisa disamakan. Wanita di dunia bisa saja cantik namun dengan banyak kekurangannya, adapun wanita di surga sangat sempurna dengan tidak ada baunya, tidak ada kotoran pada tubuhnya, tubuhnya putih bersih dan bening sampai-sampai hatinya dan sumsum tulang betisnya terlihat dari luar, bahkan meskipun telah dibalut dengan tujuh puluh lapis pakaian masih tampak putihnya tubuh wanita tersebut. Apakah kita bisa membayangkan bagaimana hakikat wanita surga tersebut? Tentu nalar kita tidak akan bisa membayangkannya. Lihatlah, membayangkan bagaimana hakikat wanita surga saja kita tidak mampu bayangkan, maka tentu kita lebih tidak bisa lagi membayangkan bagaimana Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala. ([37]) Oleh karena itu, kita mencukupkan diri dengan beriman terhadap sifat-sifat Allah, sebagaimana perkataan para salaf,

أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلَا كَيْف

“Imani saja tanpa menanyakan bagaimananya.” ([38])

Matan

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus, dari bapaknya, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa dia melihat seseorang terganggu tatkala dia mendengar hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sifat-sifat Allah. Karena merasa terganggu dengan hal tersebut, maka Ibnu ‘Abbas berkata,

مَا فَرَقُ هَؤُلَاء؟ يَجِدُوْنَ رِقَّةً عِنْدَ مُحْكَمِهِ، وَيَهْلِكُوْنَ عِنْدَ مُتَشَابِه

“Apa yang mereka khawatirkan? Mereka mau menerima ketika dibacakan ayat-ayat yang jelas, akan tetapi mereka tidak menerima ketika disebutkan tentang ayat-ayat mutasyabih.”

Syarah

Ketahuilah bahwa tidaklah seseorang mengingkari sifat-sifat kecuali dia punya syubhat yang bercokol di kepalanya. Contoh, ketika kita memotivasi orang untuk shalat malam dengan membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“ينزل رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ : مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kita Tabaaraka wa ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan, siapa yang meminta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni’.”([39])

Orang yang masih dalam fitrahnya mendengar hadits ini pasti akan menerima dan termotivasi untuk beramal. Akan tetapi bagi orang yang telah memiliki syubhat terkait sifat-sifat Allah dalam pikirannya maka pasti akan menolak hadits-hadits tentang sifat seperti Allah turun ke langit dunia, atau paling tidak mereka menakwil hadits-hadits tersebut. Oleh karena itu, seharusnya kita menerima semua ayat-ayat yang datang dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan keterangan yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaknya kita terima tanpa harus menolaknya.

Terdapat sebuah riwayat yang bagus disebutkan dalam Fathul Majid. Penulis kitab Fathul Majid meriwayatkan dari Thawus, dari Az Zuhri bahwa dia berkata,

قَدِمْتُ علَى عَبْدِ الْمَلِك بنِ مَرْوَانَ، فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ قَدِمْتَ يَا زُهْرِيُّ؟ قُلْتُ: مِنْ مَكَّةَ. قَالَ: فَمَنْ خَلَّفْتَ يَسُوْدُهَا وَأَهْلَهَا؟ قُلْتُ: عَطَاءٌ. قَالَ: أَمِنَ العَرَبِ أَمْ مِنَ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ المَوَالِي. قَالَ: فِيْمَ سَادَهُم؟ قُلْتُ: بِالدِّيَانَةِ وَالرِّوَايَةِ. قَالَ: إِنَّ أَهْلَ الدِّيَانَةِ وَالرِّوَايَةِ يَنْبَغِي أَنْ يُسَوَّدُوا، فَمَنْ يَسُوْدُ أَهْلَ اليَمَنِ؟ قُلْتُ: طَاوُوْسٌ بن كَيْسَان.  قَالَ: فَمِنَ العَرَبِ، أَوِ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ المَوَالِي. قال: فَبِمَ سَادَهُمْ؟ قُلْتُ: بِمَا سَادَ بِهِ عَطَاءُ. قَالَ: إِنَّهُ لَيَنْبَغِيْ ذَلِكَ. قَالَ: فَمَنْ يَسُوْدُ أَهْلَ اليَمَنِ؟ قلت: يَزِيْدُ بنُ حَبِيْبٍ. قَالَ: فَمِنَ العَرَبِ، أَوِ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ المَوَالِي. قَالَ: فَمَنْ يَسُوْدُ أَهْلَ الشَّامِ؟ قُلْتُ: مَكْحُوْلٌ. قَالَ: فَمِنَ العَرَبِ، أَمْ مِنَ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ المَوَالِي، عَبْدٌ نُوْبِيٌّ أَعْتَقَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ هُذَيْلٍ. قَالَ: فَمَنْ يَسُوْدُ أَهْلَ الجَزِيْرَةِ؟ قُلْتُ: مَيْمُوْنُ بنُ مِهْرَانَ، قَالَ: فَمِنَ العَرَبِ، أَوِ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ المَوَالِي. قَالَ: فَمَنْ يَسُوْدُ أَهْلَ خُرَاسَانَ؟ قُلْتُ: الضَّحَّاكُ بنُ مُزَاحِمٍ. قَالَ: فَمِنَ العَرَبِ، أَوِ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ المَوَالِي. قَالَ: فَمَنْ يَسُوْدُ أَهْلَ البَصْرَةِ؟ قُلْتُ: الحَسَنُ البصري. قَالَ: فَمِنَ العَرَبِ، أَوِ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ المَوَالِي. قال: وَيْلَكَ، قَالَ: فَمَنْ يَسُوْدُ أَهْلَ الكُوْفَةِ؟ قُلْتُ: إِبْرَاهِيْمُ النَّخَعِيُّ. قَالَ: فَمِنَ العَرَبِ، أَمْ مِنَ المَوَالِي؟ قُلْتُ: مِنَ العَرَبِ. قَالَ: وَيْلَكَ! فَرَّجْتَ عَنِّي، وَاللهِ لَيَسُوْدَنَّ المَوَالِي عَلَى العَرَبِ فِي هَذَا البَلَدِ حَتَّى يَخْطُبَ لَهَا عَلَى المَنَابِرِ، وَالعَرَبُ تَحْتَهَا. قُلْتُ: يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، إِنَّمَا هُوَ دِيْنٌ، مَنْ حَفِظَهُ، سَادَ، وَمَنْ ضَيَّعَهُ، سَقَطَ.

“Aku bertemu Abdul Malik bin Marwan, kemudian dia bertanya kepadaku: ‘Dari mana engkau datang wahai Az-Zuhri?’ Aku menjawab, ‘Saya datang dari Makkah’. Kemudian dia bertanya, ‘Siapa yang kau tinggalkan di sana?’ Aku menjawab, ‘Atha` bin Abi Rabah’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Bekas budak’. Di kembali bertanya, ‘Bagaimana bisa dia mengatur mereka?’ Aku menjawab, ‘Karena agamanya baik dan dia punya riwayat-riwayat hadits’. Abdul Malik bin Marwan berkata, ‘Sesungguhnya yang memiliki agama dan riwayat-riwayat memang berhak untuk memimpin’. Abdul Malik bin Marwan kembali bertanya, ‘Siapa yang menjadi tempat bertanya di Yaman?’ Aku menjawab,  ‘Thawus bin Kaisan’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Bekas budak’. Di kembali bertanya, ‘Bagaimana bisa dia mengatur mereka?’ Aku menjawab, “Dia memimpin sebagaimana Atha’ bin Abi Rabah’. Dia kemudian berkata, ‘Sesungguhnya memang harus demikian’. Abdul Malik bin Marwan kembali bertanya, ‘Siapa tempat kembalinya penduduk kota Mesir?’ Aku menjawab, ‘Yazid bin Habib’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Bekas budak’. Kemudian dia kembali bertanya, ‘Siapa tempat kembalinya orang-orang Syam?’ Aku menjawab, ‘Makhul’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Bekas budak’. Kemudian dia bertanya kembali, ‘Siapa yang menjadi pemimpin kota Jazirah?’ Aku menjawab, ‘Maimun bin Mihran’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Bekas budak’. Kemudian dia kembali bertanya, ‘Siapa yang menjadi tempat kembali orang-orang Khurasan?’ Aku menjawab, ‘Dhahhak bin Muzahim’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Bekas budak’. Dia kembali bertanya, ‘Siapa yang menjadi tempat kembali di kota Basrah?’ Aku menjawab, ‘Hasan Al-Bashri’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Bekas budak’. Dia berkata, Celaka engkau, lantas siapa yang menjadi tempat kembali di Kufah?’ Aku menjawab, ‘Ibrahim An-Nakha’I’. Dia bertanya, ‘Apakah dia Arab atau bekas budak?’ Aku mengatakan, ‘Dari Arab’. Abdul Malik bin Marwan berkata, ‘Celaka engkau wahai Az-Zuhri, pergilah dariku. Demi Allah tidak akan memimpin orang-orang budak atas orang-orang Arab di negeri ini sampai mereka berkhutbah di mimbar sedangkan orang-orang Arab di bawahnya’. Maka aku berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya mereka dipilih karena agama, yang barang siapa menjaganya maka akan memerintah, dan barangsiapa mengabaikannya maka akan jatuh’.”([40])

Artinya, riwayat ini merupakan dalil bahwa Islam tidak melihat strata, tidak ada kasta dalam Islam. Lihatlah dalam riwayat di atas, yang memimpin dalam agama bukanlah orang-orang Quraisy, bukan pula orang Arab, akan tetapi para bekas budak yang menjadi mulia karena agama Islam itu sendiri.

Matan

Ketika orang-orang Quraisy mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut Ar-Rahman, mereka mengingkarinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya atas mereka,

وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَن

“Dan mereka kufur terhadap Ar-Rahman.” (QS. Ar-Ra’d : 30)

Syarah

Penolakan atau pengingkaran orang-orang Quraisy terhadap nama Allah Ar-Rahman terjadi tatkala di perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan antar kaum muslimin dengan orang-orang Quraisy untuk damai, dan di antara mereka gencatan senjata selama 10 tahun. Ketika mereka menyepakati kesepakatan tersebut, akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh untuk menulis perjanjian tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menulis apa yang dikatakan oleh beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menulis,

هَذَا مَا صَالَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّد رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ مُشْرِكُو قُرَيْشٍ: لَئِنْ كُنْتَ رَسُوْلَ اللهِ ثُمَّ قَاتَلْنَاكَ لَقَدْ ظَلَمْنَاكَ، وَلَكِن اكتُبْ: هَذَا مَا صَالَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّد بْنُ عَبْدُ اللهِ. فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم: يا رَسُوْلُ الله دَعْنَا نُقَاتْلُهُمْ. فَقَالَ: لَا. اكْتُبُوا كَمَا يُرِيْدُونَ: إِنِّي مُحَمَّد بن عبد الله. فَلَمَّا كَتَبَ الكَاتِبُ: بسم الله الرحمن الرحيم، قَالَتْ قُرَيْش: أَمَّا الرَّحمن فَلَا نَعْرِفُهُ. وَكَانَ أَهْلُ الجَاهِلِيَّةِ يَكْتُبُونَ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ: دَعْنَا نُقَاتِلُهُمْ. قَالَ: لَا. وَلَكِنْ اكْتُبُوا كَمَا يُرِيْدُوْنَ

“Inilah yang disepakati oleh Muhammad Rasulullah.” Maka orang-orang musyrikin Quraisy berkata, “Jika engkau Rasulullah kemudian kamu memerangimu, sesungguhnya kami telah menzalimi engkau, akan tetapi tulis ‘Inilah yang disepakati oleh Muhamad bin Abdillah’.”([41]) Maka para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai Rasulullah, kita perangi saja mereka.” Nabi menjawab, “Tidak. Tulis seperti yang mereka inginkan bahwa aku Muhammad bin Abdillah.” Ketika penulis menulis ‘Dengan menyebut nama Allah Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, berkata orang-orang Quraisy, “Adapun Ar-Rahman kami tidak mengenalnya, karena orang dahulu (Jahiliah) menulis ‘Dengan nama Allah’.” Para sahabat berkata, “Kita perangi saja mereka.” Nabi berkata, “Tidak, akan tetapi tulislah sebagaimana yang mereka inginkan.”([42])

Riwayat ini menunjukkan bahwasanya yang diingkari oleh orang-orang musyrikin Quraisy bukanlah Allah, akan tetapi yang mereka ingkari adalah nama Allah Ar-Rahman.

Matan

Kandungan bab ini:
  1.     Dinyatakan tidak beriman karena mengingkari sebagian dari Asma’ dan Sifat Allah
  2.     Tafsir tentang ayat yang terdapat dalam surah Ar-Ra’d
  3.     Tidak dibenarkan menyampaikan kepada manusia hal-hal yang tidak dipahami oleh mereka
  4.     Hal itu disebabkan karena bisa mengakibatkan Allah dan Rasul-Nya didustakan, meskipun ia tidak bermaksud demikian
  5.     Perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu yang menolak sikap orang yang terganggu ketika dibacakan hadits tentang sifat Allah, dan sikap tersebut bisa mencelakakan dirinya
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

______

([1]) Al-Kamil Fi At-Tarikh, Ibnu Al-Atsir, 2/544.

([2]) Al-Kamil Fi At-Tarikh, Ibnu Al-Atsir, 2/567.

([3]) Al-Kamil Fi At-Tarikh, Ibnu Al-Atsir, 2/685, Tarikh Ibnu Kholdun, 2/637

([4])  HR. Muslim no. 1065

Al-Imam An-Nawawi berkata:

قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (يَخْرُجُونَ عَلَى حِينِ فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ) ضَبَطُوهُ فِي الصَّحِيحِ بِوَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا حِينِ فرقه بحاء مهملة مكسورة ونون وفرقة بِضَمِّ الْفَاءِ أَيْ فِي وَقْتِ افْتِرَاقِ النَّاسِ أَيِ افْتِرَاقٍ يَقَعُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَهُوَ الِافْتِرَاقُ الَّذِي كَانَ بَيْنَ عَلِيٍّ وَمُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عنهما والثاني خير فرقة بخاء معجمة مفتوحة وراء وفرقة بكسر الفاء أي أفضل الْفِرْقَتَيْنِ وَالْأَوَّلُ أَشْهَرُ وَأَكْثَرُ وَيُؤَيِّدُهُ الرِّوَايَةُ الَّتِي بَعْدَ هَذِهِ يَخْرُجُونَ فِي فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ فَإِنَّهُ بِضَمِّ الْفَاءِ بِلَا خِلَافٍ

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “يَخْرُجُوْنَ عَلَى حين فرقة من الناس”, para ulama memberi harokat dalam as-Shahih dengan dua model, yang pertama “حِيْنِ فُرْقَةٍ” yaitu “pada waktu terjadinya perpecahan manusia”, yaitu perpecahan yang terjadi diantara kaum muslimin, yaitu perpecahan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah –semoga Allah meridhoi mereka berdua-.

Dan yang kedua “خَيْرِ فِرْقَةٍ” yaitu mereka khawarij keluar dari kelompok yang terbaik diantara dua kelompok. Akan tetapi pengharokatan yang pertama lebih masyhur dan lebih banyak. Dan ini dikuatkan dengan sebuah riwayat setelah riwayat ini “يخرجون في فُرْقَةٍ من الناس” yaitu dengan mendommah huruf faa’ فُرْقَةٍ tanpa ada khilaf” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 7/166)

Al-Hafiz Ibnu Hajar mendukung penafsiran yang pertama karena adanya riwayat-riwayat yang lain yang menunjukan akan hal itu. Diantara riwayat-riwayat lain yang beliau sebutkan adalah;

Pertama; Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يَقْتُلُهُمْ أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ

“Muncul khawarij tatkala perpecahan diantara kaum muslimin, mereka dibunuh oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama kepada kebenaran”

Maksud Nabi yaitu Khawarij muncul tatkala terjadi perpecahan diantara dua kelompok, kelompok Ali dan kelompok Mu’awiyah, lalu khawarij diperangi dan dibunuh oleh kelompok Ali, yang merupakan kelompok yang lebih mendekati kebenaran dari pada kelompok Mu’awiyah.

Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat yang lain

يَكُوْنُ فِي أُمَّتِي فِرْقَتَانِ فَيَخْرُجُ مِنْ بَيْنِهِمَا طَائِفَةٌ مَارِقَةٌ يَلِي قَتْلَهُمْ أَوْلاَهُمْ بِالْحَقِّ

“Akan ada di umatku dua kelompok, maka keluarlah diantara kedua kelompok tersebut sebuah kelompok khawarij, dan mereka akan diperangi oleh kelompok yang lebih utama kepada kebenaran”

Ketiga: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat yang lain

يَخْرُجُوْنَ فِي فُرْقَةٍ مِنَ النَّاسِ يَقْتُلُهُمْ أَدْنَى الطَّائِفَتَيْنِ إِلَى الْحَقِّ

“Mereka (khawarij) keluar pada saat perpecahan di antara manusia, dan mereka dibunuh oleh salah satu dari dua kelompok yang lebih dekat kepada kebenaran”

(Silahkan lihat ketiga riwayat di atas, dan juga dua riwayat yang lainnya di Fathul Baari 12/295)

Dari sini kita tahu bahwasanya maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits di atas adalah khawarij yang muncul di zaman Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.

([5]) Al-‘Ibar Fi Khobari Man Ghobar, Adz-Dzahabi, 1/33

([6]) H.R. Bukhori, No.2704

([7]) Ushul Madzhab As-Syi’ah, Nashir bin ‘Abdillah Al-Qofari, 1/94

([8]) Minhaju As-Sunnah An-Nabawiyyah, Ibnu Taimiyyah, 8/239,

([9])  Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/270, As-Syari’ah, Al-Ajurri, 2521-2522

([10])  HR. Bukhari no. 3017

([11])  HR. Muslim no. 8

([12]) Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 7/381-7/385

([13]) Al-Milal Wa An-Nihal, Asy-Syihrisytani, 1/47-48,

([14]) Lihat Tarikhu Al-Khulafa, Jalaluddin As-Suyuthi, 156-190

([15]) Lihat Risalah As-Sijzi Ila Ahli Zabid Fi Ar-Roddi ‘Ala Man Ankara Al-Harfa Wa As-shout, Abu Nashr As-Sijzi, 16

([16])  Majmu’ Fataawaa 13/177, Risalah As-Sijzi Ila Ahli Zabid Fi Ar-Roddi ‘Ala Man Ankara Al-Harfa Wa As-shout, Abu Nashr As-Sijzi, 16

([17]) Hanya saja, Ibnu ‘Asakir menyebutkan bahwa: “Jahm mengambil ilmu dari Ja’d bin Dirham, ketika ia di Kufah”. Lihat Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 72/99. Dan demikian juga dinyatakan oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah, Ibnu Katsir, 13/148

([18])  Seorang Yahudi yang menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

([19]) Lihat Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 72/99

([20]) Al-Mausu’ah Al-Muyassaroh Fi Al-Adyan Wa Al-Madzahib, An-Nadwah Al-‘Alamiyyah, 1/65

([21]) Ar-Rod ‘Al Al-Jahmiyyah Wa Az-Zanadiqoh, Ahmad bin Hanbal, 93-95

([22]) Kholqu Af’al Al-‘Ibad, Al-Bukhori, 1/30

([23]) Siyar A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 15/86, Tabyin Kadzib Al-Muftari, Ibnu ‘Asakir, 1/40. Dan beliau termasuk orang yang sangat dalam keilmuannya tentang Mu’tazilah.

([24]) Al-Khuthoth, Al-Maqrizi, 4/191

([25]) Sebagaimana dinukilkan oleh Az-Zabidi dari Ibnu Katsir dalam It-Tihaf As-Sadah Al-Muttaqin, 2/4

([26]) ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dengan sanadnya dari Yazid bin Harun:

لَعَنَ اللَّهُ الْجَهْمَ، وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ كَانَ كَافِرًا جَاحِدًا تَرَكَ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا يَزْعُمُ أَنَّهُ يَرْتَادُ دِينًا وَذَلِكَ أَنَّهُ شَكَّ فِي الْإِسْلَامِ قَالَ يَزِيدُ: «قَتَلَهُ سَلْمُ بْنُ أَحْوَزَ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ»

“Semoga Allah ‘Azza wa Jalla melaknat Jahm, dan siapa saja yang berkeyakinan dengan apa yang dia ucapkan. Sungguh dia adalah kafir jahid (menentang), ia meninggalkan shalat selama 40 hari, ia meyakini bahwa ia sedang mencari agama. Dan yang demikian itu karena ia ragu akan agama islam. Yazid berkata: Dia dibunuh oleh Salm bin Ahwaz karena ucapan ini” (As-Sunnah, ‘Abdullah bin Ahmad, 189)

([27]) Silahkan baca buku penulis yang berjudul “Tauhid ar-Rububiyah”

([28]) Berkata Abu Manshur Al-Maturidi:

فَثَبَتَ أَنَّ التَّقْلِيْدَ لَيْسَ مِمَّا يُعْذَرُ صَاحِبُهُ

“Maka telah tetap bahwa taqlid (dalam masalah ini), orangnya tidak diberi udzur” (Kitab At-Tauhid, Abu Manshur, 27).

([29]) Lihat Daru At-Ta’arud, Ibnu Taimiyyah, 1/39

([30]) Berkata Ibnu Hazm:

وَأما إِطْلَاق لفظ الصِّفَات لله تَعَالَى عز وَجل فمحال لَا يجوز لِأَن الله تَعَالَى لم ينص قطّ فِي كَلَامه الْمنزل على لَفْظَة الصِّفَات وَلَا على لفظ الصّفة وَلَا حفظ عَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم بِأَن لله تَعَالَى صفة أَو صِفَات نعم وَلَا جَاءَ قطّ ذَلِك عَن أحد من الصَّحَابَة رَضِي الله عَنْهُم وَلَا عَن أحد من خِيَار التَّابِعين وَلَا عَن أحد من خِيَار تَابِعِيّ التَّابِعين وَمن كَانَ هَكَذَا فَلَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْطِقَ بِهِ

“Adapun pemutlakan shifat bagi Allah, maka hal tersebut adalah mustahil dan tidak boleh. Karena Allah tidak pernah menyebutkan sedikitpun dalam firman-frimanNya yang diturunkan tentang lafazh shifat-shifat (dalam bentuk jama’) dan juga tidak menyebutkan lafazh shifat (dalam bentuk mufrod). Dan tidak diketahui penyebutan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla punya shifat. Dan tidak juga datang sedikitpun yang demikian dari satu orangpun dari kalangan sahabat radhiallahu’anhum, dan tidak pula dari satu orangpun dari kalangan pemuka-pemuka tabi’in, dan tidak pula dari satu orangpun dari pemuka tabiu’it tabi’in. Maka yang demikian itu, tidak halal bagi seseorangpun untuk mengucapkan hal itu” (Al-Fishol Fi Al-Milal Wa Al-Ahwa Wa An-Nihal, Ibnu Hazm, 2/283)

([31]) Berkata Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah tentang metode yang benar dalam menetapkan dan menafikan.

وَقَدْ عُلِمَ أَنَّ طَرِيْقَةُ سَلَفِ الأُمَّةِ وَأَئِمَّتِهَا، إِثْبَاتُ مَا أَثْبَتَهُ مِنَ الصِّفَاتِ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيْفٍ وَلَا تَمْثِيْلٍ، وَمِنْ غَيْرِ تَحْرِيْفٍ وَلَا تَعْطِيْلٍ، وَكَذَلِكَ يَنْفَوْنَ عَنْهُ مَا نَفَاهُ عَنْ نَفْسِهِ – مَعَ مَا أَثْبَتَهُ مِنَ الصِّفَاتِ – مِنْ غَيْرِ إِلْحَادٍ، لَا فِيْ أَسْمَائِهِ وَلَا فِيْ آَيَاتِهِ.

“Dan telah diketahui, bahwa metode parasalafussholih dan para imam-imamnya adalah: Menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dari shifat-shifatNya, tanpa ada membagaimanakan, dan penyerupaan, dan tanpa ada tahrif (memalingkan dari makna zhohirnya tanpa dalil) dan tanpa meniadakan. Dan begitu juga, mereka menafikan apa yang Allah ‘Azza wa Jalla nafikan dari diriNya -bersamaan dengan menetapkan apa yang ditetapkan- tanpa ada ilhad, baik dalam masalah nama-namaNya ataupun ayat-ayatNya” (Ar-Risalah At-Tadmuriyyah, Ibnu Taimiyyah,  hal 7)

([32])  HR. Bukhari no. 369

([33]) Dan mereka mengingkari nama Ar-Rahman bukan karena mereka tidak tahu, akan tetapi mereka mengingkarinya hanya karena untuk melawan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terdapat beberapa bukti bahwa orang Quraisypun sebenarnya tahu nama Ar-Rahman:

    Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ

Dan mereka mengatakan: Kalaulah Ar-Rahman berkehendal, maka sungguh kami tidak akan menyembah mereka” (Q.S. Az-Zukhruf : 20). Dan di dalam ayat lain Allah menyebutkan ucapan orang kuffar dengan firmannya: لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا  “Jikalau Allah ‘Azza wa Jalla berkehendak, maka kami tidak akan berbuat syirik” (QS al-Anáam : 148). Dan ini menunjukkan bahwa Ar-Rahman dalam keyakinan mereka adalah Allah ‘Azza wa Jalla.

    Adanya orang musyrik yang bernama ‘Abdurrahman, dianataranya adalah ‘Abdurrahman Al-Fazari. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muslim tentang kisah perang Dzatu Qorod. (HR Muslim No.1807)
    Terdapat penyebutan Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebutan Ar-Rahman dalam syair-syair arab terdahulu. Di antaranya adalah: dalam Syair Al-A’sya Al Kabir (lihat Diwan Al-A’sya, 183), Al-Mutsaqqob Al-‘Abdi (lihat Mu’jam Al-Buldan, Syihabuddin Al-Hamawi, 5/380), Suwaid bin Abi Kahil (lihat Al-Mufaddholiyyat, Al-Mufaddhal bin Muhammad, 1/197).

Untuk tambahan faidah, silahkan lihat kitab Atsar Al-‘Allamah Al-Mu’allimi Al-Yamani, 7/58-dst.

([34]) Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid, Sulaiman bin ‘Abdillah Alu Syaikh, 1/27

([35])  Diriwayatkan oleh Ad-Darimi, Arrod ‘Ala Al-Jahmiyyah, No.104, Al-Baihaqi, Al-Asma’ Wa As-Shifat, No.868, Al-Lalikai, Syarh Ushul I’Tiqod Ahlussunnah Wa Al-Jama’ah, No.664

([36])  Kaidah ini disebutkan oleh Syaikhul silam Ibnu Taimiyyah dalam Ar-Risalah At-Tadmuriyyah (hl.43).

([37])  Ar-Risalah At-Tadmuriyyah, Ibnu Taimiyyah, 43-46

([38])  Ucapan ini diriwayatkan dari Al-Auza’I, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d, Sufyan bin ‘Uyainah, Ma’mar bin Rosyid, dan selain mereka. Al-Asma Wa As-Shifat, Al-Baihaqi, No.955, Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdi Al-Barr, No.1802, As-Syari’ah, Al-Ajurry, No.720

([39])  HR. Bukhari no. 1145 dan HR. Muslim no. 758

([40])  Fathul Majid 1/404-405. Al-Muntazhom Fi Tarikh Al-Muluk Wa Al-Umam, Ibnu Al-Jauzi, 7/20-21, Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 40/393-394. Namun imam Adz-Dzahabi mengatakan: “Cerita ini Munkar, dan Al-Walid bin Muhammad adalah perowi yang Wahin”. (Siyar A’lam An-Nubala, 5/85). Meskipun secara sanad lemah, akan tetapi kenyataan bahwa nama-nama ulama yang disebutkan dalam cerita di atas memang ada dan merupakan para ulama yang berasal dari bekas budak.

([41])  Maksudnya adalah orang-orang Quraisy tidak mengakui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasulullah, maka orang-orang musyrikin Quraisy tidak mau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menulis dengan nama “Rasulullah”.

([42])  Fathul Majid 1/408. Sumber