Type Here to Get Search Results !

 


MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?

 


OlehSyaikh Prof.Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr

Setelah memperhatikan perkataan para ahli ilmu mengenai masalah agung ini, bisa kita simpulkan banyak sebab yang membuat akidah ini kokoh dalam diri orang  yang memegangnya, dan membuat akidah ini terus langgeng dan selamat dari perubahan dan penyelewengan. Kami ringkaskan di sini dalam point-point berikut:

1. Para pemegang akidah ini berpegang teguh dengan Kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya

Mereka berpegang teguh dengan Kitab Allâh dan Sunnah Rasûl-Nya serta mengimani semua yang datang dalam Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka juga benar-benar meyakini bahwa tidak boleh meninggalkan sesuatupun dari apa yang datang dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Dan memang wajib atas setiap Muslim untuk mengimani dan membenarkan semua yang datang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga mereka mengimani semua nash yang termuat di dalamnya, misalnya nash yang berisi berita tentang Allâh, asma’ dan sifat-Nya; para nabi-Nya, hari akhir, taqdir dan lainnya. Mereka mengimaninya, baik secara global maupun terperinci. Iman secara global terhadap semua yang Allâh Azza wa Jalla beritakan berupa perkara-perkara iman. Iman secara terperinci terhadap semua yang telah sampai ilmunya kepada mereka dalam Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allâh dan Rasûl-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu. [Al-Hujurat/49:15]

Beginilah sikap mereka terhadap semua nash al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka menerima dan mengimani semuanya. Sikap mereka adalah seperti yang dikatakan sebagian kaum salaf, “Dari Allâh Azza wa Jalla datangnya risalah; kewajiban Rasûl adalah menyampaikannya; sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya.”

Barangsiapa yang berpegang teguh terhadap Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya, dengan berpedoman dan berlandaskan pada keduanya, maka keselamatan, istiqâmah dan jauh dari penyelewengan akan menyertainya atas izin Allâh Azza wa Jalla.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Inti yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan; antara petunjuk dan kesesatan, jalan kebahagiaan dan keselamatan dengan jalan kecelakaan dan kebinasaan, adalah dengan menjadikan apa yang dibawa oleh para Rasûl-Nya sebagai kebenaran yang wajib untuk diikuti. Dengannya terwujud pembeda (antara yang hak dan batil), petunjuk, ilmu dan iman. Sehingga ia percaya bahwa itulah al-haq dan kebenaran. Adapun selainnya berupa perkataan seluruh manusia, maka harus ditimbang pada kebenaran tersebut. Jika perkataan itu sesuai dengannya, maka itu benar, namun bila menyelisihinya, maka itu batil. Adapun jika tidak diketahui, apakah itu sesuai dengan kebenaran (yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya) atau tidak, (misalnya-red) karena ucapan tersebut masih bersifat global, sehingga tidak diketahui maksud pemilik ucapan tersebut; atau telah diketahui maksudnya, akan tetapi tidak diketahui apakah (ajaran) Rasûl membenarkannya atau tidak, maka (dalam kondisi seperti ini-red) kita harus menahan diri. Seseorang tidak boleh berbicara kecuali dengan dasar ilmu. Sedangkan ilmu adalah apa yang ditopang oleh dalil; dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[1]

Inilah inti sari jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal Jamaah dalam masalah yang agung ini –semoga Allâh merahmati mereka-.  Mereka berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah. Dengan berpedoman seperti ini, mereka berhasil mendapatkan keselamatan dan kekokohan akidah.

Syaikhul Islam rahimahullah sering mengatakan, “Barangsiapa yang memisahkan diri dari dalil, ia akan sesat jalan. Dan tidak ada dalil kecuali apa yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[2]

Ibnu Abil `Izz dalam Syarah al-`Aqîdah Ath-Thahâwiyyah berkata, “Bagaimana mungkin bisa sampai pada ilmu ushul (ilmu prinsip-prinsip agama) tanpa (berpedoman) pada apa yang dibawa oleh Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[3]

Jadi, sikap Ahlussunnah yang berpedoman pada ajaran yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merupakan sebab utama kekokohan akidah mereka. Tak ada seorangpun dari Ahlussunnah wal Jamaah –semoga Allâh merahmati mereka- yang merumuskan suatu keyakinan dari dirinya sendiri; atau mendatangkan suatu keyakinan atau agama dari pendapat, perasaan dan pikirannya. Yang biasa melakukan perbuatan seperti itu adalah para pengikut hawa nafsu. Oleh karena itu akidah para pengikut nafsu itu kropos alias tidak kokoh; dan sering terjadi ketidakkonsistenan di tengah mereka, sebagaimana akan dijelaskan nanti insya Allâh Azza wa Jalla .

Adapun ahlussunnah, tak ada seorangpun dari mereka yang menggagas suatu keyakinan dari diri mereka sendiri. Bahkan mereka semua berpedoman dan bersandar pada Kitab Allâh Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Di sini akan kami nukilkan ungkapan yang sangat indah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, “Keyakinan (i’tiqad dalam akidah) bukanlah dariku, bukan pula dari orang yang lebih senior dariku,[4] akan tetapi keyakinan itu  diambil dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf (pendahulu) umat ini, diambil dari Kitabullah dan dari hadits-hadits riwayat al-Bukhâri, Muslim dan lainnya; berupa hadits-hadits yang telah dikenal dan yang valid dari salaf umat ini.”[5]

Syaikhul Islam juga berkata, “Keyakinan asy-Syâfi’i rahimahullah , dan keyakinan para salaf umat ini; seperti imam Mâlik, ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnul Mubârak, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, yang itu juga keyakinan para masyâyikh yang menjadi panutan seperti al-Fudhail bin Iyâdh, Abu Sulaiman ad-Dârâni, Sahl bin Abdillah at-Tustari dan selain mereka; sesungguhnya tidak ada pertentangan di antara para imam tersebut dan para Ulama semisal mereka dalam hal prinsip-prinsip agama. Demikian pula Abu Hanifah rahimahullah . Sesungguhnya keyakinan yang valid dari Abu Hanifah dalam masalah tauhid, takdir dan semacamnya, sesuai dengan keyakinan para ulama tersebut. Dan keyakinan para ulama tersebut, itulah keyakinan yang dipegang oleh kalangan sahabat dan tabiin yang mengikuti jejak sahabat dengan bijak. Dan itulah yang dikatakan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.”[6]

Jadi, ini adalah prinsip dasar pertama atau point pertama dari sebab-sebab kokohnya akidah ini dalam diri para pemegangnya; yaitu berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah. Tanpa berpedoman pada keduanya, tak ada jalan menuju kokohnya akidah. Tanpa itu, tak ada jalan menuju keselamatan dan keistiqamahan.

2. Para Ulama Salaf Meyakini Kitabullah dan as-Sunnah mengandung Akidah yang haq dan Sempurna.

Mereka meyakini bahwa keduanya mengandung akidah yang haq tak ada kekurangan sama sekali dari semua sudut pandang. Sungguh, akidah yang haq sudah sangat jelas dan tanpak terang benderang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu

yaitu telah sempurna dalam hal akidah, ibadah dan perilaku. Lanjutan ayatnya:

وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. [Al-Mâ’idah /5:3]

Telah dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnah semua hal yang dibutuhkan manusia, baik yang terkait dengan masalah i’tiqad (keyakinan), ibadah, juga  mu’amalah (tata cara berinteraksi antar sesama), akhlak dan suluk. Dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

Tidak ada nabi sebelumku melainkan menjadi kewajiban atasnya untuk menunjukkan kebaikan yang ia ketahui kepada umatnya, dan memberi peringatan tentang keburukan yang ia ketahui kepada mereka. [HR. Muslim]

Ketika Ahlussunnah mengimaninya secara sempurna dan mereka benar-benar merasa puas bahwa agama mereka, baik yang terkait akidah, ibadah maupun suluk; itu semua telah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka mereka memegang teguh itu secara konsekuen dan mereka landaskan segala sesuatunya pada apa yang datang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara sempurna. Dalam masalah ini, mereka tidak perlu merujuk kepada selain yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tegar secara totalitas di atas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan ini terwujudlah bagi mereka keselamatan yang sempurna.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan semua urusan agama ini; baik dalam ushul  (pokok) maupun furu’nya (cabang-cabang); baik yang batin (amalan yang terkait hati) maupun lahiriyahnya (terkait amalan yang tampak); baik terkit ilmu maupun pengamalannya. Sungguh, prinsip ini adalah dasar dari semua prinsip ilmu dan iman. Semakin kuat seseorang berpegang dengan prinsip ini, maka semakin berhak dan layak untuk berada dalam kebenaran, baik secara keilmuan maupun penerapannya.”[7]
Baca Juga  Apakah Nabi Muhammad Hidup Di Alam Kubur dan Mendengar Salam ?

Yang dimaksud dengan prinsip dasar tersebut adalah berpedoman dan berlandaskan secara sempurna pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena dalam al-Quran dan as-Sunnah telah dijelaskan semua urusan agama, baik dalam bidang akidah, ibadah maupun perilaku (suluk).

Di dalam keduanya telah dijelaskan perkara-perkara rinci  yang dianggap remeh terkait adab, seperti adab buang hajat, adab bersuci, adab bermuamalah (berinteraksi antar sesama) dan yang lainnya. Jika masalah-masalah rinci yang terlihat ringan ini dijelaskan dalam al-Quran dan as-Sunnah, lalu apakah mungkin masalah terkait akidah ditinggalkan begitu saja tanpa dijelaskan?!

Ini hal yang mustahil, seperti dinyatakan oleh Imam Darul Hijrah, Mâlik rahimahullah , “Mustahil, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan untuk umat ini segala perkara termasuk masalah buang hajat, sedangkan masalah tauhid tidak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan kepada mereka!”

Jadi, dalam al-Quran dan as-Sunnah terkandung semua kebaikan, terkandung semua petunjuk, kebenaran, baik dalam hal akidah, ibadah, muamalah maupun akhlak. Dan kadar keselamatan dan keistiqamahan yang diraih oleh seseorang tergantung pada kadar komitmennya untuk berpedoman dan berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Imam Mâlik rahimahullah , “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya, maka ia selamat. Dan barangsiapa meninggalkannya, pasti ia akan tenggelam.”

3. Mengembalikan Segala Perbedaan dan Perselisihan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah

Di antara sebab kokohnya akidah dalam diri para pemegangnya adalah bila terjadi perselisihan atau perbedaan atau semacamnya, mereka tidak murujuk pada apapun, selain pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka yakin seyakin-yakinnya, bahwa perselisihan, perbedaan atau yang semacamnya, tidak akan bisa dipecahkan dan ditunntaskan problemnya kecuali dengan bersandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang Allâh firmankan:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4:59]

Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang senantiasa berpegang atau bersandar pada kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua permasalahan yang diperselisihkan diantara manusia, maka kekokohan dan keselamatan akan selalu menyertainya, tidak terombang-ambing. Dan sebagaimana sudah diketahui bersama, bahwa setiap perselisihan atau perbedaan yang terjadi diantara manusia, sering tidak ada solusi dan pemecahannya kecuali dengan bersandar pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena pendapat dan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana cara pandang mereka juga sering berlawanan. Maka tidak ada cara untuk menyelesaikan perselisihan dan keluar dari pertentangan, kecuali bila semua pihak secara tulus dan rela kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini adalah salah satu sebab utama di antara sebab-sebab tegarnya ahlul haq di atas kebenaran.

4. Fitrah Mereka Terjaga

Fitrah adalah nikmat dan anugerah dari Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah berkenan memberi anugerah kepada mereka dengan menciptakan mereka semuanya di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Maka dua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, nasrani atau majusi. [HR. Al-Bukhâri, no. 1385]

Allâh Azza wa Jalla menciptakan mereka di atas fitrah. Dan fitrah Ahlussunnah akan terus bersih, tidak berubah. Allâh Azza wa Jalla menjaga fitrah mereka sehingga tidak berubah, tidak berganti atau menyimpang. Sedangkan manusia lainnya, fitrah mereka telah terkontaminasi, telah terjamah oleh penyimpangan,  dengan kadar yang bervariasi, ada yang sedikit ada pula yang banyak.

Dalam hadits qudsi Allâh Azza wa Jalla berfirman:

خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ

Aku telah menciptakan para hamba-Ku dalam keadaan lurus semuanya (dalam keadaan muslim; atau siap menerima hidayah-Nya). Dan sesungguhnya syaitan pun mendatangi mereka hingga syaitan pun menggodanya dan memalingkannya dari agama mereka.  [HR. Muslim, no. 2365]

Dan dalam al-Quran,  Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ

Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. [Az-Zukhruf /43:37]

Jadi, syaitan dan bala tentaranya memalingkan dan membelokkan manusia dari fitrah mereka.

Karena itulah, di antara sebab kokohnya akidah ini adalah berusaha sungguh-sungguh menjaga fitrah diri.  Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

(Tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Ar-Rûm/30:30]

Perlu diketahui, bahwa keselamatan fitrah seseorang itu terkait erat dengan selamatnya nara sumber (rujukannya). Bila pemilik fitrah yang bersih ini bersandar dan berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka fitrahnya pun tidak berubah. Namun bila ia menyerahkan fitrahnya pada hawa nafsu yang membinasakan, syubhat yang merusak, dan pendapat-pendapat yang menyeleweng serta merekayasa fitrah hingga jauh dari asalnya, maka fitrahnya pun akan melenceng.

5. Akal Mereka Lurus

Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang yang paling bagus akalnya; Pendapat, pikiran, dan manhajnya paling selamat. Mereka mempunyai akal yang unggul nan cemerlang. Mereka tidak melebih-lebihkan, tidak pula menyepelekan akal manusia, tidak seperti pengikut hawa nafsu dan bid’ah.

Di kalangan Ahlussunnah, tidak ada unsur berlebihan (ekstrim) dalam memposisikan akal mereka seperti yang tampak jelas di kalangan ahli kalam dan falsafah serta orang-orang yang setipe dengan manhaj mereka. Yaitu mereka yang menyingkirkan Kitabullah dan Sunnah, lalu secara totalitas menjadikan akal, pikiran, dan pendapatnya sebagai sandaran. Apa yang ia pandang benar menurut akalnya, maka ia akan berpegangan padanya. Adapun kalau ia pandang bertentangan dengan akalnya, iapun akan meninggalkannya, meskipun yang mengatakannya adalah Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab yang dijadikan sebagai landasan dan pegangan menurutnya adalah apa yang disimpulkan oleh akal dan pendapat mereka.

Padahal sebagaimana telah diketahui,  bahwa akal manusia itu tidak sama. Oleh sebab itu, ketika banyak orang berpedoman pada akal, maka itu menjadi sebab maraknya berbagai penyimpangan, karena akal manusia berbeda-beda. Sebagian salaf mengatakan, “Seandainya hawa nafsu itu hanya satu, maka pasti disebut al-haq (kebenaran), akan tetapi hawa nafsu itu bermacam-macam dan beragam.” Demikian pula, kita bisa mengatakan, “Seandainya akal itu satu, maka pasti ia disebut al-haq (kebenaran), akan tetapi akal itu beragam dan bermacam-macam.”

Pengikut hawa nafsu ini lebih mengedepankan akal mereka daripada wahyu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menjadikan akal sebagai pedoman dan landasan. Akal menjadi pegangan mereka. Dulu, salah seorang salaf pernah membuat sebagian kalangan mereka tidak berkutik, ketika dikatakan kepada mereka bahwa konsekuensi dari pendapat mereka (yang menetapkan bahwa akal mereka merupakan landasan-red) adalah mereka harus mengatakan: “Aku bersaksi bahwa akalku adalah utusan Allâh”; sebagai ganti dari ucapan: “aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allâh”. Karena yang dijadikan sebagai pegangan dan landasan olehnya adalah akalnya.

Ini salah satu sisi penyimpangan dalam akal yaitu berlebih-lebihan terhadap akal, dan mengangkat status akal melebihi kedudukannya yang semestinya. Di samping itu, ada juga penyimpangan dalam masalah akal yaitu menyepelekan dan menjauhkan peran akal. Ini banyak didapati pada kalangan ahli tasawwuf yang sesat dan tak berilmu; di mana mereka menyingkirkan akal mereka, kemudian atas nama tasawwuf, mereka masuk pada hal-hal yang mereka sebut sebagai jadzb, syathahat[8] atau junun dan semacamnya. Sehingga mereka terjatuh dalam berbagai macam penyimpangan yang begitu buruk, yang tidak bisa diterima akal sehat. Mereka bisa terperosok kedalam hal-hal tersebut karena mereka telah menyingkirkan fungsi akal secara total.

Sedangkan ahlussunnah -semoga Allâh merahmati mereka-merupakan kalangan yang berada di pertengahan. Mereka tidak melampaui batasan akal, namun juga tidak menyingkirkan dan membatalkan peran akal. Mereka menempatkan akal pada batasan dan koridor yang telah ditentukan.

Sebagaimana pendengaran manusia mempunyai batas kemampuanan yang tidak mungkin dilampaui, begitu pula dengan pandangan dan indra lainnya, termasuk akal.  Akal punya batasan tertentu. Barangsiapa berusaha untuk memaksa akalnya memasuki area di luar batas kemampuannya,  maka ia akan tersesat.

Karena itulah, akal para pengikut Ahlussunnah wal Jamaah tetap sehat dan selamat dari penyimpangan. Karena mereka memberdayagunakan akal mereka pada batasannya yang telah ditentukan, dan tidak mengabaikannya.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. [Ali Imran /3: 190]
Baca Juga  Rasul Tugas dan Kekhususannya

Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pikiran yang lurus dan akal yang unggul. Mereka menempatkan akal mereka pada batasan dan bidang yang semestinya, tanpa ada unsur pengultusan akal ataupun pengabaian akal, tidak berlebih-lebihan namun juga tidak menyepelekan, tanpa menambah-nambahkan ataupun mengurangi. Ini adalah perkara agung yang merupakan salah satu sebab ahlussunnah tegar di atas kebenaran.

6. Jiwa Ahlussunnah Merasa Sangat Tenteram Dengannya

Semua orang ahlussunnah merasa hatinya tenang, jiwanya tentram bahkan merasa bahagia dengan akidah yang haq yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada mereka. Rasa tenang, tenteram dan bahagia yang dirasakan oleh Ahlussunnah tersebut tidak dirasakan oleh para pengikut hawa nafsu dan mustahil mereka bisa merasakannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’du/13:28]

Tentang perasaan yang dirasakan oleh ahlussunnah terkait akidah haq yang mereka ambil dari al-Qur’an, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab as-Shawa’iqul Mursalah, “Ketenangan dan kemantapan hati pada sesuatu tidak mungkin terwujud kecuali dengan dilandasi keyakinan (hati terhadap sesuatu itu-red), bahkan itulah (hakikat) keyakinan itu sendiri. Oleh karena itu, engkau dapati hati para Ahlussunnah sangat mantap dan tenang dengan keimanan mereka kepada Allâh, (beriman kepada) Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-nya dan perbuatan-Nya juga (beriman kepada) para Malaikat-Nya, dan hari akhir. Mereka tidak ragu dan tidak berselisih dalam masalah itu.”[9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Ahlussunnah dan (Ahlul) Hadits, maka tidak didapati dari salah seorang Ulama mereka atau orang awam yang shaleh diantara mereka yang keluar dari akidahnya atau menarik kembali pendapatnya. Mereka adalah kelompok manusia yang paling sabar, meski ditimpa berbagai macam cobaan dan fitnah. Demikianlah kondisi para Nabi dan para pengikut mereka yang terdahulu.”[10]

Abdulhaq al-Isybiili rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah! Bahwa su’ul khatimah (akhir yang buruk) dari akidah ini–semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita darinya- tidak akan terjadi pada seseorang yang zhahir dan hatinya istiqamah. Ini tidak pernah terdengar, alhamdulillah. Su’ul khatimah hanya terjadi pada orang rusak akidahnya, terus-menerus melakukan dosa besar atau nekat melakukan  dosa-dosa besar.”[11]

Inilah diantara faktor yang menyebabkan para pengikut al-haq itu kokoh pendiriannya, jiwa dan hati mereka sangat tenang, tentram dan sangat nyaman.

Jika memang demikian keadaan hati mereka, lantas untuk apa lagi mereka harus beralih dan mencari akidah yang lain ?!!

7. Berpegang Teguh dengan Pemahaman Para as-Salafus Shalih Yaitu Para Sahabat dan Pengikut mereka

Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan didepan, ada juga faktor lain yaitu mereka mencukupkan diri dengan pemahaman para Sahabat dan para pengikut mereka dalam memahami nash-nash dan kandungannya. Karena pemahaman manusia bisa jadi salah dan keliru, namun barangsiapa yang menggali agama dari sumber aslinya yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jiwa yang bersih, akal yang sehat dan benar-benar jujur, maka dia benar-benar berhak untuk meraih ilmu, keselamatan dan hikmah. (Mereka itulah para Sahabat-red.) Oleh karena itu, Ahlussunnah selalu berpegang teguh pada pemahaman para Sahabat dalam memahami dalil dan nash.

Imam Sijzi rahimahullah dalam kitab ar-Radd ‘ala Man Ankara al-Harf was Shaut, ketika menjelaskan sifat Ahlussunnah mengatakan, “Mereka adalah kelompok yang konsisten di atas akidah yang dinukil oleh para as-salafus shaleh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam hal-hal yang tidak ada nash yang jelas dari al-Qur’an dan Hadits, karena mereka adalah para imam panutan. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.”[12]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kamu tidak bisa meraih derajat imam dalam ilmu dan agama seperti (derajat imam yang telah diraih oleh-red) imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, juga seperti al-Fudhail, Abu Sulaiman, Ma’ruf al-Kurkhiy, kecuali disebab mereka telah berterus terang bahwa ilmu terbaik mereka adalah ilmu karena mengikuti ilmu para Sahabat dan sebaik-baik amalan mereka adalah amalan yang mengikuti amalan para Sahabat. Mareka juga memandang bahwa para Sahabat g itu mengungguli dalam semua keutamaan.”[13]

Al-Ajurri juga dalam kitab asy-Syari’ah mengatakan, “Tanda yang menunjukkan bahwa seorang itu dikehendaki baik oleh Allâh Azza wa Jalla adalah dia menempuh jalan ini (yaitu berpegang teguh dengan-red) al-Qur’an dan Sunnah serta sunnah para Sahabat g dan a orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, serta mengikuti jejak para Ulama kaum Muslimin di setiap negeri seperti al-Auza’i, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Juga menjauhi semua pendapat yang dipegangi oleh para Ulama ini”[14]

Ibnu Qutaibah juga berkata, “Seandainya kita ingin pindah dari pendapat ahli hadits (Ahlussunnah) dan membencinya menuju pendapat ahli kalam, maka pasti kita pindah dari persatuan menuju perpecahan, dari kehidupan yang teratur menuju kehidupan yang terbengkalai dan dari suasana damai menuju suasana yang beringas.”[15]

Ini semua menunjukkan bahwa kekokohan itu tidak mungkin diraih kecuali dengan bersandar pada pemahaman salaf shalih secara totalitas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An-Nisâ’/4:115]

8. Sikap Tengah-Tengah Tidak Berlebihan Dan Tidak Meremehkan

Ahlussunnah bersikap tengah-tengah tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [Al-Baqarah/2:143]

Sikap tengah-tengah mereka maksudnya mereka senantiasa berpegang teguh dan istiqamah di atas al-haq serta menjauhi jalan-jalan menyimpang, baik yang cenderung kepada sikap berlebih-lebihan atau yang cenderung kepada sikap meremehkan. Mereka tetap tegar di jalan itu dengan sebab pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla buat mereka. Inilah diantara faktor penting kekokohan akidah mereka.

Tawassuth (sikap tengah-tengah) itu tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan berpegang teguh dengan al-haq, tidak menambah juga tidak mengurangi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

القَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوْا

Hendaklah kalian bersikap yang sedang-sedang, niscaya kalian bisa mencapai (maksud kalian). [HR. Al-Bukhari, no.6463]

(Maksudnya sikap terbaik bagi seseorang yang hendak melakukan perbuatan taat adalah sikap sedang-sedang dan bertahap agar bisa terus-menerus melakukan perbuatan tersebut, tanpa putus, tidak terlalu memaksa diri sampai akhirnya tidak mampu dan berhenti dari perbuatan taat tersebut-red[16])

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Agama Allâh itu antara sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bersikap tengah, lepas dari sikap orang-orang yang meremehkan (urusan agama-red), namun tidak sampai pada sikap berlebih-lebihan. Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan umat ini umat yang tengaj-tengah yaitu umat terbaik yang adil, karena berada diantara dua sikap yang tercela.[17]
_______

Footnote:

[1] Majmû` Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah, 13/135-136
[2] Lihat Miftâh Dâr As-Sa`âdah karya Ibnul Qayyim, hlm. 90
[3] Syarh al-`Aqîdah ath-Thahâwiyyah, hlm. 180
[4] Artinya bukan wewenangku untuk mendatangkan keyakinan dari diriku di mana aku menggagas dan merumuskannya. Bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti Imam Ahmad, Asy-Syafii, Malik, dan lainnya dari kalangan para imam agama ini. Tidak ada satupun dari mereka  yang mencanangkan suatu keyakinan dari dirinya
[5] Majmû` al-Fatâwâ, 3/203
[6] Majmû` al-Fatâwâ, 5/256
[7] Majmû` al-Fatâwâ, 19/155
[8] Syathahat: ucapan ganjil yang dilontarkan kaum sufi yang kaum Mukmin merasa terusik karena seringkali bertentangan dengan prinsip akidah (-pen).
[9] Ash-Shawâ’iqul Mursalah 2/741
[10] Majmû’ Fatâwâ 4/50
[11] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam al-Jawâbul Kâfi, hlm. 198
[12] Ar-Raddu ’alâ Man Ankara al-Harfa wash Shaut, hlm. 99
[13] Syarh al-‘Aqîdatil Ashfahâniyah, hlm. 128
[14] Asy-Syarî’ah 1/301
[15] Ta’wîl Mukhtalifil Hadîts, hlm. 16
[16] Lihat syarah hadits ini dalam Fathul Bâri, 1/95
[17] Ighâtsatul Lahfân 1/201

Sumber Pertama

9. Tidak Lebih Mendahulukan Akal dan Rasa Daripada Al-Qur’an dan Sunnah

Masalah ini sudah sedikit disinggung pada poin-poin sebelumnya. Disini kami akan membawakan perkataan Abul Muzhfir as-Sam’ani rahimahullah yang dinukil oleh at-Taimi dalam kitabnya al-Hujjah juga ibnul Qayyim rahimahullah dalam ash-Shawâ’iq. As-Sam’âni rahimahullah mengatakan, “Penyebab utama ahli hadits (Ahlussunnah) sepakat adalah karena mereka mengambil agama dari al-Qur’an dan Sunnah sehingga membuat mereka bersatu dan saling mencintai. Sementara ahli bid’ah, karena mereka mengambil agama dari akal dan logika mereka, maka itu membuat mereka saling berpecah dan berselisih. Karena penukilan dan riwayat dari orang-orang terpercaya dan ahli jarang sekali yang berbeda, jika terjadi perbedaan dalam lafazh atau kata, maka itu tidak membahayakan (tidak merusak) agama mereka. Adapun akal, perasaan dan pendapat, maka jarang sekali ada kesepakatan, bahkan akal, pendapat atau perasaan seseorang akan berbeda dengan yang lain.”[1]

Jadi, diantara faktor utama kekokohan akidah mereka adalah mereka tidak mendahulukan akal, perasaan dan pendapat mereka daripada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbeda dengan para ahli bid’ah yang lebih mendahulukan hal-hal tersebut di atas daripada al-Qur’an dan Sunnah. Diantara mereka ada yang lebih mendahulukan akal, ada yang lebih mendahulukan pendapat, ada yang mendahulukan perasaannya, ada yang mendahulukan cerita dan mimpi dan ada pula yang lebih mendahulukan hawa nafsu daripada perintah Allâh Azza wa Jalla. Mereka berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, masing-masing memiliki metode dan jalan. Adapun ahlussunnah, maka mereka terselamatkan dari keburukan-keburukan ini dan tetap tegar di atas Kitabullah dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

10. Sangat Bergantung Kepada Allâh Azza wa Jalla

Ahlussunnah senantiasa memperbaiki hubungan dengan Allâh Azza wa Jalla , sangat kuat mengikat diri mereka dengan-Nya dan sangat bergantung kepada-Nya, karena taufiq hanya di tangan Allâh Azza wa Jalla semata. Hubungan mereka dengan Allâh Azza wa Jalla baik dan ketergantungan mereka kuta. Mereka senantiasa meminta dan memohon pertolongan kepada-Nya agar diberikan keteguhan. Mereka mengikuti contoh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak do’a Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara do’a Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Ya Allâh! Aku Memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kehormatan diri dan kecukupan

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdo’a:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، وَأَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

Ya Allâh! Anugerahkanlah ketakwaan kepada jiwa-jiwa kami dan sucikanlah jiwa-jiwa kami,karena Engkau sebaik-baik Dzat yang bisa menyucikannya. Engkaulah walinya dan Penguasanya

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdo’a:

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ

Ya Allâh! Perbaikilah untukku agamaku yang menjadi benteng urusanku! Perbaikilah untukku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku! Perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala keburukan!

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Ya Allâh! Rabb bagi Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mahamengetahui hal yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah yang menetapkan keputusan diantara para hamba dalam berbagai hal yang mereka perselisihkan, berilah aku petunjuk untuk mengetahui kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki untuk menuju jalan yang lurus

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Wahai Mahapembolak-balik hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu

اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ

Ya Allâh! Tunjukilah kami pada jalan orang-orang yang telah beri petunjuk kepada mereka

اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ

Ya Allâh! Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan jadikanlah kami sebagai pembimbing yang senantiasa mendapatkan petunjuk.[2]

(Itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, utusan Allâh Azza wa Jalla yang sudah pasti mendapatkan petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla, namun Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memohon petunjuk kepada-Nya-red). Dan para pengikut Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berusaha mengikuti jalannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka senantiasa bersandar kepada Allâh Azza wa Jalla, memohon petunjuk, keteguhan dan taufiq. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada mereka, menolong mereka dan menjaga mereka.

Kedekatan mereka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini membuahkan keshalihan dalam ibadah dan keistiqamahan dalam akhlak. Oleh karena itu, diantara buah akidah yang benar itu tercermin pada amalan mereka. Ini adalah berkah, manfaat dan buah dari akidah yang benar. Begitu juga akidah yang menyimpang, dia memiliki pengaruh buruk kepada orang-orang yang meyakininya. Kerusakan akidah mereka diiringi dengan kerusakan amal dan prilaku.

Barangsiapa mengamati mereka, khususnya para tokoh kebathilan, niscaya dia akan dapati indikasi ini dengan jelas. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap amal ibadah dan akhlak. Seandainya pun didapati diantara mereka ada yang memiliki sedikit perhatian, maka sungguh perhatian ahlussunnah jauh lebih besar dibandingkan perhatian mereka.

11. Mereka Benar-benar Dengan Akidah Mereka dan Tidak Menjadikannya Bahan Perdebatan

Ini merupakan sebab yang sangat urgen agar tetap tegar di atas keyakinan yang haq yaitu menerima dan merasa puas dengan keyakinannya. Ahlussunnah itu menerima dan merasa puas secara total serta percaya penuh dengan agama dan keyakinan yang mereka pegang. Ahlussunnah tidak perlu menimbang agama dan keyakinan mereka dengan pendapat dan logika orang-orang. Berbeda dengan pengikut hawa nafsu (ahlul ahwâ’) dan bid’ah yang selalu berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainnya  untuk bertanya dan meminta pendapat tentang ajaran yang ia pegang. Sebab ia merasa ragu, tidak yakin dan kurang nyaman dengannya.

Pengikut Ahlussunnah yakin seyakin-yakinnya. Ia tidak sudi akidahnya diperdebatkan dan diperbantahkan. Ia merasa puas dan menerima akidahnya secara total; dan sangat merasa nyaman dengannya. Karena keterikatannya dengan akidahnya adalah keterikatan dengan Kitabullâh dan Sunnah Nabi-Nya. Kitabullah yang tak ada kebathilan didalamnya dari semua sisi; dan sunnah Nabi-Nya yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Ia berada pada puncak ketenangan dan puncak kepercayaan terhadap akidahnya. Sama sekali ia tidak perlu untuk menimbangnya kepada seorang ahli debat, ahli dialektika dan semacamnya. Ia berjalan di atas akidahnya dengan satu irama sejak awal hingga ujungnya, tanpa ada keraguan, keterombang-ambingan, tidak berpindah-pindah (dalam sikap dan keyakinannya), dan tanpa merasa sangsi.

Berbeda dengan keadaan orang yang berada di atas kebathilan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [Az-Zukhruf /43:58]

Kita dapati mereka terombang-ambing dan ragu; mereka paparkan keyakinan yang ada pada mereka pada pendapat dan logika orang-orang.

Di sini kami nukilkan beberapa atsar dari kalangan salaf yang sangat besar faidahnya:

Hudzaifah Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Mas’ûdz , “Sesungguhnya kesesatan yang nyata adalah bila apa yang engkau ingkari engkau jadikan sebagai yang ma’rûf (bentuk kebaikan); dan apa yang engkau pandang ma’rûf justru engkau ingkari. Dan hindarilah sikap plin-plan (mudah berubah, tidak konsisten) dalam agama Allâh Azza wa Jalla . Karena sesungguhnya agama Allâh itu satu.”[3]

Umar bin Abdil Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai bahan untuk diperdebatkan, ia akan banyak berpindah-pindah (dalam keyakinannya).”[4]

Ia juga tberkata, “Barangsiapa banyak perbantahannya, maka ia akan senantiasa berpindah-pindah dari satu agama (faham dalam suatu keyakinan) ke agama lain (faham lainnya).”[5]

Ma’n bin Isa berkata, “Suatu hari Mâlik Radhiyallahu anhu pulang dari masjid sambil bertumpu pada tanganku, lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan sebutan Abul Juwairiyah menyusulnya. Ia tertuduh mempunyai pemahaman murji’ah. Ia berkata, “Wahai Abu Abdillah! Dengarlah sesuatu dariku; aku adukan argumentasiku kepadamu dan aku beritahukan pendapatku kepadamu!” Mâlik Radhiyallahu anhu menjawab, “(Bagaimana) Kalau engkau berhasil mengalahkanku (hujahku)?” Ia berkata, “Kalau aku berhasil mengalahkanmu, engkau harus mengikutiku!” Mâlik berkata, “Kalau ada orang lain yang mengajak kita berdialog (berdebat) lalu ia berhasil mengalahkan kita?” Ia berkata, “Kita ikuti dia.” Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai hamba Allâh! Allâh Azza wa Jalla mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu agama. Namun aku lihat, engkau ini berpindah-pindah dari satu (paham) agama ke paham yang lain.”[6]

Bagi mereka, urusannya akan berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain; dari satu pendapat ke pendapat lain. Inilah makna ucapan Umar bin Abdil Aziz yang tersebut sebelumnya, “Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai bahan perbantahan, ia akan banyak berpindah-pindah.”

Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Orang itu[7] bila kedatangan sebagian ahlul ahwâ’ akan berkata, “Saya berada di atas bukti yang jelas dari Rabbku, sedangkan engkau ini orang yang ragu-ragu. Maka pergilah engkau kepada orang yang ragu-ragu seperti keadaanmu, debatlah dia!” Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Dan orang tersebut berkata, “Mereka membuat rancu diri mereka sendiri, kemudian mereka mencari orang yang bisa mengenalkan (masalah agama) kepada mereka.”[8]

Ishaq bin Isa ath-Thabbâ’ berkata, “Malik bin Anas Radhiyallahu anhu mencela perbantahan dalam urusan agama. Ia berkata: ‘Setiap kali datang kepada kita seseorang yang  lebih lihai dalam berdebat daripada orang lain, ia ingin agar kita menolak apa yang telah dibawa Jibril kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[9]

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Modal seorang Mukmin adalah agamanya. Kalau modal ini hilang, maka hilang pula agamanya. Ia tidak boleh meninggalkan modal agama ini kepada orang-orang; dan tidak boleh mempercayakannya kepada orang-orang.”[10]

Beginilah keadaan ahlussunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang menimbang agama dan keyakinannya pada logika, hawa nafsu dan pendapat manusia. Mereka hanya berpegang dengan apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan pemahaman para salaf umat ini.

Dzakwân rahimahullah berkata, “Al-Hasan al-Bashri melarang perdebatan dalam agama, dan ia berkata, ‘Yang melakukannya hanyalah orang yang ragu dalam agamanya.’[11]

Ahmad bin Sinân berkata, “Abu Bakr al-Ashamm datang kepada Abdurrahman bin Mahdi. Ia berkata, ‘Aku datang kepadamu untuk berdebat denganmu dalam masalah agama.” Abdurrahman menjawab, “Kalau engkau ada keraguan terhadap sesuatu dalam masalah agamamu, maka berdirilah engkau (di sini) hingga aku keluar untuk shalat. Kalau tidak, maka pergilah engkau menuju pekerjaanmu!” Maka al-Ashamm pun pergi dan tidak berdiam (di sana).”[12]

Dalam ucapan ini terkandung makna bahwa ahlussunnah disibukkan dengan kebenaran yang mereka pegang, dan disibukkan dengan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Inilah beberapa nukilan yang berfaidah yang saya nukilkan dari kitab al-Ibânah karya Ibnu Baththah al-Ukburi rahimahullah; yang merupakan sebuah kitab spektakuler terkait dengan tema pembahasannya. Semua nukilan dari kaum salaf ini menunjukkan kekokohan keyakinan beragama mereka, besarnya perhatian dan penjagaan mereka terhadapnya. Mereka tidak menjadikan agama ini sebagai bahan perdebatan.

Inilah di antara sebab ketegaran mereka di atas kebenaran.

12. Mereka Yakin Bahwa Masalah Akidah Adalah Masalah Yang Tetap, Tidak Terkena Perubahan Apapun

Kaum salaf yakin bahwa permasalahan i’tikad, seperti masalah iman kepada Allâh, Asma’ dan Sifat-Nya, percaya kepada hari akhir dan masalah-masalah semacamnya  yang dibawa oleh para Rasûl merupakan perkara yang tetap (konstan), yang tidak terkena naskh (penghapusan), perubahan dan semacamnya. Karena akidah bukanlah perkara yang bisa dijangkau oleh naskh, oleh karena itu ajaran para nabi dari awal hingga akhir dalam masalah akidah adalah satu. Dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الأَنْبِيَاءُ إخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

Para nabi adalah saudara sebapak, sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Namun agama mereka satu. [Shahîh Muslim, 4/1837]

13. Akidah Ahlussunnah itu Jelas , Mudah dan Jauh dari Kepelikan

Akidah ahlussunnah wal jamaah itu jelas sejelas matahari di siang bolong. Ini disebabkan oleh sumbernya yang juga jelas dan terang, berbeda dengan akidah selain mereka diliputi oleh berbagai macam kepelikan dan ketidakjelasan serta banyak unsur syubhat (hal yang samar-samar).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ash-Shawâ`iqul Mursalah ketika menjelaskan akidah yang hak ini, beliau mengatakan, “Ia seperti cahaya matahari bagi penglihatan, tak ada kemusykilan (kesulitan) padanya. Penyebutan secara global (ijmâl) tidak merubah sisi pendalilannya (wajhu dalâlah). Dan (makna-makna) yang dibolehkan dan juga dimungkinkan tidak bertentangan dengannya. Ia masuk dalam pendengaran tanpa memerlukan izin. Posisinya bagi logika bagaikan posisi air tawar segar bagi orang yang haus dahaga. Keutamaannya dibandingkan argumentasi ahli logika dan kalam, seperti keutamaan Allah Azza wa Jalla atas manusia. Tidak mungkin bagi seseorang untuk mencercanya dengan cercaan yang bisa menimbulkan kerancuan. Kecuali kalau sekiranya ia bisa untuk mengingkari terangnya cuaca pada pertengahan siang saat matahari terik.[13]

Jadi, orang yang hendak mencela akidah yang shahih lagi selamat ini; yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah; perumpamaannya seperti seseorang yang mendatangi orang-orang pada pertengahan siang seraya berkata: “aku ingin membuktikan kepada kalian, bahwa sekarang ini adalah waktu malam, bukan siang”. Inilah permisalan orang yang hendak menaburkan keraguan tentang keabsahan akidah yang sahih lagi selamat yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.

Namun masalahnya adalah seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. [Al-Hajj /22: 46]

14. Mereka Mengambil Pelajaran Pengikut Hawa Nafsu

Ada ungkapan hikmah yang mengatakan:

السَّعِيْدُ مَنِ اتَّعَظَ بِغَيْرِهِ

Orang yang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain.

Para pengekor hawa nafsu yang meninggalkan al-Kitab dan as-Sunnah menggiring mereka pada sikap plin-plan dan penyelewengan, berpindah-pindah dan  gamang, serta jauh dari ketegaran dan kekokohan. Mereka selalu saja berpindah ke sana kemari. Saya nukilkan di sini beberapa nukilan dari para ahli ilmu tentang keadaan para pengikut hawa nafsu.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Ahlul kalam adalah orang yang paling banyak berpindah-pindah dari satu pendapat ke pendapat lainnya. Mereka sering menetapkan (benarnya) suatu pendapat di suatu tempat, namun di tempat lain juga menetapkan (benarnya) pendapat yang bertentangan dengan pernyataan pertama, sekaligus memvonis kafir orang yang berpendapat demikian. Ini adalah bukti ketidakyakinan mereka. Sesungguhnya iman itu seperti yang dikatakan Qaisar ketika ia bertanya kepada Abu Sufyan tentang orang-orang yang masuk Islam bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Qaisar bertanya, “Apakah ada salah seorang dari mereka murtad dari agamanya karena benci kepadanya setelah ia memasukinya?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak.” Qaisar berkata, “Demikian pula dengan iman, bila manis indahnya telah merasuk ke dalam hati, maka tak ada seorangpun yang membencinya.”[14]

Dalam kisah ini terdapat pelajaran dan ibrah dari keadaan para pengekor hawa nafsu, yaitu mereka tidak memiliki ketegaran dan kekokohan. Mereka selamanya akan berpindah-pindah  dan dalam kegamangan.

Di antara gambaran dan penjelasan para Ulama tentang keadaan para pengikut hawa nafsu adalah ucapan Abul Muzhaffar As-Sam’âni yang dinukilkan oleh at-Taimi dan Ibnul Qayyim. As-Sam’âni berkata, “Bila engkau perhatikan ahli bid’ah, engkau akan dapati mereka bercerai-berai dan berselisih paham dalam banyak kelompok dan golongan. Hampir-hampir tidak akan engkau dapati dua orang dari mereka berada dalam satu jalan yang sama dalam masalah i’tiqad. Sebagian mereka memvonis lainnya sebagai ahli bid’ah; bahkan sampai pada taraf mengkafirkan. Anak mengkafirkan ayahnya, seseorang mengkafirkan saudaranya, dan seseorang mengkafirkan tetangganya. Engkau lihat selamanya mereka berada dalam pertikaian, saling membenci dan berselisih. Umur mereka habis sedangkan mereka tidak bisa sampai pada satu kata yang sama.”[15]

Ibrâhîm an-Nakha’i berkata, “Mereka memandang bahwa plin-plan dalam agama termasuk keraguan hati terhadap Allâh Azza wa Jalla”[16]

Malik bin Anas berkata, “Merupakan penyakit yang sangat akut: berpindah-pindah (dari satu pendapat ke pendapat lain) dalam agama.” Beliau Radhiyallahu anhu juga berkata, “Seseorang berkata, ‘Kalaulah engkau hendak bermain-main, maka janganlah engkau sekali-kali bermain-main dengan agama kamu.”[17]

Orang yang memperhatikan keadaan ahlul ahwâ’ (pengekor hawa nafsu), ia akan dapati bahwa pada hakikatnya mereka mempermainkan agama, berpindah-pindah (dari satu pendapat ke pendapat lainnya). Tak ada kekokohan pada mereka, bahkan sampai-sampai salah seorang tokoh ahli kalam –di mana dia berada dalam kebimbangan dan kegamangan- pernah ditemui oleh salah seorang terpandang dari kalangan ahlussunnah. Sang ahli kalam bertanya, “Apa keyakinanmu?” Ia menjawab, “Aku meyakini seperti apa yang diyakini oleh kaum Muslimin –artinya apa yang datang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasûl-Nya-.”  Sang ahli kalam bertanya kembali, “Dan engkau merasa tentram dan lega hati dengan keyakinanmu?” Ia menjawab, “Ya.” Ahli kalam berkata, “Bersyukurlah kepada Allâh atas nikmat ini. Karena aku, demi Allâh, aku tidak tahu apa yang aku yakini? Demi Allâh! Aku tidak tahu apa yang aku yakini? Demi Allâh, aku tidak tahu apa yang aku yakini! Lalu ia menangis hingga membasahi jenggotnya.[18]

Ini dikarena mereka menjadi masalah akidah menjadi bahan perbantahan , perdebatan dan semacamnya.

Orang yang memperhatikan keadaan ahlul ahwâ’ mendapati ada pelajaran dan ibrah pada mereka, seperti yang telah disampaikan diawal poin ini, “Orang yang bahagia adalah yang mengambil pelajaran dari orang lain.” Maka pemegang sunnah mestinya bersyukur kepada Allâh atas nikmat sunnah. Dan memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar menjadikannya tegar di atasnya.
Baca Juga  Aqidah Iman Syâfi'i Tentang Asmȃ' dan Sifat Allah

15. Mereka Bersatu dan Tidak Berselisih

Di antara sebab ketegaran Ahlussunnah di atas keyakinan yang hak ini adalah mereka bersatu dan tidak bercerai-berai.

Ini berbeda dengan ahlul ahwâ’, mereka cerai-beraikan agama mereka dan mereka terpecah, bergolong dan berkelompok. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada kelompoknya.

Qatâdah rahimahullah mengatakan, “Seandainya keyakinan khawarij itu (benar di atas) petunjuk, pasti mereka bersatu padu, namun mereka di atas kesesatan, sehingga mereka bercerai-berai.”[19] Ucapan ini bisa diterapkan pada semua ahli bid’ah. Adapun Ahlussunnah, maka mereka tetap bersatu padu. Tidak ada perpecahan atau perselisihan pada mereka dalam masalah agama Allâh Azza wa Jalla . Mereka berada di atas jalan yang lurus, selalu menjaganya, saling mewasiatkannya dan bersabar menjalaninya.

Abul Muzhaffar as-Sam’âni berkata, “Di antara yang menunjukkan bahwa ahlul hadits berada di atas kebenaran adalah bila engkau menelaah semua kitab-kitab mereka yang ditulis sejak awal hingga yang terakhir, baik kitab klasik maupun yang baru, akan engkau dapatkan –meski mereka berbeda negeri dan masa, berjauhan negara di antara mereka, dan masing-masing mendiami daerah tertentu- mereka berada di atas satu jalan dan satu metode dalam penjelasan tentang masalah akidah. Mereka berjalan di atas jalan yang mereka tidak menyimpang darinya. Dalam hal tersebut, mereka satu hati. Mengenai penukilan yang mereka nukilkan, tidak engkau dapati di dalamnya perbedaan atau perselisihan dalam sesuatu apapun, meski hanya sedikit. Bahkan sekiranya engkau himpun semua yang dituturkan lisan mereka dan apa yang mereka nukilkan dari salaf mereka, engkau akan mendapatinya seolah-olah ia datang dari satu hati dan meluncur dari satu lisan. Lalu, apakah ada dalil atas kebenaran yang lebih terang dari hal ini? Allâh Azza wa Jallaberfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’ /4: 82]

Allâh juga berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allâh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allâh, orang-orang yang bersaudara; [Ali Imrân /3: 103][20]

Ini juga merupakan di antara sebab yang begitu agung yang membuat ahlussunnah tetap tegar di atas kebenaran, dan istiqamahnya di atas akidah yang sahih serta selamat dari penyimpangan, sikap plin-plan dan berubah-rubah.

Ini merupakan poin terakhir yang saya terangkan. Namun sebelum menutup, saya ingin membawakan beberapa nukilan yang menunjukkan bahwa Ahlussunnah itu sepakat dalam masalah akidah.

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Apa-apa yang pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan termasuk (ajaran) agama, maka pada hari ini pun tidak akan bisa menjadi (ajaran) agama; dan tidak akan menjadi ajaran agama hingga kiamat menjelang. Dan generasi akhir dari umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang dengannya generasi awal menjadi baik.”

Bila engkau perhatikan akidah mereka pada masa sekarang ini, dan juga pada semua masa yang silam, engkau dapati ia adalah akidah yang satu. Saya berikan di sini sebagian contoh:

Misalnya ; bila engkau periksa tentang sisi tauhid dan keikhlasan; ikhlas beramal karena Allâh Azza wa Jalla , engkau dapati mereka semua  merupakan para penyeru tauhid.  Mereka semua menyeru pada ikhlas beramal karena Allâh Azza wa Jalla . Semuanya memberi peringatan agar tidak jatuh dalam kesyirikan terhadap Allâh dan tidak memberikan peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla .

Engkau tidak akan temukan seorang pun diantara  mereka yang menyerukan satu bentuk apapun dari perbuatan syirik atau yang bertentangan dengan tauhid. Tidak seperti yang dilakukan oleh banyak kalangan dari ahlul ahwâ’; di mana mereka menyeru pada bentuk-bentuk penyimpangan ini. Lalu mereka menamakannya dengan sebutan-sebutan lainnya. Mereka menamakan berbagai bentuk kesyirikan dengan sebutan tawassul, atau syafaat dan semacamnya.

Misal lain, mereka semua sepakat untuk menyokong sunnah dan melarang bid’ah dan melarang mengikuti hawa nafsu. Tidak engkau dapati di antara mereka kecuali ia menyerukan Sunnah, dan memperingatkan dari bid’ah. Tidak engkau temukan di antara mereka orang yang menganggap bahwa (mengikuti) hawa nafsu adalah hal yang baik dan tidak ada pula yang memotivasi hal-hal bid’ah. Atau tidak ada pula yang berusaha untuk menjelaskan bahwa ada sisi-sisi kebaikan dari perkara-perkara bid’ah, atau yang semacamnya. Yang ada, mereka dari yang pertama hingga yang terakhir, semua memperingatkan dari bid’ah dan hawa nafsu, dan menyeru manusia untuk berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misal ketiga: Iman mereka kepada asma’ dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Engkau dapati mereka -dari yang pertama sampai yang akhir- berjalan di atas satu metode. Mereka menetapkan Asma’ dan sifat yang Allâh tetapkan untuk Diri-Nya, dan apa-apa yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan. Mereka menafikan apa yang Allâh nafikan dari Diri-Nya, dan apa yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam nafikan dari-Nya berupa kekurangan dan cela. Mereka tidak melakukan tahrîf, ta’thîl, takyîf, tidak juga tamtsîl. Kaidah yang mereka pegang dalam masalah tersebut adalah seperti yang Allâh Azza wa Jalla kabarkan:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

 Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [Asy-Syûrâ /42: 11]

Mereka semua berjalan di atas satu jalan dalam masalah ini.

Adapun selain mereka, engkau dapati ada di antara mereka yang mu`aththil (ahli ta’thîl) atau muharrfi (ahli tahrîf); mukayyif (ahli takyîf) atau mumatstsil (ahli tamtsîl); atau yang menempuh jalan lainnya; yang juga disertai perselisihan yang membentang luas pada masing-masing penganut madzhab tersebut.

Misal terakhir, kesamaan manhaj ahlussunnah wal jamaah dalam metode ber-istidlâl (pengambilan dalil). Ini adalah permasalahan yang sudah saya terangkan sebelumnya. Jadi, metode mereka dalam ber-istidlâl adalah satu; dan sandaran mereka dalam hal itu juga satu; yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Di pungkasan kalimat ini, saya bertawajjuh  kepada Allâh Azza wa Jalla  dengan perantara Asmâ’-Nya yang terbaik dan terindah, dan Sifat-sifat-Nya yang Mahamulia, agar Dia berkenan menyertakanku dan juga pembaca sekalian agar bisa dibangkitkan bersama dengan para hamba-Nya yang shalih. Dan agar Dia memberi anugerah kepada kami dan juga kalian agar bisa konsisten berjalan di atas Sunnah dan mengikuti jejak langkah salaf umat ini.

Semoga Allâh berkenan menjauhkan kita dari hawa nafsu dan bid’ah! Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kita akidah yang shahih; iman yang selamat, dan suluk (perilaku) yang istiqamah, serta adab dan akhlak nan mulia.

Kita memohon kepada Allâh agar memberi taufiq kepada kita semua dengan taufiq dari-Nya; menunjuki kita semua jalan yang lurus, dan menjadikan kita sebagai hamba yang bisa mengarahkan petunjuk dan juga mendapatkan petunjuk; menjadikan kita termasuk orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang terbaik darinya. Sesungguhnya Dia Yang Mengurusi itu semua, dan Yang Mampu mewujudkannya.

______

Footnote:

[1] Mukhtashar Shawâ’iq, hlm. 518
[2] Kebanyak do’a-do’a ini ada pada kitab Shahîh Muslim, kecuali dua yang terakhir ada pada Musnad Imam Ahmad dan an-Nasa’i
[3] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/505
[4] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/503
[5] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/504
[6] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/508
[7] Imam Malik rahimahullah mengisyaratkan pada salah seorang imam salaf yang tidak beliau sebut namanya.
[8] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/509
[9] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/507
[10] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/509
[11] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/519
[12] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/538
[13] Ash-Shawâ`iq al-Mursalah, 3/1199
[14] Majmû` Fatâwâ, 4/50
[15] Mukhtashar Ash-Shawâ`iq Al-Mursalah, hlm. 518
[16] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/505
[17] Al-Ibânah karya Ibnu Baththah 2/506
[18] Lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahâwiyyah, hlm. 246
[19] Tafsîr ath-Thabari 3/178
[20] Mukhtashar Ash-Shawâ`iq al-Mursalah, hlm. 518

Sumber: https://almanhaj.or.id/
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.