Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Firqah Rafidhah –yang dikenal dengan nama Syi’ah- menyatakan bahwa kelompok merekalah yang paling benar karena mengikuti pemahaman ahlul bait dalam masalah agama. Benarkah anggapan mereka tersebut? Maka di sini kami ingin menjelaskan permasalahan ini –dengan memohon taufiq Allah-, agar orang yang ingin berjalan di atas jalan yang lurus dapat berjalan di atas bukti yang nyata, sebaliknya agar orang yang sesat dan binasa akan binasa di atas bukti yang nyata.
Agar pemahaman mereka dapat diterima kaum muslimin, firqah Rafidhah menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahlus. Akan tetapi hendaklah kita selalu waspada, karena hadits-hadits yang mereka sebutkan itu memiliki dua kemungkinan:
- Pertama: Hadits-hadits itu lemah, sehingga tertolak.
- Kedua: Hadits-hadits itu shahih, tetapi tidak menunjukkan apa yang mereka sebutkan.
HADITS TSAQALAIN
Di antara hadits-hadits yang sering mereka bawakan adalah hadits tsaqalain (dua perkara yang sangat berharga), sebagaimana di bawah ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ الهِs قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ الهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَخْطُبُ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ الهِى وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ pada hari Arafah di dalam haji beliau, yang beliau di atas ontanya yang bernama Al-Qashwa, beliau sedang berkhotbah. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kamu sesuatu jika kamu memeganginya niscaya kamu tidak akan sesat: kitab Allah dan ‘itrah-ku (keturunanku/sanak keluargaku), ahli bait-ku.[1]
Kemudian hadits lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
عَنِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ: قَامَ رَسُولُ الهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ الهَع وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ الهَِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ الهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ (وفي رواية: هُوَ حَبْلُ الهِي مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلاَلَةٍ) فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ الهِو وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ الهَع فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ الهَض فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ الهَت فِي أَهْلِ بَيْتِي فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ (وفي رواية: فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لاَ وَايْمُ الهِْ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنَ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ) قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلاَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: “Suatu hari Rasulullah ﷺ berdiri khutbah di hadapan kami di sebuah mata air yang disebut Khum, di antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, menyanjungNya, menasehati, mengingatkan, lalu bersabda: “Amma ba’du, ingatlah wahai manusia, sesungguhnya saya adalah manusia biasa, sudah dekat masanya utusan Rabbku datang lalu aku akan menyambut, dan aku meninggalkan tsaqalain (dua perkara yang sangat berharga) pada kamu. Yang pertama adalah kitab Allah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, oleh karena itu pegangilah dan pegang-teguhlah ia. (Dalam riwayat lain: Kitab Allah itu adalah tali Allah, barangsiapa mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa meningalkannya maka dia berada di dalam kesesatan). Lalu beliau mendorong dan menyemangati untuk suka terhadap kitab Allah. Lalu beliau bersabda: “Dan Ahli Bait-ku, aku mengingatkan kamu atas nama Allah tentang ahli bait-ku, aku mengingatkan kamu atas nama Allah tentang Ahli Bait-ku, aku mengingatkan kamu atas nama Allah tentang ahli bait-ku”. Lalu Hushain berkata kepada Zaid: “Dan siapakah Ahli Bait beliau itu wahai Zaid, bukankah istri-istri beliau termasuk Ahli Bait beliau?”. Zaid menjawab: “Memang (secara umum) istri-istri beliau termasuk Ahli Bait, tetapi ahli bait beliau adalah orang-orang setelah beliau yang diharamkan (menerima) zakat”. (Dalam riwayat lain: “Maka kami bertanya: “Siapakah Ahli Bait beliau itu, apakah istri-istri beliau?”. Dia menjawab: “Tidak, demi Allah, sesungguhnya seorang istri itu terkadang bersama suaminya dalam suatu masa yang panjang, lalu suaminya menceraikannya, maka dia kembali kepada ayahnya dan kaumnya. Ahli Bait beliau adalah keturunannya dan ‘ashabahnya (keturunannya dari fihak laki-laki), yaitu orang-orang setelah beliau yang diharamkan (menerima)zakat”.) Hushain bertanya: “Siapakah mereka”. Zaid menjawab: “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain bertanya: “Mereka semua ini diharamkan (menerima) zakat?”. Zaid menjawab: “Ya.” [HR. Muslim No: 2408]
BANTAHAN
Hadits pertama tidak shahih, para ulama telah melemahkannya, sebagaimana hal itu dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan perkataannya: “Adapun perkataan dalam hadits: “dan ‘itrah-ku (keturunanku/sanak keluargaku), ahli bait-ku” dan bahwa keduanya (kitab Allah dan ‘itrah Nabi) tidak akan terpisah sampai keduanya mendatangiku di telaga (Al-Kautsar-pen), ini diriwayatkan oleh Tirmidzi. Imam Ahmad pernah ditanya tentangnya lalu beliau melemahkannya, juga banyak ulama yang melemahkannya, dan mereka menyatakan: “Tidak shahih”. [Minhajus Sunnah VII/394]
Demikian pula DR. ‘Ali As-Salus telah mengumpulkan jalan-jalan hadits ini di dalam kitabnya yang bernama “Hadits Ats-Tsaqalain Wa Fiqhuhu” dan menghukumi kelemahannya, yang perkataannya ditopang dengan nukilan-nukilan dari para ulama.
Adapun hadits kedua memang shahih, tetapi di dalamnya tidak ada hujjah bagi Rafidhah. Karena kandungan hadits tersebut adalah wasiat Nabi terhadap ummat tentang kitab Allah dan untuk mengamalkannya. Dan bahwa di dalam kitab Allah tersebut terdapat cahaya dan petunjuk. Kemudian wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ummat tentang ahli bait beliau, agar hak-hak mereka diberikan, dan peringatan keras dari menzhalimi mereka. Di dalamnya sama sekali tidak disebutkan perintah untuk mengikuti Ahli Bait, sebagaimana disangka oleh Rafidhah!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits yang ada di dalam Shahih Muslim, jika Nabi dahulu telah mengatakannya, maka yang ada di dalamnya hanyalah wasiat untuk mengikuti kitab Allah, dan ini adalah perkara yang sebelumnya telah beliau wasiatkan di dalam haji wada’. Beliau tidak memerintahkan untuk mengikuti al-‘itrah (keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), tetapi beliau bersabda: “Aku mengingatkan (kamu) atas nama Allah tentang ahli bait-ku”. Dan peringatan beliau terhadap umat tentang ahli bait beliau mengharuskan agar umat mengingat perintah yang telah terdahulu, yaitu: memberikan hak-hak mereka, dan tidak menzhalimi mereka, dan ini adalah perkara yang telah dijelaskan sebelum Ghadir Khum”. [Minhajus Sunnah VII/318]
Dengan demikian jelaslah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan umat Islam untuk mengikuti Ahli Bait beliau dengan nash yang shahih lagi sharih (nyata). Yang dipegangi oleh Rafidhah di dalam hal ini hanyalah hadits-hadits yang lemah, sehingga tidak diterima sebagai hujjah, atau hadits-hadits shahih, tetapi tidak menunjukkan apa yang mereka sebutkan.
HAKEKAT MENGIKUTI AHLUL BAIT
Kemudian seandainya perintah Nabi untuk mengikuti ahli bait beliau itu shahih, maka hal itu bukan merupakan hujjah bagi Rafidhah untuk membenarkan aqidah mereka! Bahkan merupakan hujjah untuk meninggalkan agama Rafidhah!! , kemudian kembali kepada agama Islam yang haq, sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Perintah untuk mengikuti Ahli Bait –jika memang shahih- adalah di dalam perkara-perkara yang mereka sepakati. Sedangkan para imam dan tokoh ahlul bait sepakat berlepas diri dari golongan Rafidhah dan aqidah mereka! Mereka sepakat atas kesesatan Rafidhah, penyimpangan mereka dari Sunnah, dan jauhnya mereka dari al-haq. Dan mereka sangat mencela dan membenci Rafidhah, karena Rafidhah menisbatkan aqidah-aqidah rusak kepada mereka dan mebuat-buat kedustaan atas nama mereka. Tentang perkataan-perkataan mereka insya Allah akan kami nukilkan di bawah.
Kemudian hendaklah diketahui bahwa di antara ijma’ (kesepakatan) seluruh ahlul bait dan para imam ‘itrah (sanak keluarga dan keturunan Nabi) adalah mendahulukan Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma daripada lainnya, dan meyakini imamah (keimaman) keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Para imam ‘itrah, seperti Ibnu ‘Abbas dan lainnya mendahulukan Abu Bakar dan Umar di dalam imamah (keimaman) dan keutamaan. Demikian pula seluruh Bani Hasyim dari keturunan ‘Abbas, keturunan Ja’far, dan kebanyakan keturunan Ali. Mereka mengakui imamah (keimaman) Abu Bakar dan Umar. Dari kalangan ahlul bait yang menjadi sahabat-sahabat (murid-murid) Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lainnya jauh lebih banyak daripada yang menjadi pengikut Imamiyah (Syi’ah Rafidhah). Dan nukilan yang shahih dari seluruh ulama ahlul bait, dari Bani Hasyim, dari kalangan Tabi’in dan para pengikut mereka, dari anak Al-Husain bin Ali, anak Al-Hasan, dan lainnya: bahwa mereka semuanya memberikan wala’ (kecintaan dan pembelaan) kepada Abu Bakar dan Umar, dan mereka lebih mengutamakan keduanya daripada Ali. Dan nukilan-nukilan dari mereka itu shahih dan mutawatir”. [Minhajus Sunnah VII/396]
Dengan ini nyatalah, jika memang kesepakatan ahlul bait merupakan hujjah, dan ijma’ mereka merupakan dalil, maka sesungguhnya orang-orang yang paling berbahagia dengannya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bukan Rafidhah, yang mereka itu adalah orang-orang yang paling jauh dari aqidah ahlul bait.
2. Bahwa perintah untuk mengikuti Ahli Bait –jika memang shahih- , maka bertentangan dengan perintah yang lebih shahih, yang telah menjadi ijma’ umat, dan ijma’ ‘itrah, yaitu bahwa hujjah adalah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam Minhajus Sunnah VII/397.
3. Bahwa perintah untuk mengikuti Ahli Bait –jika memang shahih-, maka bertentangan dengan perintah Nabi yang lebih shahih, lebih masyhur di kalangan ulama dan lebih jelas maknanya, yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
Teladanilah dua orang setelah aku, yaitu Abu Bakar dan Umar.[2]
Juga bertentangan dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Wajib atas kamu berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelah aku, gigitlah dengan gigi geraham.[3]
Kedua hadits di atas merupakan nash yang jelas tentang siapa yang wajib diikuti oleh umat setelah Nabi wafat. Adapun hadits-hadits yang dianggap memerintahkan untuk mengikuti ahli bait, maka hadits yang shahih tidak jelas maknanya menunjukkan hal itu, adapun yang jelas maknanya, maka haditsnya tidaklah shahih!
PERKATAAN PARA IMAM AHLUL BAIT TENTANG KESESATAN RAFIDHAH
Kemudian setelah itu, marilah kita dengarkan perkataan-perkataan para imam dan tokoh ahlul bait yang berlepas diri dari aqidah Rafidhah, -sekaligus menetapkan keyakinan Ahlus Sunnah, karena memang mereka adalah Ahlus Sunnah- walaupun Rafidhah beragama dengan menjadikan mereka sebagai imam dan mengaku-ngaku mengikuti mereka!
1. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ وَهْبٍ السُّوَائِيِّ قَالَ خَطَبَنَا عَلِيٌّ رَضِي الهُa عَنْهُ فَقَالَ مَنْ خَيْرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا فَقُلْتُ أَنْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ لاَ خَيْرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ رَضِي الهُن عَنْهُ
Dari Wahb As-Suwa-i, dia berkata: “’Ali Radhiyallahu ‘anhu berkhutbah kepada kami, beliau berkata: “Siapakah sebaik-baik umat ini setelah Nabinya?”. Aku menjawab: “Anda, wahai amirul mukminin”. Beliau menjawab: “Bukan. Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar Radhiyallahu ‘anhuma.[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan telah mutawatir dari banyak jalan bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar di kota Kufah, dan beliau memperdengarkan kepada orang yang hadir: “Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar Radhiyallahu ‘anhuma“, dengan itu juga putranya, yaitu Muhammad bin Al-Hanafiyah memberikan jawaban, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Shahihnya”. [Minhajus Sunnah I/11-12]
Perkataan Ali Radhiyallahu ‘anhu ini merupakan pukulan telak terhadap Rafidhah yang biasa mencaci maki kedua manusia terbaik setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.
Bahkan Ali Radhiyallahu ‘anhu juga mengancam orang yang lebih mengutamakannya daripada Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma dengan perkataannya:
لاَ يُفَضِّلُنِي أَحَدٌ عَلَي الشَّيْخَيْنِ إِلاَّ جَلَدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِي
Tidaklah seorangpun mengutamakanku daripada Abu Bakar dan Umar kecuali aku menderanya sebagai hukuman orang yang membuat-buat kedustaan[5].
Ali Radhiyallahu ‘anhuma juga memohonkan rahmat untuk Umar bin Al-Khaththab tatkala jenazahnya diletakkan di atas pembaringan, dan berkata tentangnya:
مَا خَلَّفْتَ أَحَدًا أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَلْقَى الهَt بِمِثْلِ عَمَلِهِ مِنْكَ وَايْمُ الهِ- إِنْ كُنْتُ لَأَظُنُّ أَنْ يَجْعَلَكَ الهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ وَحَسِبْتُ إِنِّي كُنْتُ كَثِيرًا أَسْمَعُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَهَبْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَخَرَجْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
Tidaklah engkau (Umar) tinggalkan seorangpun yang lebih aku sukai jika aku menghadap Allah dengan semisal amalannya, daripadamu. Demi Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa Allah akan menjadikanmu bersama kedua sahabatmu (yaitu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu). Dan aku menyangka, bahwa sesungguhnya aku sering mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku pergi bersama Abu Bakar dan Umar”, “Aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar”, “Aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar”. [HR. Bukhari no :3685; Muslim no:2389]
Riwayat-riwayat yang shahih dari Ali Radhiyallahu ‘anhu ini membatalkan aqidah Rafidhah tentang Abu Bakar dan Umar, yang berlepas diri dari keduanya bahkan menganggap keduanya termasuk makhluk yang paling jahat! Kami mohon perlindungan kepada Allah dari kesesatan yang mengkafirkan ini.
2. Al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma.
عَنْ عَمْرٍو يْنِ اْلأَصَم قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ : إِنَّ الشِيْعَةَ تَزْعُمُ أَنَّ عَلِيًّا مَبْعُوْثٌ قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ , قَالَ: كَذَبُوْا وَاللهِ مَا هَؤُلاَءِ بِالشِيْعَةِ , لَوْ عَلِمْنَا أَنَّهُ مَبْعُوْثٌ مَا زَوَّجْنَا نِسَاءَ هُ وَلاَ اقْتَسَمْنَا مَالَهُ
Dari ‘Amr bin Al-Asham, dia berkata: “Aku berkata kepada Al-Hasan: “Sesungguhnya Syi’ah (Rafidhah) menyangka bahwa ‘Ali akan dibangkitkan sebelum hari kiamat”. Dia menjawab: “Mereka berdusta, demi Allah, mereka itu bukanlah Syi’ah (pengikut Ali). Jika kami tahu bahwa dia akan dibangkitkan, niscaya kami tidak menikahkan istri-istrinya dan tidak membagikan hartanya”[6].
Abu Nu’aim Al-Ashbahani meriwayatkan : Dikatakan kepada Al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma : “Sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa engkau menghendaki khilafah (ingin jadi khalifah)”. Dia menjawab: “Dahulu segolongan bangsa Arab di tanganku, mereka memerangi orang-orang yang aku perangi, dan mereka berdamai orang-orang yang aku berdamai. Kemudian aku meninggalkan mereka karena mencari wajah Allah dan menyelamatkan darah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [Hilyatul Auliya’ II/37]
3. Al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma.
Orang-orang Syi’ah ‘Iraq telah menulis surat kepada beliau dan menjanjikan pertolongan, tetapi kemudian mereka meninggalkannya, bahkan menyerahkan beliau kepada musuh-musuh beliau. Inilah perkataan beliau tentang Syi’ah ‘Iraq tersebut: “Wahai Allah, sesungguhnya penduduk ‘Iraq telah membujukku, dan telah menipuku, dan mereka telah memperlakukan saudaraku apa yang telah mereka lakukan, wahai Allah cerai-beraikanlah urusan mereka, dan hitunglah jumlah mereka (binasakanlah mereka).” [Disebutkan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar III/302]
Maka ingkar janji mereka itulah yang mengakibatkan syahidnya beliau dan kebanyakan ahlul bait yang bersama beliau, setelah ditinggalkan oleh para pengkianat tersebut! Gugurnya beliau merupakan musibah besar dan kepedihan yang menyakitkan dan menjadikan hati setiap muslim berduka. Hal itu disebabkan oleh Orang-orang Syi’ah (Rafidhah). Tetapi anehnya, sekarang mereka menampakkan duka-cita dan penyesalan mereka terhadap gugurnya Al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu a’nhuma, yaitu dengan mengadakan bid’ah peringatan kematian tersebut pada tanggal 10 Muharram setiap tahunnya.
Alangkah dustanya pengakuan mereka di dalam membela ahlul bait! dan alangkah besarnya ingkar janji mereka terhadap ahlul bait!!
4. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah.
Telah shahih bahwa beliau berkata: “Wahai penduduk ‘Iraq, cintailah kami dengan kecintaan Islam, dan janganlah kamu mencintai kami dengan kecintaan kepada berhala-berhala. Kecintaan kamu terus-menerus kepada kami sampai menjadi keburukan atas kami”.[7]
Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah III/137, bahwa sekelompok penduduk ‘Iraq mendatanginya dan mereka mencela Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu anhum. Setelah mereka selesai, beliau berkata kepada mereka: “Cobalah beritahukan kepadaku, apakah kamu itu orang-orang Muhajirin, yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yang benar?”[8]
Mereka menjawab: “Bukan”.
Beliau berkata lagi: “Apakah kamu itu orang-orang (Anshar), yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh kedengkian dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[9] Mereka menjawab: “Bukan”.
Beliau berkata lagi: “Aku bersaksi bahwa kamu bukanlah termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Allah:
وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:”Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau menjadikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang“. [Al-Hasyr/59:10]
Keluarlah kamu, mudah-mudahan Allah memperlakukan (sesuatu kepada) kamu.”
5. Muhammad bin ‘Ali Al-Baqir rahimahullah.
Beliau rahimahullah berkata: “Keturunan Fathimah telah sepakat mengatakan dengan sebaik-baik perkataan tentang Abu Bakar dan Umar”.[10]
Beliau rahimahullah juga berkata kepada Jabir Al-Ju’fi: “Sesungguhnya sekelompok orang di ‘Iraq menyangka bahwa mereka mencintai kami, tetapi mereka mencaci Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dan mereka menyangka bahwa aku memerintahkan hal itu kepada mereka. Maka beritahukan kepada mereka: “Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah dari mereka, dan Allah berlepas diri dari mereka. Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, jika aku berkuasa, sungguh aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan (menumpahkan) darah mereka. Aku tidak akan mendapatkan syafa’at Muhammad, jika aku tidak memohonkan ampun untuk keduanya (Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma ). Sesungguhnya musuh-musuh Allah melalaikan keduanya”.[11]
Dalam riwayat lain disebutkan: dari Bassam Ash-Shairafi, dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Ja’far tentang Abu Bakar dan Umar, maka beliau menjawab: “Demi Allah, sesungguhnya aku memberikan wala’ (kecintaan dan pembelaan) kepada keduanya dan aku memohonkan ampun untuk keduanya. Aku tidak menemui seorangpun dari ahli baitku kecuali dia memberikan wala’ kepada keduanya.”[12]
6. Zaid bin ‘Ali rahimahullah.
Beliau rahimahullah berkata: “Abu Bakar adalah imam orang-orang yang bersyukur”, kemudian beliau membaca firman Allah:
وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِينَ
Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali Imran/3: 144]
Lalu beliau berkata: “Berlepas diri dari Abu Bakar sama saja dengan berlepas diri dari ‘Ali.”[13]
Beliau rahimahullah juga berkata: “Berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar sama saja dengan berlepas diri dari ‘Ali, maka jika kamu mau lakukanlah, atau tinggalkanlah.”[14]
7. Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq rahimahullah.
Dari Abdul Jabbar bin ‘Abbas Al-Hamdani menyatakan bahwa Ja’far bin Muhammad (Ash-Shadiq) mendatangi mereka, sedangkan mereka akan meninggalkan kota Madinah. Lalu beliau berkata: “Sesungguhnya kamu –insya Allah- termasuk orang-orang shalih penduduk kota kamu, maka sampaikanlah kepada mereka dariku: “Barangsiapa menyangka bahwa aku sebagai imam yang maksum, yang harus ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Dan barangsiapa menyangka bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, maka aku berlepas diri darinya”. [Disebutkan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar VI/259]
Dalam riwayat lain disebutkan: dari Salim bin Abi Hafshah, dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Ja’far dan kepada anaknya, Ja’far, tentang Abu Bakar dan Umar, maka beliau menjawab: “Wahai Salim, berilah wala’ (kecintaan dan pembelaan) keduanya, dan berlepas-lah diri dari musuh keduanya, karena keduanya adalah imam petunjuk”. Kemudian Abu Ja’far berkata: “Wahai Salim, apakah seseorang akan mencela kakeknya? Abu Bakar adalah kakekku. Aku tidak akan mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat jika aku tidak memberikan wala’ (kecintaan dan pembelaan) kepada keduanya, dan berlepas-lah diri dari musuh keduanya.”[15]
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata di dalam biografi Ja’far bin Muhammad : “Ibunya adalah Ummu Farwah bintu Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar At-Taimi. Dan ibunya (ibu Ummu Farwah) adalah Asma’ bintu Abdurrahman bin Abi Bakar. Oleh karena itulah beliau berkata: “Abu Bakar Ash-Shiddiq telah melahirkanku dua kali.” [As-Siyar VI/255]
Beliau juga ditanya tentang Abu Bakar dan Umar, maka beliau menjawab: “Sesungguhnya engkau sedang bertanya kepadaku tentang dua orang yang telah makan dari buah-buahan surga.”
Beliau juga berkata: “Allah berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar”. [Disebutkan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar VI/258]
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata mengomentari riwayat ini: “Aku berkata: “Perkataan ini mutawatir dari Ja’far Ash-Shadiq, dan aku bersaksi dengan nama Allah sesungguhnya beliau jujur di dalam perkataannya, tidak munafiq kepada seorangpun, maka mudah-mudahan Allah memburukkan Rafidhah.” [As-Siyar VI/260]
Inilah perkataan para imam ahlul bait, orang-orang yang bersih lagi suci, bertentangan dengan anggapan Rafidhah. Rafidhah mengaku-ngaku menjadikan mereka sebagai imam dan memberikan kecintaan serta pembelaan kepada mereka. Rafidhah menasabkan aqidahnya kepada mereka.
Perkataan para imam ahlul bait itu menunjukkan sikap mereka terhadap kelompok Rafidhah dan agamanya. Mereka berlepas diri dari aqidah-aqidah sesat dan mengkafirkan, serta celaan-celaan terhadap para sahabat yang mulia dan istri-istri Nabi yang disandarkan oleh Rafidhah kepada mereka.
Perkataan para imam ahlul bait itu menunjukkan bahwa mereka memiliki aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, secara lahir batin, dalam perkara besar ataupun kecil. Itulah aqidah mereka, dan mereka memberikan wala’ (pembelaan) dan bara’ (permusuhan) karenanya. Maka barangsiapa yang menasabkan aqidah selain itu kepada mereka, maka dia adalah seorang yang berbuat dusta atas nama mereka dan berbuat zhalim terhadap mereka.
Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat yang luas kepada mereka, ahlul bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai Allah, bimbinglah kami selalu di atas jalanMu yang lurus.
[Kebanyakan pembahasan ini kami ambil dari kitab Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal, hal:112-120, 555-561, karya Syeikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili, penerbit: Maktabah Al-Ghuraba’ Al-Atsariyyah, cet:I, th: 1418 H/1997 M]
____
Footnote:
[1] HR. Tirmidzi, kitab:Manaqib, Bab: Manaqib Ahlil Bait, no:3786; Ahmad di dalam Al-Musnad I/14,17, 26,59
[2] HR. Ahmad V/399; Tirmidzi V/610; dan Al-Hakim III/79. Al-Hakim menshahihkannya dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Ash-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no:1233
[3] HR. Ahmad IV/126; Abu Dawud V/13; Tirmidzi V/44; Ibnu Majah I/15; Ad-Darimi I/57; dan Al-Hakim. Al-Hakim menshahihkannya dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Hasyiyah Misykatul Mashabih I/58
[4] Riwayat Ahmad di dalam Al-Musnad I/106; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam As-Sunnah, hal:556; dan lain-lain. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah
[5] Riwayat Abdullah bin Ahmad di dalam As-Sunnah II/562; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam As-Sunnah, hal:561; dan Abu Hamid Al-Maqdisi di dalam Risalah Fir Raddi ‘Ala Ar-Rafidhah, hal:298
[6] Riwayat Ahmad di dalam Al-Musnad I/148, dan di dalam Fadhailush Shahabah II/175; dan disebutkan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar III/263
[7] Riwayat Al-Lalikai di dalam Syarah Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah VII/1398; juga disebutkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah III/137 dan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar IV/390
[8] Diambil dari firman Allah surat Al-Hasyr/59: 8
[9] Diambil dari firman Allah surat Al-Hasyr/59: 9
[10] Riwayat Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimasyq; juga disebutkan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar IV/406 dan oleh Abu Hamid Al-Maqdisi di dalam Ar-Raddu ‘Ala Ar-Rafidhah, hal:302
[11] Riwayat Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi di dalam An-Nahyu ‘An Sabbil Ash-hab, hal:75; juga disebutkan oleh Al-Baihaqi di dalam kitab Al-I’tiqad, hal:361; dan oleh Abu Hamid Al-Maqdisi di dalam Ar-Raddu ‘Ala Ar-Rafidhah, hal:303
[12] Riwayat Ibnu Sa’ad di dalam Ath-Thabaqat V/321; Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimasyq; juga disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam Al-Bidayah Wan Nihayah IX/321; dan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar IV/403; dan oleh Abu Hamid Al-Maqdisi di dalam Ar-Raddu ‘Ala Ar-Rafidhah, hal:304
[13] Riwayat Al-Lalikai di dalam Syarah Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah VII/1302; juga disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimasyq; dan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar V/390
[14] Riwayat Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi di dalam An-Nahyu ‘An Sabbil Ash-hab, hal:75
[15] Riwayat Abdullah bin Ahmad di dalam As-Sunnah II/558; Al-Lalikai di dalam Syarah Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah VII/1301; dan disebutkan oleh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar VI/258
Sumber: https://almanhaj.or.id/