Type Here to Get Search Results !

 


FIKIH HUDUD

 

OlehUstadz Kholid Syamhudi Lc

Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Hâkim (Yang Maha Bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezhaliman dan kerusakan. Syariat Islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharûriyât al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari’at dan disesuaikan dengan pelanggaran tersebut.

Salah satunya adalah penegakan hudûd yang menjadi salah satu keistimewaan ajaran Islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada makhluknya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : Hudûd berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia karena dosa-dosa mereka, bertujuan melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit.[1]

PENGERTIAN HUDUD

Hudûd adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamâ’ (plural) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya[2]. Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Hudûd Allah Azza wa Jalla adalah perkara-perkara yang Allah Azza wa Jalla larang melakukan atau melanggarnya[3].

Menurut syar’i, istilah hudûd adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya[4].

DELIK HUKUMAN KEJAHATAN (JARIMAH AL-HUDUD)

Kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jarâimu al-hudûd (delik hukuman kejahatan), yang meliputi kasus ; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muhârabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya[5].

Dengan demikian Hudûd meliputi tujuh jenis:
  1.     Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
  2.     Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri.
  3.     Had al-Khamr (hukuman orang minum khamer (minuman memabukkan) untuk menjaga akal.
  4.     Had as-Sariqah (hukuman pencuri) untuk menjaga harta.
  5.     Had al-Hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
  6.     Had al-Baghi (hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa
  7.     Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama.
    Ta’zîr[6].

HIKMAH PENSYARIATAN HUDUD

Hudûd disyaria’tkan untuk kemaslahatan hamba dan memiliki tujuan yang mulia. Di antaranya adalah:
  •     Siksaan bagi orang yang berbuat kejahatan dan membuatnya jera. 
Apabila ia merasakan sakitnya hukuman ini dan akibat buruk yang muncul darinya, maka ia akan jera untuk mengulangi dan dapat mendorongnya untuk istiqamah serta selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]
  •     Mencegah orang lain agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan.
Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengumumkan had dan melakukannya di hadapan manusia.

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an-Nûr/24:2). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa di antara hikmah hudûd adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan mencegah orang lain agar tidak terjerumus padanya; serta pensucian dan penghapusan dosa[7].
  •     Hudûd adalah penghapus dosa dan pensuci jiwa pelaku kejahatan tersebut.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوا وَلاَ تَزْنُوا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك

Ketika di sekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma’rûf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah Azza wa Jallaakan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman di dunia, maka hukuman itu adalah kafarah (penghapus dosanya). Dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi oleh Allah Azza wa Jalla kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah Azza wa Jalla; kalau Dia menghendak,i diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki, disiksa-Nya.” [Muttafaqun ’alaih: Fat-hul Bâri I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no: 1709 dan an-Nasâ’i 7/148]
  •     Menciptakan suasana aman dalam masyarakat dan menjaganya.
    Menolak keburukan, dosa dan penyakit pada masyarakat, karena apabila kemaksiatan telah merata dan menyebar pada masyarakat maka Allah Azza wa Jalla akan menggantinya dengan kerusakan dan musibah serta dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka solusi terbaiknya adalah menegakkan dan menerapkan hudûd. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah Azza wa Jalla merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[ar-Rûm/30:41]

Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ الأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا

Dari Abû Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih dicintai bagi penduduknya daripada mereka diguyur hujan selama tiga puluh hari. [Hasan ; Shahîh Ibnu Mâjah no; 2057, Ibnu Mâjah 2/848 no : 2538, an-Nasâ’I 8/76)[8]


SYARAT PENERAPAN AL-HUDUD.[9]

Penerapan Hudûd tidak dilakukan tanpa empat syarat:
  1.     Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
  2.     Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
  3.     Pelaku kejahatan mengetahui larangannya.
  4.     Kejahatannya terbukti dan bahwa ia melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.
HUKUM MENEGAKKAN HAD

Diwajibkan kepada wali umur (penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan Had kepada seluruh rakyatnya berdasarkan dalil dari al-Qur`ân, Sunnah dan Ijma’ serta dituntut qiyas yang shahîh[10]

Dalil al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:38]

Dalil Sunnah di antaranya adalah hadits Ubâdah bin Shâmit yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ

“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah Azza wa Jallakepada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecaman orang yang suka mencela mempengaruhi kamu (dalam menegakkan hukum-hukum) karena Allah Azza wa Jalla.” [Hasan: Shahîh Ibnu Mâjah No. 2058 dan Ibnu Mâjah No. 2540]

Demikian juga ulama kaum muslimin sepakat atas hal ini.

TIDAK DIBENARKAN SYAFAAT (REKOMENDASI) PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJAHIJAUKAN (PENGADILAN)

Apabila perkaranya telah masuk ke pemerintah atau telah dimejahijaukan (pengadilan), maka dilarang adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau pengurangan hukuman. Juga pemerintah tidak boleh menerima syafaat dalam hal ini. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلاَّ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma yang mengatakan bahwa kaum Quraisy sangat dipusingkan ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang melakukan pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang mau berbicara tentang hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah Azza wa Jalla?” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya) dan bila orang miskin mencuri, mereka tegakkan had padanya. Demi Allah Azza wa Jalla, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad[11] memotong tangannya.” [Muttafaqun ’alaih][12]

Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang yang memberi syafaat dalam hukuman had setelah sampai ke pemerintah. Adapun bila belum sampai maka diperbolehkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : Tidak boleh menggagalkan (hukuman had) dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya. Siapa yang menggagalkannya karena hal ini –padahal ia mampu menerapkannya- maka semoga laknat Allah Azza wa Jalla, malaikat dan semua manusia menimpanya[13].

PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD

Tak ada yang berwenang menegakkan hudûd, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab di masa kerasulan, beliaulah yang melaksanakannya. Demikian pula para Khalifahnya sepeninggal beliau Shallalahu alalaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga mengutus Unais Radhiyallahu anhu untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya:

وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا

Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang ini, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah! [HR al-Bukhâri no. 2147]. Demikian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan para sahabat untuk merajam Mâ’iz, dengan menyatakan:

اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ

Bawalah ia dan rajamlah! [HR al-Bukhâri no. 6815].

Demikian juga karena penentuan hukuman had dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezhaliman, maka wajib dilaksanakan oleh imam atau wakilnya[14]

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SAMA DALAM HUDUD

Dalam penerapan hukuman had terhadap wanita sama seperti lelaki, karena pada asalnya semua yang ditetapkan syari’at untuk lelaki juga berlaku untuk wanita sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini umum berlaku dalam ibadah, mu’amalah ataupun dalam hukuman. Namun para ulama memberikan 3 pengecualian, yaitu:
  1.     Wanita dihukum dengan duduk sedangkan lelaki dengan berdiri.
  2.     Pakaian wanita diikat sedangkan lelaki tidak.
  3.     Tangannya di tahan (diikat) hingga tidak terbuka auratnya, sedangkan lelaki tidak[15].
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Inilah yang membedakan wanita dengan laki-laki dalam had karena kebutuhan menuntutnya. Kalau tidak, maka pada asalnya wanita sama dengan lelaki[16]

Demikianlah selintas permasalahan hudûd dalam Islam. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada kaum Muslimin tentang keindahan dan kelengkapan syari’at Islam. Wabillâhi taufîq.

_______

Footnote:

[1] al-Mulakhash al-Fiq-hi 2/521 menukil dari Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 7/300
[2] Fat-hu Dzi al-Jalâl wa al-Ikrâm Bi Syarhi Bulûgh al-Marâm, Ibnu Utsaimin 5/329
[3] Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/521 dan Syarhu al-Mumti’ 14/207
[4] Yarhu al-Mumti’ 14/206 dan lihat juga Fat-hu al-Jalâh 5/329 dan Mulakhas al-Fiqh 2/521
[5] Fiq-hus Sunnah 2/302
[6] Lihat Manhaj as-Sâlikin, Syaikh as-Sa’di hal. 239-244
[7] Lihat Sarhu al-Mumti’ 14/206
[8] Lihat lebih lengkap lagi hikmah pensyariatan had ini dalam al-Mulakhash al-Fiqh 2/521 dan Taudhîh al-Ahkâm 6/210-211
[9] Lihat pembahasan ini dalam al-Mulakhash al-Fiqh 2/522-523, dan Syarhu al-Mumti’ 14/207-213
[10] Lihat Taudhîh al-Ahkâm, Syaikh al-Bassâm 6/210 dan Fat-hu Dzil Jalâl 5/330 serta Syar-hu al-Mumti’ 14/208
[11] Lihat Fat-hu Dzil-Jalâl 5/389
[12] Lihat Fat-hul Bâri 12/87 No. 6788, Muslim 2/1315 no 1688, ‘Aunul Ma’bûd 12/31 No: 4351,an-Nasâ’I 7/74, Tirmidzi 2/442 no: 1455 dan Ibnu Mâjah 2/851 no: 2547
[13] Lihat Majmu’ Al-Fatâwa 28/298
[14] Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/523-524
[15] Lihat masalah ini pada Syarhu al-Mumti’ 14/220-221
[16] Syarhu al-Mumti’ 14/221