Oleh: dr Agung Panji W (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi)
Tidak Ada Bulan Sial
Negeri kita Indonesia adalah negeri yang memiliki berbagai macam suku dan budaya. Setiap sukudengan budayanya memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan suku-suku lainnya. Semua itu semakin menambah warna dan kekayaan budaya negeri kita yang tercinta ini. Belum lagi kearifan lokal yang juga ikut menambah luhurnya nilai moral dan etika Indonesia sebagai negeri timur. Semua keberagaman itu tidak pernah ditolak oleh Islam selama masih sejalan dengan syariat. Bukankah Allah menciptakan manusia beragam untuk saling mengenal?
Allah berfirman : “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal?” (Al-Hujurat :13).
Inilah maksudnya Allah ciptakan manusia seragam agar saling mengenal dan menghargai perbedaan yang ada. Namun, keberagaman suku dan budaya ini terkadang memiliki pengaruh dari sisi keyakinan seorang muslim. Agama Islam kita agama yang sempurna. Perkara akidah/keyakinan sangat diperhatikan dan dijaga oleh Islam. Sering kita jumpai masing-masing suku dengan budayanya memiliki keyakinan, mitos, takhayul, dan kepercayaan yang tidak bisa diterima Islam karena bertentangan dengan ajaran Islam yang sempurna dan akidah yang murni. Sehingga, dalam hal ini kita sebagai seorang muslim harus menerima dan mengunggulkan Islam di atas semua budaya.
Adat dan budaya yang harus menyesuaikan diri dengan Islam, dan bukan sebaliknya. Di antara keyakinan dan kepercayaan yang banyak dianut hampir di seluruh negeri kita yang tercinta ini adalah anggapan bulan/hari sial. Maksudnya, seseorang yang mempercayai adanya bulan sial, maka ia cenderung mengaitkan kejadian buruk dan musibah yang menimpanya karena bulan tertentu yang ia anggap bulan sial. Hal ini tidak bisa diterima dalam Islam karena bertentangan dengan akidah yang benar dan bisa merusak tauhid seorang muslim.
Anggapan Sial Adalah Kebiasaan Orang Musyrik yang kafir pada Allah
Jauh sebelum kita, bahkan umat sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memiliki anggapan-anggapan sial. Kaum Nabi Musa menuduh Nabi Musa dan pengikutnya sebagai pembawa sial.
Allah berfirman: “Kemudian apabila datang kepada mereka kebaikan, merekaberkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan apabila mereka ditimpa kesusahan, merekalemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (Al-A’raf : 131).
Dalam surat Yasin, diceritakan tentang sebuah negeri yang awalnya diutus 2 utusan oleh Allah sebagai pembawa peringatan. Lalu, dikirimkan lagi utusan yang ketiga untuk berdakwah kepada penduduk negeri tersebut.
Allah berfirman: “Dan buatlah untuk mereka sebuah permisalan tentang penduduk negeri ketika datang kepada mereka utusan-utusan. (Yaitu) ketika kami mengutus kepada mereka 2 orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya, kemudian Kami perkuat dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepada kalian.” (Yasin : 13-14).
Namun, apa yang mereka lakukan terhadap ketiga utusan tersebut selain mendustakan mereka? Mereka menganggap ketiga utusan tersebut sebagai pembawa dan sebab kesialan.
Allah berfirman: Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kalian, sesungguhnya jika kalian tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kalian dan kalian pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kalian adalah karena kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas.” (Yasin : 18-19).
Bahkan, kaum musyrikin menganggap sial Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya, sebagaimana firman Allah: “…Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah…” (An-Nisa : 78).
Begitulah kisah kaum yang mendustakan para rasul. Di antara sifat dan ciri khas mereka dari masa ke masa adalah punya anggapan-anggapan sial. Maka sifat seperti ini tercela bahkan mengandung unsur kesyirikan yang dapat merusak kemurnian tauhid seorang muslim.
Mencela Waktu Sama Dengan Mencela Allah
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “ Allah ta’ala berkata: “Keturunan Adam menyakiti-Ku, mereka mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, (yaitu) aku yang membolak-balikkan siang dan malam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan menjelaskan tentang hadis ini bahwasanya perbuatan hambanya bisa mengusik Allah subhanahu wa ta’ala , akan tetapi tidak bisa membahayakan Allah subhanahu wa ta’ala. Perbuatan mencela waktu adalah di antara perbuatan yang menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika seorang hamba mencela waktu, pada hakikatnya ia telah mencela Allah subhanahu wa ta’ala . Karena Allah yang menciptakan waktu tersebut yang tidak disukai oleh manusia. Maka, ketika ia mencela waktu, maka ia sebenarnya telah mencela sang Pembuatnya yaitu Allah subhanahu wa ta’ala .
Syaikh Shalih Alu Syaikh menambahkan penjelasan hadis ini bahwasanya waktu itu tidak memiliki apapun dan tidak melakukan apapun. Karena Allah-lah yang memperjalankan waktu tersebut. Waktu tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa memberi, menghalangi, memuliakan, ataupun menghinakan. Yang melakukan itu semua hanyalah sang raja diraja yang maha esa dengan semua kerajaannya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala . (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid karya Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan dan At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid karya Syaikh Shalih Alu Syaikh).
Berdasarkan hadis dan penjelasan di atas, semakin jelaslah bahwa mencela waktu dengan sebutan sial, laknat, terkutuk adalah perbuatan tercela. Bahkan pada hakikatnya adalah pencela Allah subhanahu wa ta’ala. Karena waktu tidak memiliki kemampuan apapun. Allah-lah yang memperjalankan waktu. Semua apa yang terjadi pada satu waktu adalah di bawah takdir dan ketetapan Allah yang penuh hikmah. Allah tidak mungkin menciptakan dan menetapkan hanya sekedar main-main atau sia-sia belaka.
Selayaknya seorang muslim apabila mendapatkan musibah ia menyadari itu disebabkan dosa dan maksiatnya, lalu bertaubat pada Allah dan bersabar, serta berharap pahala dari Allah subhanahu wata’ala . Tidak boleh ia mengucapkan perkataan yang isinya mencela jam, hari, atau bulan di manamusibah itu terjadi. Ia harus ridho dengan ketetapan Allah dan takdir-Nya, serta introspeksi diri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Tidak ada musibah yang menimba di bumi dan (tidak pula)pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Al-Hadid: 22).
Menghilangkan Was-Was Rasa Sial
Beberapa solusi yang bisa kita tempuh untuk menghilangkan rasa sial yang muncul dalam benak kita yaitu:
- Tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang bisa mendatangkan kebaikan dan tidak ada yang bisa mencegah keburukan kecuali Allah semata. Dialah Allah yang mendatangkan kebaikan dan mencegah keburukan. Dialah Allah yang mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat. Dialah Allah yang punya kuasa mengatur semua alam semesta.
- Jika seorang hamba bertawakal pada Allah subhanahu wa ta’ala , maka rasa sial yang muncul di benak tidak akan membahayakannya dan akan hilang. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu'anhu beliau berkata: “Thiyarah (rasa sial) itu kesyirikan, thiyarah (rasa sial) itu kesyirikan. Tidak ada di antara kami yang bisa mencegahnya muncul dalam benak. Akan tetapi Allah yang menghilangkannya dengan tawakal kami kepada-Nya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Maksud beliau, rasa sial itu pasti terlintas dalam benak seorang manusia tatkala dia melihat ada sesuatu yangtidak ia sukai atau ia benci. Dan obat yang paling mujarab bisa menghilangkan rasa sial adalah tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tetap melanjutkan urusan dan keperluannya, serta tidak membatalkannya karena merasa sial atau keburukan akan menimpanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang membatalkan keperluannya karena merasa sial, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad dengan derajat hasan).
Sehingga, perasan sial atau firasat buruk yang muncul tidak usah dihiraukan dan tetap lanjutkan urusan yang sudah direncanakan.
- Doa. Solusi yang ketiga ini semakin menyempurnakan 2 solusi di atas dan memperkuat keimanan seorang muslim. Doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghilangkan rasa sial yang muncul adalah “Allahumma laa khaira illaa khairuk, wa laa thaira ilaa thairuk, wa laa ilaaha ghairuk.” Artinya: “Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang Engkau datangkan, tidak ada kesialan kecuali sudah Engkau tetapkan, dan tidak ada sesembahan selain-Mu.” (HR Ahmad).
Dalam doa ini terkandung makna yang besar, yaitu rasa tawakal pada Allah, pengakuan terhadap semua yang terjadi atas izin Allah, dan mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sumber: https://buletin.muslim.or.id/