Kisah Cinta Utsman dan Nailah
Islam memberikan teladan tentang kesetiaan seorang istri kepada suaminya melalui kisah Nailah binti al-Farafishah. Ia adalah istri Sang Dzunnuraini, Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu. Nailah berasal dari Bani Kalb, salah satu kabilah di dataran Arab yang terkenal dengan kefasihan kaumnya.
Bani Kalb tak hanya melahirkan keturunan laki-laki yang cerdas. Kaum perempuan mereka juga terdidik dengan baik dan tumbuh menjadi wanita-wanita yang fasih dalam berbagai bidang. Nailah dikenal cerdas dan pandai dalam bersyair. Proses khitbah Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu terbilang unik. Ketika itu, Utsman telah berusia 81 tahun dan menjabat sebagai Amirul Mukminin ketiga. Nailah tampak terkejut melihat uban telah begitu banyak di rambut pria yang terkenal pemalu ini.
Utsman pun bertanya dengan penuh kelembutan kepada Nailah, “Apakah engkau keberatan jika menikah denganku, laki-laki yang sudah sangat tua?” Gadis belia 18 tahun itu tersenyum malu-malu. Ia membalas dengan sangat hati-hati dan penuh rasa hormat. “Aku menyukai laki-laki yang lebih tua.”
Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu berkata, “Tetapi usiaku telah melampaui ketuaanku.” Nailah kembali tersenyum. Ia tertunduk, lalu membalas pernyataan itu, “Masa mudamu telah engkau habiskan bersama Rasulullah Shallallahu'alahi wa sallam. Itu membuatku merasa beruntung dan itu lebih dari segala-galanya.”
Jawaban ini sangat menyentuh hati Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu. Mereka pun menikah di Madinah. Dari pernikahan tersebut, lahir seorang putri bernama Maryam binti Utsman. Dengan kecerdasannya dan didikan Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu, Nailah tumbuh menjadi istri yang taat dan penyayang.
Waktu terus berjalan, sang khalifah menaklukkan negeri-negeri kafir, menundukkan dan mengislamkan penduduknya, hingga negeri islam terbentang dari timur hingga ke barat, terbentang dari Maroko hingga ke Azerbaijan. Semua itu tidak lepas dari peran istri khalifah Utsman bin Affan. Istri yang menemani sang suami dalam suka dan duka.
Tibalah hari-hari kelam dalam sejarah islam, tatkala muncul ribuan massa yang berhati buruk berkumpul di kota Madinah. Badai pemberontakan menghantam kota Madinah. Ribuan orang yang memendam kedengkian kepada Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu datang menuntut sang khalifah. Mereka datang dengan membawa pedang, menginginkan nyawa sahabat Rasulullah Shallallahu'alahi wa sallam ini.
Pada saat itu para sahabat sedang beribadah haji di tanah haram, kaum munafikin pengikut Abdullah bin Saba’ mengepung rumah sang khalifah dengan maksud ingin menjatuhkannya dan mengobarkan api revolusi dan melengserkannya dari tampuk kekhalifahan.
Para anak-anak sahabat yang kalah jumlah bergegas menuju rumah sang khalifah, menghunuskan pedang dan akan membela sang khalifah.
Akan tetapi, sang khalifah memerintahkan mereka untuk pulang dan menyarungkan pedang-pedang mereka.
Akhirnya, kaum munafik itu berhasil mendobrak pintu rumah sang khalifah dan sang khalifah sedang dalam keadaan berpuasa dan khusyu’ melantunkan Al-Qur’an. Ditemani Nailah sang istri, ia tidak sejengkal pun mundur dari menjaga dan melayani sang khalifah Ustman bin Affan.
Kaum munafik pun berhasil masuk ke rumah sang khalifah, mengayunkan pedang ke arah tubuh sang khalifah, tetapi Nailah maju menangkis mata pedang yang tajam, hingga jari-jari Nailah terputus demi membela suaminya.
Pasukan itu mengepung rumah Utsman bin Affan. Tak lari, Nailah menghadapi serangan itu dan terus menemani Utsman. Ia membesarkan jiwa kekasihnya dan melingkupinya dengan kasih sayang. Tak tahan sekadar mengepung dan menunggu, dua orang laki-laki akhirnya masuk ke dalam rumah Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu.
Dalam keadaan seperti itu, Nailah melihat keluar dan melepaskan kerudungnya. Ia berharap para lelaki itu masih memiliki keimanan dalam hatinya, akan memalingkan wajahnya meninggalkan mereka. Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu menegurnya tatkala melihat apa yang dilakukan istrinya.
"Nailah, tutuplah rambutmu itu dengan kerudung. Demi Allah, lebih mudah bagiku untuk membiarkannya masuk daripada engkau berbuat haram dengan membiarkan rambutmu terurai," kata Utsman.
Kedua laki-laki itu akhirnya berhasil masuk ke rumah dan sampai di hadapan Utsman dan istrinya. Seorang di antara mereka mengayunkan pedangnya kepada Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu. Dengan keberaniannya, Nailah menahan tebasan pedang tersebut hingga beberapa jari- jarinya yang sangat indah terputus.
Bagi Nailah, keselamatan suaminya menjadi prioritas utama. Ia tak peduli jika harus berkorban nyawa. Walaupun begitu, Nailah adalah seorang perempuan yang sangat lembut. Ia merasakan sakit yang luar biasa di ujung-ujung jarinya yang terputus. Ia menjerit, memanggil pembantu laki-lakinya yang bernama Rabah.
Lelaki satunya ikut mengayunkan pedangnya ke arah Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu. Lagi-lagi Nailah menahan tebasan pedang dengan tangannya yang masih utuh. Beberapa jarinyapun ter putus. Jeritan Nailah tak mampu meluluhkan hati penyerang yang telah dibutakan oleh kebencian.
Tindakan Nailah justru membuat dia bersikap lebih kejam. Ia mencabut jenggot Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu, memukul kepalanya, lalu menikamnya. Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu diperlakukan begitu keji. Para pemberontak bagai kesetanan.
Ketika pedang sudah disabetkan ke Utsman, Nailah dengan kedua tangan yang tak sempurna memeluk suaminya. Ia ber sama putri mereka menutupi tubuh Utsman untuk memberikan perlindungan.
Para pemberontak makin membabi buta. Nailah dan putrinya menjadi bulan-bulanan, menjadi luapan amarah.
Mereka dipukul dan diinjak. Nailah yang kesakitan pun berkata, "Sungguh, kalian telah membunuhnya, padahal dia telah menghidupkan malam dengan Alquran dalam rangkaian rakaat."
Suara Nailah tak lagi dianggap. Kebencian, nafsu, dan rayuan setan menyatu dalam diri pemberontak. Seseorang menyabetkan pedangnya tanpa peduli Utsman sedang memegang Alquran. Darah mengucur, menetes jatuh. Surah al-Baqarah ayat 137 berbunyi, "Maka Allah memelihara engkau dari mereka."
Nailah memanjatkan doa kepada Allah Ta'ala, "Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu, dan tidak ada ampunan atas dosa-dosa- mu." Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu pun wafat di tangan para pemberontak. Sepeninggal Utsman, Muawiyah bin Abu Sufyan datang kepada Nailah untuk melamarnya, namun Nailah menolak pinangan tersebut.
Muawiyah bertanya, apa gerangan yang membuat Nailah menolakku. "Aku melihat kesedihan ini menyelimutiku seperti pakaian yang menyelimuti diri ini. Aku takut kesedihanku atas Utsman bin Affan ini akan terulang kepada orang lain seperti dia. Ini tidak akan terjadi lagi." kata Nailah."
"Tidak mungkin ada seorang pun yang mampu menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku," kata Nailah lagi.