Macam-Macam Ibadah Syirik (8) : Berdo’a Bisa Jadi Syirik?
Oleh Sa'id Abu Ukkasyah
IV. Do’a
Do’a di dalam terminologi disiplin ilmu tauhid terbagi dua macam, yaitu do’a ibadah dan do’a mas’alah.
Do’a ibadah itu seseorang beribadah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dalam rangka mendapatkan pahala dari-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Do’a ibadah ini, tidaklah boleh dipersembahkan kepada selain Allah dan apabila dipersembahkan kepada selain Allah, maka syirik akbar.
Do’a mas’alah adalah permintaan kebutuhan. Apabila do’a mas’alah ini berasal dari hamba ditujukan kepada Allah, maka termasuk ibadah, karena mengandung sikap butuh kepada Allah dan mengandung pula keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Maha Luas Pemberian dan Rahmat-Nya.
Dalil Bahwa Do’a adalah Ibadah
Dalil yang menunjukkan bahwa do’a itu ibadah adalah sebuah hadits yang mulia,
الدعاء هو العبادة
“Do’a adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam ibadah”[1. HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan selainnya, dishahihkan Al-Albani].
Dari hadits tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa do’a itu ibadah, sehingga wajib kita persembahkan kepada Allah semata.
Macam-macam Permintaan
Adapun perincian hukum permintaan dan macam-macamnya adalah sebagai berikut,
1. Permintaan yang syirik akbar
Permintaan yang ditujukan kepada selain Allah itu menjadi syirik akbar apabila isi permintaan tersebut berupa perkara yang tidak mampu memenuhinya kecuali Allah, sama saja makhluk yang dimintai itu hidup, mati (mayyit), makhluk hidup hadir maupun gaib (tidak hadir dan secara bukti ilmiah tidak bisa dihubungi).
Makhluk yang dimintai adalah makhluk mati atau makhluk hidup namun ghoib, sama saja isi permintaannya perkara yang makhluk mampu atau tidak mampu memenuhinya, karena orang yang mati atau makhluk hidup yang gaib tidak memungkinkan untuk bisa memenuhi permintaan apapun, maka meminta kepada kedua makhluk tersebut menunjukkan orang yang meminta itu meyakini bahwa makhluk yang mati atau makhluk hidup yang gaib tersebut memiliki kekhususan atau kemampuan sebagaimana Allah.
2. Permintaan yang bukan syirik
Makhluk yang dimintai adalah makhluk hidup, hadir dan mampu memenuhi permintaan tersebut. Contohnya seperti golongan orang yang terdapat dalam hadits berikut ini. Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga golongan: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti dari meminta, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta sampai ia terpenuhi kebutuhan hidupnya yang primer dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal sehat dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta sampai terpenuhi kebutuhan hidupnya yang primer. Meminta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”[2. Shahîh. HR Muslim dan selainnya].
Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Sumber: https://muslim.or.id/
Oleh Sa'id Abu Ukkasyah
III. Tawakal yang Benar dan yang Salah
Tawakal adalah bersandar (al-i’timaad), sehingga tawakal kepada Allah Ta’ala adalah bersandarnya hati dengan benar kepada Allah dalam mendapatkan manfa’at dan menghindari mudhorot[1. Bahaya, kerugian, kerusakan, kerusakan ataupun keburukan] diiringi dengan mengambil sebab (usaha) yang diizinkan dalam Islam.
1. Tawakal yang benar
Tawakal yang benar adalah tawakal kepada Allah semata dengan merealisasikan definisi tawakal yang telah disebutkan di atas. Tawakal jenis ini adalah ibadah hati yang mencakup tiga perkara:
Keyakinan
Yaitu meyakini bahwa semua urusan itu tergantung kepada Allah, jika Allah menghendaki pastilah terjadi, namun jika tidak, tentulah mustahil bisa terjadi. Allah lah satu-satunya yang menciptakan sebab dan menjadikan sebab itu berpengaruh.
Penyandaran
Yaitu bersandarnya hati kepada Allah semata, menyerahkan urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan percaya kepada Allah dengan seyakin-yakinnya bahwa semua urusan itu tergantung kepada Allah.
Usaha
Yaitu mengambil sebab (usaha) yang diizinkan dalam Islam demi tercapainya manfa’at dan terhindarnya dari mudhorot. Tawakal jenis ini termasuk salah satu jenis ibadah yang paling mulia dan termasuk paling tinggi dari kedudukan tauhid serta salah satu tanda kebenaran iman seorang hamba. Hukum tawakal jenis ini adalah wajib. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah-lah kalian betawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman” (QS. Al-Maidah : 23).
2. Tawakal yang salah
Tawakal yang satu ini disebut juga tawakkal sirri. Tawakal jenis ini bentuknya yaitu:
- Bersandar hati kepada selain Allah dalam perkara yang tidak mampu memenuhinya kecuali Allah.
- Bersandar hati totalitas kepada orang yang telah meninggal[2. Sama saja baik orang yang sudah meninggal tersebut adalah nabi, wali Allah, ahli maksiat ataupun selainnya] maupun makhluk hidup, namun tidak hadir (ghaib)[3. Secara bukti ilmiah atau hukum sebab tidak bisa dihubungi] dalam mendapatkan manfaat dan menghindari kemudharatan. Kesalahan ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan meyakini bahwa mayit atau makhluk tersebut mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan sebagaimana Allah. Contohnya bertawakal kepada wali yang masih hidup agar selamat dari neraka dan masuk surga. Demikian juga tawakalnya seseorang kepada kyai yang telah meninggal agar lancar rezekinya.
3. Tawakal yang merupakan syirik kecil
Tawakkal kepada sesama makhluk hidup dan hadir dalam perkara yang makhluk mampu memenuhinya, namun diiringi dengan menganggap tinggi martabat makhluk tersebut dan rendahnya martabat orang yang bertawakkal kepadanya sehingga hati orang yang bertawakal itu bersandar kepada makhluk tersebut. Misalnya, seorang istri bersandar kepada suaminya dalam masalah nafkah, sehingga di hati sang istri terdapat ketergantungan kepada suaminya dan ia merasa dirinya amat lemah dalam mendapatkan nafkah.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya hati sang istri bersandar kepada suaminya, padahal suaminya kedudukannya sebatas sebagai sebab saja, yang sewaktu-waktu -apabila Allah menghendakinya- ia bisa jatuh miskin atau mati.
Perbuatan ini termasuk syirik kecil karena bersandarnya hati pelakunya kepada sebab dan ketergantungan hatinya dengan sebab tersebut.
4. Tawakal (mewakilkan) yang mubah
Tawakkal dalam arti mewakilkan urusan kepada makhluk hidup dan hadir (tidak ghaib) di dalam perkara mubah yang mampu dilakukan oleh makhluk, dengan catatan bahwa hati orang yang mewakilkan urusan tersebut tidaklah bersandar kepada makhluk itu, namun hatinya tetap bersandar kepada Allah semata.
Misalnya, seseorang mewakilkan kepada orang lain dalam bisnisnya, sedangkan hatinya tetap bersandar kepada Allah semata. Hukum tawakal dalam bentuk mewakilkan seperti ini diperbolehkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Sumber: https://muslim.or.id/